- Beranda
- Stories from the Heart
Accidentally, You.
...
TS
salmansharkan
Accidentally, You.

Quote:
“That moment when you meet a perfect stranger who makes you feel like life.”

Quote:
Ini cerita tentang Airin saat berada di titik terendah dalam hidupnya. Airin menemukan sosok yang bisa membuatnya tersenyum dan mendadak bahagia dan lalu jatuh cinta.
Quote:
Langkahku melambat seiring dengan hembusan angin pelan menerbangkan ujung rambut panjang sepunggungku. Aku sedang bimbang sekarang. Beberapa jam yang lalu aku mengalami hal yang paling aku benci seumur hidupku: pertengkaran orang tua.
Aku masih tidak mengerti sampai saat ini, apa yang membuat mereka berdua mempertahankan pernikahan mereka sementara mereka selalu bertengkar setiap hari. Apa itu karena aku? Jika memang alasannya demikian, kurasa itu adalah alasan yang bodoh. Aku sudah mulai tidak memedulikan mereka lagi.
Oh ya… kau bisa sebut aku kurang ajar atau tidak menghormati orang tua, tapi seperti itulah adanya sekarang. Ada atau tidak ada aku diantara mereka toh mereka tetap bertengkar juga. Ada atau tidak ada mereka bersamaku, toh aku tetap tidak diperhatikan juga.
Aku baru saja turun dari sepeda motor yang ku gas penuh dari rumah menuju sebuah pantai yang banyak dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke pulau kecil yang kadang terlupakan ini. Aku melangkah ke arah barat daya, ke arah susunan batu pemecah ombak yang dikelilingi oleh pasir-pasir putih. Melepas alas kakiku dan merasakan hangatnya pasir pantai yang membelai lembut telapak kakiku. Ingin sekali aku mengubur kakiku disana, sekarang juga. Kalau bisa sekujur tubuhku sekalian. Kehangatan itu kurasa bisa menggantikan dingin dan bekunya suasana rumah selama lima tahun terakhir ini.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Menarik napas dalam berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku dengan cara yang diberitahukan seorang penyiar radio dalam sebuah acara kemarin siang. Aku mencoba menepikan semua masalahku ke sudut otak yang lain, menggabungkannya ke sebuah titik dan lalu memaksa setiap selnya untuk melupakan apa yang telah terjadi dan mengembalikan kenangan-kenangan yang kemungkinan bisa membuat aku tertawa.
Tapi… ah… aku tidak punya banyak kenangan indah. Umurku sudah dua puluh dan aku belum pernah merasakan pengalaman yang bisa ku kenang dengan indah disaat-saat seperti ini. Aku mengerucutkan bibir dan melanjutkan perjalanan ke ujung barat daya pantai itu dengan sepasang alas kaki di tangan kiriku.
Hari masih sangat pagi… Aku meninggalkan rumah sekitar pukul enam dan sekarang masih dingin dan agak berkabut. Debur ombak menemaniku berjalan hampir sendirian di pantai yang biasanya ramai ini. Memanjakan telingaku dengan lembut nyanyiannya ketika menyentuh bibir pantai dan bertemu pasir tempatku menapak. Aku menatap langit yang masih agak gelap di sebelah barat, namun berpadu cahaya khas matahari terbit di sebelah timur. Awan mulai membentuk formasi abstrak khas yang sangat kusuka.
“Lapar…”Aku mengelus perutku. Seharusnya memang ada penjual makanan di dekat parkiran pantai itu tapi aku melewatkannya begitu saja tadi karena pikiranku yang sedang rumit. Tanpa kusadari aku sudah tiba di ujung sebelah barat daya pantai itu. Ada banyak batu-batuan yang sengaja dibuat dan disusun untuk sebagai pemecah ombak disana. Aku duduk di salah satu batu tak jauh dari bibir pantai. Air dingin sesekali mengenai ujung hidungku yang membuatku semakin menggigil.
Aku menarik napas dalam lagi. Berusaha sebisa mungkin berbicara dengan Tuhan dari dalam hatiku. Memohon padanya agar hari ini, sehari saja, aku bisa merasa bahagia. Agar hari ini, sehari saja, aku bisa melepaskan segala beban di pundak, hati dan otakku dan tersenyum. Agar hari ini, aku bisa melupakan semuanya… tidak hanya hari ini saja, tetapi mulai hari ini dan seterusnya.
“Hai…”
Hatiku mencelos. Hampir saja aku berteriak karena terkejut mendengar suara itu masuk melalui telinga kananku. Aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku, duduk persis di atas batu di sebelah tempatku duduk. Suara laki-laki. Tubuhku seketika mengejang, ketakutan. Aku sangat tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini: laki-laki dan kejutan. Suara ombak benar-benar menenggelamkan suara langkah kakinya. Aku berusaha untuk tenang dan mengatur kecepatan detak jantungku.
“Mengagetkanmu, eh?” dia bicara dalam bahasa Korea. Aku mengerti sekali. Aku pernah belajar bahasa Korea dan mendapatkan sertifikat. Anehnya, ketika mendengarnya bicara perasaan tegang yang tadi menyerbu itu seketika menghilang. Detak jantungku mulai normal dan aku mulai rileks sekarang.
Kuberanikan diriku untuk menoleh ke kanan, dan disanalah dia duduk, tiga puluh sentimeter dari wajahku. Seorang laki-laki berkulit putih, sangat putih tapi tidak pucat, berambut hitam legam lurus disisir klimis dan dibelah dibagian pinggir, tatapannya tajam dari bola matanya yang sehitam intan, berhidung mancung dan kokoh diatas bibirnya yang tipis kemerahan.
Dia tersenyum… padaku, orang yang tidak dia kenal sama sekali. Senyumnya benar-benar tidak dibuat-buat. Aku bisa membedakannya.
Aku mulai bertanya-tanya, kenapa dia tiba-tiba datang dan menyapaku?
Aku meyakinkan diriku bahwa dia bukan hantu atau semacamnya karena aku tahu betul, penduduk lokal pulau ini masih sangat percaya mitos dan tahayul. Ku gerakkan kakiku dengan sengaja menyentuh ujung sepatunya dengan harapan dia tidak akan merasakan sentuhan itu…
Sepatu… kenapa dia menggunakan sepatu diatas pasir? Bukankah itu aneh?
Otakku mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting sampai-sampai aku lupa aku masih menatapnya sekarang. Matanya… indah sekali… Rasanya seperti menatap sebuah bintang paling terang yang bisa kau lihat di malam hari, seperti melihat keindahan Venus di kala fajar, atau menatap bulan di posisi terdekatnya dengan bumi delapan belas tahun sekali.
“Kau sendiri?” tanya laki-laki itu lagi. Saat itulah aku baru memalingkan pandanganku kembali ke atas batuan yang basah oleh air yang dibawa ombak.
“Bagaimana kau tahu aku berbicara berbahasa Korea?” tanyaku spontan. Separo penasaran separo tidak peduli. Entah bagaimana caranya aku masih ingat wajahnya ketika menatap batu-batu yang ada di depan kakiku itu.
“Kau tidak sadar?” tanyanya merasa aneh.
Aku menoleh, “Hah?” aku tidak mengerti juga.
“Ketika kau datang, memarkirkan sepeda motormu, kau mengumpat dalam bahasa Korea,” jelasnya.
Wajahku memerah seketika. Entah aku ingat atau tidak apa yang aku ucapkan beberapa menit yang lalu. Aku memang suka bicara sendiri ketika sedang berkendara. Entah kenapa itu membuatku merasa lebih baik.
“Benarkah?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dia mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat pikiranku mulai teralih oleh wajahnya yang memukau itu. Lalu sedetik kemudian aku tersadar oleh ucapannya tadi. “Jadi sejak tadi kau mengikutiku, eh?” nada bicaraku agak tinggi dan menggeser posisi dudukku agak menjauh.
“Wow, tidak, bukan begitu! Aku hanya sedang berlari pagi dari hotel dan ketika mendengar kau bicara, aku, yah… terpikir untuk berjalan-jalan ke tempat ini juga,”
“Alasanmu tidak masuk akal! Kau pasti mengikutiku!” aku berteriak dan sekarang berdiri menjauh darinya.
“Hey, hey, tenang… aku tidak bermaksud… sungguh. Kau tidak percaya? Apakah wajahku terlihat seperti penjahat?” dia menunjuk wajahnya sendiri. Kentara sekali dia takut aku tiba-tiba marah dan pergi dari tempat itu. Entah kenapa aku merasa seperti itu.
“Tidak… kau mirip Wonbin… atau Kangta…? Ah… Kau juga sedikit mirip Choi Siwon…” aku meracau lalu duduk lagi.
Entah wajahku sudah semerah apa aku tidak tahu tetapi aku bisa merasakannya memanas.
Laki-laki itu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan kepalan tangan kangannya. Aku melirik kearahnya dan memerhatikan ekspresi wajahnya saat itu. Dia terlihat benar-benar mengagumkan dengan tawanya.
“Kenapa tertawa?” aku berusaha tetap bicara dengan nada marah meskipun aku yakin sebenarnya aku sudah gagal.
“Kau juga menyanyikan sebuah lagu tadi. Fiction dari Beast kalau aku tidak salah dengar, eh?”
Mataku melotot, tercengang. Aku mulai merinding. Laki-laki ini… Wajahnya memang tampan, tapi dengan pendengaran seperti itu… Maksudku, aku bernyanyi tanpa ada niatan untuk didengar oleh siapapun. Aku biasanya bernyanyi untuk diriku sendiri… Bersenandung… Kenapa dia bisa mendengarnya? Bagaimana bisa dia mendengarnya?
“Apakah aku bernyanyi sekeras itu? Kau membuatku takut… Sungguh!” ucapku. Diam, aku masih menatap matanya yang juga menatap mataku. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku atau apa, sedetik setelah dia menyelami mataku, ekspresinya berubah.
“Kau sedang ada masalah, eh?”
Hatikuku mencelos. Lagi. Sesegera mungkin aku mengalihkan pandanganku dan mencoba tenggelam dalam birunya samudera di depanku. Membatin. Apakah adegan saling tatap tadi membuat dia bisa membaca semua pikiranku?
“Kau ini penyihir atau apa, sih? Aku selalu takut dengan orang yang bisa membaca pikiran orang lain!” aku berkata jujur dan berteriak. “Rasanya seperti tidak punya privasi!”
Dia tertawa. TERTAWA!
Astaga… pria ini bukan manusia kurasa. Aku bahkan tidak bisa menangkap bagian yang lucu dari kalimat-kalimatku sebelumnya. Tetapi… tawa laki-laki itu, entah kenapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Entah kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Kau tidak pernah dengar?” dia bertanya.
“Apa?”
“Masalah yang sedang dihadapi seseorang akan sangat terlihat jelas di matanya. Ketika mereka melihat, mereka tidak benar-benar memerhatikan apa yang mereka lihat. Ketika mereka menatap, mereka tidak benar-benar menghiraukan apa yang mereka tatap.”
Aku hanya diam dan–ya–aku sedang menatapnya. Tapi… apakah aku memikirkan hal lain saat ini? Apakah dia tahu aku punya masalah yang sumpah demi Tuhan aku tidak ingin ceritakan pada siapapun bahkan teman terdekatku sekalipun jika memang aku punya?
“Ketika kau menatapku tadi, kau tidak benar-benar memerhatikan mataku… seperti ada pembatas kaca tak terlihat tetapi sangat tebal diantara mataku dan matamu. Dan di dalam kaca itu ada banyak sekali kegundahan yang sekarang sedang menghantui pikiranmu… Benar ‘kan?”
“Aku mulai takut. Sungguh…” kataku jujur, masih menatapnya.
“Kalau begitu, katakan, apa yang harus aku lakukan agar kau tidak takut?”
“Hah?” pertanyaan itu benar-benar aneh.
Dia tertawa lagi. Oh Tuhan… tawa itu… Aku benar-benar seperti sedang berada dalam satu scene di sebuah drama Korea sekarang. Aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Mencoba sekali lagi membuang dan menyisihkan semua pikiran tentang masalah-masalahku ke sudut otak yang lain untuk bisa benar-benar memerhatikannya. Entah kenapa ucapannya tentang kaca tebal di depan mataku itu sangat mengganggu pikiranku. Rasanya seperti aku kehilangan ketulusan dalam diriku. Aku menatapnya lagi… Wajah itu… Perpaduan antara Wonbin dan Choi Siwon, sudah jelas.
“Kau mencoba memerhatikanku tanpa memikirkan masalahmu, eh?”
Sebuah tombak sudah menusuk punggungku sekarang. Dia benar-benar mengerikan!
“Aku… errr… aku benar-benar takut karena kau sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan… Aku yakin kau pasti keturunan seorang penyihir di Korea!”
Dia tertawa lagi. “Hmmm kupikir kami tidak mengenal penyihir di Korea?”
“Tapi penyihir ada di semua negara, bukan?”
“Aku tidak tahu…” jawabnya tegas sambil mengangkat bahu dan mencoba menirukan gaya imut khas member boyband Korea.
“Katakan, bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang aku rasakan!”
“Aku hanya menebak,”
“Bohong!”
“Sungguh! Dan sekarang kau mulai merasa takut, kan?”
“BAGAIMANA KAU TAHU?!”
Dia tertawa lagi. Oh aku mulai menyukai suara tawanya.
“Kau tadi bilang begitu.”
Wajahku seakan terbakar. Oh tidak, kali ini benar-benar sedang terbakar. Kakiku tiba-tiba saja gemetaran dan angin yang tadinya menenangkan menjadi sedikit terlalu dingin dan membuatku merinding berlebihan. Aku menunduk dan menahan tawa.
“Kalau kau ingin tertawa, sebaiknya dilepaskan saja… tidak baik menahan tawa. Kau tahu, jika kau menahan tertawa, pusar mu akan bertambah satu,”
“Bohong!” Aku berteriak lalu menutup mulutku sendiri dengan kedua tangan. Membayangkan bagaimana bentuk tubuhku dengan dua pusar. “KAU BOHONG!” jelas sekali ketakutan di wajahku dan dia melihatnya kemudian tertawa.
Dan… untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku ikut tertawa… lepas… sepertinya semuanya tidak pernah terjadi. Sepertinya kepalaku kosong, hanya berisi pikiran-pikiran bahagia. Sepertinya setiap sudut dari sel otakku sudah bisa melupakan masalah yang terjadi beberapa minggu belakangan ini. Sepertinya, tidak, yang ini aku yakin, kaca tebal tak terlihat itu sudah menghilang dan kini aku bisa melihat mata laki-laki itu lebih dalam dan lebih jauh dari sebelumnya. Matanya lebih indah dilihat tanpa masalah yang kupendam… dia tersenyum.
“Hai, Airin. Namaku, Mario…”
Tawaku seketika terhenti ketika dia menyebut namaku sementara seingatku aku tidak pernah memberitahukannya.
Aku masih tidak mengerti sampai saat ini, apa yang membuat mereka berdua mempertahankan pernikahan mereka sementara mereka selalu bertengkar setiap hari. Apa itu karena aku? Jika memang alasannya demikian, kurasa itu adalah alasan yang bodoh. Aku sudah mulai tidak memedulikan mereka lagi.
Oh ya… kau bisa sebut aku kurang ajar atau tidak menghormati orang tua, tapi seperti itulah adanya sekarang. Ada atau tidak ada aku diantara mereka toh mereka tetap bertengkar juga. Ada atau tidak ada mereka bersamaku, toh aku tetap tidak diperhatikan juga.
Aku baru saja turun dari sepeda motor yang ku gas penuh dari rumah menuju sebuah pantai yang banyak dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke pulau kecil yang kadang terlupakan ini. Aku melangkah ke arah barat daya, ke arah susunan batu pemecah ombak yang dikelilingi oleh pasir-pasir putih. Melepas alas kakiku dan merasakan hangatnya pasir pantai yang membelai lembut telapak kakiku. Ingin sekali aku mengubur kakiku disana, sekarang juga. Kalau bisa sekujur tubuhku sekalian. Kehangatan itu kurasa bisa menggantikan dingin dan bekunya suasana rumah selama lima tahun terakhir ini.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Menarik napas dalam berkali-kali. Mencoba menenangkan diriku dengan cara yang diberitahukan seorang penyiar radio dalam sebuah acara kemarin siang. Aku mencoba menepikan semua masalahku ke sudut otak yang lain, menggabungkannya ke sebuah titik dan lalu memaksa setiap selnya untuk melupakan apa yang telah terjadi dan mengembalikan kenangan-kenangan yang kemungkinan bisa membuat aku tertawa.
Tapi… ah… aku tidak punya banyak kenangan indah. Umurku sudah dua puluh dan aku belum pernah merasakan pengalaman yang bisa ku kenang dengan indah disaat-saat seperti ini. Aku mengerucutkan bibir dan melanjutkan perjalanan ke ujung barat daya pantai itu dengan sepasang alas kaki di tangan kiriku.
Hari masih sangat pagi… Aku meninggalkan rumah sekitar pukul enam dan sekarang masih dingin dan agak berkabut. Debur ombak menemaniku berjalan hampir sendirian di pantai yang biasanya ramai ini. Memanjakan telingaku dengan lembut nyanyiannya ketika menyentuh bibir pantai dan bertemu pasir tempatku menapak. Aku menatap langit yang masih agak gelap di sebelah barat, namun berpadu cahaya khas matahari terbit di sebelah timur. Awan mulai membentuk formasi abstrak khas yang sangat kusuka.
“Lapar…”Aku mengelus perutku. Seharusnya memang ada penjual makanan di dekat parkiran pantai itu tapi aku melewatkannya begitu saja tadi karena pikiranku yang sedang rumit. Tanpa kusadari aku sudah tiba di ujung sebelah barat daya pantai itu. Ada banyak batu-batuan yang sengaja dibuat dan disusun untuk sebagai pemecah ombak disana. Aku duduk di salah satu batu tak jauh dari bibir pantai. Air dingin sesekali mengenai ujung hidungku yang membuatku semakin menggigil.
Aku menarik napas dalam lagi. Berusaha sebisa mungkin berbicara dengan Tuhan dari dalam hatiku. Memohon padanya agar hari ini, sehari saja, aku bisa merasa bahagia. Agar hari ini, sehari saja, aku bisa melepaskan segala beban di pundak, hati dan otakku dan tersenyum. Agar hari ini, aku bisa melupakan semuanya… tidak hanya hari ini saja, tetapi mulai hari ini dan seterusnya.
“Hai…”
Hatiku mencelos. Hampir saja aku berteriak karena terkejut mendengar suara itu masuk melalui telinga kananku. Aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku, duduk persis di atas batu di sebelah tempatku duduk. Suara laki-laki. Tubuhku seketika mengejang, ketakutan. Aku sangat tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini: laki-laki dan kejutan. Suara ombak benar-benar menenggelamkan suara langkah kakinya. Aku berusaha untuk tenang dan mengatur kecepatan detak jantungku.
“Mengagetkanmu, eh?” dia bicara dalam bahasa Korea. Aku mengerti sekali. Aku pernah belajar bahasa Korea dan mendapatkan sertifikat. Anehnya, ketika mendengarnya bicara perasaan tegang yang tadi menyerbu itu seketika menghilang. Detak jantungku mulai normal dan aku mulai rileks sekarang.
Kuberanikan diriku untuk menoleh ke kanan, dan disanalah dia duduk, tiga puluh sentimeter dari wajahku. Seorang laki-laki berkulit putih, sangat putih tapi tidak pucat, berambut hitam legam lurus disisir klimis dan dibelah dibagian pinggir, tatapannya tajam dari bola matanya yang sehitam intan, berhidung mancung dan kokoh diatas bibirnya yang tipis kemerahan.
Dia tersenyum… padaku, orang yang tidak dia kenal sama sekali. Senyumnya benar-benar tidak dibuat-buat. Aku bisa membedakannya.
Aku mulai bertanya-tanya, kenapa dia tiba-tiba datang dan menyapaku?
Aku meyakinkan diriku bahwa dia bukan hantu atau semacamnya karena aku tahu betul, penduduk lokal pulau ini masih sangat percaya mitos dan tahayul. Ku gerakkan kakiku dengan sengaja menyentuh ujung sepatunya dengan harapan dia tidak akan merasakan sentuhan itu…
Sepatu… kenapa dia menggunakan sepatu diatas pasir? Bukankah itu aneh?
Otakku mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting sampai-sampai aku lupa aku masih menatapnya sekarang. Matanya… indah sekali… Rasanya seperti menatap sebuah bintang paling terang yang bisa kau lihat di malam hari, seperti melihat keindahan Venus di kala fajar, atau menatap bulan di posisi terdekatnya dengan bumi delapan belas tahun sekali.
“Kau sendiri?” tanya laki-laki itu lagi. Saat itulah aku baru memalingkan pandanganku kembali ke atas batuan yang basah oleh air yang dibawa ombak.
“Bagaimana kau tahu aku berbicara berbahasa Korea?” tanyaku spontan. Separo penasaran separo tidak peduli. Entah bagaimana caranya aku masih ingat wajahnya ketika menatap batu-batu yang ada di depan kakiku itu.
“Kau tidak sadar?” tanyanya merasa aneh.
Aku menoleh, “Hah?” aku tidak mengerti juga.
“Ketika kau datang, memarkirkan sepeda motormu, kau mengumpat dalam bahasa Korea,” jelasnya.
Wajahku memerah seketika. Entah aku ingat atau tidak apa yang aku ucapkan beberapa menit yang lalu. Aku memang suka bicara sendiri ketika sedang berkendara. Entah kenapa itu membuatku merasa lebih baik.
“Benarkah?” aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dia mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat pikiranku mulai teralih oleh wajahnya yang memukau itu. Lalu sedetik kemudian aku tersadar oleh ucapannya tadi. “Jadi sejak tadi kau mengikutiku, eh?” nada bicaraku agak tinggi dan menggeser posisi dudukku agak menjauh.
“Wow, tidak, bukan begitu! Aku hanya sedang berlari pagi dari hotel dan ketika mendengar kau bicara, aku, yah… terpikir untuk berjalan-jalan ke tempat ini juga,”
“Alasanmu tidak masuk akal! Kau pasti mengikutiku!” aku berteriak dan sekarang berdiri menjauh darinya.
“Hey, hey, tenang… aku tidak bermaksud… sungguh. Kau tidak percaya? Apakah wajahku terlihat seperti penjahat?” dia menunjuk wajahnya sendiri. Kentara sekali dia takut aku tiba-tiba marah dan pergi dari tempat itu. Entah kenapa aku merasa seperti itu.
“Tidak… kau mirip Wonbin… atau Kangta…? Ah… Kau juga sedikit mirip Choi Siwon…” aku meracau lalu duduk lagi.
Entah wajahku sudah semerah apa aku tidak tahu tetapi aku bisa merasakannya memanas.
Laki-laki itu tertawa sambil menutupi mulutnya dengan kepalan tangan kangannya. Aku melirik kearahnya dan memerhatikan ekspresi wajahnya saat itu. Dia terlihat benar-benar mengagumkan dengan tawanya.
“Kenapa tertawa?” aku berusaha tetap bicara dengan nada marah meskipun aku yakin sebenarnya aku sudah gagal.
“Kau juga menyanyikan sebuah lagu tadi. Fiction dari Beast kalau aku tidak salah dengar, eh?”
Mataku melotot, tercengang. Aku mulai merinding. Laki-laki ini… Wajahnya memang tampan, tapi dengan pendengaran seperti itu… Maksudku, aku bernyanyi tanpa ada niatan untuk didengar oleh siapapun. Aku biasanya bernyanyi untuk diriku sendiri… Bersenandung… Kenapa dia bisa mendengarnya? Bagaimana bisa dia mendengarnya?
“Apakah aku bernyanyi sekeras itu? Kau membuatku takut… Sungguh!” ucapku. Diam, aku masih menatap matanya yang juga menatap mataku. Dia sepertinya bisa membaca pikiranku atau apa, sedetik setelah dia menyelami mataku, ekspresinya berubah.
“Kau sedang ada masalah, eh?”
Hatikuku mencelos. Lagi. Sesegera mungkin aku mengalihkan pandanganku dan mencoba tenggelam dalam birunya samudera di depanku. Membatin. Apakah adegan saling tatap tadi membuat dia bisa membaca semua pikiranku?
“Kau ini penyihir atau apa, sih? Aku selalu takut dengan orang yang bisa membaca pikiran orang lain!” aku berkata jujur dan berteriak. “Rasanya seperti tidak punya privasi!”
Dia tertawa. TERTAWA!
Astaga… pria ini bukan manusia kurasa. Aku bahkan tidak bisa menangkap bagian yang lucu dari kalimat-kalimatku sebelumnya. Tetapi… tawa laki-laki itu, entah kenapa aku merasa sangat senang mendengarnya. Entah kenapa aku sangat senang melihatnya.
“Kau tidak pernah dengar?” dia bertanya.
“Apa?”
“Masalah yang sedang dihadapi seseorang akan sangat terlihat jelas di matanya. Ketika mereka melihat, mereka tidak benar-benar memerhatikan apa yang mereka lihat. Ketika mereka menatap, mereka tidak benar-benar menghiraukan apa yang mereka tatap.”
Aku hanya diam dan–ya–aku sedang menatapnya. Tapi… apakah aku memikirkan hal lain saat ini? Apakah dia tahu aku punya masalah yang sumpah demi Tuhan aku tidak ingin ceritakan pada siapapun bahkan teman terdekatku sekalipun jika memang aku punya?
“Ketika kau menatapku tadi, kau tidak benar-benar memerhatikan mataku… seperti ada pembatas kaca tak terlihat tetapi sangat tebal diantara mataku dan matamu. Dan di dalam kaca itu ada banyak sekali kegundahan yang sekarang sedang menghantui pikiranmu… Benar ‘kan?”
“Aku mulai takut. Sungguh…” kataku jujur, masih menatapnya.
“Kalau begitu, katakan, apa yang harus aku lakukan agar kau tidak takut?”
“Hah?” pertanyaan itu benar-benar aneh.
Dia tertawa lagi. Oh Tuhan… tawa itu… Aku benar-benar seperti sedang berada dalam satu scene di sebuah drama Korea sekarang. Aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Mencoba sekali lagi membuang dan menyisihkan semua pikiran tentang masalah-masalahku ke sudut otak yang lain untuk bisa benar-benar memerhatikannya. Entah kenapa ucapannya tentang kaca tebal di depan mataku itu sangat mengganggu pikiranku. Rasanya seperti aku kehilangan ketulusan dalam diriku. Aku menatapnya lagi… Wajah itu… Perpaduan antara Wonbin dan Choi Siwon, sudah jelas.
“Kau mencoba memerhatikanku tanpa memikirkan masalahmu, eh?”
Sebuah tombak sudah menusuk punggungku sekarang. Dia benar-benar mengerikan!
“Aku… errr… aku benar-benar takut karena kau sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan… Aku yakin kau pasti keturunan seorang penyihir di Korea!”
Dia tertawa lagi. “Hmmm kupikir kami tidak mengenal penyihir di Korea?”
“Tapi penyihir ada di semua negara, bukan?”
“Aku tidak tahu…” jawabnya tegas sambil mengangkat bahu dan mencoba menirukan gaya imut khas member boyband Korea.
“Katakan, bagaimana kau bisa tahu apa yang sedang aku rasakan!”
“Aku hanya menebak,”
“Bohong!”
“Sungguh! Dan sekarang kau mulai merasa takut, kan?”
“BAGAIMANA KAU TAHU?!”
Dia tertawa lagi. Oh aku mulai menyukai suara tawanya.
“Kau tadi bilang begitu.”
Wajahku seakan terbakar. Oh tidak, kali ini benar-benar sedang terbakar. Kakiku tiba-tiba saja gemetaran dan angin yang tadinya menenangkan menjadi sedikit terlalu dingin dan membuatku merinding berlebihan. Aku menunduk dan menahan tawa.
“Kalau kau ingin tertawa, sebaiknya dilepaskan saja… tidak baik menahan tawa. Kau tahu, jika kau menahan tertawa, pusar mu akan bertambah satu,”
“Bohong!” Aku berteriak lalu menutup mulutku sendiri dengan kedua tangan. Membayangkan bagaimana bentuk tubuhku dengan dua pusar. “KAU BOHONG!” jelas sekali ketakutan di wajahku dan dia melihatnya kemudian tertawa.
Dan… untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini, aku ikut tertawa… lepas… sepertinya semuanya tidak pernah terjadi. Sepertinya kepalaku kosong, hanya berisi pikiran-pikiran bahagia. Sepertinya setiap sudut dari sel otakku sudah bisa melupakan masalah yang terjadi beberapa minggu belakangan ini. Sepertinya, tidak, yang ini aku yakin, kaca tebal tak terlihat itu sudah menghilang dan kini aku bisa melihat mata laki-laki itu lebih dalam dan lebih jauh dari sebelumnya. Matanya lebih indah dilihat tanpa masalah yang kupendam… dia tersenyum.
“Hai, Airin. Namaku, Mario…”
Tawaku seketika terhenti ketika dia menyebut namaku sementara seingatku aku tidak pernah memberitahukannya.
Spoiler for INDEX PART 'accidentally, you.':
Diubah oleh salmansharkan 25-01-2018 10:23
Heidymahrani dan 5 lainnya memberi reputasi
6
18.7K
Kutip
62
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
salmansharkan
#2

Quote:
“Mario, boleh aku bertanya sesuatu?”
Aku dan Mario masih di tempat yang sama. Kami sedang menikmati dua piring sate khas pulau ini yang banyak dijual di sepanjang jalan masuk ke pantai tadi. Dua buah kelapa muda segar juga bertengger santai di atas batu di depan kami. Sesaat sebelum makanan ini datang beberapa menit yang lalu, perutku berbunyi dengan suara yang tidak manusiawi dan Mario lagi-lagi tertawa karena itu. Dia akhirnya berlari secepat kilat dan kembali membawa dua makanan ini.
“Apa itu?”jawab Mario dengan mulut penuh lontong.
“Apa kau pernah jatuh cinta?” entah kenapa pertanyaan ini terdengar seperti anak-anak yang baru akil baligh.
Mario tersenyum. Menelan seluruh isi mulutnya kemudian menyeruput sedikit air kelapa muda untuk melegakan tenggorokannya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” dia mulai lagi menatapku dengan tatapan penuh selidiknya, seakan-akan sedang membaca pikiranku lagi.
“Hanya ingin tahu. Aku tidak pernah punya banyak teman pria. Satu-satunya pria yang aku kenal adalah ayahku dan… yah, mantan pacarku yang kuputuskan beberapa hari yang lalu,”
“Kenapa tidak pernah bertanya pada mantan pacarmu itu?”
“Tentu saja karena dia idiot. Dia bahkan tidak mencintaiku, bagaimana mungkin aku bertanya padanya apakah dia pernah jatuh cinta?” jawabku tegas.
“Lalu kenapa kau bertanya padaku?” dia semakin menatapku.
“Karena aku merasa kau temanku,” aku berusaha mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan maut itu.
“Kita bahkan baru saling mengenal. Tidak bisa menjadi teman secepat itu,”
Aku menghela napas.
“Baiklah,” aku meraih tangan kanannya kemudian menggenggamnya dengan tangan kananku. Hangat sekali. Sesaat aku merasa seperti melayang, tidak, seperti jatuh cinta. Tangan Mario sangat–aahhh kenapa aku jadi seperti ini? “Kita berteman sekarang,” ucapku ketika seluruh isi otakku kembali menyatu. “Jadi katakan, apakah kau pernah jatuh cinta?”
Mario tertawa lalu mendorong dahiku dengan telunjuknya. “Kau lucu,”
“Hey! Jawab saja!”
“Oke oke baiklah. Tapi, sebaiknya habiskan ini dulu dan kita akan pergi ke tempat lain, bagaimana? Tempat ini sudah mulai ramai. Tidak nyaman lagi,”
Aku menatap Mario curiga.
“Apakah kau mau berduaan saja denganku di sebuah tempat yang hanya kau yang tahu? Lalu kau menculikku kemudian membunuhku dan melemparku dari atas tebing?” adegan ini tentunya datang dari kebiasaan buruk paranoidku. Terlalu jahat rasanya berpikir orang setampan ini akan melakukan itu. Walaupun setiap kemungkinan pasti ada, tapi Mario… ah, rasanya mustahil sekali.
Dia terbahak.
“Kenapa aku harus melakukan itu! Kau gila!” Mario tertawa.
“Kita baru saja kenal, maksudku… aku tidak mungkin pergi dengan orang asing!”
“Lalu? Siapa yang tadi menjabat tanganku dan mengatakan bahwa sekarang kita berteman?”
Aku diam. Bodoh. Aku memang bodoh.
“Aku… baiklah kalau begitu, kemana kau akan mengajakku?”
Aku meminta Mario untuk mengendarai sepeda motorku saja karena aku merasa tidak aman jika harus pergi dengan kendaraan milik Mario. Yah… kalau dipikir-pikir, tidak aman juga pergi dengan orang yang kau kenal di pantai, tapi kurasa Mario bukan orang yang seperti itu.
Dia jauh lebih baik dari laki-laki manapun yang aku kenal, bahkan Ayahku sendiri. Hidup sebagai anak tunggal membuatku sangat merindukan sosok laki-laki yang lebih tua. Aku tidak bisa mengandalkan apapun dari ayahku karena setiap hari yang aku dengar dari dirinya hanyalah teriakan-teriakan marah, pecahan-pecahan keramik dan kaca di rumah, serta makian dan cacian untukku dan ibuku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadikannya idola?
Aku pernah chatting di sebuah situs pertemanan dengan salah seorang teman perempuanku. Dengan terus terang kukatakan padanya kalau aku sangat ingin memiliki seorang kakak laki-laki ataupun sosok ayah yang kira-kira bisa diandalkan. Aku punya beberapa tipe ideal dan kurasa aku butuh orang yang seperti itu.
Awalnya aku malu harus mengakui semua masalahku padanya, tetapi syukurlah dia bisa mengerti dan memberikan banyak sekali masukkan untukku. Jujur saja, entah kenapa, aku lebih mudah berkomunikasi dan terbuka dengan orang yang baru kukenal ketimbang teman yang sudah lama bersamaku tetapi hanya bisa menusukku dari belakang.
Temanku itu berkata, dengan kondisi keluarganya yang tidak kacau sepertiku pun dia terkadang berpikir bahwa sosok ideal seorang ayah ada pada orang lain. Maka tidak heran jika aku juga memiliki sosok ideal seorang ayah dengan kondisi keluarga seperti ini. Dan ketika dia bertanya, siapa sosok laki-laki itu menurutku, aku langsung menjawab Choi Siwon.
Sumpah. Aku merasa benar-benar seperti delusional fans yang bodoh sekali. Tapi mau bagaimana pun juga, itulah adanya.
“Kau tertidur?”teriak Mario yang sedang mengendarai sepeda motorku.
“Tidak, bodoh. Mana mungkin aku tertidur. Aku tidak akan membiarkanmu dengan mudah membawaku kabur ke tempat yang tidak aku ketahui,” jawabku yang sekarang sedang bingung bagaimana harus menempatkan posisi duduk. Aku mulai lelah membuat jarak antara dadaku dan punggungnya.
“Lalu kenapa diam saja?”
“Aku sedang memikirkan sesuatu,”
“Tentang ayahmu?”
“Gila! Bagaimana kau bisa tahu?”
“Percaya atau tidak, kau barusan, entah sengaja atau tidak, mengatakan sesuatu tentang ayahmu padaku. Kau tidak sadar?”
Sumpah aku tidak pernah bicara sejak tadi! Aku hanya memikirkannya! Bagaimana dia bisa tahu?
Mario tiba-tiba tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Aku bisa membayangkan wajahmu yang keheranan karena aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku hanya menebaknya,” dia terkikik. Entah kenapa setiap kali dia bicara, angin selalu membawa aroma khas yang membuatku mabuk, dan itu datang darinya.
“Kau membuatku takut! Omong-omong, kau akan membawaku kemana?” aku mencoba mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang melantur lagi.
“Kau akan menyukainya, tunggu sebentar lagi kita akan sampai. Aku yakin kau tidak pernah ke tempat ini sebelumnya eh?”
“Tidak. Sama sekali belum. Tempat terjauh yang pernah kukunjungi di tempat ini adalah pantai yang tadi,”
“Kalau begitu ini akan jadi satu kejutan buatmu,”
“Kejutan? Oh aku tidak pernah menyukai kejutan. Aku belum menyebutkannya, eh? Atau setidaknya kau bisa membaca pikiranku mengenai hal itu,” aku bergidik.
“Kau tidak suka kejutan? Aneh… kupikir semua wanita menyukainya. Maksudku, aku punya banyak teman–yah–bukan sepenuhnya wanita, tapi mereka menyukai hal-hal yang membuat terkejut. Terkesan romantis, eh?”
“Kejutan membuatmu mati di tempat ketika kau tahu ayahmu selingkuh dengan wanita lain. Membuatmu ingin memenggal lehermu sendiri ketika tahu orang yang kau sebut teman ternyata adalah kekasih dari pacarmu. Hal-hal seperti itu membuatku benci kejutan,” jawabku sedikit kesal.
“Ah, kau tidak akan merasakan hal itu lagi, Airin, percayalah. Kalau begitu, jangan bilang ini kejutan dariku. Anggap saja hadiah, bagaimana?”
“Terserah kau saja…”
Aku memutuskan untuk pasrah dan mengikuti apa yang diinginkan Mario. Meskipun dia tetap dengan konsep ‘bukan-kejutan’ nya, tapi aku tetap saja merasa bahwa ini akan menjadi hal yang sedikit membuatku takut. Tapi toh aku menurut saja ketika Mario memaksaku untuk tidak membuka mata sampai kami tiba di tempat yang dia maksud.
Aku selalu tidak suka adegan seperti ini. Benar-benar menjijikkan. Menurutku, ini hanya untuk remaja labil yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Belum pernah patah hati oleh laki-laki yang lebih memilih temanmu sendiri dibanding dirimu ketika kau sudah merasakan–ah sial! Aku kesini bukan untuk meratap!
“Aku tidak suka ini…”
“Ah, kau tidak akan menyesal, sungguh. Kuingatkan kau, ini agak berbahaya, jadi kau benar-benar harus berpegangan erat padaku, oke?”
Baru saja Mario selesai mengucapkan kalimat itu, tanganku langsung menggenggam lengan kanannya. Erat sekali sampai-sampai aku merasa bahwa aku dan Mario benar-benar sepasang kekasih. Pikiranku sedang gila sekarang.
“Kau ketakutan, eh? Tanganmu gemetaran,” dia tertawa.
“Aku tidak pernah memegang bisep seorang laki-laki yang baru aku kenal sebelumnya,” jawabku dibalas oleh tawa lagi oleh Mario.
“Bisep?” Mario terbahak. “Kau benar-benar lucu, Airin!”
“Apakah kita sudah sampai?”
“Hati-hati, jangan terlalu banyak bergerak, ikuti saja langkahku, oke?”
“Baiklah… baiklah…”
Mario berhenti tak lama setelah itu dan dia memerintahkan aku untuk duduk perlahan-lahan dan membuka alas kakiku. Aku merasakan hembusan angin cukup kencang dan bisa mencium aroma dedaunan bercampur dengan aroma air laut yang asin. Aku menebak-nebak sendiri dimana aku berada.
“Kau yakin kau tidak mengintip?”
Pertanyaan itu benar-benar membuatku berpikir sekarang aku sedang berada di lokasi syuting sebuah film televisi.
“Aku sudah hampir tertidur,” jawabku.
“Baiklah, kita sudah sampai. Sekarang buka matamu,”
Tadinya aku berpikir Mario mengajakku ke sebuah bukit yang kulihat di sepanjang jalan tadi dan duduk di antara bebatuan ditengah-tengah rimbunnya dedaunan. Yah, aku memang sedang duduk di antara bebatuan sekarang, tapi di sebuah tebing terjal curam yang tingginya sekitar sepuluh meter dan di bawahku, debur ombak sangat jelas terlihat dengan buih-buih putihnya.
Samudera biru terasa lebih indah dari sini, apalagi matahari sangat cerah bersinar sehingga air laut terlihat berkilauan seperti biru berlian. Kakiku sedikit gemetaran sementara tangan kananku mendekap mulutku. Dari atas sini, semuanya terlihat sangat berbeda… sangat indah.
“Kau suka?”
Aku tidak bisa berkata-kata, mencoba menyusun kata-kata tapi mulutku sepertinya kaku sekali.
“Aku harap kau suka,” kata Mario lagi. Dia kemudian melepaskan genggaman tangannya yang sejak tadi membimbingku berjalan sementara aku masih menggenggam bisepnya dengan tangan kananku. Aku masih agak takut. Bahkan setiap kali angin berhembus, rasanya seperti aku akan terdorong dan jatuh ke jurang itu.
“Ini indah sekali, sungguh,”
Aku diam lumayan lama. Sebuah lagu mengalun di kepalaku sekarang. Sebuah lagu yang selalu bisa membuatku galau dan terkadang menangis. Lagu yang selalu menemaniku ketika menulis semua isi hatiku di selembar kertas yang sekarang sudah ada berlembar-lembar menumpuk di dalam dompetku. Aku tidak yakin, tetapi aku merasakan pipiku basah saat itu.
Mario memergokiku tetapi sebelum dia sempat bicara, aku menyambar dengan memberitahunya kalau mataku kelilipan debu.
“Aku tidak pernah malu untuk menangis. Menurutku itu adalah suatu reaksi yang wajar terhadap semua isi pikiranmu yang mengganggu. Jadi kau tidak perlu berbohong,”
“Aku tidak pernah suka laki-laki kasar. Ayahku selalu berbuat kasar padaku sejak aku duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya sesuatu membuatnya berubah sejak saat itu. Dia tidak pernah lagi menatap mataku seperti ketika aku kelas satu sekolah dasar dulu. Dia tidak pernah lagi pulang ke rumah tepat waktu, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu diluar. Entah dimana…
“Ketika aku masuk SMA, aku tahu bahwa ternyata ayahku menikahi perempuan lain. Saat itu perasaanku sangat kacau. Aku sangat percaya bahwa ayahku hanya mencintaiku dan ibuku, tetapi semuanya berubah sejak saat itu. Aku tidak pernah lagi memanggil namanya.
"Aku tidak pernah lagi menjawab apapun yang ditanyakannya padaku di meja makan. Makan malam kami selalu berakhir dengan pertengkaran sejak saat itu. Bahkan sampai hari ini… Ayah dan ibuku masih selalu bertengkar. Rumah selalu berantakan dan tidak pernah bisa bertahan lebih dari satu hari dalam keadaan rapi… Aku tidak pernah percaya pada laki-laki setelah manapun, kecuali pacarku,”
“Tapi kau bilang kau sudah putus dengannya,”
“Benar. Dia memacari temanku juga,”
Hening sejenak. Aku menunduk walaupun sebenarnya aku takut. Tanganku masih memegang bisep Mario. Hanya itu yang bisa membuatku merasa aman dan tenang saat ini.
“Aku bertahan karena ibuku. Aku tidak ingin dia tersakiti. Dia selalu menolak untuk meninggalkan ayahku, entah kenapa… Aku mulai mengubah cara berpikirku tentang cinta dan laki-laki.
"Ayahku contohnya, dia bilang dia sangat mencintaiku, mencintai ibuku, tapi lalu dia pergi bersama perempuan lain dan menghancurkan perasaan kami. Pacarku, dia bilang dia mencintaiku lebih dari apapun, tapi pada akhirnya dia juga mengkhianatiku,”
Hening lagi. Aku mencoba untuk tidak berdebar-debar karena aku tahu Mario sedang memerhatikanku dari sudut matanya.
“Kau bilang kau tidak pernah percaya laki-laki, lalu kenapa kau percaya padaku? Kau bahkan baru mengenalku. Bisa saja aku berbuat jahat padamu, kan?”
“Aku mengikuti kata hatiku saja. Kau tahu? Aku adalah penggemar berat Siwon dan Donghae. Kau tahu Super Junior kan?”
“Tentu,”
“Aku terkadang berpikir kalau Siwon bisa jadi sosok ayah yang baik untukku dan Donghae bisa jadi kakak yang bisa melindungiku,” aku tertawa geli. Ini memang terdengar menjijikkan.
“Entah kenapa, karena selama ini aku selalu berada di bawah tekanan ayahku, aku membutuhkan laki-laki seperti mereka. Kurasa akan sangat bahagia jika kau memiliki seorang laki-laki yang lebih tua yang bisa memberikan rasa hangat seorang kakak ketika kau berada dalam kondisi seperti ini, eh?
"Aku tidak pernah punya kakak. Dua laki-laki itu setidaknya bisa membuatku merasa nyaman walaupun hanya dengan memikirkannya saja,” aku terdengar seperti fans fanatik yang sudah kehilangan akal. Oh ya, aku adalah fans aneh yang seperti itu.
“Kau bilang kau tidak percaya laki-laki!”
“Mereka berbeda. Atau, yah, sebenarnya aku tidak benar-benar tidak percaya laki-laki. Siwon dan Donghae banyak membantuku menyelesaikan masalahku. Klise, tapi bagaimana lagi kalau memang begitu kenyataannya,”
“Hah? Maksudmu? Kau kenal mereka secara pribadi?” Mario, demi apapun, terdengar seperti dia benar-benar percaya hal itu.
“Bodoh! Tentu saja tidak. Aku mengirimi mereka surat,”
“Surat? Apakah mereka membacanya? Maksudku, mereka kan sibuk sekali,”
“Aku hanya bercanda. Aku menulis untuk mereka. Aku menyimpan semuanya di dompetku. Ingat?”
“Oh… tidak pernah berpikir untuk mengirimnya pada mereka langsung?”
“Tidak akan ada gunanya juga bukan? Kau yang bilang kalau mereka tidak akan membacanya,”
“Lalu apakah sekarang kau sudah benar-benar lupa masalahmu itu?”
“Tidak sama sekali… bahkan aku masih membahasnya tadi…”
“Benar juga.”
Hening lagi. Aku mencoba untuk menikmati saja suasana dan pemandangan di sana di tengah kerikuhan ini. Sampai akhirnya aku ingat Mario belum menjawab pertanyaanku sebelum kami tiba ditempat ini tadi.
“Hey! Kau belum menjawab pertanyaanku!” aku meninju lengannya.
“Soal apakah aku pernah jatuh cinta?”
Aku mengangguk. Mario kemudian menyeringai aneh.
Aku dan Mario masih di tempat yang sama. Kami sedang menikmati dua piring sate khas pulau ini yang banyak dijual di sepanjang jalan masuk ke pantai tadi. Dua buah kelapa muda segar juga bertengger santai di atas batu di depan kami. Sesaat sebelum makanan ini datang beberapa menit yang lalu, perutku berbunyi dengan suara yang tidak manusiawi dan Mario lagi-lagi tertawa karena itu. Dia akhirnya berlari secepat kilat dan kembali membawa dua makanan ini.
“Apa itu?”jawab Mario dengan mulut penuh lontong.
“Apa kau pernah jatuh cinta?” entah kenapa pertanyaan ini terdengar seperti anak-anak yang baru akil baligh.
Mario tersenyum. Menelan seluruh isi mulutnya kemudian menyeruput sedikit air kelapa muda untuk melegakan tenggorokannya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” dia mulai lagi menatapku dengan tatapan penuh selidiknya, seakan-akan sedang membaca pikiranku lagi.
“Hanya ingin tahu. Aku tidak pernah punya banyak teman pria. Satu-satunya pria yang aku kenal adalah ayahku dan… yah, mantan pacarku yang kuputuskan beberapa hari yang lalu,”
“Kenapa tidak pernah bertanya pada mantan pacarmu itu?”
“Tentu saja karena dia idiot. Dia bahkan tidak mencintaiku, bagaimana mungkin aku bertanya padanya apakah dia pernah jatuh cinta?” jawabku tegas.
“Lalu kenapa kau bertanya padaku?” dia semakin menatapku.
“Karena aku merasa kau temanku,” aku berusaha mengalihkan pandangan untuk menghindari tatapan maut itu.
“Kita bahkan baru saling mengenal. Tidak bisa menjadi teman secepat itu,”
Aku menghela napas.
“Baiklah,” aku meraih tangan kanannya kemudian menggenggamnya dengan tangan kananku. Hangat sekali. Sesaat aku merasa seperti melayang, tidak, seperti jatuh cinta. Tangan Mario sangat–aahhh kenapa aku jadi seperti ini? “Kita berteman sekarang,” ucapku ketika seluruh isi otakku kembali menyatu. “Jadi katakan, apakah kau pernah jatuh cinta?”
Mario tertawa lalu mendorong dahiku dengan telunjuknya. “Kau lucu,”
“Hey! Jawab saja!”
“Oke oke baiklah. Tapi, sebaiknya habiskan ini dulu dan kita akan pergi ke tempat lain, bagaimana? Tempat ini sudah mulai ramai. Tidak nyaman lagi,”
Aku menatap Mario curiga.
“Apakah kau mau berduaan saja denganku di sebuah tempat yang hanya kau yang tahu? Lalu kau menculikku kemudian membunuhku dan melemparku dari atas tebing?” adegan ini tentunya datang dari kebiasaan buruk paranoidku. Terlalu jahat rasanya berpikir orang setampan ini akan melakukan itu. Walaupun setiap kemungkinan pasti ada, tapi Mario… ah, rasanya mustahil sekali.
Dia terbahak.
“Kenapa aku harus melakukan itu! Kau gila!” Mario tertawa.
“Kita baru saja kenal, maksudku… aku tidak mungkin pergi dengan orang asing!”
“Lalu? Siapa yang tadi menjabat tanganku dan mengatakan bahwa sekarang kita berteman?”
Aku diam. Bodoh. Aku memang bodoh.
“Aku… baiklah kalau begitu, kemana kau akan mengajakku?”
-Accidentally You-
Aku meminta Mario untuk mengendarai sepeda motorku saja karena aku merasa tidak aman jika harus pergi dengan kendaraan milik Mario. Yah… kalau dipikir-pikir, tidak aman juga pergi dengan orang yang kau kenal di pantai, tapi kurasa Mario bukan orang yang seperti itu.
Dia jauh lebih baik dari laki-laki manapun yang aku kenal, bahkan Ayahku sendiri. Hidup sebagai anak tunggal membuatku sangat merindukan sosok laki-laki yang lebih tua. Aku tidak bisa mengandalkan apapun dari ayahku karena setiap hari yang aku dengar dari dirinya hanyalah teriakan-teriakan marah, pecahan-pecahan keramik dan kaca di rumah, serta makian dan cacian untukku dan ibuku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadikannya idola?
Aku pernah chatting di sebuah situs pertemanan dengan salah seorang teman perempuanku. Dengan terus terang kukatakan padanya kalau aku sangat ingin memiliki seorang kakak laki-laki ataupun sosok ayah yang kira-kira bisa diandalkan. Aku punya beberapa tipe ideal dan kurasa aku butuh orang yang seperti itu.
Awalnya aku malu harus mengakui semua masalahku padanya, tetapi syukurlah dia bisa mengerti dan memberikan banyak sekali masukkan untukku. Jujur saja, entah kenapa, aku lebih mudah berkomunikasi dan terbuka dengan orang yang baru kukenal ketimbang teman yang sudah lama bersamaku tetapi hanya bisa menusukku dari belakang.
Temanku itu berkata, dengan kondisi keluarganya yang tidak kacau sepertiku pun dia terkadang berpikir bahwa sosok ideal seorang ayah ada pada orang lain. Maka tidak heran jika aku juga memiliki sosok ideal seorang ayah dengan kondisi keluarga seperti ini. Dan ketika dia bertanya, siapa sosok laki-laki itu menurutku, aku langsung menjawab Choi Siwon.
Sumpah. Aku merasa benar-benar seperti delusional fans yang bodoh sekali. Tapi mau bagaimana pun juga, itulah adanya.
“Kau tertidur?”teriak Mario yang sedang mengendarai sepeda motorku.
“Tidak, bodoh. Mana mungkin aku tertidur. Aku tidak akan membiarkanmu dengan mudah membawaku kabur ke tempat yang tidak aku ketahui,” jawabku yang sekarang sedang bingung bagaimana harus menempatkan posisi duduk. Aku mulai lelah membuat jarak antara dadaku dan punggungnya.
“Lalu kenapa diam saja?”
“Aku sedang memikirkan sesuatu,”
“Tentang ayahmu?”
“Gila! Bagaimana kau bisa tahu?”
“Percaya atau tidak, kau barusan, entah sengaja atau tidak, mengatakan sesuatu tentang ayahmu padaku. Kau tidak sadar?”
Sumpah aku tidak pernah bicara sejak tadi! Aku hanya memikirkannya! Bagaimana dia bisa tahu?
Mario tiba-tiba tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Aku bisa membayangkan wajahmu yang keheranan karena aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku hanya menebaknya,” dia terkikik. Entah kenapa setiap kali dia bicara, angin selalu membawa aroma khas yang membuatku mabuk, dan itu datang darinya.
“Kau membuatku takut! Omong-omong, kau akan membawaku kemana?” aku mencoba mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang melantur lagi.
“Kau akan menyukainya, tunggu sebentar lagi kita akan sampai. Aku yakin kau tidak pernah ke tempat ini sebelumnya eh?”
“Tidak. Sama sekali belum. Tempat terjauh yang pernah kukunjungi di tempat ini adalah pantai yang tadi,”
“Kalau begitu ini akan jadi satu kejutan buatmu,”
“Kejutan? Oh aku tidak pernah menyukai kejutan. Aku belum menyebutkannya, eh? Atau setidaknya kau bisa membaca pikiranku mengenai hal itu,” aku bergidik.
“Kau tidak suka kejutan? Aneh… kupikir semua wanita menyukainya. Maksudku, aku punya banyak teman–yah–bukan sepenuhnya wanita, tapi mereka menyukai hal-hal yang membuat terkejut. Terkesan romantis, eh?”
“Kejutan membuatmu mati di tempat ketika kau tahu ayahmu selingkuh dengan wanita lain. Membuatmu ingin memenggal lehermu sendiri ketika tahu orang yang kau sebut teman ternyata adalah kekasih dari pacarmu. Hal-hal seperti itu membuatku benci kejutan,” jawabku sedikit kesal.
“Ah, kau tidak akan merasakan hal itu lagi, Airin, percayalah. Kalau begitu, jangan bilang ini kejutan dariku. Anggap saja hadiah, bagaimana?”
“Terserah kau saja…”
Aku memutuskan untuk pasrah dan mengikuti apa yang diinginkan Mario. Meskipun dia tetap dengan konsep ‘bukan-kejutan’ nya, tapi aku tetap saja merasa bahwa ini akan menjadi hal yang sedikit membuatku takut. Tapi toh aku menurut saja ketika Mario memaksaku untuk tidak membuka mata sampai kami tiba di tempat yang dia maksud.
Aku selalu tidak suka adegan seperti ini. Benar-benar menjijikkan. Menurutku, ini hanya untuk remaja labil yang baru merasakan indahnya jatuh cinta. Belum pernah patah hati oleh laki-laki yang lebih memilih temanmu sendiri dibanding dirimu ketika kau sudah merasakan–ah sial! Aku kesini bukan untuk meratap!
“Aku tidak suka ini…”
“Ah, kau tidak akan menyesal, sungguh. Kuingatkan kau, ini agak berbahaya, jadi kau benar-benar harus berpegangan erat padaku, oke?”
Baru saja Mario selesai mengucapkan kalimat itu, tanganku langsung menggenggam lengan kanannya. Erat sekali sampai-sampai aku merasa bahwa aku dan Mario benar-benar sepasang kekasih. Pikiranku sedang gila sekarang.
“Kau ketakutan, eh? Tanganmu gemetaran,” dia tertawa.
“Aku tidak pernah memegang bisep seorang laki-laki yang baru aku kenal sebelumnya,” jawabku dibalas oleh tawa lagi oleh Mario.
“Bisep?” Mario terbahak. “Kau benar-benar lucu, Airin!”
“Apakah kita sudah sampai?”
“Hati-hati, jangan terlalu banyak bergerak, ikuti saja langkahku, oke?”
“Baiklah… baiklah…”
Mario berhenti tak lama setelah itu dan dia memerintahkan aku untuk duduk perlahan-lahan dan membuka alas kakiku. Aku merasakan hembusan angin cukup kencang dan bisa mencium aroma dedaunan bercampur dengan aroma air laut yang asin. Aku menebak-nebak sendiri dimana aku berada.
“Kau yakin kau tidak mengintip?”
Pertanyaan itu benar-benar membuatku berpikir sekarang aku sedang berada di lokasi syuting sebuah film televisi.
“Aku sudah hampir tertidur,” jawabku.
“Baiklah, kita sudah sampai. Sekarang buka matamu,”
Tadinya aku berpikir Mario mengajakku ke sebuah bukit yang kulihat di sepanjang jalan tadi dan duduk di antara bebatuan ditengah-tengah rimbunnya dedaunan. Yah, aku memang sedang duduk di antara bebatuan sekarang, tapi di sebuah tebing terjal curam yang tingginya sekitar sepuluh meter dan di bawahku, debur ombak sangat jelas terlihat dengan buih-buih putihnya.
Samudera biru terasa lebih indah dari sini, apalagi matahari sangat cerah bersinar sehingga air laut terlihat berkilauan seperti biru berlian. Kakiku sedikit gemetaran sementara tangan kananku mendekap mulutku. Dari atas sini, semuanya terlihat sangat berbeda… sangat indah.
“Kau suka?”
Aku tidak bisa berkata-kata, mencoba menyusun kata-kata tapi mulutku sepertinya kaku sekali.
“Aku harap kau suka,” kata Mario lagi. Dia kemudian melepaskan genggaman tangannya yang sejak tadi membimbingku berjalan sementara aku masih menggenggam bisepnya dengan tangan kananku. Aku masih agak takut. Bahkan setiap kali angin berhembus, rasanya seperti aku akan terdorong dan jatuh ke jurang itu.
“Ini indah sekali, sungguh,”
Aku diam lumayan lama. Sebuah lagu mengalun di kepalaku sekarang. Sebuah lagu yang selalu bisa membuatku galau dan terkadang menangis. Lagu yang selalu menemaniku ketika menulis semua isi hatiku di selembar kertas yang sekarang sudah ada berlembar-lembar menumpuk di dalam dompetku. Aku tidak yakin, tetapi aku merasakan pipiku basah saat itu.
Mario memergokiku tetapi sebelum dia sempat bicara, aku menyambar dengan memberitahunya kalau mataku kelilipan debu.
“Aku tidak pernah malu untuk menangis. Menurutku itu adalah suatu reaksi yang wajar terhadap semua isi pikiranmu yang mengganggu. Jadi kau tidak perlu berbohong,”
“Aku tidak pernah suka laki-laki kasar. Ayahku selalu berbuat kasar padaku sejak aku duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Aku tidak tahu kenapa, tapi sepertinya sesuatu membuatnya berubah sejak saat itu. Dia tidak pernah lagi menatap mataku seperti ketika aku kelas satu sekolah dasar dulu. Dia tidak pernah lagi pulang ke rumah tepat waktu, tetapi lebih banyak menghabiskan waktu diluar. Entah dimana…
“Ketika aku masuk SMA, aku tahu bahwa ternyata ayahku menikahi perempuan lain. Saat itu perasaanku sangat kacau. Aku sangat percaya bahwa ayahku hanya mencintaiku dan ibuku, tetapi semuanya berubah sejak saat itu. Aku tidak pernah lagi memanggil namanya.
"Aku tidak pernah lagi menjawab apapun yang ditanyakannya padaku di meja makan. Makan malam kami selalu berakhir dengan pertengkaran sejak saat itu. Bahkan sampai hari ini… Ayah dan ibuku masih selalu bertengkar. Rumah selalu berantakan dan tidak pernah bisa bertahan lebih dari satu hari dalam keadaan rapi… Aku tidak pernah percaya pada laki-laki setelah manapun, kecuali pacarku,”
“Tapi kau bilang kau sudah putus dengannya,”
“Benar. Dia memacari temanku juga,”
Hening sejenak. Aku menunduk walaupun sebenarnya aku takut. Tanganku masih memegang bisep Mario. Hanya itu yang bisa membuatku merasa aman dan tenang saat ini.
“Aku bertahan karena ibuku. Aku tidak ingin dia tersakiti. Dia selalu menolak untuk meninggalkan ayahku, entah kenapa… Aku mulai mengubah cara berpikirku tentang cinta dan laki-laki.
"Ayahku contohnya, dia bilang dia sangat mencintaiku, mencintai ibuku, tapi lalu dia pergi bersama perempuan lain dan menghancurkan perasaan kami. Pacarku, dia bilang dia mencintaiku lebih dari apapun, tapi pada akhirnya dia juga mengkhianatiku,”
Hening lagi. Aku mencoba untuk tidak berdebar-debar karena aku tahu Mario sedang memerhatikanku dari sudut matanya.
“Kau bilang kau tidak pernah percaya laki-laki, lalu kenapa kau percaya padaku? Kau bahkan baru mengenalku. Bisa saja aku berbuat jahat padamu, kan?”
“Aku mengikuti kata hatiku saja. Kau tahu? Aku adalah penggemar berat Siwon dan Donghae. Kau tahu Super Junior kan?”
“Tentu,”
“Aku terkadang berpikir kalau Siwon bisa jadi sosok ayah yang baik untukku dan Donghae bisa jadi kakak yang bisa melindungiku,” aku tertawa geli. Ini memang terdengar menjijikkan.
“Entah kenapa, karena selama ini aku selalu berada di bawah tekanan ayahku, aku membutuhkan laki-laki seperti mereka. Kurasa akan sangat bahagia jika kau memiliki seorang laki-laki yang lebih tua yang bisa memberikan rasa hangat seorang kakak ketika kau berada dalam kondisi seperti ini, eh?
"Aku tidak pernah punya kakak. Dua laki-laki itu setidaknya bisa membuatku merasa nyaman walaupun hanya dengan memikirkannya saja,” aku terdengar seperti fans fanatik yang sudah kehilangan akal. Oh ya, aku adalah fans aneh yang seperti itu.
“Kau bilang kau tidak percaya laki-laki!”
“Mereka berbeda. Atau, yah, sebenarnya aku tidak benar-benar tidak percaya laki-laki. Siwon dan Donghae banyak membantuku menyelesaikan masalahku. Klise, tapi bagaimana lagi kalau memang begitu kenyataannya,”
“Hah? Maksudmu? Kau kenal mereka secara pribadi?” Mario, demi apapun, terdengar seperti dia benar-benar percaya hal itu.
“Bodoh! Tentu saja tidak. Aku mengirimi mereka surat,”
“Surat? Apakah mereka membacanya? Maksudku, mereka kan sibuk sekali,”
“Aku hanya bercanda. Aku menulis untuk mereka. Aku menyimpan semuanya di dompetku. Ingat?”
“Oh… tidak pernah berpikir untuk mengirimnya pada mereka langsung?”
“Tidak akan ada gunanya juga bukan? Kau yang bilang kalau mereka tidak akan membacanya,”
“Lalu apakah sekarang kau sudah benar-benar lupa masalahmu itu?”
“Tidak sama sekali… bahkan aku masih membahasnya tadi…”
“Benar juga.”
Hening lagi. Aku mencoba untuk menikmati saja suasana dan pemandangan di sana di tengah kerikuhan ini. Sampai akhirnya aku ingat Mario belum menjawab pertanyaanku sebelum kami tiba ditempat ini tadi.
“Hey! Kau belum menjawab pertanyaanku!” aku meninju lengannya.
“Soal apakah aku pernah jatuh cinta?”
Aku mengangguk. Mario kemudian menyeringai aneh.
Diubah oleh salmansharkan 25-01-2018 11:31
0
Kutip
Balas