- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:

INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 13:16
itkgid dan 41 lainnya memberi reputasi
40
255.5K
Kutip
809
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#240
TUMBAL -TUMBAL IBLIS
SPIN OFF NYI BLORONG
Quote:
Malam itu Hartono terlonjak bangun dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Kegelapan lampu yang sengaja dimatikan membuat matanya buta sesaat. Sayup –sayup terdengar suara isak tangis, begitu dekat sehingga sejenak membuat Hartono terpana dalam kegelisahan. Gerak kecil di samping Hartono mengingatkan pada istrinya yang bernama Marni. Dilihatnya sosok tubuh istrinya itu terbaring resah. Kedua tangannya mencengkeram selimut kuat –kuat, sementara air mata deras menetes di pipinya. Tatkala pandangan Hartono dan Marni bertemu. Ia segera menghambur memeluk tubuh Hartono kuat –kuat seraya berteriak setengah mengigau.
“ Aku mendengarnya lagi Mas, aku mendengar suara itu lagi!”
“ Marni tenanglah “.
Hartono mengusap lembut pundak istrinya.
Pundak yang basah oleh peluh. Marni gemetar dengan hebat seraya mengulangi kembali ucapannya setengah histeris.
“ Begitu mengerikan Mas...Aku... “
Ucapan Marni tertahan ditenggorokan.
“ Ya..aku tahu Marni. Aku juga mendengar. Diamlah dan tenang. Itu hanya sekedar mimpi buruk “.
Terguncang –guncang kepalanya. Seakan –akan menyanggah kata –kata Hartono.
“ Tetapi Mas, suara tangisan bayi itu. Suara bocah kecil tertawa –tawa..Itu bukan sekedar mimpi “.
Ia benar. Suara –suara itu bukan hanya sekedar mimpi. Karena telah berulangkali terdengar semenjak datang ke rumah ini. Suara kaki –kaki kecil berlari – larian dalam kegelapan. Ditimpali dengan tangisan bayi kemudian berakhir dengan tangisan berkepanjangan yang memilukan. Dua hari Hartono sengaja tidak memejamkan mata. Namun, suara –suara itu tetap muncul. Tatkala lampu dinyalakan, mendadak sontak suara itu lenyap. Marni mulai tenang. Isaknya mereda.
“ Tahukah kau dari mana datangnya suara –suara aneh itu Marni? “
Hartono bertanya hati –hati.
Ia mengeluh,
“ Dari kamar Bapak “.
“ Biar kuperiksa sebentar “.
“ Jangan, Mas! “
“ Tenanglah. Paling tidak aku ingin tahu perkembangan Bapak yang sedang sakit itu. Sekarang berbaringlah, pejamkan matamu “.
Marni terlihat ragu sebentar.
Hartono mencoba tersenyum manis kepada istrinya, lalu Marni mengangguk perlahan. Hartono kemudian turun dari tempat tidur. Membetulkan letak piyamanya sebentar. Piyama itu lembab telah basah oleh keringat. Sehingga seperti melekat pada kulit. Udara malam yang dingin merembes masuk bersama sinar bulan dari celah ventilasi. Hartono berjalan gontai menuju ke kamar bapaknya. Entah mengapa tiba –tiba tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang.
“ Aku mendengarnya lagi Mas, aku mendengar suara itu lagi!”
“ Marni tenanglah “.
Hartono mengusap lembut pundak istrinya.
Pundak yang basah oleh peluh. Marni gemetar dengan hebat seraya mengulangi kembali ucapannya setengah histeris.
“ Begitu mengerikan Mas...Aku... “
Ucapan Marni tertahan ditenggorokan.
“ Ya..aku tahu Marni. Aku juga mendengar. Diamlah dan tenang. Itu hanya sekedar mimpi buruk “.
Terguncang –guncang kepalanya. Seakan –akan menyanggah kata –kata Hartono.
“ Tetapi Mas, suara tangisan bayi itu. Suara bocah kecil tertawa –tawa..Itu bukan sekedar mimpi “.
Ia benar. Suara –suara itu bukan hanya sekedar mimpi. Karena telah berulangkali terdengar semenjak datang ke rumah ini. Suara kaki –kaki kecil berlari – larian dalam kegelapan. Ditimpali dengan tangisan bayi kemudian berakhir dengan tangisan berkepanjangan yang memilukan. Dua hari Hartono sengaja tidak memejamkan mata. Namun, suara –suara itu tetap muncul. Tatkala lampu dinyalakan, mendadak sontak suara itu lenyap. Marni mulai tenang. Isaknya mereda.
“ Tahukah kau dari mana datangnya suara –suara aneh itu Marni? “
Hartono bertanya hati –hati.
Ia mengeluh,
“ Dari kamar Bapak “.
“ Biar kuperiksa sebentar “.
“ Jangan, Mas! “
“ Tenanglah. Paling tidak aku ingin tahu perkembangan Bapak yang sedang sakit itu. Sekarang berbaringlah, pejamkan matamu “.
Marni terlihat ragu sebentar.
Hartono mencoba tersenyum manis kepada istrinya, lalu Marni mengangguk perlahan. Hartono kemudian turun dari tempat tidur. Membetulkan letak piyamanya sebentar. Piyama itu lembab telah basah oleh keringat. Sehingga seperti melekat pada kulit. Udara malam yang dingin merembes masuk bersama sinar bulan dari celah ventilasi. Hartono berjalan gontai menuju ke kamar bapaknya. Entah mengapa tiba –tiba tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang.
Quote:
Hartono memutar handle dan pintu terbuka, suasana di dalam kamar sepi dan gelap gulita. Terdengar suara nafasnya. Mendesah, berat dan serak. Mula –mula teratur. Namun begitu lampu dinyalakan menerangi kamar, desah nafas itu semakin memberat dan tidak teratur. Mangun Sarkoro terbaring disana. Di atas ranjang tidak bergerak. Dan dia juga tidak tidur. Matanya terbuka liar, berputa –putar di dalam kedua rongga matanya yang mulai menghitam. Lewat piyama yang dikenakannya terlihat lengan –lengan kurus tinggal kulit yang membalut tulang terlipat di atas badan yang tampak tipis. Jari –jemari kakinya menjulur keluar dari selimut yang menutupi badan. Seperti mayat hidup mengerikan!
Kamar itu berbau busuk. Sangat busuk. Pertama saat Hartono mulai mencium bau busuk di dalam kamar itu dia berusaha mencari sumber dari bau tersebut. Tidak ditemukan apa –apa di dalam kamar itu. Hingga pada akhirnya......
Mulut Bapaknya itu bergerak –gerak seperti mau berbicara sesuatu. Didekatkan wajah Hartono ke mulut bapaknya itu. Tidak ada suara yang keluar, kecuali desah nafas berat dan tersengal –sengal mirip seekor sapi yang sedang disembelih. Semenjak saat itu, Hartono mengetahui darimana asal bau busuk itu. Langsung dari celah –celah bibir keriput yang selalu terbuka!
Bibir itu nampak berkomat –kamit. Hartono tertegun sejenak waktu sepasang mata yang berputar –putar itu mendadak berhenti beku. Sejenak diawasinya wajah bapaknya itu.
“ Apakah waktunya sudah tiba?! “
Batin Hartono.
Ternyata tidak mata itu berputar –putar lagi. Manakala terdengar pintu depan rumah digedor –gedor orang dari luar. Hartono Hendak berdiri dan beranjak. Tetapi niatnya itu diurungkan karena didengar Marni sudah berlari-lari keluar dari kamar. Pintu depan terdengar dibuka dengan renggutan cepat dan suara gemetar menggema dalam kesunyian yang gelap.
“ Mbah Jumingan? “
“ Yaa! “
Tedengar suara sahutan yang parau dan berat.
“ Masuklah! “
Tubuh kurus kering yang lebih tepat dikatakan tulang belulang itu menggeliat sesaat di balik piyama yang longgar. Hartono terperanjat.
“ Apakah aku tidak salah lihat?! “
Ternyata tubuh itu tidak bergeming sedikitpun dari ranjangnya.
Orang tua setengah umur dengan tubuh agak bungkuk dan memiliki rambut panjang yang berwarna kelabu melangkah masuk. Tiga gelang akar bahar yang melingkar di tangan kanan tampak menambah seram penampilannya. Di belakangnya Marni mengikuti dengan wajah yang mengguratkan perasaan takut dan cemas.
“ Inikah bapak mu yang sakit itu? “
Suaranya parau dan berat.
“Benar Mbah... “
“ Jumingan..... “
Dukun itu menimpali pendek.
“ Perkenalkan Mbah, saya Hartono anak bungsu dari Bapak Mangun Sarkoro yang sekarang sedang sakit terbaring itu “.
Orang tua yang bernama Jumingan itu seperti mengacuhkan Hartono. Bahkan, uluran tangan Hartono tidak pernah disambut sedikitpun. Hartono menghela nafas, tangannya yang masih menggantung untuk berjabat tangan ditariknya kembali.
“ Biar aku periksa sebentar bapak mu itu “.
Marni mendorong kursi kayu untuk diduduki orang tua yang katanya seorang paranormal terkenal dari kaki pegunungan Tepus itu. Setelah komat –kamit seraya memperhatikan tubuh Mangun Sarkoro yang terbaring di ranjang, Dukun itu memegang nadi, menekan lambung dan meraba dada sebelah kiri untuk mencari denyutan jantung yang berdetak. Orang tua itu mengeluh lirih. Menghela nafas.
Seperti beberapa dokter yang bertugas di puskesmas, maupun dokter –dokter di rumah sakit besar yang sengaja didatangi oleh Hartono untuk mengobati sakit bapaknya itu. Semejak bapaknya terjatuh dari tebing dan mengalami remuk di bagian dada. Denyut nadi dan jantung telah berhenti bekerja.
“ Dada itu remuk “.
Ujar dokter puskesmas
“ Limpanya pecah. Demikian pula jantung. Pembuluh darah sudah tidak bekerja sama sekali. Orang ini sudah mati “.
Deg...jantung Hartono seperti berhenti berdenyut saat mendengar perkataan dokter mengenai hal itu beberapa waktu yang lalu.
Selama hampir satu bulan lebih Hartono merawat Bapaknya. Masih ada pertanda kehidupan pada jasadnya. Desah nafas berat terputus –putus menandakan kematian belum meninggalkan tubuhnya. Celakanya, tidak seorangpun dokter yang mau memberikan suntikan yang dapat menghentikan kehidupan pada jasad yang tampak sangat tersiksa itu. Alasan mereka masuk akal. Tugas dokter menyelamatkan kehidupan. Bukan merenggutnya. Lagi pula, apakah benar bapaknya ini masih hidup?
Jantung sudah berhenti, pembuluh darah lumpuh dan jaringan syarafnya tidak mungkin lagi bereaksi. Hartono tidak terlalu kejam untuk mengubur jasad bapaknya yang matanya masih bergerak dan dari celah – celah bibirnya masih terdengar nafas kehidupan.
Kamar itu berbau busuk. Sangat busuk. Pertama saat Hartono mulai mencium bau busuk di dalam kamar itu dia berusaha mencari sumber dari bau tersebut. Tidak ditemukan apa –apa di dalam kamar itu. Hingga pada akhirnya......
Mulut Bapaknya itu bergerak –gerak seperti mau berbicara sesuatu. Didekatkan wajah Hartono ke mulut bapaknya itu. Tidak ada suara yang keluar, kecuali desah nafas berat dan tersengal –sengal mirip seekor sapi yang sedang disembelih. Semenjak saat itu, Hartono mengetahui darimana asal bau busuk itu. Langsung dari celah –celah bibir keriput yang selalu terbuka!
Bibir itu nampak berkomat –kamit. Hartono tertegun sejenak waktu sepasang mata yang berputar –putar itu mendadak berhenti beku. Sejenak diawasinya wajah bapaknya itu.
“ Apakah waktunya sudah tiba?! “
Batin Hartono.
Ternyata tidak mata itu berputar –putar lagi. Manakala terdengar pintu depan rumah digedor –gedor orang dari luar. Hartono Hendak berdiri dan beranjak. Tetapi niatnya itu diurungkan karena didengar Marni sudah berlari-lari keluar dari kamar. Pintu depan terdengar dibuka dengan renggutan cepat dan suara gemetar menggema dalam kesunyian yang gelap.
“ Mbah Jumingan? “
“ Yaa! “
Tedengar suara sahutan yang parau dan berat.
“ Masuklah! “
Tubuh kurus kering yang lebih tepat dikatakan tulang belulang itu menggeliat sesaat di balik piyama yang longgar. Hartono terperanjat.
“ Apakah aku tidak salah lihat?! “
Ternyata tubuh itu tidak bergeming sedikitpun dari ranjangnya.
Orang tua setengah umur dengan tubuh agak bungkuk dan memiliki rambut panjang yang berwarna kelabu melangkah masuk. Tiga gelang akar bahar yang melingkar di tangan kanan tampak menambah seram penampilannya. Di belakangnya Marni mengikuti dengan wajah yang mengguratkan perasaan takut dan cemas.
“ Inikah bapak mu yang sakit itu? “
Suaranya parau dan berat.
“Benar Mbah... “
“ Jumingan..... “
Dukun itu menimpali pendek.
“ Perkenalkan Mbah, saya Hartono anak bungsu dari Bapak Mangun Sarkoro yang sekarang sedang sakit terbaring itu “.
Orang tua yang bernama Jumingan itu seperti mengacuhkan Hartono. Bahkan, uluran tangan Hartono tidak pernah disambut sedikitpun. Hartono menghela nafas, tangannya yang masih menggantung untuk berjabat tangan ditariknya kembali.
“ Biar aku periksa sebentar bapak mu itu “.
Marni mendorong kursi kayu untuk diduduki orang tua yang katanya seorang paranormal terkenal dari kaki pegunungan Tepus itu. Setelah komat –kamit seraya memperhatikan tubuh Mangun Sarkoro yang terbaring di ranjang, Dukun itu memegang nadi, menekan lambung dan meraba dada sebelah kiri untuk mencari denyutan jantung yang berdetak. Orang tua itu mengeluh lirih. Menghela nafas.
Seperti beberapa dokter yang bertugas di puskesmas, maupun dokter –dokter di rumah sakit besar yang sengaja didatangi oleh Hartono untuk mengobati sakit bapaknya itu. Semejak bapaknya terjatuh dari tebing dan mengalami remuk di bagian dada. Denyut nadi dan jantung telah berhenti bekerja.
“ Dada itu remuk “.
Ujar dokter puskesmas
“ Limpanya pecah. Demikian pula jantung. Pembuluh darah sudah tidak bekerja sama sekali. Orang ini sudah mati “.
Deg...jantung Hartono seperti berhenti berdenyut saat mendengar perkataan dokter mengenai hal itu beberapa waktu yang lalu.
Selama hampir satu bulan lebih Hartono merawat Bapaknya. Masih ada pertanda kehidupan pada jasadnya. Desah nafas berat terputus –putus menandakan kematian belum meninggalkan tubuhnya. Celakanya, tidak seorangpun dokter yang mau memberikan suntikan yang dapat menghentikan kehidupan pada jasad yang tampak sangat tersiksa itu. Alasan mereka masuk akal. Tugas dokter menyelamatkan kehidupan. Bukan merenggutnya. Lagi pula, apakah benar bapaknya ini masih hidup?
Jantung sudah berhenti, pembuluh darah lumpuh dan jaringan syarafnya tidak mungkin lagi bereaksi. Hartono tidak terlalu kejam untuk mengubur jasad bapaknya yang matanya masih bergerak dan dari celah – celah bibirnya masih terdengar nafas kehidupan.
Quote:
Orang tua bungkuk dan berambut kelabu itu mendadak menurunkan lengan –lengan Mangun Sarkoro yang terlipat di atas dada. Bau busuk semakin memenuhi ruangan kamar. Mbah Jumingan berkomat –kamit sebentar kemudian melepaskan kancing – kancing piyama Mangun Sarkoro. Celah piyama di bagian dada kemudian dilebarkan. Hartono tertegun bercampur keget. Dilihatnya dada bapaknya itu tampak hitam legam, tetapi lambung bawahnya kelihatan masih merah kecoklatan. Kulitnya melepuh, benda putih –putih kecil yang jumlahnya mungkin ribuan bergerak –gerak liar. Selaksa ulat –ulat kecil rakus melahap isi perut Mangun Sarkoro.
Marni terhenyak mundur sambil menutupi mulut dengan tangan menahan mual yang menyerang ganas perutnya. Tanpa sengaja sikunya menyenggol gelas yang ada diatas meja. Gelas pecah berkerontangan di lantai. Belingnya tercerai –berai kemana – mana. Marni lalu keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian terdengar suaranya muntah - muntah di kamar mandi.
Mbah Jumingan menggeleng –gelengkan kepalanya.
“ Sudah terlambat “.
Ia berbisik parau.
Hartono mengangguk pelan.
" Berikan aku sebaskom air ".
Segera Hartono bergegas ke belakang. Mengambil air di gentong lalu mengisikannya di baskom yang ukurannya tidak terlalu besar. Saat dirinya sampai di kamar itu lagi dilihatnya pakaian bapaknya telah dirapikan lagi. Mbah Jumingan lantas bersimpuh di dekat kaki tempat tidur. Sebuah kalung dengan untaian kayu cendana di keluarkan dari balik bajunya. Lalu dengan perlahan dimasukkannya ke dalam baskom yang berisi air. Sesaat, permukaan air seperti mendidih, menggelegak lalu diam. Sontak wangi cendana memenuhi ruangan itu. Bercampur dengan bau busuk.
Mbah Jumingan mengeluarkan kalimat –kalimat aneh. Seperti igauan bocah tatkala ngelindur di tengah malam. Di antara suaranya yang aneh, butir keringat sebesar biji jagung menetes keluar dari pori –pori kulit di wajahnya. Tak berapa lama kemudian Mbah Jumingan menyudahi ritualnya.
“ Ambil baskom air ini. Kalau ku perintahkan percikan air ke lambung bapak mu, percikanlah segera. Dan jangan berdiri jauh –jau. Berdirilah tepat di belakang ku “.
Hartono berdiri di belakang Mbah Jumingan sembari membawa baskom berisi air tadi. Dari situ terlihat tubuh terbaring lemah Mangun Sarkoro. Bola matanya tidak bergerak. Hanya menatap tajam langsung ke arah Mbah Jumingan yang telah kembali berkomat –kamit mulutnya. Bau aroma cendana yang wangi menekan bau busuk yang keluar dari mulut keriput Mangun Sarkoro.
Udara malam yang dingin menerobos masuk melalui ventilasi. Hartono menggigil, bukan karena kedinginan. Tetapi karena ketakutan. Tubuh Mbah Jumingan yang ada di depan Hartono tergoncang –goncang selama membaca mantera. Dan perlahan buakn hanya keringat yang menetes di pori –pori kulit orang tua bungkuk itu. Tetapi juga darah segar merembes keluar dari lubang hidungnya.
“ Percikan air itu!”
Mbah Jumingan berteriak lantang.
Hartono menggengam air di dalam baskom. Terperanjat ketika air itu berasa panas dan mendidih. Ditariknya tangan itu. Lalu dipandangi kuatir kalau –kalau melepuh. Ternyata tangan itu masih utuh. Tidak ada luka atau bengkak merah disana.
“ Percikkan!”
Mbah Jumingan berteriak tambah kepayahan. Nafasnya tersengal -sengal.
Hartono memercikkan tetesan air itu ke arah dada bapaknya. Terdengar suara berdesir yang aneh. Seperti menyiram air di atas bara yang panas. Asap putih menebal membumbung tinggi menyentuh langi –langit kamar. Kemudian berpendar terbawa angin. Beberapa kali Hartono menelan ludah. Mencoba mengurangi ketegangan yang ada di dalam dirinya.
Tubuh Mangun Sarkoro bergerak –gerak perlahan. Kemudian gerakan itu terhenti. Mbah Jumingan memperkeras bacaan –bacaan anehnya. Sepasang bola mata Mangun Sarkoro tiba –tiba berputar – putar dengan liar. Tanpa sadar, Hartono merapatkan tubuh ke punggung Mbah Jumingan. Nyalinya lumer seketika.
" Sekarang ".
Tiba –tiba Mbah Jumingan berteriak kencang
Hartono tersentak kaget.
“ Apa Mbah?”
“ Air itu ke dadanya! Percikan sekarang!”
Hartono nampak ragu –ragu untuk memasukkan tangannya ke dalam baskom air itu. Panas terasa menggigit. Lalu diberanikan dirinya untuk menyiduk air dengan tenagnnya. Lantas dipercikkan ke arah dada Mangun Sarkoro. Terdengar pekikan mengerikan dari arah mulut Mangun Sarkoro. Matanya membelalak. Bibir keriputnya terbuka semakin lebar, mengeluarkan suara terengah –engah.
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh”
Hartono tersurut mundur.
Angin malam berhembus masuk semakin banyak, terdengar suara rimbunan bambu bergesek –gesekan di halaman samping. Sayup –sayup kepak sayap burung malam berhamburan dari atas pohon. Disusul lolongan anjing lirih di kejauhan. Ketika suara –suara itu reda Hartono mulai bisa bernafas lega. Tapi itu hanya sebentar. Sekejap terdengar langkah – langkah pelan kaki –kaki kecil yang mungkin jumlahnya lebih dari satu pasang itu. Awalnya suara itu pelan hanya melangkah saja. Akan tetapi lama –lama terdengar seperti berlarian dan menuju ke arah kamar Mangun Sarkoro. Disertai suara memanggil –manggil.
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
Suara itu riuh rendah seperti bergema dari lubang –lubang kegelapan. Suara derap lari kaki –kaki itu makin dekat. Hartono menahan nafasnya. Suara itu seperti ada di dalam kamar itu. Akan tetapi secuil pun dia tidak melihat mahkluk lain. Selain Mbah Jumingan dan bapaknya yang terkapar di ranjang tengah bergelut dengan maut.
Mbah Jumingan yang duduk bersila di ujung tempat tidur menggeram.
“ Sebutkan permintaan mu? “
Lengan Mangun Sarkoro terangkat ke atas. Tepat menunjuk ke arah Hartono.
Dari mulutnya bergumam suara aneh yang terputus- putus.
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh ”
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh ”
Lalu lengan itu terjatuh di tempat tidur, lunglai. Mulut itu ternganga diam. Tidak terdengar lagi gumaman – gumaman aneh. Kecuali, desah nafas berat yang menggidikkan. Mbah Jumingan masih bergoncang –goncang badannya. Matanya terpejam rapat. Keringat bercampur darah membersit di wajahnya. Lutut Hartono goyah. Perasaan bercampur aduk. Antara sedih, takut dan cemas menjadi satu. Mbah Jumingan menarik paksa tangan Hartono.
“ Mendekat kemari!”
Hartono tercekat. Sesaat secara naluri di bantahnya tangan itu. Akan tetapi, sepert ada kekuatan gaib yang mencnegkeram lalu mendorongnya berjalan ke depan. Ke arah ranjang bapaknya yang terkapar.
" Lukai tangan mu "
Mbah Jumingan berteriak lantang sambil mengangsurkan pecahan beling yang masih berserakan di lantai. Hartono masih termangu mematung.
" Lakukan cepat. Sekarang!"
Entah karena ketakutan atau dorongan suara gaib. Hartono menggenggam potongan beling itu dengan tangan kanannya. Ia mengernyit sedikit. Saat rasa perih menyergap syaraf –syarafnya. Perlahan lelehan darah berwarna merah merembes dari sela jari – jemarinya yang tergenggam. Menetes perlahan di atas dada dan lambung serta beberapa memercik ke mulut Mangun Sarkoro yang menganga lebar. Leher Mangun Sarkoro bergerak –gerak, bibir keriput itupun ikut bergerak. Seakan –akan menikmati minuman lezat yang telah ditunggunya sekian lama.
Setelah itu Hartono jatuh terduduk berlutut. Kedua kakinya berasa lemas seperti tidak ada tulang yang menyangga tubuh. Hartono melihat tubuh bapaknya tang terbaring di ranjang diam tidak bergerak –gerak lagi. Kelopak matanya tertutup rapat. Mulut yang tadi menganga juga tertkunci rapat. Tidak ada lagi desah nafas berat tersendat –sendat. Suara langkah –langkah berlarian bocah –bocah serta tangisan aneh tidak terdengar lagi.
Mangun Sarkoro telah benar –benar meninggal dunia. Tenang dan diam untuk selama –lamanya.
Marni terhenyak mundur sambil menutupi mulut dengan tangan menahan mual yang menyerang ganas perutnya. Tanpa sengaja sikunya menyenggol gelas yang ada diatas meja. Gelas pecah berkerontangan di lantai. Belingnya tercerai –berai kemana – mana. Marni lalu keluar dari kamar itu. Tak lama kemudian terdengar suaranya muntah - muntah di kamar mandi.
Mbah Jumingan menggeleng –gelengkan kepalanya.
“ Sudah terlambat “.
Ia berbisik parau.
Hartono mengangguk pelan.
" Berikan aku sebaskom air ".
Segera Hartono bergegas ke belakang. Mengambil air di gentong lalu mengisikannya di baskom yang ukurannya tidak terlalu besar. Saat dirinya sampai di kamar itu lagi dilihatnya pakaian bapaknya telah dirapikan lagi. Mbah Jumingan lantas bersimpuh di dekat kaki tempat tidur. Sebuah kalung dengan untaian kayu cendana di keluarkan dari balik bajunya. Lalu dengan perlahan dimasukkannya ke dalam baskom yang berisi air. Sesaat, permukaan air seperti mendidih, menggelegak lalu diam. Sontak wangi cendana memenuhi ruangan itu. Bercampur dengan bau busuk.
Mbah Jumingan mengeluarkan kalimat –kalimat aneh. Seperti igauan bocah tatkala ngelindur di tengah malam. Di antara suaranya yang aneh, butir keringat sebesar biji jagung menetes keluar dari pori –pori kulit di wajahnya. Tak berapa lama kemudian Mbah Jumingan menyudahi ritualnya.
“ Ambil baskom air ini. Kalau ku perintahkan percikan air ke lambung bapak mu, percikanlah segera. Dan jangan berdiri jauh –jau. Berdirilah tepat di belakang ku “.
Hartono berdiri di belakang Mbah Jumingan sembari membawa baskom berisi air tadi. Dari situ terlihat tubuh terbaring lemah Mangun Sarkoro. Bola matanya tidak bergerak. Hanya menatap tajam langsung ke arah Mbah Jumingan yang telah kembali berkomat –kamit mulutnya. Bau aroma cendana yang wangi menekan bau busuk yang keluar dari mulut keriput Mangun Sarkoro.
Udara malam yang dingin menerobos masuk melalui ventilasi. Hartono menggigil, bukan karena kedinginan. Tetapi karena ketakutan. Tubuh Mbah Jumingan yang ada di depan Hartono tergoncang –goncang selama membaca mantera. Dan perlahan buakn hanya keringat yang menetes di pori –pori kulit orang tua bungkuk itu. Tetapi juga darah segar merembes keluar dari lubang hidungnya.
“ Percikan air itu!”
Mbah Jumingan berteriak lantang.
Hartono menggengam air di dalam baskom. Terperanjat ketika air itu berasa panas dan mendidih. Ditariknya tangan itu. Lalu dipandangi kuatir kalau –kalau melepuh. Ternyata tangan itu masih utuh. Tidak ada luka atau bengkak merah disana.
“ Percikkan!”
Mbah Jumingan berteriak tambah kepayahan. Nafasnya tersengal -sengal.
Hartono memercikkan tetesan air itu ke arah dada bapaknya. Terdengar suara berdesir yang aneh. Seperti menyiram air di atas bara yang panas. Asap putih menebal membumbung tinggi menyentuh langi –langit kamar. Kemudian berpendar terbawa angin. Beberapa kali Hartono menelan ludah. Mencoba mengurangi ketegangan yang ada di dalam dirinya.
Tubuh Mangun Sarkoro bergerak –gerak perlahan. Kemudian gerakan itu terhenti. Mbah Jumingan memperkeras bacaan –bacaan anehnya. Sepasang bola mata Mangun Sarkoro tiba –tiba berputar – putar dengan liar. Tanpa sadar, Hartono merapatkan tubuh ke punggung Mbah Jumingan. Nyalinya lumer seketika.
" Sekarang ".
Tiba –tiba Mbah Jumingan berteriak kencang
Hartono tersentak kaget.
“ Apa Mbah?”
“ Air itu ke dadanya! Percikan sekarang!”
Hartono nampak ragu –ragu untuk memasukkan tangannya ke dalam baskom air itu. Panas terasa menggigit. Lalu diberanikan dirinya untuk menyiduk air dengan tenagnnya. Lantas dipercikkan ke arah dada Mangun Sarkoro. Terdengar pekikan mengerikan dari arah mulut Mangun Sarkoro. Matanya membelalak. Bibir keriputnya terbuka semakin lebar, mengeluarkan suara terengah –engah.
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh”
Hartono tersurut mundur.
Angin malam berhembus masuk semakin banyak, terdengar suara rimbunan bambu bergesek –gesekan di halaman samping. Sayup –sayup kepak sayap burung malam berhamburan dari atas pohon. Disusul lolongan anjing lirih di kejauhan. Ketika suara –suara itu reda Hartono mulai bisa bernafas lega. Tapi itu hanya sebentar. Sekejap terdengar langkah – langkah pelan kaki –kaki kecil yang mungkin jumlahnya lebih dari satu pasang itu. Awalnya suara itu pelan hanya melangkah saja. Akan tetapi lama –lama terdengar seperti berlarian dan menuju ke arah kamar Mangun Sarkoro. Disertai suara memanggil –manggil.
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
“ Bapak ... bapak ... bapak...”
Suara itu riuh rendah seperti bergema dari lubang –lubang kegelapan. Suara derap lari kaki –kaki itu makin dekat. Hartono menahan nafasnya. Suara itu seperti ada di dalam kamar itu. Akan tetapi secuil pun dia tidak melihat mahkluk lain. Selain Mbah Jumingan dan bapaknya yang terkapar di ranjang tengah bergelut dengan maut.
Mbah Jumingan yang duduk bersila di ujung tempat tidur menggeram.
“ Sebutkan permintaan mu? “
Lengan Mangun Sarkoro terangkat ke atas. Tepat menunjuk ke arah Hartono.
Dari mulutnya bergumam suara aneh yang terputus- putus.
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh ”
“ ... aagghhhh ... aagghhhh ... aagghhhh ”
Lalu lengan itu terjatuh di tempat tidur, lunglai. Mulut itu ternganga diam. Tidak terdengar lagi gumaman – gumaman aneh. Kecuali, desah nafas berat yang menggidikkan. Mbah Jumingan masih bergoncang –goncang badannya. Matanya terpejam rapat. Keringat bercampur darah membersit di wajahnya. Lutut Hartono goyah. Perasaan bercampur aduk. Antara sedih, takut dan cemas menjadi satu. Mbah Jumingan menarik paksa tangan Hartono.
“ Mendekat kemari!”
Hartono tercekat. Sesaat secara naluri di bantahnya tangan itu. Akan tetapi, sepert ada kekuatan gaib yang mencnegkeram lalu mendorongnya berjalan ke depan. Ke arah ranjang bapaknya yang terkapar.
" Lukai tangan mu "
Mbah Jumingan berteriak lantang sambil mengangsurkan pecahan beling yang masih berserakan di lantai. Hartono masih termangu mematung.
" Lakukan cepat. Sekarang!"
Entah karena ketakutan atau dorongan suara gaib. Hartono menggenggam potongan beling itu dengan tangan kanannya. Ia mengernyit sedikit. Saat rasa perih menyergap syaraf –syarafnya. Perlahan lelehan darah berwarna merah merembes dari sela jari – jemarinya yang tergenggam. Menetes perlahan di atas dada dan lambung serta beberapa memercik ke mulut Mangun Sarkoro yang menganga lebar. Leher Mangun Sarkoro bergerak –gerak, bibir keriput itupun ikut bergerak. Seakan –akan menikmati minuman lezat yang telah ditunggunya sekian lama.
Setelah itu Hartono jatuh terduduk berlutut. Kedua kakinya berasa lemas seperti tidak ada tulang yang menyangga tubuh. Hartono melihat tubuh bapaknya tang terbaring di ranjang diam tidak bergerak –gerak lagi. Kelopak matanya tertutup rapat. Mulut yang tadi menganga juga tertkunci rapat. Tidak ada lagi desah nafas berat tersendat –sendat. Suara langkah –langkah berlarian bocah –bocah serta tangisan aneh tidak terdengar lagi.
Mangun Sarkoro telah benar –benar meninggal dunia. Tenang dan diam untuk selama –lamanya.
BERSAMBUNG DULU YAA.....
Diubah oleh breaking182 06-05-2018 09:56
mincli69 dan knoopy memberi reputasi
3
Kutip
Balas