- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:

INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 13:16
itkgid dan 41 lainnya memberi reputasi
40
255.5K
Kutip
809
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#175
Quote:

Quote:
Di lereng pegunungan sewu Wonosari udara menjelang Subuh dingin mencucuk. Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun pepohonan tertiup angin yang datang dari arah pegunungan. Tanah berlumpur dan becek sisa hujan deras tadi malam. Di kejauhan terdengar suara serangga dan sesekali lolong anjing bersahut-sahutan. Di antara desau angin malam dan gemerisik suara daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking lolongan anjing, dari arah selatan lembah pegunungan sewu terdengar gemeretak suara roda-roda pedati mengiringi derap kaki - kaki dua sapi yang menariknya.
Dalam kegelapan pagi, sebuah kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor sapi penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari kain hitam. Baju surjan batik yang tidak dikancing tersibak ditiup angin, membuat dadanya tersingkap.
Sementara di belakang sais nampak duduk selonjor seorang laki – laki memakai kemeja berwarna hitam. Badan orang itu bergoyang – goyan mengikuti alur roda pedati yang melindas tanah berlumpur dan bebatuan kapur.
" Pagi –pagi buta begini mau kemana kamu Har? "
Pak tua sais pedati itu membuka percakapan.
" Mau ke Muntilan Mbah, ketempat saudara. Ketempat mbakyu saya. Sudah lama tidak dikunjungi ".
Laki –laki itu yang ternyata Hartono menjawab pertanyaan si sais pedati yang bernama Mbah Gito.
"Nasibmu tidak beruntung, Har. Sejak Kang Mangun Sarkoro mangkat keadaan desa ini juga tidak menentu. Begundal juragan Sentiko sering kali melakukan perbuatan seenak jidat mereka "
"Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita semua."
Mbah Gito menoleh lalu tersenyum pedih.
"Ini cobaan berat. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan menjadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Gusti Allah mengambil begitu cepat orang-orang baik seperti bapak mu. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan kekejaman tiada taranya..."
Mbah Gito menarik nafas dalam.
Setelah beberapa lama bergoyang – goyang di dalam pedati sampailah di pinggir jalan beraspal yang ramai lalu lalang kendaraan.
" Mbah Gito, saya berhenti disini saja. Bus jurusan Jogja lewat sini. Jadi tidak perlu ke terminal. Terimakasih Mbah Gito. Saya pergi dulu ".
Hartono turun dari pedati, lalu melambaikan tangan pada Mbah Gito.
" Selamat jalan Mbah "
" Selamat jalan juga Har, jaga diri mu baik –baik.. "
Mbah Gito tersenyum, lalu membedal sapinya agar berjalan lebih cepat. Pedati itu perlahan lahan bergerak menjauh, lalu hilang di tikungan jalan.
Dalam kegelapan pagi, sebuah kereta, laksana kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang mengendalikan dua ekor sapi penarik kereta agaknya sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan ikatan kepala tebal dari kain hitam. Baju surjan batik yang tidak dikancing tersibak ditiup angin, membuat dadanya tersingkap.
Sementara di belakang sais nampak duduk selonjor seorang laki – laki memakai kemeja berwarna hitam. Badan orang itu bergoyang – goyan mengikuti alur roda pedati yang melindas tanah berlumpur dan bebatuan kapur.
" Pagi –pagi buta begini mau kemana kamu Har? "
Pak tua sais pedati itu membuka percakapan.
" Mau ke Muntilan Mbah, ketempat saudara. Ketempat mbakyu saya. Sudah lama tidak dikunjungi ".
Laki –laki itu yang ternyata Hartono menjawab pertanyaan si sais pedati yang bernama Mbah Gito.
"Nasibmu tidak beruntung, Har. Sejak Kang Mangun Sarkoro mangkat keadaan desa ini juga tidak menentu. Begundal juragan Sentiko sering kali melakukan perbuatan seenak jidat mereka "
"Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita semua."
Mbah Gito menoleh lalu tersenyum pedih.
"Ini cobaan berat. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan menjadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Gusti Allah mengambil begitu cepat orang-orang baik seperti bapak mu. Sementara manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan kekejaman tiada taranya..."
Mbah Gito menarik nafas dalam.
Setelah beberapa lama bergoyang – goyang di dalam pedati sampailah di pinggir jalan beraspal yang ramai lalu lalang kendaraan.
" Mbah Gito, saya berhenti disini saja. Bus jurusan Jogja lewat sini. Jadi tidak perlu ke terminal. Terimakasih Mbah Gito. Saya pergi dulu ".
Hartono turun dari pedati, lalu melambaikan tangan pada Mbah Gito.
" Selamat jalan Mbah "
" Selamat jalan juga Har, jaga diri mu baik –baik.. "
Mbah Gito tersenyum, lalu membedal sapinya agar berjalan lebih cepat. Pedati itu perlahan lahan bergerak menjauh, lalu hilang di tikungan jalan.
Quote:
Lalu lintas di jalan Jogja Magelang padat sekali. Hartono duduk di bangku panjang halte di depan pintu keluar bus antar kota antar provinsi umtuk sekedar beristirahat. Siang itu cuaca agak mendung. Akan tetapi udara masih terasa panas. Hartono sesekali mengusap peluh di keningnya dengan ujung kemeja lengan panjangnya. Terlihat Semua orang termasuk para pengemudi kendaraan berusaha secepat mungkin untuk sampai ke tujuan masing – masing sebelum hujan turun. Akibatnya kemacetan mulai terjadi di beberapa persimpangan. Kecuali motor, kendaraan lain hanya mampu bergerak seperti merangkak. Sebuah angkot kecil bergerak tersendat - sendat, berusaha menyelinap di antara kepadatan lalu lintas. Di depan terminal kendaraan ini tak bisa lagi maju. Pengemudi angkot tampak kesal. Lalu memencet klakson berulang – ulang.
Hartono menghirup air mineral kemasan yang ada di tangan kanannya sesekali menghela nafas panjang.
" Terpaksa jalan kaki dari sini sampai desa Tawang untuk sampai di rumah mbakyu Prapti. Tidak mungkin naik ojek, uang ku sudah habis tidak bersisa sepeser pun untuk membeli air minum daripada aku mati tercekik rasa haus . "
Kemudian Hartono mulai melangkahkan kaki meninggalkan halte bus berjalan ke arah barat ke desa Tawang.
Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat ketika Hartono memasuki gerbang desa Tawang. Letih dan penat berbaur menjadi satu. Udara di tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon-pohon besar yang masih bisa tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan yang rindang, membuat keadaan sekitar situ terasa lebih dingin. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi batu-batu kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara binatang malam mulai berdendang. Hartono jongkok di tepi sungai lalu membasuh wajahnya dengan air sungai yang jernih dan sejuk. Kemudian Hartono duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai.
Rumah joglo yang berada ditengah perkampungan di sebelah barat lereng gunung Merapi tampak sedikit sunyi dan temaram karena lampu lima watt yang menggantung di tengah serambi depan. Tanaman rambat mengeliling sekeliling rumah joglo itu sebagai pagar hidup. Hartono berjalan gontai menuju ke pintu rumah joglo itu.
" Assalamualaikum..... " Hartono mengucap salam sembari mengetuk pintu kayu jati yang ada ukiran burung garuda ditengahnya.
" Walaikumsalam...... " sahutan terdengar dari dalam rumah diikuti dengan suara langkah kaki untuk membukakan pintu.
Dari balik pintu terlihat seorang paruh baya berbadan bongsor dan memakai daster warna biru. Wajahnya yang berminyak nampak sedikit terkejut melihat Hartono.
" Har, darimana ini tiba – tiba datang mengunjungi mbakyu mu ini. Lalu perempuan gemuk itu memeluk Hartono.
" Ayo silahkan duduk dulu, sebentar aku buatkan minum dulu ".
" Tidak usah mbakyu, jangan repot –repot ".
Wanita gendut yang ternyata Mbakyu Prapti tidak menghiraukan perkataan Hartono. Lalu bergegas masuk ke dalam lagi. Hartono duduk di kursi rotan yang ada di serambi depan, sesekali pandangannya di buang ke arah ujung jalan. Melihat orang tua, muda dan beberapa anak sedang pulang dari masjid selesai menunaikan ibadah sholat Maghrib.
Tidak lama berselang, Mbakyu Prapti berjalan ke depan sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan makanan kecil.
" Ayo di ciicpi dulu kopi nya, gimana kabar Marni dan anak –anak di Wonosari ".
Mbakyu Prapti mengawali pembicaraan.
" Sehat mbakyu, semua sehat... " kata Hartono sembari menyeruput kopi dalam cangkirnya.
" Oh ya, dimana kang Tejo dan anak –anak. Sepi sekali rumah seperti tidak ada penghuni ".
" Kakang mu sedang ada tugas ngurusi proyek jalan aspal di beberapa titik di Jogja. Kalau si Moko dan Putri sudah dua tahun ini tinggal di Jogja kuliah disana".
Hartono menghirup air mineral kemasan yang ada di tangan kanannya sesekali menghela nafas panjang.
" Terpaksa jalan kaki dari sini sampai desa Tawang untuk sampai di rumah mbakyu Prapti. Tidak mungkin naik ojek, uang ku sudah habis tidak bersisa sepeser pun untuk membeli air minum daripada aku mati tercekik rasa haus . "
Kemudian Hartono mulai melangkahkan kaki meninggalkan halte bus berjalan ke arah barat ke desa Tawang.
Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat ketika Hartono memasuki gerbang desa Tawang. Letih dan penat berbaur menjadi satu. Udara di tikungan sungai kecil yang airnya hampir kering sejuk sekali. Pohon-pohon besar yang masih bisa tumbuh cukup subur karena dekat air memiliki dedaunan yang rindang, membuat keadaan sekitar situ terasa lebih dingin. Air sungai yang jernih tampak dangkal. Dasar sungai yang dilapisi batu-batu kecil terlihat dengan jelas. Di kejauhan terdengar suara binatang malam mulai berdendang. Hartono jongkok di tepi sungai lalu membasuh wajahnya dengan air sungai yang jernih dan sejuk. Kemudian Hartono duduk menyandarkan punggungnya ke batu besar di tepi sungai.
Rumah joglo yang berada ditengah perkampungan di sebelah barat lereng gunung Merapi tampak sedikit sunyi dan temaram karena lampu lima watt yang menggantung di tengah serambi depan. Tanaman rambat mengeliling sekeliling rumah joglo itu sebagai pagar hidup. Hartono berjalan gontai menuju ke pintu rumah joglo itu.
" Assalamualaikum..... " Hartono mengucap salam sembari mengetuk pintu kayu jati yang ada ukiran burung garuda ditengahnya.
" Walaikumsalam...... " sahutan terdengar dari dalam rumah diikuti dengan suara langkah kaki untuk membukakan pintu.
Dari balik pintu terlihat seorang paruh baya berbadan bongsor dan memakai daster warna biru. Wajahnya yang berminyak nampak sedikit terkejut melihat Hartono.
" Har, darimana ini tiba – tiba datang mengunjungi mbakyu mu ini. Lalu perempuan gemuk itu memeluk Hartono.
" Ayo silahkan duduk dulu, sebentar aku buatkan minum dulu ".
" Tidak usah mbakyu, jangan repot –repot ".
Wanita gendut yang ternyata Mbakyu Prapti tidak menghiraukan perkataan Hartono. Lalu bergegas masuk ke dalam lagi. Hartono duduk di kursi rotan yang ada di serambi depan, sesekali pandangannya di buang ke arah ujung jalan. Melihat orang tua, muda dan beberapa anak sedang pulang dari masjid selesai menunaikan ibadah sholat Maghrib.
Tidak lama berselang, Mbakyu Prapti berjalan ke depan sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan makanan kecil.
" Ayo di ciicpi dulu kopi nya, gimana kabar Marni dan anak –anak di Wonosari ".
Mbakyu Prapti mengawali pembicaraan.
" Sehat mbakyu, semua sehat... " kata Hartono sembari menyeruput kopi dalam cangkirnya.
" Oh ya, dimana kang Tejo dan anak –anak. Sepi sekali rumah seperti tidak ada penghuni ".
" Kakang mu sedang ada tugas ngurusi proyek jalan aspal di beberapa titik di Jogja. Kalau si Moko dan Putri sudah dua tahun ini tinggal di Jogja kuliah disana".
Quote:
Beberapa lama kedua saudara kakak adik ini terlibat pembicaraan ngalor –ngidul. Wajah Hartono terlihat gelisah. Dia tiba –tiba sungkan dan tidak mampu membuka mulutnya untuk minta bantuan pada Mbakyu nya itu. Terngiang – ngiang perkataan Marni tempo hari.
" Duit lima puluh juta itu banyak Mas, apa iya Mbak Prapti mau membantu kamu, membantu kita memberi pinjaman untuk melunasi hutang kita pada juragan Sentiko? "
Sekian lamanya Hartono terdiam dan merenung.
Prapti lalu menegurnya.
" Kenapa Har, apa yang kamu pikirkan? Sepertinya sedang mengalami masalah yang berat? "
Hartono sesaat terhenyak sebentar, setelah mampu menguasai diri. Dia menghela nafas panjang.
" Begini mbakyu, maksud kedatangan saya berkunjung ke Tawang mengunjungi mbakyu ada dua maksud dan tujuan. Yang pertama silaturahmi, sudah hampir tiga tahun sejak kematian Bapak kita tidak pernah bertemu dan yang kedua terus terang...... "
Hartono tidak mampu melanjutkan kata –katanya. Kalimatnya seperti tercekat di tenggorokan.
" Ada apa Har, katakan saja. Aku ini mbakyu kandung mu. Jangan sungkan".
" Yang kedua saya minta tolong mbak, sejak kepergian Bapak dan dipecatnya saya dari. Situasi keuangan semakin sulit, hutang ada dimana –mana. Dan yang paling parah terjerat hutang kepada seorang rentenir di desa yang bernama Juragan Sentiko. Lalu Hartono menceritakan perihal tukang pukul anak buah Juragan Sentiko yang telah mengacak – acak rumah dan melakukan penganiayaan terhadap Marni dan Sasongko anak sulungnya. Mbakyu Prapti mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menguyah potongan gethuk goreng yang ada di tangan kanannya.
" Begitulah ceritanya Mbakyu, sampai saat ini saya masih bingung. Tidak tahu lagi musti minta tolong kepada siapa? Hanya keluarga Mbakyu Prapti harapan satu –satu nya ".
Kakak perempuan Hartono itu hanya tertegun terdiam. Diraihnya cangkir berisi kopi yang mulai dingin lalu meneguknya perlahan. Lalu sembari meletakkan cangkir di atas meja dia berkata.
" Uang segitu itu besar Har, terus terang mbakyu tidak bisa membantu. Bukan karena keberatan atau bagaimana? Karena uang sebesar itu mbakyu mu tidak punya. Keadaan disini sekarang juga beda. Mbakyu mu ini harus menyekolahkan dua anak dan itu memerlukan biaya yang besar ".
Kekecewaan tak mampu disembunyikan oleh Hartono.
" Aku tahu kamu kecewa Har, tapi mbakyu mu ini tidak bisa berbuat apa –apa. Hanya saja mungkin oang itu bisa membantu masalah mu.
" Maksud Mbakyu, orang itu siapa...? "
" Dia seorang dukun, paranormal, orang pintar, banyak pejabat dan orang – orang penting yang datang kepadanya. Pejabat yang ingin naik pangkat, orang –orang yang ingin usahanya laris, masalah asmara dan mungkin masalah mu itu bisa terbantu juga ".
" Hah...dukun? Sejak kapan mbakyu tahu hal- hal begituan? ". Hartono bertanya dengan penuh keheranan. Karena sepengetahuan Hartono kakak perempuannya itu seorang yang religius dan jauh dari hal –hal yang bersifat syirik.
" Kang Tejo yang pertama tahu soal dukun itu Har, dan sudah mbakyu buktikan sendiri. Hanya sekali sowan ke tempat dukun itu. Tender kang Tejo banyak yang berhasil, bahkan proyek –proyek besar sekarang ditangani oleh kakang mu itu ".
" Kalau kamu tertarik dan setuju cobalah kamu temui dukun itu, namanya Mbah Dipo. Dia tinggal di lereng gunung Merapi sebelah barat. Di desa Padas Lintang sekitar tiga kilometer dari sini. Aku akan minta tolong Giran untuk mengantarkan mu kesana".
Hartono terdiam. Otaknya berpikir keras. Setelah dirasa tidak ada pilihan lain. Hartono akhirnya menyetujui usul kakak perempuannya itu.
" Baiklah mbakyu, akan saya coba. Malam ini juga saya akan berangkat ke desa Padas Lintang. Saya pamit dulu mbakyu". Hartono segera beranjak bangun dari kursi.
" Sebentar Har, aku panggilkan Giran untuk mengantarkan mu ke desa Padas Lintang ".
Mbakyu Prapti memegang tangan Hartono.
" Tidak usah repot –repot mbakyu.. "
Hartono berusaha menolak.
" Tak apa Har, tak apa... "
Mbakyu Prapti memaksa. Akhirnya Hartono menurut juga. Perempuan gemuk itu lalu berjalan ke luar rumah dan menuju ke samping ke arah sebuah pondok kayu yang berada tidak jauh dari rumahnya. Pondok kayu kecil itu sengaja dibangun untuk Giran, pembantu keluarga mbakyu Prapti yang telah mengabdi sejak usianya belasan tahun.
" Giran.. Giran..kamu sudah tidur? "
Panggil mbakyu Prapti sembari mengetuk pintu.
" Belum Bu, saya belum tidur ".
Dari balik pintu yang terbuka tampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahunan keluar memakai sarung dan berkaos putih yang warnanya mulai memudar.
" Ada apa Bu Prapti, ada yang bisa saya bantu ".
" Antar adik ku ke desa Padas Lintang sekarang juga ".
" Oh Mas Hartono kesini toh? Iya Bu Prapti, sebentar saya ganti baju dulu ".
" Buruan ganti bajunya agar tidak kemalaman di jalan ".
Mbakyu Prapti meninggalkan Giran yang masih ada di ambang pintu. Tanpa menjawab pertanyaan dari Giran. Menuju ke serambi depan tempat Hartono yang masih duduk menunggu.
" Duit lima puluh juta itu banyak Mas, apa iya Mbak Prapti mau membantu kamu, membantu kita memberi pinjaman untuk melunasi hutang kita pada juragan Sentiko? "
Sekian lamanya Hartono terdiam dan merenung.
Prapti lalu menegurnya.
" Kenapa Har, apa yang kamu pikirkan? Sepertinya sedang mengalami masalah yang berat? "
Hartono sesaat terhenyak sebentar, setelah mampu menguasai diri. Dia menghela nafas panjang.
" Begini mbakyu, maksud kedatangan saya berkunjung ke Tawang mengunjungi mbakyu ada dua maksud dan tujuan. Yang pertama silaturahmi, sudah hampir tiga tahun sejak kematian Bapak kita tidak pernah bertemu dan yang kedua terus terang...... "
Hartono tidak mampu melanjutkan kata –katanya. Kalimatnya seperti tercekat di tenggorokan.
" Ada apa Har, katakan saja. Aku ini mbakyu kandung mu. Jangan sungkan".
" Yang kedua saya minta tolong mbak, sejak kepergian Bapak dan dipecatnya saya dari. Situasi keuangan semakin sulit, hutang ada dimana –mana. Dan yang paling parah terjerat hutang kepada seorang rentenir di desa yang bernama Juragan Sentiko. Lalu Hartono menceritakan perihal tukang pukul anak buah Juragan Sentiko yang telah mengacak – acak rumah dan melakukan penganiayaan terhadap Marni dan Sasongko anak sulungnya. Mbakyu Prapti mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali menguyah potongan gethuk goreng yang ada di tangan kanannya.
" Begitulah ceritanya Mbakyu, sampai saat ini saya masih bingung. Tidak tahu lagi musti minta tolong kepada siapa? Hanya keluarga Mbakyu Prapti harapan satu –satu nya ".
Kakak perempuan Hartono itu hanya tertegun terdiam. Diraihnya cangkir berisi kopi yang mulai dingin lalu meneguknya perlahan. Lalu sembari meletakkan cangkir di atas meja dia berkata.
" Uang segitu itu besar Har, terus terang mbakyu tidak bisa membantu. Bukan karena keberatan atau bagaimana? Karena uang sebesar itu mbakyu mu tidak punya. Keadaan disini sekarang juga beda. Mbakyu mu ini harus menyekolahkan dua anak dan itu memerlukan biaya yang besar ".
Kekecewaan tak mampu disembunyikan oleh Hartono.
" Aku tahu kamu kecewa Har, tapi mbakyu mu ini tidak bisa berbuat apa –apa. Hanya saja mungkin oang itu bisa membantu masalah mu.
" Maksud Mbakyu, orang itu siapa...? "
" Dia seorang dukun, paranormal, orang pintar, banyak pejabat dan orang – orang penting yang datang kepadanya. Pejabat yang ingin naik pangkat, orang –orang yang ingin usahanya laris, masalah asmara dan mungkin masalah mu itu bisa terbantu juga ".
" Hah...dukun? Sejak kapan mbakyu tahu hal- hal begituan? ". Hartono bertanya dengan penuh keheranan. Karena sepengetahuan Hartono kakak perempuannya itu seorang yang religius dan jauh dari hal –hal yang bersifat syirik.
" Kang Tejo yang pertama tahu soal dukun itu Har, dan sudah mbakyu buktikan sendiri. Hanya sekali sowan ke tempat dukun itu. Tender kang Tejo banyak yang berhasil, bahkan proyek –proyek besar sekarang ditangani oleh kakang mu itu ".
" Kalau kamu tertarik dan setuju cobalah kamu temui dukun itu, namanya Mbah Dipo. Dia tinggal di lereng gunung Merapi sebelah barat. Di desa Padas Lintang sekitar tiga kilometer dari sini. Aku akan minta tolong Giran untuk mengantarkan mu kesana".
Hartono terdiam. Otaknya berpikir keras. Setelah dirasa tidak ada pilihan lain. Hartono akhirnya menyetujui usul kakak perempuannya itu.
" Baiklah mbakyu, akan saya coba. Malam ini juga saya akan berangkat ke desa Padas Lintang. Saya pamit dulu mbakyu". Hartono segera beranjak bangun dari kursi.
" Sebentar Har, aku panggilkan Giran untuk mengantarkan mu ke desa Padas Lintang ".
Mbakyu Prapti memegang tangan Hartono.
" Tidak usah repot –repot mbakyu.. "
Hartono berusaha menolak.
" Tak apa Har, tak apa... "
Mbakyu Prapti memaksa. Akhirnya Hartono menurut juga. Perempuan gemuk itu lalu berjalan ke luar rumah dan menuju ke samping ke arah sebuah pondok kayu yang berada tidak jauh dari rumahnya. Pondok kayu kecil itu sengaja dibangun untuk Giran, pembantu keluarga mbakyu Prapti yang telah mengabdi sejak usianya belasan tahun.
" Giran.. Giran..kamu sudah tidur? "
Panggil mbakyu Prapti sembari mengetuk pintu.
" Belum Bu, saya belum tidur ".
Dari balik pintu yang terbuka tampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahunan keluar memakai sarung dan berkaos putih yang warnanya mulai memudar.
" Ada apa Bu Prapti, ada yang bisa saya bantu ".
" Antar adik ku ke desa Padas Lintang sekarang juga ".
" Oh Mas Hartono kesini toh? Iya Bu Prapti, sebentar saya ganti baju dulu ".
" Buruan ganti bajunya agar tidak kemalaman di jalan ".
Mbakyu Prapti meninggalkan Giran yang masih ada di ambang pintu. Tanpa menjawab pertanyaan dari Giran. Menuju ke serambi depan tempat Hartono yang masih duduk menunggu.
Quote:
Desa Padas Lintang merupakan nama sebuah desa yang berada tepat di lereng gunung Merapi sebelah barat. Desa itu tampak tandus jika dibandingkan dengan desa –desa di sekitarnya. Tumbuhan tampak sedikit tumbuh dan mungkin bisa dihitung dengan jari. Jalanan desa tidak rata hanya beruta batu pada atau karang yang menonjol tidak beraturan. Di sela –sela batu padas itu terlihat air yang menggenang seperti tergencet oleh bebatuan. Kono katanya desa Padas Lintang dulunya sebuah telaga kecil yang menjelma jadi sebuah desa karena jatuh batuan dari langit sehingga menutup telaga menjadi sebuah dataran karang. Padas berarti batu cadas atau karang dan Lintang berarti bintang. Desa Padas Lintang hanya dihuni oleh beberapa warga saja, rata –rata mereka pindah karena desa Padas Lintang tidak bisa menghasilkan hasil bumi.
Nyala dua lampu dari mobil Daihatsu Charade keluaran tahun 1981 tampak redup dan berkedip – kedip tidak mampu menembus kegelapan malam.
" Mas Hartono, maaf saya hanya bisa mengantar sampai disini. Soalnya tidak bisa kalau melewati jalanan di desa Padas Lintang. Jalanannya bebatu –batu Rumah mbah Dipo terletak diujung desa hampir tepat di kaki gunung Merapi. Hanya ada satu pondok bambu yang beratap belarak". ( belarak daun kelapa kering yang masih ada di tangkai pohon)
" Tidak jadi apa Giran, aku sudah sangat berterimakasih sekali sudah kamu antar sampai disini ".
" Oh ya, tadi Bu Prapti nitip ini untuk Mas Har"
Giran mengeluarkan amplop putih lalu mengulurkannya ke arah Hartono. Melihat pada bentuk dan ketebalan amplop Hartono tahu amplop itu bukan berisi surat. Kalaupun ada suratnya pasti ada sesuatu yang lain.
" Apa-an ini Giran?" tanya Hartono.
" Wah saya juga tidak tahu isinya. Cuma tadi pas saya ambil mobil di garasi Bu Prapti menitipkan amplop ini untuk diserahkan pada Mas Har " .
Hartono menerima amplop tebal itu.
" Sampaikan ucapan terimakasihku pada Mbakyu Prapti, kalau urusan ku sudah selesai aku akan mengunjunginya ".
Hartono membuka handle pintu mobil, lalu menutupnya.
" Hati –hati dijalan mas Har ".
Giran berbicara sambil mengeluarkan kepalanya dari balik jendela mobil. Daihatsu Charade itu perlahan berbalik arah lalu menghilang dikegelapan, hanya sesekali lampunya terlihat berkerlip.
Seperginya Giran. Hartono merobek salah satu sisi pendek amplop, lalu mengintip isinya. Tidak ada surat, batu atau pasir. Yang terlihat adalah setumpuk lembaran uang puluhan ribu. Masih baru-baru. Sekilas bisa diduga paling tidak jumlahnya sekitar dua ratus ribu.
" Terimakasih mbakyu.. " Hartono berucap lirih.
Nyala dua lampu dari mobil Daihatsu Charade keluaran tahun 1981 tampak redup dan berkedip – kedip tidak mampu menembus kegelapan malam.
" Mas Hartono, maaf saya hanya bisa mengantar sampai disini. Soalnya tidak bisa kalau melewati jalanan di desa Padas Lintang. Jalanannya bebatu –batu Rumah mbah Dipo terletak diujung desa hampir tepat di kaki gunung Merapi. Hanya ada satu pondok bambu yang beratap belarak". ( belarak daun kelapa kering yang masih ada di tangkai pohon)
" Tidak jadi apa Giran, aku sudah sangat berterimakasih sekali sudah kamu antar sampai disini ".
" Oh ya, tadi Bu Prapti nitip ini untuk Mas Har"
Giran mengeluarkan amplop putih lalu mengulurkannya ke arah Hartono. Melihat pada bentuk dan ketebalan amplop Hartono tahu amplop itu bukan berisi surat. Kalaupun ada suratnya pasti ada sesuatu yang lain.
" Apa-an ini Giran?" tanya Hartono.
" Wah saya juga tidak tahu isinya. Cuma tadi pas saya ambil mobil di garasi Bu Prapti menitipkan amplop ini untuk diserahkan pada Mas Har " .
Hartono menerima amplop tebal itu.
" Sampaikan ucapan terimakasihku pada Mbakyu Prapti, kalau urusan ku sudah selesai aku akan mengunjunginya ".
Hartono membuka handle pintu mobil, lalu menutupnya.
" Hati –hati dijalan mas Har ".
Giran berbicara sambil mengeluarkan kepalanya dari balik jendela mobil. Daihatsu Charade itu perlahan berbalik arah lalu menghilang dikegelapan, hanya sesekali lampunya terlihat berkerlip.
Seperginya Giran. Hartono merobek salah satu sisi pendek amplop, lalu mengintip isinya. Tidak ada surat, batu atau pasir. Yang terlihat adalah setumpuk lembaran uang puluhan ribu. Masih baru-baru. Sekilas bisa diduga paling tidak jumlahnya sekitar dua ratus ribu.
" Terimakasih mbakyu.. " Hartono berucap lirih.
To be continue
Quote:
Diubah oleh breaking182 26-02-2018 06:38
1980decade dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas
Tutup