d.p.libraryAvatar border
TS
d.p.library
PERTAMA : Akhir sebuah Awal (romance)
Permisis agan-agan saya mau share tulisan saya yang berjudul PERTAMA : Akhir sebuah Awal

nantinya cerita ini saya pasti akan tamat yang artinya tidak gantung, setiap paling lama seminggu sekali akan saya update. tapi saya minta respone dan masukan dari agan-agan yang baca ya. semoga suka..... aaaamiiiiin

visit my blog : dplibrary27@blogger.co.id
instagram : dp.library
Email for bussiness : Dp.librarywriter@gmail.com

terima kasih smuanya

diharapkan banyak cendol dan ga banyak yang bata


Quote:


Quote:













Diubah oleh d.p.library 03-03-2018 08:55
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
19.2K
130
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
d.p.libraryAvatar border
TS
d.p.library
#41
CHAPTER 5 (PART 2)



Kurang lebih 2 jam mereka diperjalanan, akhirnya mereka sudah tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai.

“Sebentar ya gue ambil koper gue dulu.” Dini lalu menuju tempat pengambilan bagasi untuk mengambil kopernya.

“Din, dari sini kita naik apa?” Dito coba menyanyakan hal tersebut kepada Dini.

“Tenang To, semuanya udah disiapin kok. Ada yang jemput kita. Bentar coba gue telfon dulu ya.”

Setelah beberapa menit Dini menelfon, jemputan yang Dini maksud akhirnya datang. Mereka lalu langsung memasukkan barang bawaan mereka. Sebenarnya, Rama hanya membawa tas ranselnya saja yang berisi pakaian, beberapa celana, dan perlengkapan lainnya. Dito mungkin sedikit lebih banyak, karena ia harus membawa perlengkapan kameranya. Tujuannya disini memang untuk membantu Dini menjadi fotografer di nikahan sepupunya. Mungkin hanya Dini yang membawa bawaan yang cukup banyak, setidaknya itu mnurut 2 laki-laki ini.

“Sini Din, gue bantu angkat koper lo.” Rama mencoba menawarkan diri untuk membantu Dini mengangkat kopernya yang lumayan berat menurutnya,.terlihat dari ekspresi Rama saat mengangkat koper itu untuk dimasukkan ke dalam mobil.

“Makasih ya Ram.” Dini sanbil tersenyum saat mengatakan itu.

“Lagian ini bawaan kayak mau pindahan deh Din. Banyak banget, nggak sekalian lemarinya lo bawa juga.”

“Dito, gue cewe ya, jadi wajar kalau bawaan gue banyak.”

Setelah mereka memasukkan barang bawaannya ke dalam mobil, mereka langsung bergegas masuk ke dalam mobil agar segera berangkat. Rama dan Dini yang duduk di kursi belakang, sedang asik menikmati jalanan Bali dari balik jendela mobilnya sambil sesekali mengobrol. Sedangkan Dito sibuk dengan hpnya, ia mungkin sekarang sedang mengupdate di social media miliknya. Setelah hampir 2 jam mereka di perjalanan, dan pemandangan yang dari tadi didominasi dengan pesawahan dan jalanan yang berkelok-kelok, mereka akhirnya sampai di hotel yang mereka tuju. Mereka sekarang di salah satu hotel di daerah Ubud.

“Gila ya, udaranya kangen banget gue. Nggak bakal ada di Jakarta yang kayak gini.” Dito langsung menghirup udara yang memang terasa sangat sejuk dan segar ini.

“To, lo nggak akan ngira deh hotel ini. mungkin dari depan kelihatan kecil, tapi nanti waktu lo ngelewatin receptionist, gue yakin lo bakal kagum sama view hotel ini.” Dini seperti ingin memberi kejutan untuk Rama dan Dito.

Memang dari depan, hotel yang mereka tempati tidak seperti hotel besar. Parkiran mobilnya pun tidak terlalu banyak. Hal ini karena, pengelola hotel menyediakan jasa valet gratis untuk mobil pengunjung hotel yang akan menginap. Pemilik hotel ini sengaja ingin memberikan kesan alami di hotelnya, ia menyediakan tempat parkir mobil yang lumayan jauh, sehingga pihak hotel menyediakan jasa valet gratis.Hanya kurang lebih 10 mobil yang bisa diparkir di parkiran depan hotel ini, dan selebihnya, para tamu akan memanfaatkan jasa valet gratis tersebut. Dan setelah mengurus berbagai keperluan untuk check in, benar saja, mata mereka disajikan dengan pemandangan yang sangat indah. Di depan mereka ada hamparan sawah hijau yang luas dihiasi lampu-lampu taman yang indah. Mereka juga bisa melihat terasering khas Ubud. Ada pancuran air buatan yang dibuat seperti alami, menambah ketenangan semakin tercipta.

“wah gila, bagus banget ya.”

“Bener kan To, keren banget ya. Gue tahu hotel ini dari bokap gue. Dan keluarga gue kalo ke Bali dan ke Ubud, pasti nginapnya di hotel ini.”

Rama hanya tersenyum. Ia tidak ingin mengatakan apa-apa. ia hanya ingin menikmati apa yang sekarang ada di depan matanya tanpa harus berkomentar.

“Eh, gue ke keluarga gue dulu ya, takut mereka khawatir dan nyariin.” Dini berpamitan kepada Rama dan Dito. Memang sudah cukup malam saat itu, mereka terlalu asik menikmati apa yang alam sudah sajikan tanpa memperhatikan waktu. Dan tanpa terasa sekarang sudah menunjukkan pukul 20.45
.
“Okey Din, gue juga mau langsung tidur kayaknya deh, gue ngantuk banget. Soalnya dari tadi diperjalanan gue nggak tidur, nggak kayak si Rama, tidur mulu.”

“Yee, tidurnya juga cuma di pesawat, lagian gue juga kan pulang kerja capek, lo enak seharuian di rumah.” Rama mencoba membela diri.

“Lo enak tidur sebentar di pesawat tapi numpang ba.....”

“Eh udah ya gue ke kamar gue dulu. Sampai ketemu besok. Daaah ” Dini tiba-tiba memotong omongan Dito, ia terlihat sangat gugup. Dan langsung meninggalkan Rama dan Dito.

“lo tadi mau ngomong apaan To? Tadi kepotong Dini.”

“Nggak, udah lupain, yuk ke kamar.” Dito mengajak Rama untuk menuju kamarnya dan melihat kamar mereka.

Dito mungkin memang sangat mengantuk saat itu, begitu ia melihat kasur, ia langsung tiduran dan tidak mempedulikan barang bawaannya lagi. Bagi Rama, ia sama sekali tidak merasakan ngantuk. Mungkin memang karena di pesawat ia sudah tidur. Ia memutuskan untuk membuka laptopnya berharap di suasanya yang tenang dan nyaman ini, inspirasi menulisnya keluar dengan mudah. Tetapi, Dito yang menyadari hal itu, langsung menceramahi Rama.

“Ram, gila ya, masih aja. Saat kayak gini, lo masih aja ngurusin kerjaan. Matiin nggak, ganggu suasana aja. Tuhan bakal marah kalo lo nggak nikmatin apa yang udah Dia buat dengan penuh keindahan. Sekarang lo malah mau ngerusaknya sama kerjaan lo.”

“Ya abisnya gue gatau mau ngapain To, lo katanya mau tidur, ya gue nggak ganggu lo lah, lagian gue juga nggak ngantuk sama sekali.”

“Ya lo ngapain kek, asal nggak berhubungan sama kerjaan, bisa kan?”

“Terus, mau ngapain?”

“Eh Ram, lo sadar sesuatu nggak sih?” Tiba-tiba Dito menanyakan hal yang membuat Rama bingung.

“Sadar apaan? Gue ganteng?” Dengan maksud mau melucu tetapi dengan mimik muka dan nada yang datar khas seorang Rama, lawakan tadi jadi terdengar tidak lucu bagi Dito.

“Aduh, lo bego, apa pura-pura bego?”

Pertanyaan dari Dito semakin membuat Rama bingung. Rama yang dari tadi tidak tahu arah tujuan pembicaraan Dito semakin dibuat kesal dengan pertanyaan yang tidak jelas menurut Rama. “Apaan To, udah deh, udah malam, nggak mood gue maen tebak-tebakan.”

“Okey, lo sadar nggak sih ada yang beda dari Dini?”

“Apa ya? Dini emang kelihatan selalu cantik kok.”

“Bukan penampilnnya, gue rasa lo udah bego akut kali ya Ram.”

“Apa sih?” Rama kali ini malas menanggapi omongan Dito yang sudah semakin tidak jelas.

“Lo sadar nggak kalo Dini suka sama lo?”

Kali ini Rama tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia mungkin bisa menganggap omongan Dito tadi hanya sebuah candaan. Tetapi raut muka Dito kali ini menunjukkan ia sedang berbicara dengan serius. Dito tidak sedang bercanda.
Apa iya? Nggak mungkin kayaknya Dini suka sama gue. Atau memang gue yang terlalu bodoh. Batin Rama malah semakin bergejolak mendengar pembicaraan Dito tadi.

“Yeh malah bengong, lo pernah nggak merhatiin Dini, cara ngeliat lo, cara Dini bersikap sama lo, cara Dini berbicara sama lo, dan senyum dan ketawanya tuh beda kalo lagi sama lo.”

Rama benar-benar tidak tahu harus membalas omongan Dito seperti apa, ia memang selama ini benar-benar tidak merasakan apapun. Terlebih dia dan Dini adalah teman sekaligus atasan di kantornya. Atau malah sebenarnya Rama tidak menyadari kalau selama ini Rama terlalu lama terjebak dengan masa lalu sehingga ia tidak pernah benar-benar melihat hal lain.

“Tadi di pesawat aja, lo tidur di bahunya Dini, dia benar-benar nggak mau bikin lo kebangun dari tidur lo. Dia hati-hati banget, malah terlalu hati-hati kalo gue perhatiin. Dia takut ngbangunin lo.”

“Tapi Dini emang baik kok ke semua orang. Dia emang orang yang baik banget.” Rama mencoba untuk sedikit memberikan argumen kepada topik pembicaraannya kali ini. Walaupun sebenarnya di hatinya ia sangat penasaran dengan hal yang dari tadi mereka bicarakan.
Mungkin bagi Rama, ia memang tidak merasakan apapun, atau belum merasakan apapun tentang Dini. Ia benar-benar menganggap Dini seperti seorang teman dan atasan di kantor. Ia mengagumi Dini sebagai seorang teman. Dini pintar, baik, cantik. Dan itu sudah cukup membuat seorang Rama kagum dengan Dini.

“Aduh Ram, udah deh, capek ngomong sama lo. Gue gatau ya lo bego atau pura-pura bego. Tapi yang pasti gue tau, lo buta itu aja. Udah ah gue tidur, gue ngantuk.”

Buat dua sahabat ini, mereka sudah biasa untuk berdebat. Mereka berdebat dengan maksud dan tujuan yang baik. Mereka tidak pernah berdebat yang akhirnya sampai membuat mereka bertengkar. Mereka sudah saling memaklumi satu sama lain, mereka sudah saling tahu sifat masing-masing. Hal ini karena mereka sudah hampir 9 tahun berteman.

Setelah beberapa menit, Dito kali ini benar-benar terlelap dari tidurnya. Hal ini bisa Rama tahu dari suara dengkuran yang menjadi ciri khas Dito jika sudah tidur. Tetapi, omongan Dito tadi masih teringat di kepala Rama. Mungkin Rama memang belum benar-benar tahu tentang Dini. Atau Rama memang benar-benar telah dibutakan karena masa lalu.Setiap omongan yang keluar dari mulut Dito tentang Dini barusan, membuat ia semakin tidak tenang. Pikirannya menjadi semakin kacau. Rama yang awalnya ingin mencari ide menulis pada malam itu, malah tidak bisa berpikir dengan baik.Rama akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan keluar kamarnya.

Rama bermaksud untuk menuju ke restauran hotel ini, restauran di hotel tempatnya menginap ini memang menyajikan pemandangan yang sangat bagus. Apalagi saat malam hari, pemandangan itu akan tambah dihiasi dengan lampu-lampu yang sengaja ditaruh untuk membuat semuanya terlihat lebih indah. ia ingin memesan teh hangat sambil menikmati suasana malam itu. Tetapi sesampainya Rama di tempat yang dimaksud, ia melihat seorang wanita di salah satu sudut meja. Wanita yang tadi sempat ia bahas bersama Dito. Ia melihat Dini duduk sendiri.. Dini sudah berganti pakaian, kali ini ia menggunakan joger pants berwarna coklat gelap dengan atasan kaos hitam yang diselimuti cardigans. Dini memang selalu terlihat cantik dengan gaya apapun, setidaknya itu dimata Rama.

“Sendirian aja? Boleh ditemenin?”

Suara Rama tiba-tiba membuat Dini sedikit kaget. “Hai Ram, boleh kok, duduk aja. Iya gue sendiri. Lagi pengen sendiri aja. Lo belom tidur?"

"Belum ngantuk gue. mungkin karena tadi di pesawat udah tidur. by the way makasih ya.”

“Makasih untuk apa?” Dini kali ini merespon Rama dengan wajah yang sedikit bingung.

“Makasih udah mau minjemin bahu lo buat gue jadiin bantal di pesawat tadi.”

“Oh iya, pasti Dito yang ngasih tau. Sama-sama kok Ram.”

Sebenarnya Rama sangat ingin menanyakan tentang apa yang dari tadi menjadi pikirannya. Dan kali ini di depan Rama sudah ada orang yang dari tadi menjadi bahan topik utama obrolannya dengan Dito. Ia ingin menanyakan langsung, tetapi mungkin lebih baik kalo ia memang tidak pernah bertanya soal itu.


(Sambil di setel lagunya mulai dari sini sampai habis bacanya ya, biar lebih dapet)

“Ram, damai banget ya.....” Tanpa melihat ke arah Rama, Dini mengucapkan kalimat itu. Mata Dini memang hanya terfokus sama pemandangan yang ada di depannya saat ini.

“Iya damai banget.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Rama. Rama tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tidak mau merusak kedamaian yang dari tadi tercipta hanya karena sebuah rasa penasaran.

“Andai aja suasana kayak gini tuh bisa terus kita rasain ya Ram. Tenang, sunyi, damai. Nggak kayak di Jakarta.”

Rama hanya bisa tersenyum saat itu. Cukup ia membalas dengan senyuman.

“Lo tau nggak Ram, kenapa sepupu gue milih Ubud sebagai tempat pernikahan mereka?”

“Kenapa Din? Karena keindahan dan kedamaian yang ditawarkan sama Ubud?” Rama mencoba menjawab pertanyaan dari Dini tadi.

“Mungkin iya, tetapi selain itu, ada alasan lain kenapa mereka tuh milih Ubud untuk tempat pernikahan mereka." Dini sedikit memberikan jeda pada perkataannya kali ini sebelum ia melanjutkan. "Karena mereka sama-sama punya kenangan masa lalu bersama orang yang pernah mereka sayang di Ubud ini."

“Loh, itu bukannya justru jadi pengalaman yang nyakitin untuk diingat sama mereka ya? Apalagi momentnya mereka mau menikah kan?”

“Mungkin, gue juga pernah nanya hal yang sama ke sepupu gue. Dan mereka beranggapan kalau itu adalah cara terbaik untuk mereka berdamai dengan masa lalu yang mereka punya.”

Seakan perkataan Dini langsung menembus jantung Rama. Rama benar-benar seperti tertusuk. Tertusuk tombak yang tajam dan sangat panjang, hinggak akhirnya menembus jantungnya lalu sulit bernafas.

Kata-kata Dini tadi mungkin benar, yang perlu gue lakuin bukan melupakan atau melawan masa lalu. Kita tidak akan pernah siap melangkah jika kita belum memaafkan semua yang pernah terjadi di masa lalu. Selama ini, yang gue lakuin hanya terus menerus berusaha melupakan masa lalu. Tetapi mungkin bukan itu, cara terbaik untuk kita bisa terus menerus melangkah ke depan adalah dengan belajar berdamai dengan masa lalu.

Mereka hanya terdiam, larut dalam kesunyian dan kedamaian Ubud malam itu. Bahkan mereka tidak menyadari kalau dari tadi ada seseorang yang memperhatikan mereka.


Bersambung ke chapter 6 ya, jadi ditunggu


Diubah oleh d.p.library 20-01-2018 07:03
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.