- Beranda
- Stories from the Heart
Cerita Yang Belum Berakhir
...
TS
drupadi5
Cerita Yang Belum Berakhir
Kisah kita berbeda kawan, suka duka kita tidak pernah sama, meski kita hidup berpuluh-puluh tahun jalan hidup kita pun tidak pernah melengkung ke arah yang sama, memainkan suatu cerita dengan peran yang berbeda-beda, yang nanti, entah kapan, hanya akan berujung pada suatu akhir dimana waktu bukan lagi milik kita....
tapi bagaimana jika akhir itu pun tidak berarti sebuah penyelesain dari cerita kita?
*****
02.30 am
Subuh ini, sepulang kerja, seperti biasa suami dan anakku udah pada pulas tertidur. Kulepaskan dulu helm, jaket, dan semua atribut pengaman dan pelindung, sebelum sedikit membasuh diri.
Menenangkan diri sejenak sebelum bertemu kasur, kubuka hape BB jadulku, ada satu notif kalau ada yg mengirim pesan lewat FB messenger. Langsung kubuka,
dah pake BB ya, boleh minta PIN mu?
Sebuah pesan singkat, tp cukup membuat jantungku berdesir aneh. Setelah berpikir sejenak, kubalas pesan itu...
Bole, ini PIN ku %^&$#@
Bukan tanpa alasan kuberikan contactku, hanya karena rasa penasaran yang telah terpendam bertahun-tahun dan... sebuah penyelesaian
*****
prologue
part 1 jadi mahasiswa
part 2 baksos
part 3 mas kayon
part 4 karena matras
part 4.2 obrolan pertama
part 5 karena pertanyaan dan jawaban konyol
part 6 kesurupan???
part 7 sopir dan assisten sopir
part 8 around me
part 9 mabuk
part 10 pasar loak
part 11 pelukis malam
part 12 baksos in action
part 13 yunita
2014
part 14 would you be
part 15 would you be (2)
part 16 would you be mine?
part 17 hilang
part 18 second chance...1
part 19 second chance...2
part 20 second chance...3
part 21 SMS
part 22 blind love
part 23 blind love 2
part 24 blind love 3
part 24 blind love 4 (17+)
part 25 blind love 5
part 26 blind love 6
part 27 siksaan 1
part 28 Mr. Lee
part 29 siksaan 2
part 30 following the flow (cinta tanpa logika)
part 31 following the flow (cinta tanpa logika 2)
part 32 heart breaker
part 33 kehilangan
part 34 solo fighter
part 35 kejutan
part 36 perbedaan itu (ngga) indah
2008
part 37 the next steps
part 38 dewa bisma
part 39 anak rantau
part 40 penantian
part 41 akhir dari penantian
2009
all i want
part 42 and story goes on...
part 43 nelangsa
part 44 a gift
part 45 trouble maker
part 46 trouble maker 2
part 47 tentang dewa
part 48 tentang dewa 2
part 49 is it real?
part 50 is it real? 2
part 51 rasa itu
part 52 jealouse
part 53 Jakerdah
part 54 drama queens
part 55 i feel you
part 56 ikatan
part 57 September 2006
part 58 july 2009
part 59 ujian pertama
part 60 ujian kedua
part 61 ujian yg sebenarnya
Part 62 Dewa Rasya
part 63 kembali
part 64 Namy
part 65 batas benci dan cinta
part 66 trouble maker
part 67 trouble maker 2
part 68 trouble maker 3
tapi bagaimana jika akhir itu pun tidak berarti sebuah penyelesain dari cerita kita?
*****
02.30 am
Subuh ini, sepulang kerja, seperti biasa suami dan anakku udah pada pulas tertidur. Kulepaskan dulu helm, jaket, dan semua atribut pengaman dan pelindung, sebelum sedikit membasuh diri.
Menenangkan diri sejenak sebelum bertemu kasur, kubuka hape BB jadulku, ada satu notif kalau ada yg mengirim pesan lewat FB messenger. Langsung kubuka,
dah pake BB ya, boleh minta PIN mu?
Sebuah pesan singkat, tp cukup membuat jantungku berdesir aneh. Setelah berpikir sejenak, kubalas pesan itu...
Bole, ini PIN ku %^&$#@
Bukan tanpa alasan kuberikan contactku, hanya karena rasa penasaran yang telah terpendam bertahun-tahun dan... sebuah penyelesaian
*****
prologue
part 1 jadi mahasiswa
part 2 baksos
part 3 mas kayon
part 4 karena matras
part 4.2 obrolan pertama
part 5 karena pertanyaan dan jawaban konyol
part 6 kesurupan???
part 7 sopir dan assisten sopir
part 8 around me
part 9 mabuk
part 10 pasar loak
part 11 pelukis malam
part 12 baksos in action
part 13 yunita
2014
part 14 would you be
part 15 would you be (2)
part 16 would you be mine?
part 17 hilang
part 18 second chance...1
part 19 second chance...2
part 20 second chance...3
part 21 SMS
part 22 blind love
part 23 blind love 2
part 24 blind love 3
part 24 blind love 4 (17+)
part 25 blind love 5
part 26 blind love 6
part 27 siksaan 1
part 28 Mr. Lee
part 29 siksaan 2
part 30 following the flow (cinta tanpa logika)
part 31 following the flow (cinta tanpa logika 2)
part 32 heart breaker
part 33 kehilangan
part 34 solo fighter
part 35 kejutan
part 36 perbedaan itu (ngga) indah
2008
part 37 the next steps
part 38 dewa bisma
part 39 anak rantau
part 40 penantian
part 41 akhir dari penantian
2009
all i want
part 42 and story goes on...
part 43 nelangsa
part 44 a gift
part 45 trouble maker
part 46 trouble maker 2
part 47 tentang dewa
part 48 tentang dewa 2
part 49 is it real?
part 50 is it real? 2
part 51 rasa itu
part 52 jealouse
part 53 Jakerdah
part 54 drama queens
part 55 i feel you
part 56 ikatan
part 57 September 2006
part 58 july 2009
part 59 ujian pertama
part 60 ujian kedua
part 61 ujian yg sebenarnya
Part 62 Dewa Rasya
part 63 kembali
part 64 Namy
part 65 batas benci dan cinta
part 66 trouble maker
part 67 trouble maker 2
part 68 trouble maker 3
Diubah oleh drupadi5 23-11-2019 23:42
pulaukapok dan 10 lainnya memberi reputasi
11
37.5K
329
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
drupadi5
#281
Part 60 Ujian Kedua
Ngurah Rai International Airport….
Memandangi wajah2 para penumpang yg baru turun dari pesawat merupakan salah satu hiburan tersendiri untukku, sekaligus mengagumi kebesaran dan kehebatan dari Sang Pencipta, bagaimana tidak, aku melihat sekitar 400 orang tiap harinya dari berbagai Negara di belahan bumi ini, tak satu pun aku menemukan wajah yg mirip, semua memiliki ciri khas dan karakter masing2 yg tergores di wajah mereka, bahkan hanya dengan melihat wajah mereka saja aku bisa menebak dari negara mana mereka berasal.
Dan karakter yg dimiliki pun hampir tidak ada yg sama, tapi rata2 jika mereka berasal dari suatu negara yg sama kemungkinan besar mereka pun memiliki karakter yg mirip.
Sungguh hebat kalau dipikir2 dari mana ya Tuhan mempunyai referensi sehingga bisa mencipta sekian ribu juta manusia dengan bentuk yg berbeda2 dan juga dengan cerita yg berbeda2.
Aku berdiri di depan pintu pesawat, sedikit pusing kepalaku menyapa semua penumpang yg baru turun ini, mungkin sekitar 350 penumpang kali ini. Seorang rekanku, menghampiriku dan menyampaikan sebuah pesan dari cockpit, si kapten mau ketemu katanya.
Aku berlalu ke cockpit, bertemu dengan si kapten yg kebetulan kali ini adalah orang Indonesia, kapten favoritku yg super baik. Sedikit basa basi, say hello dengan cockpit crew, dan si kapten menyerahkan selembar kertas laporan. Sedikit insiden td sewaktu hendak landing, seekor burung malang terserempet si burung besi. Aku menerima dan menyimak kronologi ceritanya dan segera double check dengan bagian engineering untuk pemeriksaan badan pesawat dengan lebih detail. Salah seorang co-pilot pun sudah turun kebawah turut memeriksa
Untunglah ngga ada yg serius, dan di nyatakan clear oleh engineering. Aku kembali ke atas, ke gate untuk kembali ke kantor, menscan laporan yg baru aku terima td dr kapten untuk lgs dikirimkan saat itu juga ke head office.
Baru saja aku masuk ke dalam gate, aku mendengar namaku dipanggil.
“mbak Dyan?”
Aku menoleh ke sumber suara, seorang laki2 datang mengenakan seragam pilot bar 3 mendekatiku
“bener mbak dyan kan? Yg di **** ****** kan?”
Kuperhatikan lelaki itu, sepertinya aku pernah ketemu.
“Raka, Mbak..” ujar laki2 itu yg kemudian baru aku sadari ternyata dia memang Raka. Raka yg dulu sewaktu aku bermukim di Jakarta.
“oh, iya2…baru inget. Maaf, jd pangling, kamu sih tambah keren,” pujiku yg di sambut dengan derai tawanya
“hahaha biasa aja mbak. Mbak balik ke Bali ya ternyata, pantes aku ngga pernah ketemu lagi.”
“iya, ngga betah di Jakarta, enakan di rumah sendiri hehehe, wah selamat ya udah resmi gabung di G* nih?”
“masih belajar Mbak, masih panjang jalannya…” ujarnya merendah
“ya kan emang harus begitu, ngga ada yg tiba2 udah nangkring di atas kan, ntar jatuhnya cepet klo yg kaya gituan,” aku mencoba berkelakar sekaligus menyemangatinya. Lagi2 dia membalasnya hanya dengan tawa.
“mbak Dy, di ground aja nih?”
“hehehe iya jodohnya di sini aja mungkin.”
“di G*?”
“bukan di G* ngga lolos mah klo di sana, aku di Q*, yah biar asal kerja aja Ka”
“asal kerja apanya? Q* mah keren bgt tuh, the best in the world mah dia….wah, nyombong nih kayaknya."
“eh siapa yg nyombong, biasa aja hehehe..”
Rupanya rombongannya Raka sudah mendekat, segera saja kuusir dia.
“udah sana berangkat.”
“hehe iya, kabar2i ya mbak klo ke Jakarta,” ujarnya ramah.
“siap. Safe flight ya Ka!”
“thanks Mbak.” Aku menjabat tangannya sebelum dia pergi dan bergabung dengan rombongannya. Melihat Raka, aku jadi teringat Jeny, gimana ya kabar anak itu sekarang.
02.30 am, subuh ini, sepulang kerja, seperti biasa Rasya dan anakku udah pada pulas tertidur. Kulepaskan dulu helm, jaket, dan semua atribut pengaman dan pelindung, sebelum sedikit membasuh diri.
Menenangkan diri sejenak sebelum bertemu kasur, kubuka hape BB jadulku, ada satu notif kalau ada yg mengirim pesan lewat FB messenger. Langsung kubuka,
dah pake BB ya, boleh minta PIN mu?
Sebuah pesan singkat, tp cukup membuat jantungku berdesir aneh. Setelah berpikir sejenak, kubalas pesannya...
Bole, ini PIN ku %^&$#@
Bukan tanpa alasan kuberikan contactku, hanya karena rasa penasaran yang telah terpendam bertahun-tahun dan... sebuah penyelesaian.
****
Soekarno Hatta International Airport…
Mungkin sudah lebih dari satu jam aku duduk di public area ini. Memandangi orang2 yg berlalu lalang, dengan berbagai macam jenis tingkah dan penampilannya. Beberapa orang keluar dari gerbang arrival hall yg kemudian di sambut oleh penjemput mereka. Terlihat raut bahagia terpancar dari wajah2 mereka.
Aku pun sedang menunggu seseorang. Seseorang yg entah harus kupanggil siapa nanti. Seseorang yg menyodorkanku dengan segala keajaiban dan misteri hidup yg sama sekali tidak aku mengerti. Jujur dari dalam hatiku, aku memiliki rasa tidak percaya dan pemikiran2 buruk lainnya tentangnya. Seperti, bagaimana kalau aku di bohongi dengan ceritanya itu, bagaimana jika ini hanya lah cerita karangannya untuk menarik simpatiku, atau bagaimana kalau ternyata aku kena guna2nya sehingga aku bisa jatuh cinta dengannya meski belum pernah bertemu sekali pun sebelumnya, bukankah dia sendiri yg bilang dia bisa melakukannya. Tapi tidak ada satu pun pemikiran2 itu yg benar2 meyakinkanku kalau dia mampu melakukan itu padaku. Dan kembali pada akhirnya aku berserah pada kepercayaan hatiku padanya.
Aku kembali teringat dengan percakapanku dengannya beberapa minggu yg lalu melalui telpon…
“Say, aku di omongin bapak, tentang harta peninggalanku, akan di bagi2kan ke sodara2ku karena aku belum berkeluarga dan ngga punya ahli waris, dan sebagian akan disumbangkan juga.”
Aku merasa aneh kenapa dia ngomongin soal ini padaku, aku sama sekali ngerasa ngga ada hak untuk ikut campur.
“itu semua terserah kamu Wa…”
“tapi aku ngga terima Say, itu kan milikku, itu bekalku nanti kalau kita nikah. Aku ngga ngerti kenapa Bapak bersikeras mau menjualnya, padahal kan dia tahu aku bisa punya semua itu dari hasil kerja kerasku…”
“kamu ribut sama beliau?”
“iya..”sahutnya lirih
“Wa, apa kamu ngga mikir, bapak itu justru ambil keputusan yg bener. Memang beliau tahu kamu itu Dewa, yg punya semuanya, tapi yg lain kan ngga tahu Wa. Ibu dan sodara2 kamu kan ngga tahu, mereka tahunya kamu itu Rasya. Kalau sekarang kamu mau ambil semua milik Dewa, ya bakalan bikin masalah sama sodara2 kamu yg lain, sama keluarga besar kamu juga…”
Kudengar helaan nafas dari seberang sana. Aku rasa Dewa shock dengan keadaannya sekarang. Dia belum benar2 siap.
“tapi say… kalau begitu, aku ngga akan punya apa2 lagi…”
“Wa…. Itu ngga penting. Yg terpenting itu kamu. Kita mulai dari awal, sama seperti kamu yg akan memulai hidup kamu yg baru dengan pribadi yg baru… mungkin itu sebabnya dulu Bapak ngga ngelarang kamu dan Rasya melakukan ini dan bilang kalau kamu pasti tahu apa resiko dari keputusan yg kamu dan Rasya ambil..”
“kamu mau say memulai lagi dari awal, tanpa memiliki apa pun…”
“aku ngga pernah mengharapkan harta kamu Wa, jangan berpikir aku menyukaimu karena profesi dan kekayaan yg kamu miliki. Aku menyukaimu karena aku memang suka, itu saja.”
“Makasi say,makasi udah mau menerima aku yg sekarang…”
“iya Wa.”
“Nanti klo kita ketemu kmu jangan nangis ya, apapun yg terjadi. Sudah cukup aku buat kamu nangis terus…”
“hehehe ngga janji…”
“ngga bisa! Pokoknya janji ngga ada nangis2, aku ngga mau!”
“iya2, janji…”
Sebuah pengumuman dari pengeras suara membuyarkan lamunanku, flight yg kunantikan sudah landed.
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya aku melihatnya keluar dari pintu arrival. Dia memakai kaos hitam, berjaket jeans hitam, dan celana jeans biru gelap. Dia tidak begitu tinggi mungkin sekitar dahiku, dengan badan yg proporsional. Rambutnya tersisir rapi dan tampak basah. Dia berkacamata, matanya tidak terlalu besar cenderung kecil, berhidung mancung, dan bibirnya tipis. Kulitnya putih bersih, lebih putih dari kulitku yg agak coklat. Mirip sekali seperti beberapa foto yg sering dia kirimkan. Dia langsung menghampiriku.
“Dewa?” sapaku begitu dia berdiri di depanku.
Dia tidak menjawab, malah langsung memelukku erat. Aku ingin menangis tapi berusaha kutahan.
Dia lepaskan pelukannya dan memandangku sambil tersenyum. Kuakui, dia tampan, mukanya baby face bgt. Dia tersenyum, senyumnya manis. Dan aku bingung harus bicara apa. Hanya kubalas senyumnya dengan senyum.
“udah lama?” tanyanya
“lumayan.”
“berapa jam?”
“sekitar 2 jam.”
“hah? Kamu ngapain bisa sampe 2 jam di sini?”
“aku dtg terlalu awal, takut macet,” sahutku.
Dia tersenyum sambil menepuk lembut ubun2ku.
“cari makan dulu yuk, pasti laper kan?” aku tersenyum dan dia menggandeng tanganku berjalan menyusuri selasar besar di terminal kedatangan itu.
Kami berhenti di salah satu gerai makanan cepat saji A*. Awalnya dia memintaku memesan, tapi aku menolak karena aku ngga terlalu paham menu gerai ini. Jadi dialah yg memesan. Kami memilih duduk di luar. Aku memperhatikan dia makan. Sangat rapi dan bersih, menurutku.
“kenapa?” tanyanya ketika melihatku terus memperhatikannya
“ngga apa2. Kamu makannya bersih bgt.”
“hehehe kebiasaan dari dulu.”
Aku meminum seteguk minumanku, yg kemudian aku rasakan rasanya agak aneh
“ini emang gini ya rasanya?” gumamku sendiri
“kenapa? Ya emang gitu rasanya. Ngga pernah ya makan A*? ngga ada gitu di Bali?”
“hehehe ngga pernah, ngga tahu juga ada apa ngga. Aku sih jarang makan ginian, banyakan makan masakan rumahan aja. Ini minumnya kaya minyak angin rasanya,”
sahutku. Dewa tertawa lepas mendengar komentarku.
“ada2 aja kamu…” dia pun meneguk minumannya, “enak kok, tp jgn sering2 makan ginian ngga sehat hehehe,” lagi2 dia memamerkan senyum manisnya. “ke hotel sekarang yuk,” ajaknya kemudian.
Kami lalu mencari taksi yg tidak sulit ditemukan disekitaran terminal kedatangan ini.
Hotel yg dimaksud adalah hotel yg aku booking melalui buku travel guide to Jakarta. Hanya bermodal lokasi yg deket dengan bandara tanpa tahu bagaimana rupa hotelnya aku memesan satu kamar untuk hari ini melalui telpon.
Daaannn….ternyata hotelnya spoky bgt rupanya.
“Wa, kok gini bgt ya hotelnya, batalin aja ya, cari hotel yg lain aja,” usulku begitu sampai di depan hotel.
Aku dan dia ngga langsung turun dari taksi. Tidak ada respon dari Dewa, kulihat dia sedang mengamati ke sekeliling hotel dari balik jendela mobil.
“yuk turun, “ ajaknya kemudian
“beneran kamu mau di sini aja?”
“iya, gpp kok,” sahutnya tersenyum lalu membuka pintu mobil yg diikuti oleh si pak sopir yg kemudian dengan sigap membuka bagasi mobil untuk mengambilkan backpack Dewa yg sebenernya ngga terlalu besar.
Aku memang booking satu kamar saja. Tapi jangan berpikiran negative dulu, karena biarpun sekamar dan tidur dalam satu tempat tidur kami tidak melakukan apa pun yg melewati batas2 kesopanan.
Seperti malam itu, Dewa kambuh. Badannya panas tapi dia kedinginan.
“Wa, gimana ini?” aku menatapnya memelas, ngga tega sekali melihat dia meringkuk menggigil. Kusentuh tangannya, panas sekali, panaaas bgt.
“Wa, panas bgt wa..” ujarku bingung
“ngga apa2, emang begitu, tiap malem juga begini, “ ujarnya masih dengan mata merem.
“beliin obat ya?”
Kulihat dia seperti tersenyum mendengar usulanku, “ngga ngaruh say…” sahutnya kemudian.
“sini…” dia tampak hendak mengulurkan tangannya, aku mendekatinya dan berbaring di depannya.
“boleh peluk?” tanyanya. Aku mengangguk. Aku lebih mendekat lagi ke arahnya dan membenamkan wajahku di lehernya.
Kurasakan hawa yg sangat panas sekali. Badannya seperti memendam bara. Aku menempelkan wajahku lekat2 di lehernya, tanganku kumasukkan ke balik baju kaosnya, dan langsung kulit tanganku tersentuh kulit tubuhnya yg terasa membara.
“wa…?” panggilku lirih
“hhm..”
“panas sekali…ini ngga bakalan kenapa2 kan?”
Dia hanya diam, tidak menyahut. Aku memindahkan tanganku ke atas sedikit ke bagian tubuhnya yg lain, maksudku agar panas badan Dewa bisa kunetralisir dengan suhu normal dari tanganku. Yg pernah kubaca, ini cara yg efektif untuk mengompres panas badan, yaitu skin to skin.
Kulepaskan pelukannya perlahan. Dia menahan tanganku yg perlahan kulepaskan dari tubuhnya
“wa…” kusentuh pipinya. Dia membuka matanya, menatapku dengan pandangan mata yg sayu, kasihan sekali melihatnya seperti ini, sangat berbeda dengan yg kulihat sore tadi.
“buka kaosmu,”pintaku. Tapi dia tidak bereaksi, hanya diam memandangiku.
“Wa…? Kamu denger aku?”
Dia mengangguk lemah. Aku ngga menunggu lagi persetujuannya. Kusingkap selimut dari tubuhnya dan kutarik ke atas kaos yg dipakainya sehingga lepas dari badannya.
Kukumpulkan segenap keberanianku, sebelum akhirnya aku melepaskan juga kaos yg kukenakan. Segera setelahnya kembali kupeluk tubuhnya. Seperti memeluk bara, itulah yg kurasakan di awalnya. Panas sekali, sangat panas. Tapi Dewa menggigil seperti kedinginan. Aku mengeratkan pelukannku. Jangan sampai dia kenapa2, apa yg harus kulakukan nanti.
“say…”gumamnya lirih
“iya Wa,” sahutku
“aku ngga apa2…..ngga usah kaya gini.”
“ngga apa2 gimana. Badan kamu panas bgt, biar aja…”
Kupeluk dia lebih erat. Tak terasa air mataku jatuh lagi. sedih sekali melihatnya seperti ini.
“jangan…ngga boleh…udah janji kan ngga boleh nangis2 lagi,” ujarnya pelan
mengangkat wajahku dan menghapus sisa2 airmata yg belepotan di pipiku. Dia mencium keningku kemudian memelukku lebih erat
Aku membuka mataku, sepertinya tadi sempat ketiduran sekejap. Aku masih dipelukan Dewa, aku angkat tangannya yg menimpa badanku. Panasnya sudah turun, meski kurasakan masih agak hangat.
Kupakai lagi kaosku. Kuperhatikan wajah Dewa yg tertidur, tenang sekali.
Ini adalah raga Rasya, jadi seperti ini Rasya. Lalu bagaimana dengan Dewa, seperti apa dia?
Aku terkesiap ketika menyadari sesuatu. Nafas Dewa tidak teratur. Jarak antara tarikan dan hembusan nafasnya terlalu lama. Menyadari ini jantungku seperti berdetak lebih keras dari biasanya.
“Wa?” kupanggil dia dan kugoyang pelan tangannya. Tidak ada reaksi
“Wa, bangun Wa,”kali ini aku guncang lebih keras tangannya. Masih ngga ada reaksi.
“wa.. bangun wa, kamu kenapa?” agak panik aku mengguncang keras badannya sambil terus memanggil2 namanya. Kutepuk2 pipinya, sambil terus mengguncang2kan badannya.
Sampai akhirnya…ya dia membuka matanya perlahan. Aku menghembuskan nafas lega, selega2nya.
“kamu kenapa? Kenapa aku bagunin ngga bangun2?”
“maaf… “ hanya itu yg terucap dari mulutnya
“maaf untuk apa?”
“aku ‘keluar’ tadi aku ngga tahan panasnya…” ujarnya lirih.
Aku termangu. Bagaimana kalau Dewa ngga akan tahan untuk seterusnya?
“aku masih cari tahu gimana caranya bisa menyatu sama raga Rasya, say… pasti ada caranya, hanya saja aku belum kuat untuk mencari tahu,” ujarnya kemudian seperti membaca apa yg ada di pikiranku. Aku hanya mengangguk.
“udah, sekarang tidur ya..”
“ngga wa, aku nungguin kamu aja,” sahutku
Dia tersenyum geli, “ngapain aku ditungguin, udah ngga apa2, biasanya klo udah lewat panasnya ngga akan panas lagi sampai terang nanti, tapi malamnya ngga tahu juga, bisa kambuh lagi atau ngga,” jelasnya.
Dia menarik tanganku dan membawaku ke pelukannya.
“kamu dulu seperti apa Wa?” tanyaku kemudian, memnuhi rasa ingin tahuku
“hm..yg jelas lebih keren dari Rasya hehehe…”
“kamu itu…!” aku mencubit pelan pinggangnya yg membuatnya mengaduh pelan
“beneran, aku lebih tinggi dari kamu, badannya lebih tegap, gantenglah hehehehe…kalau wajah ya sama kaya Rasya namanya aja kembar identik, hanya saja bentuk wajahku lebih panjang dikiiiiiit dari Rasya. Biasanya orang2bisa bedain karena kami beda tinggi badan aja. Kalau wajah sama bgt. “
Dia menarik nafas panjang.
“sebenernya bapak sudah tahu say, kalau salah satu dari kami akan pergi lebih dulu, makanya beliau menamakan adikku dengan nama kejawen Tri (tri artinya tiga), seharusnya aku kan yg anak ketiga, kedua Rasya, dan yg pertama kakakku cewek. Hanya saja beliau ngga tahu siapa yg akan pergi duluan, ternyata aku yg di takdirkan pergi.”
“ragamu saja kan?” aku mulai ragu siapa yg sedang memelukku sekarang, Rasya? Dewa? Atau Dewa yg ada dalam raganya Rasya?
“hmm…iya… aku ngga nyangka kalau Rasya mau berkorban seperti ini untukku. Eh,,,bukan say, kalau aku ingat2 lagi apa yg dia katakan malam itu, dia ngelakuin ini buat kamu…dia ngga mau kamu ngerasain sakit seperti yg dia rasakan dulu. Kalau hatiku bilang, Rasya juga menyukaimu say…”
Aku mendongak menatapnya, begitupun dia menatapku, lalu tersenyum.
“tapi Rasya kan ngga pernah tahu aku Wa.”
Dia tersenyum
“dari mana kamu tahu dia ngga tahu tentang kamu?”
“ya….kan ngga pernah ketemu, ngga pernah kenal…”
“aku juga ngga pernah ketemu kamu, ngga pernah kenal langsung kan?”
Aku terdiam.
“tapi aku tahu kamu, kenal, bahkan bisa suka sama kamu,” lanjutnya lagi. “rasya pernah lho ketempat kamu.”
“iya kan waktu nolongin aku itu kan?”
“bukan…setelah itu, sekali sewaktu kamu di Surabaya dan beberapa kali di Jakarta. Setiap aku sampai di tempatmu dia langsung pergi, aku juga ngga nanya apa2 ke dia.”
Aku menatapnya yg kini tersenyum memandangku.
“dia menyukaimu, bahkan dia rela kehilangan hidupnya supaya kamu tidak merasa sedih, dia berkorban untuk kamu say, untuk kita…”
Aku ngga bisa berkata2. Kembali kupeluk Dewa, atau Rasya, atau Dewa dalam diri Rasya ini.
Tidak pernah kusangka akan jadi seperti ini
Memandangi wajah2 para penumpang yg baru turun dari pesawat merupakan salah satu hiburan tersendiri untukku, sekaligus mengagumi kebesaran dan kehebatan dari Sang Pencipta, bagaimana tidak, aku melihat sekitar 400 orang tiap harinya dari berbagai Negara di belahan bumi ini, tak satu pun aku menemukan wajah yg mirip, semua memiliki ciri khas dan karakter masing2 yg tergores di wajah mereka, bahkan hanya dengan melihat wajah mereka saja aku bisa menebak dari negara mana mereka berasal.
Dan karakter yg dimiliki pun hampir tidak ada yg sama, tapi rata2 jika mereka berasal dari suatu negara yg sama kemungkinan besar mereka pun memiliki karakter yg mirip.
Sungguh hebat kalau dipikir2 dari mana ya Tuhan mempunyai referensi sehingga bisa mencipta sekian ribu juta manusia dengan bentuk yg berbeda2 dan juga dengan cerita yg berbeda2.
Aku berdiri di depan pintu pesawat, sedikit pusing kepalaku menyapa semua penumpang yg baru turun ini, mungkin sekitar 350 penumpang kali ini. Seorang rekanku, menghampiriku dan menyampaikan sebuah pesan dari cockpit, si kapten mau ketemu katanya.
Aku berlalu ke cockpit, bertemu dengan si kapten yg kebetulan kali ini adalah orang Indonesia, kapten favoritku yg super baik. Sedikit basa basi, say hello dengan cockpit crew, dan si kapten menyerahkan selembar kertas laporan. Sedikit insiden td sewaktu hendak landing, seekor burung malang terserempet si burung besi. Aku menerima dan menyimak kronologi ceritanya dan segera double check dengan bagian engineering untuk pemeriksaan badan pesawat dengan lebih detail. Salah seorang co-pilot pun sudah turun kebawah turut memeriksa
Untunglah ngga ada yg serius, dan di nyatakan clear oleh engineering. Aku kembali ke atas, ke gate untuk kembali ke kantor, menscan laporan yg baru aku terima td dr kapten untuk lgs dikirimkan saat itu juga ke head office.
Baru saja aku masuk ke dalam gate, aku mendengar namaku dipanggil.
“mbak Dyan?”
Aku menoleh ke sumber suara, seorang laki2 datang mengenakan seragam pilot bar 3 mendekatiku
“bener mbak dyan kan? Yg di **** ****** kan?”
Kuperhatikan lelaki itu, sepertinya aku pernah ketemu.
“Raka, Mbak..” ujar laki2 itu yg kemudian baru aku sadari ternyata dia memang Raka. Raka yg dulu sewaktu aku bermukim di Jakarta.
“oh, iya2…baru inget. Maaf, jd pangling, kamu sih tambah keren,” pujiku yg di sambut dengan derai tawanya
“hahaha biasa aja mbak. Mbak balik ke Bali ya ternyata, pantes aku ngga pernah ketemu lagi.”
“iya, ngga betah di Jakarta, enakan di rumah sendiri hehehe, wah selamat ya udah resmi gabung di G* nih?”
“masih belajar Mbak, masih panjang jalannya…” ujarnya merendah
“ya kan emang harus begitu, ngga ada yg tiba2 udah nangkring di atas kan, ntar jatuhnya cepet klo yg kaya gituan,” aku mencoba berkelakar sekaligus menyemangatinya. Lagi2 dia membalasnya hanya dengan tawa.
“mbak Dy, di ground aja nih?”
“hehehe iya jodohnya di sini aja mungkin.”
“di G*?”
“bukan di G* ngga lolos mah klo di sana, aku di Q*, yah biar asal kerja aja Ka”
“asal kerja apanya? Q* mah keren bgt tuh, the best in the world mah dia….wah, nyombong nih kayaknya."
“eh siapa yg nyombong, biasa aja hehehe..”
Rupanya rombongannya Raka sudah mendekat, segera saja kuusir dia.
“udah sana berangkat.”
“hehe iya, kabar2i ya mbak klo ke Jakarta,” ujarnya ramah.
“siap. Safe flight ya Ka!”
“thanks Mbak.” Aku menjabat tangannya sebelum dia pergi dan bergabung dengan rombongannya. Melihat Raka, aku jadi teringat Jeny, gimana ya kabar anak itu sekarang.
02.30 am, subuh ini, sepulang kerja, seperti biasa Rasya dan anakku udah pada pulas tertidur. Kulepaskan dulu helm, jaket, dan semua atribut pengaman dan pelindung, sebelum sedikit membasuh diri.
Menenangkan diri sejenak sebelum bertemu kasur, kubuka hape BB jadulku, ada satu notif kalau ada yg mengirim pesan lewat FB messenger. Langsung kubuka,
dah pake BB ya, boleh minta PIN mu? Sebuah pesan singkat, tp cukup membuat jantungku berdesir aneh. Setelah berpikir sejenak, kubalas pesannya...
Bole, ini PIN ku %^&$#@Bukan tanpa alasan kuberikan contactku, hanya karena rasa penasaran yang telah terpendam bertahun-tahun dan... sebuah penyelesaian.
****
Soekarno Hatta International Airport…
Mungkin sudah lebih dari satu jam aku duduk di public area ini. Memandangi orang2 yg berlalu lalang, dengan berbagai macam jenis tingkah dan penampilannya. Beberapa orang keluar dari gerbang arrival hall yg kemudian di sambut oleh penjemput mereka. Terlihat raut bahagia terpancar dari wajah2 mereka.
Aku pun sedang menunggu seseorang. Seseorang yg entah harus kupanggil siapa nanti. Seseorang yg menyodorkanku dengan segala keajaiban dan misteri hidup yg sama sekali tidak aku mengerti. Jujur dari dalam hatiku, aku memiliki rasa tidak percaya dan pemikiran2 buruk lainnya tentangnya. Seperti, bagaimana kalau aku di bohongi dengan ceritanya itu, bagaimana jika ini hanya lah cerita karangannya untuk menarik simpatiku, atau bagaimana kalau ternyata aku kena guna2nya sehingga aku bisa jatuh cinta dengannya meski belum pernah bertemu sekali pun sebelumnya, bukankah dia sendiri yg bilang dia bisa melakukannya. Tapi tidak ada satu pun pemikiran2 itu yg benar2 meyakinkanku kalau dia mampu melakukan itu padaku. Dan kembali pada akhirnya aku berserah pada kepercayaan hatiku padanya.
Aku kembali teringat dengan percakapanku dengannya beberapa minggu yg lalu melalui telpon…
“Say, aku di omongin bapak, tentang harta peninggalanku, akan di bagi2kan ke sodara2ku karena aku belum berkeluarga dan ngga punya ahli waris, dan sebagian akan disumbangkan juga.”
Aku merasa aneh kenapa dia ngomongin soal ini padaku, aku sama sekali ngerasa ngga ada hak untuk ikut campur.
“itu semua terserah kamu Wa…”
“tapi aku ngga terima Say, itu kan milikku, itu bekalku nanti kalau kita nikah. Aku ngga ngerti kenapa Bapak bersikeras mau menjualnya, padahal kan dia tahu aku bisa punya semua itu dari hasil kerja kerasku…”
“kamu ribut sama beliau?”
“iya..”sahutnya lirih
“Wa, apa kamu ngga mikir, bapak itu justru ambil keputusan yg bener. Memang beliau tahu kamu itu Dewa, yg punya semuanya, tapi yg lain kan ngga tahu Wa. Ibu dan sodara2 kamu kan ngga tahu, mereka tahunya kamu itu Rasya. Kalau sekarang kamu mau ambil semua milik Dewa, ya bakalan bikin masalah sama sodara2 kamu yg lain, sama keluarga besar kamu juga…”
Kudengar helaan nafas dari seberang sana. Aku rasa Dewa shock dengan keadaannya sekarang. Dia belum benar2 siap.
“tapi say… kalau begitu, aku ngga akan punya apa2 lagi…”
“Wa…. Itu ngga penting. Yg terpenting itu kamu. Kita mulai dari awal, sama seperti kamu yg akan memulai hidup kamu yg baru dengan pribadi yg baru… mungkin itu sebabnya dulu Bapak ngga ngelarang kamu dan Rasya melakukan ini dan bilang kalau kamu pasti tahu apa resiko dari keputusan yg kamu dan Rasya ambil..”
“kamu mau say memulai lagi dari awal, tanpa memiliki apa pun…”
“aku ngga pernah mengharapkan harta kamu Wa, jangan berpikir aku menyukaimu karena profesi dan kekayaan yg kamu miliki. Aku menyukaimu karena aku memang suka, itu saja.”
“Makasi say,makasi udah mau menerima aku yg sekarang…”
“iya Wa.”
“Nanti klo kita ketemu kmu jangan nangis ya, apapun yg terjadi. Sudah cukup aku buat kamu nangis terus…”
“hehehe ngga janji…”
“ngga bisa! Pokoknya janji ngga ada nangis2, aku ngga mau!”
“iya2, janji…”
Sebuah pengumuman dari pengeras suara membuyarkan lamunanku, flight yg kunantikan sudah landed.
Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya aku melihatnya keluar dari pintu arrival. Dia memakai kaos hitam, berjaket jeans hitam, dan celana jeans biru gelap. Dia tidak begitu tinggi mungkin sekitar dahiku, dengan badan yg proporsional. Rambutnya tersisir rapi dan tampak basah. Dia berkacamata, matanya tidak terlalu besar cenderung kecil, berhidung mancung, dan bibirnya tipis. Kulitnya putih bersih, lebih putih dari kulitku yg agak coklat. Mirip sekali seperti beberapa foto yg sering dia kirimkan. Dia langsung menghampiriku.
“Dewa?” sapaku begitu dia berdiri di depanku.
Dia tidak menjawab, malah langsung memelukku erat. Aku ingin menangis tapi berusaha kutahan.
Dia lepaskan pelukannya dan memandangku sambil tersenyum. Kuakui, dia tampan, mukanya baby face bgt. Dia tersenyum, senyumnya manis. Dan aku bingung harus bicara apa. Hanya kubalas senyumnya dengan senyum.
“udah lama?” tanyanya
“lumayan.”
“berapa jam?”
“sekitar 2 jam.”
“hah? Kamu ngapain bisa sampe 2 jam di sini?”
“aku dtg terlalu awal, takut macet,” sahutku.
Dia tersenyum sambil menepuk lembut ubun2ku.
“cari makan dulu yuk, pasti laper kan?” aku tersenyum dan dia menggandeng tanganku berjalan menyusuri selasar besar di terminal kedatangan itu.
Kami berhenti di salah satu gerai makanan cepat saji A*. Awalnya dia memintaku memesan, tapi aku menolak karena aku ngga terlalu paham menu gerai ini. Jadi dialah yg memesan. Kami memilih duduk di luar. Aku memperhatikan dia makan. Sangat rapi dan bersih, menurutku.
“kenapa?” tanyanya ketika melihatku terus memperhatikannya
“ngga apa2. Kamu makannya bersih bgt.”
“hehehe kebiasaan dari dulu.”
Aku meminum seteguk minumanku, yg kemudian aku rasakan rasanya agak aneh
“ini emang gini ya rasanya?” gumamku sendiri
“kenapa? Ya emang gitu rasanya. Ngga pernah ya makan A*? ngga ada gitu di Bali?”
“hehehe ngga pernah, ngga tahu juga ada apa ngga. Aku sih jarang makan ginian, banyakan makan masakan rumahan aja. Ini minumnya kaya minyak angin rasanya,”
sahutku. Dewa tertawa lepas mendengar komentarku.
“ada2 aja kamu…” dia pun meneguk minumannya, “enak kok, tp jgn sering2 makan ginian ngga sehat hehehe,” lagi2 dia memamerkan senyum manisnya. “ke hotel sekarang yuk,” ajaknya kemudian.
Kami lalu mencari taksi yg tidak sulit ditemukan disekitaran terminal kedatangan ini.
Hotel yg dimaksud adalah hotel yg aku booking melalui buku travel guide to Jakarta. Hanya bermodal lokasi yg deket dengan bandara tanpa tahu bagaimana rupa hotelnya aku memesan satu kamar untuk hari ini melalui telpon.
Daaannn….ternyata hotelnya spoky bgt rupanya.
“Wa, kok gini bgt ya hotelnya, batalin aja ya, cari hotel yg lain aja,” usulku begitu sampai di depan hotel.
Aku dan dia ngga langsung turun dari taksi. Tidak ada respon dari Dewa, kulihat dia sedang mengamati ke sekeliling hotel dari balik jendela mobil.
“yuk turun, “ ajaknya kemudian
“beneran kamu mau di sini aja?”
“iya, gpp kok,” sahutnya tersenyum lalu membuka pintu mobil yg diikuti oleh si pak sopir yg kemudian dengan sigap membuka bagasi mobil untuk mengambilkan backpack Dewa yg sebenernya ngga terlalu besar.
Aku memang booking satu kamar saja. Tapi jangan berpikiran negative dulu, karena biarpun sekamar dan tidur dalam satu tempat tidur kami tidak melakukan apa pun yg melewati batas2 kesopanan.
Seperti malam itu, Dewa kambuh. Badannya panas tapi dia kedinginan.
“Wa, gimana ini?” aku menatapnya memelas, ngga tega sekali melihat dia meringkuk menggigil. Kusentuh tangannya, panas sekali, panaaas bgt.
“Wa, panas bgt wa..” ujarku bingung
“ngga apa2, emang begitu, tiap malem juga begini, “ ujarnya masih dengan mata merem.
“beliin obat ya?”
Kulihat dia seperti tersenyum mendengar usulanku, “ngga ngaruh say…” sahutnya kemudian.
“sini…” dia tampak hendak mengulurkan tangannya, aku mendekatinya dan berbaring di depannya.
“boleh peluk?” tanyanya. Aku mengangguk. Aku lebih mendekat lagi ke arahnya dan membenamkan wajahku di lehernya.
Kurasakan hawa yg sangat panas sekali. Badannya seperti memendam bara. Aku menempelkan wajahku lekat2 di lehernya, tanganku kumasukkan ke balik baju kaosnya, dan langsung kulit tanganku tersentuh kulit tubuhnya yg terasa membara.
“wa…?” panggilku lirih
“hhm..”
“panas sekali…ini ngga bakalan kenapa2 kan?”
Dia hanya diam, tidak menyahut. Aku memindahkan tanganku ke atas sedikit ke bagian tubuhnya yg lain, maksudku agar panas badan Dewa bisa kunetralisir dengan suhu normal dari tanganku. Yg pernah kubaca, ini cara yg efektif untuk mengompres panas badan, yaitu skin to skin.
Kulepaskan pelukannya perlahan. Dia menahan tanganku yg perlahan kulepaskan dari tubuhnya
“wa…” kusentuh pipinya. Dia membuka matanya, menatapku dengan pandangan mata yg sayu, kasihan sekali melihatnya seperti ini, sangat berbeda dengan yg kulihat sore tadi.
“buka kaosmu,”pintaku. Tapi dia tidak bereaksi, hanya diam memandangiku.
“Wa…? Kamu denger aku?”
Dia mengangguk lemah. Aku ngga menunggu lagi persetujuannya. Kusingkap selimut dari tubuhnya dan kutarik ke atas kaos yg dipakainya sehingga lepas dari badannya.
Kukumpulkan segenap keberanianku, sebelum akhirnya aku melepaskan juga kaos yg kukenakan. Segera setelahnya kembali kupeluk tubuhnya. Seperti memeluk bara, itulah yg kurasakan di awalnya. Panas sekali, sangat panas. Tapi Dewa menggigil seperti kedinginan. Aku mengeratkan pelukannku. Jangan sampai dia kenapa2, apa yg harus kulakukan nanti.
“say…”gumamnya lirih
“iya Wa,” sahutku
“aku ngga apa2…..ngga usah kaya gini.”
“ngga apa2 gimana. Badan kamu panas bgt, biar aja…”
Kupeluk dia lebih erat. Tak terasa air mataku jatuh lagi. sedih sekali melihatnya seperti ini.
“jangan…ngga boleh…udah janji kan ngga boleh nangis2 lagi,” ujarnya pelan
mengangkat wajahku dan menghapus sisa2 airmata yg belepotan di pipiku. Dia mencium keningku kemudian memelukku lebih erat
Aku membuka mataku, sepertinya tadi sempat ketiduran sekejap. Aku masih dipelukan Dewa, aku angkat tangannya yg menimpa badanku. Panasnya sudah turun, meski kurasakan masih agak hangat.
Kupakai lagi kaosku. Kuperhatikan wajah Dewa yg tertidur, tenang sekali.
Ini adalah raga Rasya, jadi seperti ini Rasya. Lalu bagaimana dengan Dewa, seperti apa dia?
Aku terkesiap ketika menyadari sesuatu. Nafas Dewa tidak teratur. Jarak antara tarikan dan hembusan nafasnya terlalu lama. Menyadari ini jantungku seperti berdetak lebih keras dari biasanya.
“Wa?” kupanggil dia dan kugoyang pelan tangannya. Tidak ada reaksi
“Wa, bangun Wa,”kali ini aku guncang lebih keras tangannya. Masih ngga ada reaksi.
“wa.. bangun wa, kamu kenapa?” agak panik aku mengguncang keras badannya sambil terus memanggil2 namanya. Kutepuk2 pipinya, sambil terus mengguncang2kan badannya.
Sampai akhirnya…ya dia membuka matanya perlahan. Aku menghembuskan nafas lega, selega2nya.
“kamu kenapa? Kenapa aku bagunin ngga bangun2?”
“maaf… “ hanya itu yg terucap dari mulutnya
“maaf untuk apa?”
“aku ‘keluar’ tadi aku ngga tahan panasnya…” ujarnya lirih.
Aku termangu. Bagaimana kalau Dewa ngga akan tahan untuk seterusnya?
“aku masih cari tahu gimana caranya bisa menyatu sama raga Rasya, say… pasti ada caranya, hanya saja aku belum kuat untuk mencari tahu,” ujarnya kemudian seperti membaca apa yg ada di pikiranku. Aku hanya mengangguk.
“udah, sekarang tidur ya..”
“ngga wa, aku nungguin kamu aja,” sahutku
Dia tersenyum geli, “ngapain aku ditungguin, udah ngga apa2, biasanya klo udah lewat panasnya ngga akan panas lagi sampai terang nanti, tapi malamnya ngga tahu juga, bisa kambuh lagi atau ngga,” jelasnya.
Dia menarik tanganku dan membawaku ke pelukannya.
“kamu dulu seperti apa Wa?” tanyaku kemudian, memnuhi rasa ingin tahuku
“hm..yg jelas lebih keren dari Rasya hehehe…”
“kamu itu…!” aku mencubit pelan pinggangnya yg membuatnya mengaduh pelan
“beneran, aku lebih tinggi dari kamu, badannya lebih tegap, gantenglah hehehehe…kalau wajah ya sama kaya Rasya namanya aja kembar identik, hanya saja bentuk wajahku lebih panjang dikiiiiiit dari Rasya. Biasanya orang2bisa bedain karena kami beda tinggi badan aja. Kalau wajah sama bgt. “
Dia menarik nafas panjang.
“sebenernya bapak sudah tahu say, kalau salah satu dari kami akan pergi lebih dulu, makanya beliau menamakan adikku dengan nama kejawen Tri (tri artinya tiga), seharusnya aku kan yg anak ketiga, kedua Rasya, dan yg pertama kakakku cewek. Hanya saja beliau ngga tahu siapa yg akan pergi duluan, ternyata aku yg di takdirkan pergi.”
“ragamu saja kan?” aku mulai ragu siapa yg sedang memelukku sekarang, Rasya? Dewa? Atau Dewa yg ada dalam raganya Rasya?
“hmm…iya… aku ngga nyangka kalau Rasya mau berkorban seperti ini untukku. Eh,,,bukan say, kalau aku ingat2 lagi apa yg dia katakan malam itu, dia ngelakuin ini buat kamu…dia ngga mau kamu ngerasain sakit seperti yg dia rasakan dulu. Kalau hatiku bilang, Rasya juga menyukaimu say…”
Aku mendongak menatapnya, begitupun dia menatapku, lalu tersenyum.
“tapi Rasya kan ngga pernah tahu aku Wa.”
Dia tersenyum
“dari mana kamu tahu dia ngga tahu tentang kamu?”
“ya….kan ngga pernah ketemu, ngga pernah kenal…”
“aku juga ngga pernah ketemu kamu, ngga pernah kenal langsung kan?”
Aku terdiam.
“tapi aku tahu kamu, kenal, bahkan bisa suka sama kamu,” lanjutnya lagi. “rasya pernah lho ketempat kamu.”
“iya kan waktu nolongin aku itu kan?”
“bukan…setelah itu, sekali sewaktu kamu di Surabaya dan beberapa kali di Jakarta. Setiap aku sampai di tempatmu dia langsung pergi, aku juga ngga nanya apa2 ke dia.”
Aku menatapnya yg kini tersenyum memandangku.
“dia menyukaimu, bahkan dia rela kehilangan hidupnya supaya kamu tidak merasa sedih, dia berkorban untuk kamu say, untuk kita…”
Aku ngga bisa berkata2. Kembali kupeluk Dewa, atau Rasya, atau Dewa dalam diri Rasya ini.
Tidak pernah kusangka akan jadi seperti ini
1