- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#193
Quote:
Quote:
Di ujung tapal batas desa Padas Lintang yang hampir tepat berada di kaki gunung Merapi, tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, tampak berdiri sebuah bangunan bertiang bambu hutan, beratap belarak dan dindingnya terbuat dari batang – batang pohon serta ditutupi dengan kulit kayu yang sudah mengering agar angin dingin tidak menerobos ke dalam rumah.
Lampu minyak yang menempel di dinding kayu serambi depan tampak meliuk –liuk diterpa angin gunung. Seorang lelaki tua masih kelihatan duduk-duduk di atas lincak atau bale – bale dari bambu. Lelaki tua itu memakai pakaian serba hitam. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Kepala depan hampir licin tidak ada rambt yang tumbuh disana tetapi kepala bagian belakang rambut memutih terjurah panjang. Mukanya cekung, berjanggut dan berkumis lebat berwarna kelabu. Di sela –sela bibir yang menghitam terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. Di pipi kirinya terdapat sodetan bekas luka. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar berwarna hitam.
Hartono tampak ragu –ragu untuk melangkahkan kaki ke arah pondok bambu itu.
Tiba –tiba kakek tua itu beranjak dari tempat duduknya dan berseru.
" Anak muda, jangan sungkan masuk ke pondok ini. Daripada termangu di luaran dikerubuti nyamuk dan membeku kedinginan. Ayo, kemarilah... "
Mendengar si kakek berseru. Hartono memepercepat langkahnya menuju ke arah pondok.
" Duduk dulu di sini anak muda. Siapa nama mu? "
Orang tua itu bertanya.
" Hartono mbah, saya jauh –jauh datang dari pegunungan seribu Wonosari untuk menemui simbah. Saya sangat yakin kalau yang sekrang berdiri di hadapan saya ini Mbah Dipo. Dukun tersohor yang mampu membantu kesulitan banyak orang" .
Orang tua itu terkekeh mendengar sanjungan Hartono.
" Apa maksud kedatang mu kesini Hartono. Muka mu terlihat kuyu, gelap dan beku. Seperti ada kesulitan, amarah dan dendam di ke dua bola mata mu ".
" Saya ingin jadi orang yang kaya raya Mbah, agar dihormati orang, disegani lawan dan yang pasti punya pengaruh di desa tempat asal saya tinggal ".
Mbah Dipo kembali terkekeh, lalu diletakkan pipa yang sedari tadi masih terselip di bibirnya.
" Itu hal yang mudah Hartono. Caranya juga mudah, mungkin dengan hitungan hari kau akan jadi konglongmerat di desa mu. Cuma..... "
Mbah Dipo menghentikan kata –katanya
" Cuma apa Mbah? Katakan? Saya harus bayar berapa? Kalau sekarang sya belum punya uang, sepeserpun belum punya. Tapi saya janji, jika saya jadi kaya nanti akan saya bayar berapapun nominalnya ".
Mbah Dipo, menggelengkan kepalanya.
" Bukan uang, aku tidak butuh uang mu Hartono. Cuma syarat yang harus kau penuhi sangat berat. Puja siluman ular yang bersemayam di gunung Merapi, ikat perjanjian dengan siluman itu lalu korban kan orang yang paling kau sayangi. Bisa istri mu atau anak mu. Kau siap?! "
Hartono tercekat, harus mengorbankan orang yang disayangi. Istri atau anak ku harus dikorbankan?! Harus setega itukah aku?! Ada perang batin di diri Hartono. Karena hati sudah kalap, nalar dan jalan pikiran sudah buntu. Dengan menguatkan hati Hartono mengangguk.
" Saya siap Mbah, siap dengan segala resiko nya. Asal saya bisa jadi orang yang kaya raya ".
Mbah Dipo tampak manggut –manggut.
" Kalau hati mu sudah mantap pantang untuk kau ingkari. Besok pagi aku antar kau ke lereng gunung. Ingat aku hanya mengantar sampai di situ saja. Naiklah sendiri ke atas sampai di hutan Rekso Pratolo. Cari goa batu yang di kanan kirinya ada pohon beringin kembar di punggung gunung sebelah barat. Masuk dan besemadilah di sana. Sekarang kau masuk lah ke dalam ada bilik kosong di belakang. Istirahatlah ".
Malam beranjak pelan semakin larut. Sesekali kilat terlihat di cakrawala. Rintik hujan mulai turun. Lereng gunung Merapi diselimuti kesunyian.
Kawasan hutan Rekso Pratolo di kaki barat sampai ke lereng dan punggung Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya tak pernah ada penduduk sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya. Jangankan manusia, binatangpun boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di sekitar situ. Kata orang hutan Rekso Pratolo adalah sarang segala macam mahluk halus. Pada siang hari di kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara lolongan anjing, bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa cekikikan membuat siapa saja yang mendengarnya bisa lari tunggang langgang. Ada pula yang mengatakan bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara jeritan-jeritan seperti orang disiksa. Lalu juga ada tangisan bayi! Malam hari tentu saja keangkeran di tempat itu jangan disebut lagi.
Hartono berjalan setengah merangkak mendaki lereng gunung yang licin karena habis diguyur hujan deras. Suasana masih redup dan gelap ditambah kabut mulai turun membatasi pandangan mata.
" Cari goa batu itu yang terletak di punggung barat Gunung Merapi, tersamar di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar di kanan kirinya ada pohon beringin kembar tidak bergitu besar. Masuk ke dalam goa itu, lalu bersemadi lah di atas batu pipih berwarna hijau. Kalau kamu memiliki tekad yang kuat paling lama tujuh hari. Sesosok wanita cantik bertubuh ular besar akan menemui mu. Saat itu lah perjanjian akan di ikrarkan dan kau harus siap menerima resiko dan tanggung jawabnya. Kalo di hati mu masih ada ragu. Jangan harap kau bisa keluar dari goa batu itu hidup - hidup. Kamu pasti akan menjadi bangkai dan kepala mu akan dijadikan ganjal tiang neraka. Kau sudah siap Hartono ? "
Hartono diam – diam bergidik mendengar penjelasan Mbah Dipo malam tadi. Akan tetapi dia kuat – kuatkan hati untuk terus melanjutkan maksudnya. Apapun itu resikonya. Hati dan nalarnya telah buntu dan dikuasai dendam dan kekecewaan pada sang pecinta jagad atas segala cobaan yang dirasanya sangat berat dan tidak adil.
Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung! Tanah yang dipijak Hartono oleng keras nyaris membuat terpelanting jatuh. Hartono yang punya pengalaman sedikit mendaki gunung semasa kuliah segera mencari tempat yang rada datar. Dia sadar musti menjauhi lereng terjal ini karena pohon disekitarnya kecil-kecil. Kemungkinan besar tidak akan bisa menahan tanah kalau terjadi longsor.
Goncangan berhenti lalu terdengar Sayup -sayup terdengar suara lolongan anjing dari dalam hutan.
“ Eh, apakah aku ini sudah sampai di hutan Rekso Pratolo…..? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan hawanya pengap. Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau seperti kembang busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon besar itu tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar….”
Selagi Hartono membatin tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritan-jeritan mengerikan ditimpali dengan suara riuh rendah tertawa cekikan berkepanjangan.
“ Gila! Siapa yang menjerit seperti itu? Siapa yang cekikikan seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah sana. Sepertinya lebih dari satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia tapi…..”
Hartono tidak teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan pohon-pohon besar yang membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia coba memperhatikan.
“Aku harus segera mencari goa batu yang dimaksud Mbah Dipo. Aku yakin sekali ini hutan Rekso Pratolo”.
Waktu Hartono melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon, tak sengaja dilihatnya dua pohon beringin kembar yang berdiri bersisihan. Di kanan dan di kiri, jarak antara ke dua pohon beringin ini sekitar lima langkah kaki orang dewasa. Ditengah pohon itu tanaman perdu merambat membentuk seperti tirai menutupi sesuatu yang ada dibelakangnya. Hartono menyeruak di antara semak-semak lalu masuk ke dalam yang ternyata menganga sebuah mulut goa batu yang tingginya sekitar satu setengah meter. Sehingga Hartono harus membungkuk – bungkuk untuk masuk ke dalam. Tak lama kemudian sampailah di ujung goa tersebut. Sebuah ruangan yang luas dan lega. Di tengah ruangan batu pipih berwarna kehijauan seperti menyala redup. Tercium semerbak harum bunga kamboja. Hartono menuju ke tengah ruangan kemudian duduk bersila di atas batu pipih hijau. Kedua tangan disilangkan di dada, mata terpejam rapat. Hartono mulai larut dalam semedi mencoba menembus alam astral untuk melakukan perjanjian dengan siluman ular.
Lampu minyak yang menempel di dinding kayu serambi depan tampak meliuk –liuk diterpa angin gunung. Seorang lelaki tua masih kelihatan duduk-duduk di atas lincak atau bale – bale dari bambu. Lelaki tua itu memakai pakaian serba hitam. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Kepala depan hampir licin tidak ada rambt yang tumbuh disana tetapi kepala bagian belakang rambut memutih terjurah panjang. Mukanya cekung, berjanggut dan berkumis lebat berwarna kelabu. Di sela –sela bibir yang menghitam terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. Di pipi kirinya terdapat sodetan bekas luka. Pada masing-masing lengannya terdapat tiga buah gelang akar bahar berwarna hitam.
Hartono tampak ragu –ragu untuk melangkahkan kaki ke arah pondok bambu itu.
Tiba –tiba kakek tua itu beranjak dari tempat duduknya dan berseru.
" Anak muda, jangan sungkan masuk ke pondok ini. Daripada termangu di luaran dikerubuti nyamuk dan membeku kedinginan. Ayo, kemarilah... "
Mendengar si kakek berseru. Hartono memepercepat langkahnya menuju ke arah pondok.
" Duduk dulu di sini anak muda. Siapa nama mu? "
Orang tua itu bertanya.
" Hartono mbah, saya jauh –jauh datang dari pegunungan seribu Wonosari untuk menemui simbah. Saya sangat yakin kalau yang sekrang berdiri di hadapan saya ini Mbah Dipo. Dukun tersohor yang mampu membantu kesulitan banyak orang" .
Orang tua itu terkekeh mendengar sanjungan Hartono.
" Apa maksud kedatang mu kesini Hartono. Muka mu terlihat kuyu, gelap dan beku. Seperti ada kesulitan, amarah dan dendam di ke dua bola mata mu ".
" Saya ingin jadi orang yang kaya raya Mbah, agar dihormati orang, disegani lawan dan yang pasti punya pengaruh di desa tempat asal saya tinggal ".
Mbah Dipo kembali terkekeh, lalu diletakkan pipa yang sedari tadi masih terselip di bibirnya.
" Itu hal yang mudah Hartono. Caranya juga mudah, mungkin dengan hitungan hari kau akan jadi konglongmerat di desa mu. Cuma..... "
Mbah Dipo menghentikan kata –katanya
" Cuma apa Mbah? Katakan? Saya harus bayar berapa? Kalau sekarang sya belum punya uang, sepeserpun belum punya. Tapi saya janji, jika saya jadi kaya nanti akan saya bayar berapapun nominalnya ".
Mbah Dipo, menggelengkan kepalanya.
" Bukan uang, aku tidak butuh uang mu Hartono. Cuma syarat yang harus kau penuhi sangat berat. Puja siluman ular yang bersemayam di gunung Merapi, ikat perjanjian dengan siluman itu lalu korban kan orang yang paling kau sayangi. Bisa istri mu atau anak mu. Kau siap?! "
Hartono tercekat, harus mengorbankan orang yang disayangi. Istri atau anak ku harus dikorbankan?! Harus setega itukah aku?! Ada perang batin di diri Hartono. Karena hati sudah kalap, nalar dan jalan pikiran sudah buntu. Dengan menguatkan hati Hartono mengangguk.
" Saya siap Mbah, siap dengan segala resiko nya. Asal saya bisa jadi orang yang kaya raya ".
Mbah Dipo tampak manggut –manggut.
" Kalau hati mu sudah mantap pantang untuk kau ingkari. Besok pagi aku antar kau ke lereng gunung. Ingat aku hanya mengantar sampai di situ saja. Naiklah sendiri ke atas sampai di hutan Rekso Pratolo. Cari goa batu yang di kanan kirinya ada pohon beringin kembar di punggung gunung sebelah barat. Masuk dan besemadilah di sana. Sekarang kau masuk lah ke dalam ada bilik kosong di belakang. Istirahatlah ".
Malam beranjak pelan semakin larut. Sesekali kilat terlihat di cakrawala. Rintik hujan mulai turun. Lereng gunung Merapi diselimuti kesunyian.
Kawasan hutan Rekso Pratolo di kaki barat sampai ke lereng dan punggung Gunung Merapi terkenal angker. Itu sebabnya tak pernah ada penduduk sekitar situ berani mendekati apa lagi masuk ke dalamnya. Jangankan manusia, binatangpun boleh dikatakan jarang kelihtan berkeliaran di sekitar situ. Kata orang hutan Rekso Pratolo adalah sarang segala macam mahluk halus. Pada siang hari di kawasan hutan yang selalu redup itu sering terdengar suara lolongan anjing, bernada aneh panjang menggidikkan. Terkadang ada suara tawa cekikikan membuat siapa saja yang mendengarnya bisa lari tunggang langgang. Ada pula yang mengatakan bahwa dalam rimba belantara itu sering terdengar suara jeritan-jeritan seperti orang disiksa. Lalu juga ada tangisan bayi! Malam hari tentu saja keangkeran di tempat itu jangan disebut lagi.
Hartono berjalan setengah merangkak mendaki lereng gunung yang licin karena habis diguyur hujan deras. Suasana masih redup dan gelap ditambah kabut mulai turun membatasi pandangan mata.
" Cari goa batu itu yang terletak di punggung barat Gunung Merapi, tersamar di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar di kanan kirinya ada pohon beringin kembar tidak bergitu besar. Masuk ke dalam goa itu, lalu bersemadi lah di atas batu pipih berwarna hijau. Kalau kamu memiliki tekad yang kuat paling lama tujuh hari. Sesosok wanita cantik bertubuh ular besar akan menemui mu. Saat itu lah perjanjian akan di ikrarkan dan kau harus siap menerima resiko dan tanggung jawabnya. Kalo di hati mu masih ada ragu. Jangan harap kau bisa keluar dari goa batu itu hidup - hidup. Kamu pasti akan menjadi bangkai dan kepala mu akan dijadikan ganjal tiang neraka. Kau sudah siap Hartono ? "
Hartono diam – diam bergidik mendengar penjelasan Mbah Dipo malam tadi. Akan tetapi dia kuat – kuatkan hati untuk terus melanjutkan maksudnya. Apapun itu resikonya. Hati dan nalarnya telah buntu dan dikuasai dendam dan kekecewaan pada sang pecinta jagad atas segala cobaan yang dirasanya sangat berat dan tidak adil.
Tiba-tiba ada suara menggemuruh. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras. Pada puncaknya suara menggemuruh itu tidak beda dengan suara runtuhnya sebuah gunung! Tanah yang dipijak Hartono oleng keras nyaris membuat terpelanting jatuh. Hartono yang punya pengalaman sedikit mendaki gunung semasa kuliah segera mencari tempat yang rada datar. Dia sadar musti menjauhi lereng terjal ini karena pohon disekitarnya kecil-kecil. Kemungkinan besar tidak akan bisa menahan tanah kalau terjadi longsor.
Goncangan berhenti lalu terdengar Sayup -sayup terdengar suara lolongan anjing dari dalam hutan.
“ Eh, apakah aku ini sudah sampai di hutan Rekso Pratolo…..? Keadaan di sini serba aneh. Udara redup dan hawanya pengap. Tapi mengapa aku mendadak keluarkan keringat dingin? Ada bau seperti kembang busuk. Tapi kulihat tak satu pohonpun ada bunganya! Pohon-pohon besar itu tumbuhnya aneh. Berjajar dekat-dekat seperti pagar….”
Selagi Hartono membatin tiba-tiba kesunyian dirobek oleh suara jeritan-jeritan mengerikan ditimpali dengan suara riuh rendah tertawa cekikan berkepanjangan.
“ Gila! Siapa yang menjerit seperti itu? Siapa yang cekikikan seperti itu? Datangnya dari kejauhan di sebelah sana. Sepertinya lebih dari satu orang. Jangan-jangan itu bukan jeritan manusia tapi…..”
Hartono tidak teruskan ucapannya. Dia melangkah sepanjang deretan pohon-pohon besar yang membentuk pagar. Di setiap celah antara dua pohon dia coba memperhatikan.
“Aku harus segera mencari goa batu yang dimaksud Mbah Dipo. Aku yakin sekali ini hutan Rekso Pratolo”.
Waktu Hartono melangkah untuk lewat di antara celah dua buah pohon, tak sengaja dilihatnya dua pohon beringin kembar yang berdiri bersisihan. Di kanan dan di kiri, jarak antara ke dua pohon beringin ini sekitar lima langkah kaki orang dewasa. Ditengah pohon itu tanaman perdu merambat membentuk seperti tirai menutupi sesuatu yang ada dibelakangnya. Hartono menyeruak di antara semak-semak lalu masuk ke dalam yang ternyata menganga sebuah mulut goa batu yang tingginya sekitar satu setengah meter. Sehingga Hartono harus membungkuk – bungkuk untuk masuk ke dalam. Tak lama kemudian sampailah di ujung goa tersebut. Sebuah ruangan yang luas dan lega. Di tengah ruangan batu pipih berwarna kehijauan seperti menyala redup. Tercium semerbak harum bunga kamboja. Hartono menuju ke tengah ruangan kemudian duduk bersila di atas batu pipih hijau. Kedua tangan disilangkan di dada, mata terpejam rapat. Hartono mulai larut dalam semedi mencoba menembus alam astral untuk melakukan perjanjian dengan siluman ular.
Quote:
Hartono...Hartono... bukalah matamu. Buka matamu.." suara sayup –sayup itu seperti terdengar memanggil nama ku. Tapi tidak bukankah aku sedang di atas gunung di dalam goa ?!
"Buka matamu Hartono..buka matamu.."
Suara itu semakin jelas. Hartono serta merta membuka matanya. Dan yang dilihatnya membuat matanya terbelalak. Dihadapannya kini tiba –tiba terpampang bukit yang tinggi dengan undak –undakan mengitari badan bukit sampai ke puncaknya.
"Ikuti undakan itu Hartono, ikuti sampai ke atas. Aku menunggu mu di atas. Jangan takut ".
Suara itu pelan dan halus. Jelaslah suara seorang perempuan. Pelan – pelan dengan hati yang diliputi tanda tanya Hartono mulai manaiki undak –undakan tersebut. Semakin tingi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Dalam jarak belasan tombak terdapat sebuah obor untuk menerangi jalan kecil yang mendaki itu. Sepanjang jalan terdengar sayup –sayup suara gamelan. Sampai di bagian atas bukit, kadaannya berubah sekali. Sebuah tempat berukuran puluhan bahkan mungkin ratusan tombak persegi diterangi dengan obor serta lampu-lampu lampion. Puluhan perempuan yang rata-rata masih muda-muda bertebaran di mana-mana. Ada yang duduk-duduk berkelompok-kelompok ada juga yang berjalan-jalan berkawan-kawan. Bau wewangian menebar hampir di seluruh pelosok, termasuk wewangian yang dipakai oleh perempuan - perempuan itu. Di kejauhan, di puncak bukit bagian paling atas kelihatan sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo.
“Bangunan itu…. Apakah aku harus kesana sesuai perintah suara perempuan misterius itu….?”
Menduga Hartono dalam hati.
Ketika Hartono hendak melangkah pergi satu tangan memegang lengannya. Bau harum menyambar hidungnya. Hartono berpaling. Seorang perempuan muda berwajah bulat dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya tersenyum padanya. Dada kebaya birunya sangat terbuka hingga bagian atas payudaranya yang putih dan menggembung terlihat jelas.
" Ikuti aku "
Gadis berkebaya biru itu berkata pada Hartono. Hartono serta merta menaiki tangga lalu mengikuti gadis baju biru ke arah bangunan joglo besar yang berada di puncak bukit. Setelah melewati tirai hijau yang terbuka. Di balik tirai ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan warna hijau muda dan biru laut yang indah. Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut hitam berkilat yang dibiarkan tergerai. Sepasang matanya bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian hijau pupus atau hijau muda yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata. Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan gelang yang berderet-deret sampai ke dekat siku. Yang menarik ialah sebuah permata sebesar ujung ibu jari yang melekat di pertengahan keningnya, seolah-olah membenam dan jadi satu dengan kulit dan daging keningnya.
Ketika melihat Hartono masuk diiringi gadis baju biru, perempuan di atas pembaringan bangkit dan duduk bersandar pada sebuah bantal besar. Gadis berpakaian biru menjura penuh hormat. Setelah menghormat gadis ini tinggalkan ruangan. Kini tinggal Hartono dan perempuan di atas pembaringan di tempat itu.
"Hartono…!" perempuan jelita bermahkota di atas pembaringan memanggil nama Hartono.
" Darimana perempuan itu tahu nama ku ", Hartono berbisik dalam hati.
"Aku sudah melihat kemunculanmu tadi sejak kau di kaki gunung Merapi bersama si tua bangka Dipo Wongso. Aku Ratu penguasa gunung Merapi ini, nama asli ku Endang Cuwiri tetapi orang – orang biasa menyebutku Nyi Blorong. Apakah benar tekad mu untuk menjadi abdi ku, memuja ku dan menuruti semua perintah ku?"
" Benar Sri Ratu " , jawab Hartono dengan mantap.
" Bagi abdi – abdi ku yang setia sudah barang tentu ada imbalan untuk mereka semua ".
Nyi Blorong tersenyum misterius.
" Apa yang akan kau persembahkan sebagai tanda sumpah setia mu kepada ku Hartono? "
Hartono terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Nyi Blorong. Sekejap kemudian Hartono berkata.
" Hamba akan menyerahkan anak perempuan bungsu kepada Sri Ratu "
Nyi Blorong tertawa.
" Bagus Hartono, kamu abdi baru ku yang setia". Aku lega sekarang. Berarti kita harus merayakan dengan pesta besar, makan makanan yang enak…"
Nyi Blorong menepukan tangannya dua kali. Tirai hijau terbuka. Gadis berbaju biru tadi masuk, membungkuk hormat lalu meletakkan nampan besar di atas meja berukir indah di pojok ruangan. Dua butir degan atau kelapa muda yang sudah dipangkas ujungnya mengeluarkan aroma wangi menggugah selera. Setelah menunduk hormat gadis berbaju biru itu kembali keluar dari ruangan.
" Silahkan dimakan hidangan diatas meja itu Hartono. Jangan ragu – ragu ".
Hartono berjalan ke arah nampan perak yang masih tertutup di atas meja. Duduk di kursi empuk yang juga berwarna hijau, lalu tangan kanannya membuka tutup nampan perak. Terlihat ayam matang satu ekor berwarna coklat mengeluarkan aroma yang sangat lezat. Air liur Hartono serasa akan menetes. Sudah hampir dua tahun dia tidak merasakan lagi nikmatnya daging ayam.
" Ayo Hartono dimakan jamuan ku, aku tahu kau sangat lapar ".
Tanpa tunggu lama Hartono mencabut paha ayam itu, tiba –tiba di telinganya terdengar jerit kesakitan Witri anak bungsunya yang berumur lima tahun. Hartono sempat menghentikan kunyahannya. Suara itu tak terdengar, dilanjutkan kunyahan pada daging ayam paha tadi. Dan kembali terdengar jeritan anaknya seperti sedang menerima siksaan yang maha dasyat. Hati Hartono telah gelap. Diacuhkan suara- suara itu, lalu dicabutnya kepala ayam. Kembali terdengar suara anak nya menjerit setinggi langit. Kemudian suara itu lenyap. Hartono akhirnya menghabiskan satu ekor ayam ingkung itu sendirian dengan rakusnya.
Nyi Blorong hanya memandangi Hartono yang masih menjilati jari –jari tangan yang belepotan bumbu dari ayam hidangan tadi. Lidah berdecap –decap merasakan nikmat yang teramat sangat. Kelapa muda yang ada dihadapannya juga ditenggaknya sampai habis airnya.
" Hartono buah kelapa yang satu itu punya ku jangan kau habis kan semua. Ayo bawa ke sini. Ke atas pembaringan ini ".
Nyi Blorong berkata dengan manja. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hartono berjalan pelan menuju ke ranjang dimana Nyi Blorong tengah setengah berbaring.
" Air kelapa muda itu sangat nikmat. Bahkan aku bisa mencium aroma wanginya. Minumkan ke mulut ku melalui mulut mu Hartono ".
Hartono menenggak sedikit air kelapa yang ada di tangannya, menyimpan di rongga mulut. Kemudian lelaki itu mendekatkan bibirnya ke arah bibir Nyi Blorong. Bibir kecil merekah itu terbuka saat Hartono memagutnya. Mulutnya terbuka sedikit, lalu air kelapa muda itu sedikit demi sedikit masuk ke dalam mulut Nyi Blorong. Aroma tubuh Nyi Blorong yang wangi dan ganjil tercium cuping hidung Hartono. Wangi itu menimbulkan desir –desir aneh. Darah lelakinya bergejolak.
Perempuan jelmaan itu tiba –tiba beranjak melangkah dan duduk di tepi tempat tidur besar. Dia menggerakkan bahunya sedikit maka baju sutera hijau yang dikenakannya melorot ke bawah, tertahan sebentar di lekukan atas sepasang payudaranya yang kencang, baru melorot jatuh ke bawah. Hartono merasakan matanya seperti silau melihat pemandanagan yang luar biasa itu. Ditubruknya tubah tanpa sehelai benang itu. Bagai ular yang menggelung mangsanya Hartono membelit tubuh telanjang Nyi Blorong.
"Buka matamu Hartono..buka matamu.."
Suara itu semakin jelas. Hartono serta merta membuka matanya. Dan yang dilihatnya membuat matanya terbelalak. Dihadapannya kini tiba –tiba terpampang bukit yang tinggi dengan undak –undakan mengitari badan bukit sampai ke puncaknya.
"Ikuti undakan itu Hartono, ikuti sampai ke atas. Aku menunggu mu di atas. Jangan takut ".
Suara itu pelan dan halus. Jelaslah suara seorang perempuan. Pelan – pelan dengan hati yang diliputi tanda tanya Hartono mulai manaiki undak –undakan tersebut. Semakin tingi ke atas bukit semakin dingin terasa udara. Dalam jarak belasan tombak terdapat sebuah obor untuk menerangi jalan kecil yang mendaki itu. Sepanjang jalan terdengar sayup –sayup suara gamelan. Sampai di bagian atas bukit, kadaannya berubah sekali. Sebuah tempat berukuran puluhan bahkan mungkin ratusan tombak persegi diterangi dengan obor serta lampu-lampu lampion. Puluhan perempuan yang rata-rata masih muda-muda bertebaran di mana-mana. Ada yang duduk-duduk berkelompok-kelompok ada juga yang berjalan-jalan berkawan-kawan. Bau wewangian menebar hampir di seluruh pelosok, termasuk wewangian yang dipakai oleh perempuan - perempuan itu. Di kejauhan, di puncak bukit bagian paling atas kelihatan sebuah bangunan besar yang memiliki beberapa atap-atap tinggi berbentuk joglo.
“Bangunan itu…. Apakah aku harus kesana sesuai perintah suara perempuan misterius itu….?”
Menduga Hartono dalam hati.
Ketika Hartono hendak melangkah pergi satu tangan memegang lengannya. Bau harum menyambar hidungnya. Hartono berpaling. Seorang perempuan muda berwajah bulat dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya tersenyum padanya. Dada kebaya birunya sangat terbuka hingga bagian atas payudaranya yang putih dan menggembung terlihat jelas.
" Ikuti aku "
Gadis berkebaya biru itu berkata pada Hartono. Hartono serta merta menaiki tangga lalu mengikuti gadis baju biru ke arah bangunan joglo besar yang berada di puncak bukit. Setelah melewati tirai hijau yang terbuka. Di balik tirai ternyata ada satu ruangan besar yang luar biasa bagusnya. Seluruh dinding dilukis dengan warna hijau muda dan biru laut yang indah. Di salah satu sudut terletak sebuah pembaringan dan di atas pembaringan ini bergolek seorang perempuan muda berwajah sungguh rupawan.
Kulitnya kuning langsat. Dia memiliki rambut hitam berkilat yang dibiarkan tergerai. Sepasang matanya bening tapi menyorotkan pandangan tajam. Perempuan ini mengenakan pakaian hijau pupus atau hijau muda yang tipis dan di atas kepalanya ada sebuah mahkota emas bertaburan batu-batu permata. Kedua lengannya dihiasi dengan kumpulan gelang yang berderet-deret sampai ke dekat siku. Yang menarik ialah sebuah permata sebesar ujung ibu jari yang melekat di pertengahan keningnya, seolah-olah membenam dan jadi satu dengan kulit dan daging keningnya.
Ketika melihat Hartono masuk diiringi gadis baju biru, perempuan di atas pembaringan bangkit dan duduk bersandar pada sebuah bantal besar. Gadis berpakaian biru menjura penuh hormat. Setelah menghormat gadis ini tinggalkan ruangan. Kini tinggal Hartono dan perempuan di atas pembaringan di tempat itu.
"Hartono…!" perempuan jelita bermahkota di atas pembaringan memanggil nama Hartono.
" Darimana perempuan itu tahu nama ku ", Hartono berbisik dalam hati.
"Aku sudah melihat kemunculanmu tadi sejak kau di kaki gunung Merapi bersama si tua bangka Dipo Wongso. Aku Ratu penguasa gunung Merapi ini, nama asli ku Endang Cuwiri tetapi orang – orang biasa menyebutku Nyi Blorong. Apakah benar tekad mu untuk menjadi abdi ku, memuja ku dan menuruti semua perintah ku?"
" Benar Sri Ratu " , jawab Hartono dengan mantap.
" Bagi abdi – abdi ku yang setia sudah barang tentu ada imbalan untuk mereka semua ".
Nyi Blorong tersenyum misterius.
" Apa yang akan kau persembahkan sebagai tanda sumpah setia mu kepada ku Hartono? "
Hartono terdiam mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Nyi Blorong. Sekejap kemudian Hartono berkata.
" Hamba akan menyerahkan anak perempuan bungsu kepada Sri Ratu "
Nyi Blorong tertawa.
" Bagus Hartono, kamu abdi baru ku yang setia". Aku lega sekarang. Berarti kita harus merayakan dengan pesta besar, makan makanan yang enak…"
Nyi Blorong menepukan tangannya dua kali. Tirai hijau terbuka. Gadis berbaju biru tadi masuk, membungkuk hormat lalu meletakkan nampan besar di atas meja berukir indah di pojok ruangan. Dua butir degan atau kelapa muda yang sudah dipangkas ujungnya mengeluarkan aroma wangi menggugah selera. Setelah menunduk hormat gadis berbaju biru itu kembali keluar dari ruangan.
" Silahkan dimakan hidangan diatas meja itu Hartono. Jangan ragu – ragu ".
Hartono berjalan ke arah nampan perak yang masih tertutup di atas meja. Duduk di kursi empuk yang juga berwarna hijau, lalu tangan kanannya membuka tutup nampan perak. Terlihat ayam matang satu ekor berwarna coklat mengeluarkan aroma yang sangat lezat. Air liur Hartono serasa akan menetes. Sudah hampir dua tahun dia tidak merasakan lagi nikmatnya daging ayam.
" Ayo Hartono dimakan jamuan ku, aku tahu kau sangat lapar ".
Tanpa tunggu lama Hartono mencabut paha ayam itu, tiba –tiba di telinganya terdengar jerit kesakitan Witri anak bungsunya yang berumur lima tahun. Hartono sempat menghentikan kunyahannya. Suara itu tak terdengar, dilanjutkan kunyahan pada daging ayam paha tadi. Dan kembali terdengar jeritan anaknya seperti sedang menerima siksaan yang maha dasyat. Hati Hartono telah gelap. Diacuhkan suara- suara itu, lalu dicabutnya kepala ayam. Kembali terdengar suara anak nya menjerit setinggi langit. Kemudian suara itu lenyap. Hartono akhirnya menghabiskan satu ekor ayam ingkung itu sendirian dengan rakusnya.
Nyi Blorong hanya memandangi Hartono yang masih menjilati jari –jari tangan yang belepotan bumbu dari ayam hidangan tadi. Lidah berdecap –decap merasakan nikmat yang teramat sangat. Kelapa muda yang ada dihadapannya juga ditenggaknya sampai habis airnya.
" Hartono buah kelapa yang satu itu punya ku jangan kau habis kan semua. Ayo bawa ke sini. Ke atas pembaringan ini ".
Nyi Blorong berkata dengan manja. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Hartono berjalan pelan menuju ke ranjang dimana Nyi Blorong tengah setengah berbaring.
" Air kelapa muda itu sangat nikmat. Bahkan aku bisa mencium aroma wanginya. Minumkan ke mulut ku melalui mulut mu Hartono ".
Hartono menenggak sedikit air kelapa yang ada di tangannya, menyimpan di rongga mulut. Kemudian lelaki itu mendekatkan bibirnya ke arah bibir Nyi Blorong. Bibir kecil merekah itu terbuka saat Hartono memagutnya. Mulutnya terbuka sedikit, lalu air kelapa muda itu sedikit demi sedikit masuk ke dalam mulut Nyi Blorong. Aroma tubuh Nyi Blorong yang wangi dan ganjil tercium cuping hidung Hartono. Wangi itu menimbulkan desir –desir aneh. Darah lelakinya bergejolak.
Perempuan jelmaan itu tiba –tiba beranjak melangkah dan duduk di tepi tempat tidur besar. Dia menggerakkan bahunya sedikit maka baju sutera hijau yang dikenakannya melorot ke bawah, tertahan sebentar di lekukan atas sepasang payudaranya yang kencang, baru melorot jatuh ke bawah. Hartono merasakan matanya seperti silau melihat pemandanagan yang luar biasa itu. Ditubruknya tubah tanpa sehelai benang itu. Bagai ular yang menggelung mangsanya Hartono membelit tubuh telanjang Nyi Blorong.
To be continue
Diubah oleh breaking182 24-02-2018 06:47
1980decade dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup