- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#163
NYI BLORONG
Quote:
PROLOG
Quote:
Nyi Blorong merupakan sosok legenda Indonesia yang berwujud wanita cantik, bertubuh manusia dari pinggang ke atas, dan berwujud ular dari pinggang ke bawah. Ada beberapa versi yang menyebutkan mahkluk ini menghuni pedataran gunung Merapi ada juga yang mengatakan Nyi Blorong tinggal di kawasan pantai selatan. Nyi Blorong tak hanya dikenal akan kecantikan, tapi juga bisa membuat manusia menjadi kaya raya. Namun, untuk itu harus ada imbalan atau tumbal dalam ritual pesugihan itu. Bagi para pemuja pesugihan Blorong, jika mereka berhasil melakukan persekutuan maka harus menyiapkan kamar kosong sebagai tempat untuk melakukan pemujaan. Di kamar ini Blorong akan menjalin hubungan badan dengan pemilik pesugihan untuk mengikat jiwanya. Setiap malam purnama sang pemilik juga harus menyediakan tumbal nyawa. Pada saat awal melakukan perjanjian, pemilik pesugihan Nyi Blorong sudah melakukan kesepakatan menumbalkan salah seorang anggota keluarganya yang paling dicintainya.
Namun setelah tumbal yang pertama, pemilik pesugihan bisa melepas Nyi Blorong mencari tumbalnya sendiri. Biasanya diletakkan di jalan raya yang tak jauh dari jembatan sungai. Dampak dari adanya Nyi Blorong di jalan raya tersebut maka jalan raya akan menjadi rawan kecelakaan.
Selain memasang tumbal di jalan raya, pemilik pesugihan juga bisa menandai orang lain untuk tumbal Nyi Blorong. Orang yang akan dijadikan tumbal oleh pemilik pesugihan biasanya memperoleh banyak pemberian. Tidak hanya uang dan makanan, tetapi harta benda juga diberikan. Pemberian ini sebagai tanda untuk Nyii Blorong, nyawa seseorang yang akan dijadikan tumbal pesugihan untuk mendatangkan kekayaan secara instan, Cerita yang saya tulis kali ini akan bercerita seorang anak manusia yang tersesat dalam kegelapan karena himpitan hidup sehingga lupa bahwa ada dzat yang lebih tinggi dari apapun yang bisa dimintai tolong yaitu, dzat sang maha kuasa pemberi kehidupan semua mahkluk diseantero dunia.
Namun setelah tumbal yang pertama, pemilik pesugihan bisa melepas Nyi Blorong mencari tumbalnya sendiri. Biasanya diletakkan di jalan raya yang tak jauh dari jembatan sungai. Dampak dari adanya Nyi Blorong di jalan raya tersebut maka jalan raya akan menjadi rawan kecelakaan.
Selain memasang tumbal di jalan raya, pemilik pesugihan juga bisa menandai orang lain untuk tumbal Nyi Blorong. Orang yang akan dijadikan tumbal oleh pemilik pesugihan biasanya memperoleh banyak pemberian. Tidak hanya uang dan makanan, tetapi harta benda juga diberikan. Pemberian ini sebagai tanda untuk Nyii Blorong, nyawa seseorang yang akan dijadikan tumbal pesugihan untuk mendatangkan kekayaan secara instan, Cerita yang saya tulis kali ini akan bercerita seorang anak manusia yang tersesat dalam kegelapan karena himpitan hidup sehingga lupa bahwa ada dzat yang lebih tinggi dari apapun yang bisa dimintai tolong yaitu, dzat sang maha kuasa pemberi kehidupan semua mahkluk diseantero dunia.
Quote:
Hujan lebat menggebrak bumi. Guntur menggelegar berkepanjangan. Kilat sambar menyambar. Saat itu baru lepas tengah hari. Tapi hujan lebat, gumpalan awan menghitam membuat suasana seperti dicengkeram gulitanya malam. Dua orang berhenti di kaki gunung Merapi sebelah barat yang merupakan bukit berbatu-batu hampir tanpa pepohonan. Suasana tampak gersang meski tengah dihajar hujan yang mencurah sangat deras dari langit. Kaki gunung dicekam kesunyian aneh di tengah hujan yang mengguyur. Sesekali terlihat kilat menyambar dan suara geledek menggelegar merobek gendang telinga. Suara tiupan angin di kejauhan, bergaung di sela bebatuan.
Orang yang memakai kemeja hitam lusuh yang telah kuyup kena air hujan mengangkat kepala memandang ke arah puncak gunung Merapi. Kabut tipis yang sedari tadi berbondong – bondong turun dari puncak gunung nampak membungkus sudut – sudut Gunung Merapi.
Diam-diam orang yang memakai kemeja hitam lusuh itu merasakan adanya keangkeran tersembunyi di Gunung Merapi itu.
" Hartono, aku hanya mengantarmu sampai di sini."
Yang berkata adalah kakek bertelanjang dada bercelana komprang warna hitam dan memakai caping bambu. Pada wajahnya sebelah kiri pipi nya ada cacat bekas luka yang sangat besar dan tak sedap untuk dipandang.
" Kenapa tidak terus sampai ke puncak gunung sana?"
tanya Hartono tanpa mengalihkan pandangan kedua matanya dari puncak Gunung Merapi.
Si kakek menggeleng.
"Bukankah kita sudah berjanji?" ujar si kakek yang bernama Mbah Dipo.
"Kuantar kau sejauh ini sampai kemari tanpa upah tanpa imbalan. Semua demi membantu mu agar kau lepas dari masalah yang sedang kau hadapi. Ingat itu Hartono. "
" Sulit bagiku untuk menerangkan padamu. Kau telah berani datang ke mari dan memikirkan segala resiko yang kelak akan kau terima. Bahkan hendak naik ke puncak gunung ini. Kau akan menemui makhluk itu dan mengikat janji dengan jaminan nyawa keluarga dan nyawamu sendiri. Jika kau tidak yakin dan ingin mengurungkan niat mu. Lakukan sekarang mumpung kau belum ada di puncak. Jangan sampai sudah di puncak kau tidak yakin. Sama saja kau hanya mengantar nyawa, mati sia – sia dan menjadi bangkai. "
" Aku yakin dan seyakin – yakinnya untuk menempuh jalan ini. Penghinaan orang – orang desa Sambirejo harus dibalas. "
Orang yang bernama Hartono mukanya merah padam dan giginya gemeretakan menahan amarah setelah berbicara seperti itu.
" Hartono, sebetulnya aku kasihan padamu. Terus terang aku yakin kau akan kembali ke kaki
gunung ini dengan keadaan yang lain dari dirimu sekarang. "
" Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata Hartono sembari balikkan tubuh dan berjalan mendaki ke arah puncak gunung Merapi meninggalkan Mbah Dipo yang masih memandangi kepergian Hartono, sampai punggung orang itu lenyap ditelan rerimbunan pohon.
Orang yang memakai kemeja hitam lusuh yang telah kuyup kena air hujan mengangkat kepala memandang ke arah puncak gunung Merapi. Kabut tipis yang sedari tadi berbondong – bondong turun dari puncak gunung nampak membungkus sudut – sudut Gunung Merapi.
Diam-diam orang yang memakai kemeja hitam lusuh itu merasakan adanya keangkeran tersembunyi di Gunung Merapi itu.
" Hartono, aku hanya mengantarmu sampai di sini."
Yang berkata adalah kakek bertelanjang dada bercelana komprang warna hitam dan memakai caping bambu. Pada wajahnya sebelah kiri pipi nya ada cacat bekas luka yang sangat besar dan tak sedap untuk dipandang.
" Kenapa tidak terus sampai ke puncak gunung sana?"
tanya Hartono tanpa mengalihkan pandangan kedua matanya dari puncak Gunung Merapi.
Si kakek menggeleng.
"Bukankah kita sudah berjanji?" ujar si kakek yang bernama Mbah Dipo.
"Kuantar kau sejauh ini sampai kemari tanpa upah tanpa imbalan. Semua demi membantu mu agar kau lepas dari masalah yang sedang kau hadapi. Ingat itu Hartono. "
" Sulit bagiku untuk menerangkan padamu. Kau telah berani datang ke mari dan memikirkan segala resiko yang kelak akan kau terima. Bahkan hendak naik ke puncak gunung ini. Kau akan menemui makhluk itu dan mengikat janji dengan jaminan nyawa keluarga dan nyawamu sendiri. Jika kau tidak yakin dan ingin mengurungkan niat mu. Lakukan sekarang mumpung kau belum ada di puncak. Jangan sampai sudah di puncak kau tidak yakin. Sama saja kau hanya mengantar nyawa, mati sia – sia dan menjadi bangkai. "
" Aku yakin dan seyakin – yakinnya untuk menempuh jalan ini. Penghinaan orang – orang desa Sambirejo harus dibalas. "
Orang yang bernama Hartono mukanya merah padam dan giginya gemeretakan menahan amarah setelah berbicara seperti itu.
" Hartono, sebetulnya aku kasihan padamu. Terus terang aku yakin kau akan kembali ke kaki
gunung ini dengan keadaan yang lain dari dirimu sekarang. "
" Kalau begitu kau boleh pergi sekarang," kata Hartono sembari balikkan tubuh dan berjalan mendaki ke arah puncak gunung Merapi meninggalkan Mbah Dipo yang masih memandangi kepergian Hartono, sampai punggung orang itu lenyap ditelan rerimbunan pohon.
Quote:
Desa Sambirejo merupakan desa berhawa sejuk yang berada di kawasan pegunungan seribu Gunung Kidul. Kebanyakan penduduknya hidup dari bercocok tanam. Sebagian besar sawah ladang yang ada di desa itu adalah milik juragan Sentiko, bekas seorang pejabat tinggi di pemerintahan yang kini berusia hampir tujuh puluh tahun. Meskipun sudah lanjut usia begitu juragan Sentiko masih kelihatan gagah dan kukuh. Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk walaupun kalau berjalan dia selalu dibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnya telah memutih seperti kapas. Juragan Sentiko merupakan penduduk pendatang yang berasal dari daerah Ambarawa.
Di samping rumah megah dan besar kediaman juragan Sentiko, terdapat sebuah halaman luas yang ditumbuhi pohon sawo kecik dan jambu dersana di tiap – tiap sudut halaman. Terdengar deru suara mobil berhenti di depan regol pintu gerbang kediaman juragan Sentiko. Dari mobil Toyota Hardtop berwarna hitam itu keluar dua orang lelaki. Di sebelah depan adalah seorang lelaki berkaos oblong dan memakai celana jaenas yang dekilnya tidak berbeda jauh dengan kaos yang dikenakannya, berusia sekitar 40 tahun. Rambutnya yang gondrong tampak ditutup dengan kain hitam. Sementara berewok meranggas dan tidak beraturan tambah membuat mukanya menjadi angker. Di belakangnya mengikuti lelaki tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri serta memiliki gigi sedikit tonggos memakai jaket dan di kepalanya ada topi pet berwarna hitam. Mereka berdua adalah Baroto dan Daldiri. Anak buah dari Juragan Sentiko.
Seorang lelaki paruh baya berbadan kurus segera meletakkan sapu ijuk yang sedang dipegangnya lalu tergopoh – gopoh membukakan pintu regol yang masih terkunci.
" Maaf Den Baroto dan Mas Daldiri pintu gerbang belum saya buka. "
Kata si lelaki paruh baya berbadan kurus itu yang ternyata bernama Parman.
Baroto dan Daldiri hanya diam tidak menjawab perkataan Parman, lalu mereka berdua masuk ke dalam pekarangan Juragan Sentiko. Di teras depan tampak Juragan Sentiko duduk di kursi rotan berwarna kecoklatan. Di samping kanan dan kiri nya duduk dua orang wanita yang usianya masih tergolong muda. Pakaian mereka yang bagus dan panjang melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Mereka berdua ini adalah istri – istri dari juragan Sentiko yang memakai baju merah dan duduk disamping kanan nya bernama Kuntini. Dan yang sedang duduk di sebelah kiri tampak sedang mengaduk kopi dalam cangkir yang masih panas serta memakai baju berwarna krem bernama Nastiti.
" Selamat pagi juragan Sentiko "
Kedua anak buah Juragan Sentiko menjura hormat
" Duduk kalian berdua "
Kata Juragan Sentiko sembari meletakkan cangkir di atas meja yabg berada di depannya.
" Apakah tugas yang aku berikan pada kalian sudah dikerjakan?! "
" Sudah juragan. Dan hasilnya sesuai dengan yang juragan kehendaki. Semua pedagang membayar utang –utangnya lunas beserta bunga – bunganya. "
Jawab lelaki tinggi kurus yang memiliki bekas luka di pipi kirinya.
" Bagus..bagus..kalian berdua memang anak buah ku yang bisa diandalkan. "
Juragan Sentiko tersenyum puas. Sembari tangannya mengelus paha Kuntini yang duduk di sebelah kanannya. Wanita itu tersenyum manja lalu meletakkan tangan juragan Sentiko ke pangkuannya.
" Ada tugas lagi untuk kalian berdua. Tagih hutang kepada Hartono anak nya Mangun Sarkoro yang rumahnya ada di batas desa Sambirejo dekat area persawahan. "
" Hartono yang baru saja dipecat dari perusahaan karena dituduh korupsi itu Gan? "
" Iya dia, siapa lagi. Apakah ada Hartono lain di desa ini selain dia"
Damprat juragan Sentiko.
Kedua orang itu sontak mengkeret lalu menundukkan muka.
Kedua istri Juragan Sentiko tertawa melihat kelakuan anak buah suaminya itu yang mengkeret ketakutan. hingga buah dadanya yang menyembul besar kelihatan bergoyang-goyang membuat Daldiri yang melirik sesaat jadi menahan nafas.
" Sudah lama Hartono tidak juga mengembalikan uang pinjaman dari jaman bapaknya sakit dan sekarang telah mati. Aku sudah terlalu sabar untuk dia. Sekarang bunga – bunganya juga sudah membengkak besar. Lakukan sebisa kalian, kalo perlu.... "
Mendadak juragan Sentiko melirihkan suaranya. Lalu memberi isyarat telunjuk disilangkan ditenggorokan.
" Tapi jangan sampai mati, maksimal patah tulang iga saja sudah cukup"
" Laksanakan juragan, sekarang juga kami berdua akan ke rumah Hartono. "
Di samping rumah megah dan besar kediaman juragan Sentiko, terdapat sebuah halaman luas yang ditumbuhi pohon sawo kecik dan jambu dersana di tiap – tiap sudut halaman. Terdengar deru suara mobil berhenti di depan regol pintu gerbang kediaman juragan Sentiko. Dari mobil Toyota Hardtop berwarna hitam itu keluar dua orang lelaki. Di sebelah depan adalah seorang lelaki berkaos oblong dan memakai celana jaenas yang dekilnya tidak berbeda jauh dengan kaos yang dikenakannya, berusia sekitar 40 tahun. Rambutnya yang gondrong tampak ditutup dengan kain hitam. Sementara berewok meranggas dan tidak beraturan tambah membuat mukanya menjadi angker. Di belakangnya mengikuti lelaki tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri serta memiliki gigi sedikit tonggos memakai jaket dan di kepalanya ada topi pet berwarna hitam. Mereka berdua adalah Baroto dan Daldiri. Anak buah dari Juragan Sentiko.
Seorang lelaki paruh baya berbadan kurus segera meletakkan sapu ijuk yang sedang dipegangnya lalu tergopoh – gopoh membukakan pintu regol yang masih terkunci.
" Maaf Den Baroto dan Mas Daldiri pintu gerbang belum saya buka. "
Kata si lelaki paruh baya berbadan kurus itu yang ternyata bernama Parman.
Baroto dan Daldiri hanya diam tidak menjawab perkataan Parman, lalu mereka berdua masuk ke dalam pekarangan Juragan Sentiko. Di teras depan tampak Juragan Sentiko duduk di kursi rotan berwarna kecoklatan. Di samping kanan dan kiri nya duduk dua orang wanita yang usianya masih tergolong muda. Pakaian mereka yang bagus dan panjang melekat ketat ke tubuh mereka hingga jelas kelihatan membayang keluar potongan badan mereka yang bagus ramping. Demikian pula rambut hitam panjang yang tersanggul rapi di atas kepala masing-masing. Mereka berdua ini adalah istri – istri dari juragan Sentiko yang memakai baju merah dan duduk disamping kanan nya bernama Kuntini. Dan yang sedang duduk di sebelah kiri tampak sedang mengaduk kopi dalam cangkir yang masih panas serta memakai baju berwarna krem bernama Nastiti.
" Selamat pagi juragan Sentiko "
Kedua anak buah Juragan Sentiko menjura hormat
" Duduk kalian berdua "
Kata Juragan Sentiko sembari meletakkan cangkir di atas meja yabg berada di depannya.
" Apakah tugas yang aku berikan pada kalian sudah dikerjakan?! "
" Sudah juragan. Dan hasilnya sesuai dengan yang juragan kehendaki. Semua pedagang membayar utang –utangnya lunas beserta bunga – bunganya. "
Jawab lelaki tinggi kurus yang memiliki bekas luka di pipi kirinya.
" Bagus..bagus..kalian berdua memang anak buah ku yang bisa diandalkan. "
Juragan Sentiko tersenyum puas. Sembari tangannya mengelus paha Kuntini yang duduk di sebelah kanannya. Wanita itu tersenyum manja lalu meletakkan tangan juragan Sentiko ke pangkuannya.
" Ada tugas lagi untuk kalian berdua. Tagih hutang kepada Hartono anak nya Mangun Sarkoro yang rumahnya ada di batas desa Sambirejo dekat area persawahan. "
" Hartono yang baru saja dipecat dari perusahaan karena dituduh korupsi itu Gan? "
" Iya dia, siapa lagi. Apakah ada Hartono lain di desa ini selain dia"
Damprat juragan Sentiko.
Kedua orang itu sontak mengkeret lalu menundukkan muka.
Kedua istri Juragan Sentiko tertawa melihat kelakuan anak buah suaminya itu yang mengkeret ketakutan. hingga buah dadanya yang menyembul besar kelihatan bergoyang-goyang membuat Daldiri yang melirik sesaat jadi menahan nafas.
" Sudah lama Hartono tidak juga mengembalikan uang pinjaman dari jaman bapaknya sakit dan sekarang telah mati. Aku sudah terlalu sabar untuk dia. Sekarang bunga – bunganya juga sudah membengkak besar. Lakukan sebisa kalian, kalo perlu.... "
Mendadak juragan Sentiko melirihkan suaranya. Lalu memberi isyarat telunjuk disilangkan ditenggorokan.
" Tapi jangan sampai mati, maksimal patah tulang iga saja sudah cukup"
" Laksanakan juragan, sekarang juga kami berdua akan ke rumah Hartono. "
Quote:
Hartono berdiri di depan rerumpunan pohon bambu di puncak bukit. Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan. Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi membelah pedataran persawahan dan desa Sambirejo. Sungal kecil itu selanjutnya mengalir ke selatan, melewati tambak-tambak ikan dan akhirnya bermuara di laut biru nun jauh disana.
Pikirannya menerawang, banyak yang yang terjadi belakangan ini di kehidupan Hartono. Berawal dari dituduhnya dia korupsi uang perusahaan sehingga Hartono harus mengembalikan uang yang hilang itu. Uang tabungan ludes, mobil, motor habis di jual. Cobaan belum sampai disitu, ayah kandungnya Mangun Sarkoro sakit keras. Banyak rumah sakit di Wonosari sudah coba di singgahi tetapi tidak juga mampu menyembuhkan penyakitnya, beberapa paranormal juga masih nihil. Uang banyak telah dihabiskan, hingga akhirnya Hartono terpaksa meminjam uang kepada Juragan Sentiko rentenir kejam di desa Sambirejo.
Hartono memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara berisik mesin mobil yang di pacu dengan kecepatan tinggi. Sebuah mobil Hardtop warna hitam tampak melaju membelah jalan pedesaan menuju ke arah selatan. Kepulan asap yang ditinggalkan nampak memutih lalu mebumbung dan pudar diterpa angin.
" Sinting, siapa yang ngebut di jalan desa seperti ini."
Batin Hartono dalam hati.
Setelah beberapa lamanya Hartono tertegun, lelaki ini tiba-tiba saja merasa tidak enak. Setiap
saat terbayang kembali mobil Hardtop hitam yang melaju kencang tadi. Bukannya itu mobil anak buah juragan Sentiko dan arahnya seperti dari arah rumah ku? Akhirnya Hartono segera menuruni bukit, berlari –lari kecil menuju pulang ke rumahnya.
Di serambi depan rumah menggeletak dua sosok tubuh. Satu di antaranya seorang perempuan tampak tergeletak di depan pintu keluar. Rambutnya acak - acakan. Beberapa helai rontok berserakan di lantai, sudut bibirnya pecah mengalirkan darah. Pipi dan mata tampak lebam membiru. Dialah Marni istri dari Hartono. Di bagian lain di pojok ruangan tampak sesosok pemuda tanggung terkapar terhimpit kursi dan meja. Sesekali terdengar rintihannya menahan sakit. Pemuda tanggung ini merupakan anak pertama Hartono yang bernama Sasongko. Sementara di dalam rumah terdengar kencang lengkingan tangisan anak perempuan.
Hartono menjerit tertahan dan melompat langsung menubruk tubuh istrinya.
" Gusti Allah…! Gusti Allah…! Cobaan mu begitu berat. Dimana keadilanMu?! "
Hartono berteriak seperti orang kesetanan. Perasaannya campur - aduk, antara sedih, marah tapi tidak mampu melakukan apa – apa. Kemudian sambil berurai air mata di sandarkan tubuh istrinya di tembok, di hampiri tubuh anak pertamanya yang terhimpit meja dan kursi. Menggunakan sisa – sisa tenaganya Hartono mengangkat dan memapah tubuh anaknya ke dalam rumah.
" Maafkan Bapak Le, bapak tidak becus sebagai kepala keluarga. Membuat Ibu mu dan kamu serta adek mu mengalami celaka ".
Suara Hartono parau menahan kesedihan yang teramat sangat. Di dalam rumah seorang anak kecil perempuan berusia sekitar lima tahun duduk di lantai sambil menangis. Perlahan Hartono menggendong anak bungsunya itu, mengelus –ngelus kepala dan mendekap erat- erat di dadanya. Keadaan di ruang tengah sangat kacau, barang – barang bersebaran acak -acakan, meja kursi tercerai berai tidak berada di tempat yang semestinya, pecahan beling dari cermin dan pigura foto berserakan di lantai. Di tembok ruang tengah terpampang tulisan besar berwarna merah dari philox ....
Pikirannya menerawang, banyak yang yang terjadi belakangan ini di kehidupan Hartono. Berawal dari dituduhnya dia korupsi uang perusahaan sehingga Hartono harus mengembalikan uang yang hilang itu. Uang tabungan ludes, mobil, motor habis di jual. Cobaan belum sampai disitu, ayah kandungnya Mangun Sarkoro sakit keras. Banyak rumah sakit di Wonosari sudah coba di singgahi tetapi tidak juga mampu menyembuhkan penyakitnya, beberapa paranormal juga masih nihil. Uang banyak telah dihabiskan, hingga akhirnya Hartono terpaksa meminjam uang kepada Juragan Sentiko rentenir kejam di desa Sambirejo.
Hartono memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara berisik mesin mobil yang di pacu dengan kecepatan tinggi. Sebuah mobil Hardtop warna hitam tampak melaju membelah jalan pedesaan menuju ke arah selatan. Kepulan asap yang ditinggalkan nampak memutih lalu mebumbung dan pudar diterpa angin.
" Sinting, siapa yang ngebut di jalan desa seperti ini."
Batin Hartono dalam hati.
Setelah beberapa lamanya Hartono tertegun, lelaki ini tiba-tiba saja merasa tidak enak. Setiap
saat terbayang kembali mobil Hardtop hitam yang melaju kencang tadi. Bukannya itu mobil anak buah juragan Sentiko dan arahnya seperti dari arah rumah ku? Akhirnya Hartono segera menuruni bukit, berlari –lari kecil menuju pulang ke rumahnya.
Di serambi depan rumah menggeletak dua sosok tubuh. Satu di antaranya seorang perempuan tampak tergeletak di depan pintu keluar. Rambutnya acak - acakan. Beberapa helai rontok berserakan di lantai, sudut bibirnya pecah mengalirkan darah. Pipi dan mata tampak lebam membiru. Dialah Marni istri dari Hartono. Di bagian lain di pojok ruangan tampak sesosok pemuda tanggung terkapar terhimpit kursi dan meja. Sesekali terdengar rintihannya menahan sakit. Pemuda tanggung ini merupakan anak pertama Hartono yang bernama Sasongko. Sementara di dalam rumah terdengar kencang lengkingan tangisan anak perempuan.
Hartono menjerit tertahan dan melompat langsung menubruk tubuh istrinya.
" Gusti Allah…! Gusti Allah…! Cobaan mu begitu berat. Dimana keadilanMu?! "
Hartono berteriak seperti orang kesetanan. Perasaannya campur - aduk, antara sedih, marah tapi tidak mampu melakukan apa – apa. Kemudian sambil berurai air mata di sandarkan tubuh istrinya di tembok, di hampiri tubuh anak pertamanya yang terhimpit meja dan kursi. Menggunakan sisa – sisa tenaganya Hartono mengangkat dan memapah tubuh anaknya ke dalam rumah.
" Maafkan Bapak Le, bapak tidak becus sebagai kepala keluarga. Membuat Ibu mu dan kamu serta adek mu mengalami celaka ".
Suara Hartono parau menahan kesedihan yang teramat sangat. Di dalam rumah seorang anak kecil perempuan berusia sekitar lima tahun duduk di lantai sambil menangis. Perlahan Hartono menggendong anak bungsunya itu, mengelus –ngelus kepala dan mendekap erat- erat di dadanya. Keadaan di ruang tengah sangat kacau, barang – barang bersebaran acak -acakan, meja kursi tercerai berai tidak berada di tempat yang semestinya, pecahan beling dari cermin dan pigura foto berserakan di lantai. Di tembok ruang tengah terpampang tulisan besar berwarna merah dari philox ....
SEMINGGU SEJAK SAAT INI HUTANG MU TIDAK DIBAYAR, KU BIKIN MAMPUS ANGGOTA KELUARGA INI
Quote:
Matahari yang tadi bersinar amat terik kini sinarnya itu pupus di telan awan hitam yang datang berarak dari arah timur. Sesaat kemudian langitpun mendung hitam. Hujan rintik-rintik mulai turun disertai sambaran kilat dan gelegar guntur. Sekali lagi kilat menyabung. Sekali lagi pula guntur menggelegar membuat seantero bumi bergetar. Dan hujan rintik-rintik kini berganti dengan hujan lebat. Demikian lebatnya hingga tak beda seperti dicurahkan saja layaknya dari atas langit. Sekejap saja segala apa yang ada di bumi menjadi basah. Laut menggelombang, sungai menderas arusnya, sawah-sawah tergenang air. Selokan-selokan kecil banjir.
Hartono duduk di beranda belakang rumah, matanya menatap ke arah kolam ikan kecil di halaman belakang rumah yang mulai meluap airnya. Serta merta ikan yang berada di dalamnya mulai hanyut dibawa air. Di sampingnya Marni masih menyeka sudut bibir dan sesekali pipi dan kelopak matanya menggunakan sapu tangan yang telah dibasahi oleh air hangat.
" Maafkan aku Marni, maafkan aku..... "
Suara Hartono tercekat di tenggorokan, bibirnya bergetar.
" Tak apa Mas, kita lagi dicoba oleh Gusti Allah. Semua umat pasti pernah mendapatkan cobaan. Entah ringan atau berat. Tetap sabar dan nerimo saja ".
" Tidak bisa begitu Marni, andai saja aku tidak di phk tidak juga aku bakalan pinjam uang pada si baik Sentiko ! Aku tidak terima atas yang telah mereka perbuat pada keluarga kita. Pada mu pada Sasongko. Lapor polisi juga percuma si Sentiko punya beking orang kuat. Salah –salah aku yang malah akan di penjara ".
Hartono nampak menahan amarah yang mulai bergemuruh di dadanya. Giginya gemeretakan.
" Nyebut Mas,nyebut... " Marni mencoba menenangkan suaminya.
" Marni, terkadang aku mikir Gusti Allah itu tidak sayang pada kita. Cobaan selalu datang bertubi –tubi. Sementara kita setiap hari menyembahNya, berdoa kepadaNya, berbuat baik kepada semua orang. Tapi apa yang kita dapat?! Gusti Allah seperti menutup mata pada kita. Kamu lihat Sentiko yang bejat dan brengsek yang tidak pernah ibadah, punya simpenan dimana – mana, rentenir kejam yang tidak segan –segan membuat orang lain celaka. Lihat hidupnya?! Makmur, kaya raya dan tidak pernah kesusahan. Gusti Allah tidak adil ! "
Hartono setengah berteriak lalu menggebrak meja yang ada di sampingnya. Muka dan matanya nampak merah padam dan memandang nyalang ke depan. Marni yang melihat suaminya mulai dikuasai amarah hanya terdiam, menghela nafas, matanya berkaca –kaca lalu air itu menitikkan dari mata lalu mengalir perlahan dikedua pipinya.
" Marni, besok pagi aku akan coba ke Muntilan mencari pinjaman uang kepada Mbakyu Prapti, mbakyu ku itu kalau lagi ada uang biasanya tidak pelit kepada saudaranya ".
" Tetapi duit segitu sangat besar Mas, apa iya Mbak Prapti akan dengan ikhlas meminjamkannya kepada kita? "
Hartono menghela nafas panjang.
" Kalau tidak dicoba mana kita tahu Marni ".
" Mas, persediaan makanan kita sudah habis. Aku juga sudah malu kalau musti hutang belanja lagi ke tetangga. Wajah mereka sudah sinis kalau melihat aku ke warung mereka. Upah bantu panen padi Lik Paikem juga belum dibayar sampai hari ini. Kalau Mas Hartono pergi lama – lama bagaimana dengan kita mas? "
" Benar kata pepatah Marni, saat kita sedang di atas, sedang hidup berkecukupan. Semua orang hormat, mengaku saudara pada kita. Bahkan rela menjilati kaki kita dengan pamrih agar kecipratan rejeki, kecipratan duit kita. Tapi saat kita jatuh, saat kita miskin. Tak satupun yang datang membantu, bahkan lalat pun enggan hinggap di rumah kita. "
Marni terdiam dan beberapa saat pasangan suami istri ini larut dalam sunyi sibuk dengan pikirannya masing –masing. Sementara hujan yang tadi mencurah mulai reda. Tinggal rintik –rintik kecil yang mendera bumi. Kabut mulai turun dari atas puncak pegunungan sewu.
Hartono duduk di beranda belakang rumah, matanya menatap ke arah kolam ikan kecil di halaman belakang rumah yang mulai meluap airnya. Serta merta ikan yang berada di dalamnya mulai hanyut dibawa air. Di sampingnya Marni masih menyeka sudut bibir dan sesekali pipi dan kelopak matanya menggunakan sapu tangan yang telah dibasahi oleh air hangat.
" Maafkan aku Marni, maafkan aku..... "
Suara Hartono tercekat di tenggorokan, bibirnya bergetar.
" Tak apa Mas, kita lagi dicoba oleh Gusti Allah. Semua umat pasti pernah mendapatkan cobaan. Entah ringan atau berat. Tetap sabar dan nerimo saja ".
" Tidak bisa begitu Marni, andai saja aku tidak di phk tidak juga aku bakalan pinjam uang pada si baik Sentiko ! Aku tidak terima atas yang telah mereka perbuat pada keluarga kita. Pada mu pada Sasongko. Lapor polisi juga percuma si Sentiko punya beking orang kuat. Salah –salah aku yang malah akan di penjara ".
Hartono nampak menahan amarah yang mulai bergemuruh di dadanya. Giginya gemeretakan.
" Nyebut Mas,nyebut... " Marni mencoba menenangkan suaminya.
" Marni, terkadang aku mikir Gusti Allah itu tidak sayang pada kita. Cobaan selalu datang bertubi –tubi. Sementara kita setiap hari menyembahNya, berdoa kepadaNya, berbuat baik kepada semua orang. Tapi apa yang kita dapat?! Gusti Allah seperti menutup mata pada kita. Kamu lihat Sentiko yang bejat dan brengsek yang tidak pernah ibadah, punya simpenan dimana – mana, rentenir kejam yang tidak segan –segan membuat orang lain celaka. Lihat hidupnya?! Makmur, kaya raya dan tidak pernah kesusahan. Gusti Allah tidak adil ! "
Hartono setengah berteriak lalu menggebrak meja yang ada di sampingnya. Muka dan matanya nampak merah padam dan memandang nyalang ke depan. Marni yang melihat suaminya mulai dikuasai amarah hanya terdiam, menghela nafas, matanya berkaca –kaca lalu air itu menitikkan dari mata lalu mengalir perlahan dikedua pipinya.
" Marni, besok pagi aku akan coba ke Muntilan mencari pinjaman uang kepada Mbakyu Prapti, mbakyu ku itu kalau lagi ada uang biasanya tidak pelit kepada saudaranya ".
" Tetapi duit segitu sangat besar Mas, apa iya Mbak Prapti akan dengan ikhlas meminjamkannya kepada kita? "
Hartono menghela nafas panjang.
" Kalau tidak dicoba mana kita tahu Marni ".
" Mas, persediaan makanan kita sudah habis. Aku juga sudah malu kalau musti hutang belanja lagi ke tetangga. Wajah mereka sudah sinis kalau melihat aku ke warung mereka. Upah bantu panen padi Lik Paikem juga belum dibayar sampai hari ini. Kalau Mas Hartono pergi lama – lama bagaimana dengan kita mas? "
" Benar kata pepatah Marni, saat kita sedang di atas, sedang hidup berkecukupan. Semua orang hormat, mengaku saudara pada kita. Bahkan rela menjilati kaki kita dengan pamrih agar kecipratan rejeki, kecipratan duit kita. Tapi saat kita jatuh, saat kita miskin. Tak satupun yang datang membantu, bahkan lalat pun enggan hinggap di rumah kita. "
Marni terdiam dan beberapa saat pasangan suami istri ini larut dalam sunyi sibuk dengan pikirannya masing –masing. Sementara hujan yang tadi mencurah mulai reda. Tinggal rintik –rintik kecil yang mendera bumi. Kabut mulai turun dari atas puncak pegunungan sewu.
to be continue
Diubah oleh breaking182 06-05-2018 02:55
1980decade dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas
Tutup