- Beranda
- Stories from the Heart
PERTAMA : Akhir sebuah Awal (romance)
...
TS
d.p.library
PERTAMA : Akhir sebuah Awal (romance)
Permisis agan-agan saya mau share tulisan saya yang berjudul PERTAMA : Akhir sebuah Awal
nantinya cerita ini saya pasti akan tamat yang artinya tidak gantung, setiap paling lamaseminggu sekali akan saya update. tapi saya minta respone dan masukan dari agan-agan yang baca ya. semoga suka..... aaaamiiiiin
visit my blog : dplibrary27@blogger.co.id
instagram : dp.library
Email for bussiness : Dp.librarywriter@gmail.com
terima kasih smuanya
diharapkan banyak cendol dan ga banyak yang bata

nantinya cerita ini saya pasti akan tamat yang artinya tidak gantung, setiap paling lamaseminggu sekali akan saya update. tapi saya minta respone dan masukan dari agan-agan yang baca ya. semoga suka..... aaaamiiiiin
visit my blog : dplibrary27@blogger.co.id
instagram : dp.library
Email for bussiness : Dp.librarywriter@gmail.com
terima kasih smuanya
diharapkan banyak cendol dan ga banyak yang bata
Quote:
Quote:

Diubah oleh d.p.library 03-03-2018 15:55
anasabila memberi reputasi
1
19.3K
130
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
d.p.library
#30
CHAPTER 4
”Jadi Gimana Tadi penampilan kita Din?” Dito mencoba membuka topik pembicaraan.
“Bagus banget, gue baru tau loh To kalo Rama, yang kaku gitu ternyata suaranya bagus banget.”
“Bagus kan? Kita dulu sering ngeband bareng, kita juga menang beberapa festival band sekolah dulu. Kalo Rama udah nyanyi, aduh cewe-cewe pada meleleh Din, ya walaupun gue juga nggak kalah banyak fansnya.”
“Nggak usah berlebihan deh To, kan lo yang suka show off di atas panggung. Pernah waktu itu Din, si Dito sampe buka baju, telanjang dada diatas panggung, padahal dia tau itu acara anak SMP, ya di di blacklist lah kita sama SMP itu ga boleh manggung lagi di sana.” Rama kali ini mencoba membela diri. Membuat suasana mobil sekarang menjadi ramai dengan obrolan mereka bertiga. Perjalanan pulang dari acara pembukaan cafe temannya itu sekarang terasa cair dan menyenangkan.
“Itu seni namanya Ram, mereka aja nggak ngerti, band luar juga banyak kok manggung ga pake baju, ini malah dilarang. Nggak keren banget.”
“Jangan lo samain disini sama diluar, lagian waktu itu kita manggung di SMP, SMP orang juga lagi.”
Mereka sekarang larut dalam setiap candaan yang mereka buat. Untuk Dito dan Rama, kejadian tadi membuat mereka seakan kembali pada masa SMP mereka. Dan untuk Dini, cukup menikmati dua sahabat yang sedang berdebat sudah membuat ia tertawa. Tidak ada yang malu-malu saat itu, mereka saling tertawa lepas satu sama lain.
“Ehm, sorry, To kayaknya gue turun disini aja gapapa deh. Ini juga udah deket dari rumah gue kok. Dari sini gue bisa naik taksi.”
“Jangan Din, lo gue anter aja sampai rumah, lagian buat gue, gue paling anti nurunin cewe di tengah jalan.”
“Iya Din, jangan, gapapa kok dianterin sampai rumah. Lagian si Dito udah biasa jadi supir, selain jadi tukang foto, kerjaan sampingannya juga jadi supir.” Sambil memberikan nada humor, Rama mencoba meyakinkan Dini untuk diantar sampai rumah.
“Gapapa kok gue turun sini, beneran deh, gue gamau ngerepotin kalian berdua.”
“Jangan Din. Maaf, tapi kali ini gue maksa. Gue takut terjadi apa-apa kalo lo turun disini. Dan gue gamau lo kenapa-napa.” Omongan yang sebenarnya biasa bagi Rama, tetapi tidak untuk Dini. Perkataan Rama barusan sudah cukup membuat jantung Dini berdegup lebih cepat dari biasanya. Untung saja suasana saat itu sedang gelap, jika tidak, mungkin Rama dan Dito sudah bisa melihat pipi Dini memerah karena ucapan Rama tadi.
“iya Din, Lagian gue mana tega ngebiarin cewe secantik lo diturunin tengah jalan. Nanti kalo diculik gimana. Udah lo gue anter sampe rumah. Lagian gue juga masih mau cerita soal si Rama sama lo. Lo gue bebasin nanya apapun soal sahabat gue satu ini. haha.” Kali ini Dito yang meyakinkan Dini.
“Haha, yaudah kalo gitu, maaf ya jadi ngerepotin kalian berdua.”
“Santai Din, kita senang kok nganterin lo. Iya kan Ram?”
Sambil melihat kebelakang, ke arah Dini yang duduk di bangku belakang, dan memberikan sedikit senyum di bibirnya, Rama berkata, “iya Din, kita senang kok nganterin lo.”
Tatapan Rama, senyum Rama, dan kata-kata yang Rama ucapkan saat itu, memiliki arti lebih untuk Dini. Senyumnya memberikan kedamaian di hati Dini, seakan ia tidak ingin berkata apa-apa lagi. Dini hanya ingin menikmati malam itu. Rama dan Dito pun terdiam, mungkin mereka lelah setelah tadi manggung dan membawakan 3 lagu, atau juga mereka sedang tidak tahu harus berbicara apa lagi. Hanya suara musik dari radio mobil malam itu yang mendominasi perjalanan mereka malam itu ke rumah Dini.
'Cause we were just kids when we fell in love
Not knowing what it was
I will not give you up this time
But darling, just kiss me slow, your heart is all I own
And in your eyes you're holding mine
Rama terlihat menyanyikan dengan pelan lirik demi lirik lagu tersebut. Bahkan sangat pelan, untuk yang tidak menyadarinya, Rama hanya nampak seperti hanya menggerak gerakkan bibirnya. Tapi tidak untuk Dito, Dito yang duduk di sebelahnya menyadari hal itu.
“Nyanyi gausah malu-malu kali Ram, kencengan dikit kenapa. Dini kan juga masih mau denger suara lo. Suara bagus buat dinikmatin sendiri aja sih.” Suara Dito ini seakan memecah kesunyian yang dari tadi tercipta.
“Oh Rama nyanyi. Kencengan dikit kek Raaaam. Gue juga masih mau denger kok. Hafal juga lagu ini, gue suka banget Ram, ini romantis banget lagunya. Gue kira lo cuma hafalnya lagu jaman-jaman bokap sama nyokap gue lagi PDKT dulu.” Kali ini Dini sedikit menggoda Rama.
“Jangan, suara gue mahal, lagian gue nggak terlalu hafal kok lagunya.” Rama mencoba membela kali ini.
“Din, Lo tau nggak sih kalo Rama itu dari SMP banyak disukain cewe. Tapi yang jadi pacar dia cuma berapa orang ya.... bentar coba gue itung.” Sebenarnya omongan Dito ini agak tidak masuk ke topik pembicaraan, tapi Dito hanya ingin menggoda Rama.
“To, apaan sih, jangan cerita yang aneh-aneh depan Dini, gini-gini dia bos gue di kantor.”
“ya itu kan di kantor, tapi diluar kantor, kita temenan, iya kan Din?”
“Iya, gapapa kali Ram, gue juga kan mau tau tentang kalian berdua.” Mulutnya dan hatinya kali ini berbeda, yang sebenarnya ingin Dini katakan lebih tepatnya adalah mau tau tentang lo Ram.
“Okey, kalo gitu gimana kalo kita main truth or dare, berhubung jalanan macet banget juga kan, dari pada diem-dieman terus bosen.” Kali ini Dito coba memberikan ide.
“Boleh, yuk, tapi nentuin orang yang kenanya gimana?”
“tenang di hp gue udah ada aplikasinya, gue selalu penuh persiapan kok. Makanya gue ngajak lo berdua.”
Rama sebenarnya malas bermain permainan ini, ia tahu permainan ini mengharuskan yang kalah harus menjawab jujur semua pertanyaan, atau melakukan sesuatu yang diminta pemain lain. Ia malas melakukan kedua-duanya. Kalo boleh memilih, ia lebih baik diam di mobil sambil menikmati suasana malam yang diiringi radio mobil, dan cahaya dari lampu-lampu mobil lain dan bangunan disekitarnya. Tapi Rama tahu, ia tidak bisa menolak saat ini. “Tapi jangan aneh-aneh ya kalian berdua.”
“Yailah Ram, santai sih, nggak asik banget.”
“Iya tenang kok Ram, nggak bakal aneh-aneh.” Perkataan Dini dikeluarkan dengan nada yang sangat lembut.
“Okey, mulai Din.” Dito yang sudah tidak sabar meminta permainan segera dimulai.
“Okey, kita mulai ya.......... Yak! Dito, lo kena pertama. Mau Truth or dare?”
“Gue lagi nyetir, ga mungkin gue dare, gue truth.”
“Okey, Ram mau nanya apa ke Dito?” Dini memberikan Rama kesempatan untuk bertanya pertama ke Dito.
“hmm apa ya, ini deh, Dito kan fotografer ya, pose paling parah apa yang pernah lo ambil saat sesi foto, dan siapa modelnya?”
Dito langsung menjawab pertanyaan itu, “ah kegampangan, foto paling parah? Ya naked lah. Haha, modelnya ga terlalu terkenal, tapi katanya udah sering di majalah dewasa gitu.” Sambil tertawa Dito menjawab dengan santai.
“ih kok mau aja ya cewe difoto naked gitu?” Dini yang mendengar jawaban Dito tampak memperlihatkan wajah yang sedikit jijik.
”Yah namanya orang butuh uang Din, okey, next!”
“Okey, next ya..... kira-kira siapa yang kena ya. Semoga jangan gue.” Sambil menunggu putaran di aplikasi hp milik Dito berhenti, Dini berdoa agar jangan dia yang terpilih dan harus melakukan sesuatu. “Yak, alhamdulillah, Rama. Lo sekarang. To mau nanya apa ke Rama?”
“Yah Din, kalo gue, gue udah tau luar dalemnya Rama, udah nggak ada lagi yang perlu ditanyain. Lo aja deh ngasih pertanyaan. Kan bebas tuh mau nanya apa.”
“Okey, jadi gue ya. Hmmmm apa ya.... bingung. Oh ini aja, Siapa orang yang paling lo sayang dari dulu sampai sekarang selain anggota keluarga lo?”
“Kayaknya dari hati banget pertanyaannya.” Dito mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, sangat pelan sekali. Perkataan yang mungkin hanya dirinya yang bisa mendengar.
Pertanyaan Dini tadi membuat hati Rama tidak berdegup pada kondisi yang normal. Ia bingung harus menjawab apa. Rama sebenarnya tidak tahu tentang perasaan dia sendiri. Rama tidak tahu siapa orang yang benar-benar ia sayang dari dulu sampai sekarang. Pertanyaan ini membuat Rama mengingat akan sosok yang dahulu sangat ia sayangi. Tetapi kalau ditanya sampai sekarang atau tidak, hatinya sendiripun tidak pernah tahu akan jawaban itu. Ia kembali mengingat akan semua tentang Vira. Ia selalu ingat bagaimana cara ia bertemu dengan Vira. Kenangan pada masa itu, 8 tahun silam, ia kembali mengingatnya. Ditemani cahaya malam dari lampu jalan dan mobil-mobil lain, dan lagu yang mengiringi mereka yang berasal dari radio mobil Dito.
8 tahun silam, 2009
Rama ingat bagai mana cara ia dan Vira bisa menjadi seorang kekasih. Mungkin mereka saat itu masih sama-sama terlalu muda untuk mengerti apa yang namanya cinta sesungguhnya, tetapi terkadang cinta datang tanpa harus perlu dimengerti. Buat mereka, mereka hanya menjalani cinta versi mereka.
Rama ingat ia mengenal Vira dari seorang sahabat wanitanya bernama Nadine yang sekarang sudah pindah keuar kota. Pertemuan pertama kalinya dengan Vira, seakan jodoh menunjukkan jalannya, tidak ada yang direncanakan. Rama yang saat itu ingin menemui sahabatnya yang sudah lama tidak ia temui karena berbeda sekolah. Nadine dan Rama adalah teman SMP, bersama Dito juga. Tetapi saat itu Dito tidak bisa ikut karena suatu alasan, dan hanya Rama yang menghampiri Nadine saat itu di sekolah Nadine.
“Rama, lo sombong banget, gue males sama lo. Mana Dito? Gue juga ngambek sama dia.” Nadine memang tipikal wanita yang ceplas-ceplos kalo ngomong.
“Apa sih, siapa yang sombong. Ini gue buktinya nyamperin lo, jauh-jauh ke sekolah lo. Masih bilang sombong? Dito nggak bisa ikut Nad, Dia jadi panitia acara musik di sekolah gue, ya lo tau lah Dito, selalu mau showoff.”
“Gila nggak berubah ya, Dito yang kayak gitu, dan lo yang masih nggak pernah mau tampil di depan. Padahal lo bisa dibilang lebih berbakat dibanding Dito.” Sambil tertawa lepas, Nadine mencoba menggoda Rama.
“Males aja gue, takut terkenal Nad, hehe. Jadi kita berdua aja?”
“Oh sebentar teman gue mau ikut, tadi gue keluar duluan karena baca bbm lo. Sebentar ya, teman gue cewe loh, mau gue kenalin nggak, jomblo juga lagi.”
“Waduh Nad, gampang deh, gue juga kesini niatnya emang mau ketemu lo.”
Setelah menunggu sekitar 10 menit, wanita yang dimaksud Nadine tidak kunjung terlihat, hal ini membuat Nadine kesal.
“Aduh mana sih, lama deh, gue nggak bisa lama-lama gini. Ram sebentar gue cari dulu. Lo tunggu disini aja gapapa kan?”
“Yaudah Nad, gapapa kok santai.”
Dan setelah beberapa menit Nadine pergi untuk mencari Vira, tiba-tiba ada yang menyapa Rama dengan sangat lembut. Rama bahkan masih ingat bagaimana cara wanita itu menyapanya.
“Maaf, temannya Nadine ya? Nadine nya mana?” Suara Vira sangat lembut dan tampak hati-hati berbicara. Itu karena Vira memang belum kenal dan belum pernah bertemu Rama.
“Iya, Nadine nya lagi cari temannya. Atau jangan-jangan lo temannya yang Nadine cari?”
“Oh iya, soalnya tadi Nadine bilang ketemunya di depan gerbang sekolah, dan gue liat lo dari tadi berdiri sendiri pake dasi yang beda sama sekolah kita. Pasti lo bukan anak sekolah sini. Makanya itu gue ambil kesimpulan kalo lo temannya Nadine.” Vira memberikan sedikit senyuman, senyuman yang sangat manis.
“Nadine nya tadi kedalam lagi, katanya mau nyari lo, coba nih gue BBM deh.”
Dan tidak perlu waktu lama, Nadine akhirnya kembali ke tempat ia bertemu dengan Rama.
“Gila lama banget Vir, gue cari kemana-mana nggak ada, di BBM nggak di bales.”
“Sorry sorry Nad, HP gue mati, tadi gue dipanggil dulu di ruang ekstrkulikuler, ada yang haris diurus sebentar. Yuk mau kemana?”
“Ke tempat makan dekat sekolah aja, kan nggak perlu repot-repot naik angkot. Eh iya, ini temen gue, belom kenal kan? Ram ini Vira, Vira kenalin Rama” Nadine saling mengenalkan mereka berdua.
“Iya Rama.” suara Rama kali ini tampak pelan dan terdengar tidak seperti biasanya.
“Gue Vira, salam kenal ya.”
Dan genggaman tangan mereka seakan memberikan getaran berbeda untuk Rama. Setelah itu mereka hanya asik mengobrol, bercanda, bersenda gurau. Bagi Rama dan Nadine, mereka saling bercerita, karena mereka sudah cukup lama tidak bertemu. Dan Vira bukan tipe orang yang sulit berbaur dengan lingkungan yang baru, sehingga mudah untuk Vira ikut bergabung di dalam obrolan Rama dan Nadine.
Saat itu tidak ada yang istimewa sebenarnya, tetapi yang tidak disadari, mata Rama selalu mencoba untuk curi-curi pandangan ke arah Vira. Bukan keinginan Rama, hanya hatinya yang membuat Rama selalu ingin melihat ke Vira, mereka tidak menyadari itu, tetapi Nadine menyadarinya. Dan itu sudah cukup alasan untuk Nadine coba untuk mendekatkan Rama dan Vira, ke arah yang lebih dari teman. Nadine tahu Rama adalah orang yang baik, ia tidak akan khawatir jika Vira dekat dengan Rama. Setidaknya Nadine bisa percaya dengan Rama.
Hanya pertemuan itu, Pertemuan yang sebenarnya singkat dan juga sederhana, tetapi cukup memiliki kesan yang mendalam untuk Rama. Rama selalu ingat hari itu, hari dimana Rama pertama kalinya bertemu Vira. Dan, hanya perlu waktu 8 bulan sejak mereka berkenalan hari itu sampai akhirnya Rama menyatakan cintanya ke Vira. Rama ingat bagaimana ia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke Vira.
Malam itu ia memang sudah bertekad untuk menyatakan perasaaannya ke Vira. Ia sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Rama juga sudah meminta saran dari Dito, untuk urusan wanita, Dito memang lebih berpengalaman. Rama juga tidak lupa meminta saran sekaligus meminta izin kepada Nadine, sahabatnya itu merestui dan sangat mendukung Rama. Setelah 8 bulan mereka saling mengenal satu dengan yang lain, mungkin ini waktu yang tepat. Begitu pikir Rama.
Rama selalu ingat moment itu, pada saat konser kahitna, dan saat kahitna membawakan lagunya yang berjudul andai dia tahu, Rama menyatakan perasaannya. Bahkan Rama ingat setiap detail kejadian hari itu, Vira yang menggunakan kemeja hitam dan celana jeans warna biru tua selutut. Ditambah dengan sneakers berwarna putih, Vira cantik sekali hari itu.
“Pacaran yuk?” Rama hanya berbisik kecil kepada Vira.
Vira mungkin memang tidak mendengar apa yang Rama katakan, karena suara Rama kecil, bahkan sangat kecil, tertutup dengan suara musik yang dibawakan kahitna. “Apa? kamu ngomong apa? aku nggak denger, kecil banget.” Vira meminta Rama mengulanginya lagi.
“Pacaran yuk? Mau nggak?” Rama yang tampak gugup saat itu, mencoba untuk mengulanginya kembali.
Anggukan, hanya sebuah anggukan saat itu, dan Rama mengerti arti anggukan Vira. Wajah Vira memerah saat itu, dan Rama menggenggam tangan Vira sangat erat. Rama tidak mau melepaskannya, begitupun Vira. Mereka hanyut dengan suasana malam yang romantis, dengan diiringi lagi-lagi dari kahitna, group musik yang Vira sangat idolai.
“malam ini, malam yang nggak akan pernah aku lupain, pa-car.....” Rama tersenyum saat mengucapkan itu. Ucapan Rama yang terdengar ragu saat menyebut kata pacar, hanya dibalas dengan senyum dari Vira. Tetapi senyum itu sudah cukup bagi Rama.
Rama memang tidak pernah melupakannya, malam itu tidak pernah lupa dari ingatannya.
Kalau saja Nadine masih di Jakarta, gue nggak perlu repot-repot minta tolong untuk minta contact Vira. Begitu Rama membatin.
“Woi Ram, bengong. Jadi apa jawabannya.” Tiba-tiba suara Dito membuyarkan lamunan tentang Vira.
“Hmm nggak ada sih, ya paling Dito, gue sayang banget sama Dito.” Sambil menggoda Dito dengan memegang bahunya, Rama coba untuk berbohong kali ini.
“Ih jijik Ram, lo masih normal kan? Udah lama ga punya pacar takut lo berubah Ram.” Dito yang mendapat perlakuan Rama itu, langsung memasang mimik wajah yang jijik.
Dini yang melihat dua sahabat ini sedang bercanda, hanya tertawa. Itu sudah cukup membuat Dini senang malam itu. Bahkan mungkin sangat senang.
“Lanjut deh Din, Rama jawabannya nggak asik. Eh, gini aja, kan gue udah, Rama udah, sekarang lo. Gantian Din biar adil.”
Dini sebenarnya ingin menolak saat itu, tetapi Dito sedikit memaksa. Itu membuatnya jadi tidak mungkin menolak ide dari Dito. “Yaudah gue mau truth, lo mau nanya apa?”
“Ram lo nanya nggak? Kalo nggak gue yang nanya.” Dito coba untuk memberikan kesempatan ke Rama dahulu.
“Bingung gue, lo aja deh To.”
“Okey, gue ya.. Din, pernah punya pengalaman suka atau malah pacaran dengan rekan kerja nggak?”
Pertnyaan Dito ini langsung menusuk jantung Dini, Dini seakan seperti langsung sulit untuk bernafas. Pipi dini langsung berubah merah, dan tangannya tampak gugup saat itu. Dini bingung harus jawab apa. Ia sendiri tidak tahu dengan perasaannya. Dini ingin menyudahi permainan ini, tetapi ia harus menjawabnya terlebih dahulu.
(Tiba-tiba dering telfon berbunyi)
“Eh sebentar ya, nyokap gue telfon. Gue angkat dulu ya. Iya ma, ini Dini udah deket rumah kok, Dini dianter sama teman Dini, soalnya tadi ada acara sebentar.” Dini terdengar berbicara di telfon. Dan kurang lebih 10 menit, Dini menutup telfonnya.
“Din jadi jawabannya apa? Jangan pura-pura lupa deh gara-gara telfon.” Dito mencoba kembali mengingatkan Dini soal permainan yang sedang ia mainkan.
“Oh iya, yah tapi di depan udah komplek rumah gue. Yah maaf banget ya. Haha, mungkin lain kali gue jawab.” Dini beruntung malam itu. Ia tidak harus repot-repot berbohong untuk menjawabnya. Telfon dari nyokapnya menyelamatkan ia malam itu. Terima kasih Tuhan. Dini mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya.
Sampai mereka di depan rumah Dini. Rumah yang terlihat bagus dan mewah. Tidak aneh memang, Dini memang berasal dari keluarga berada dan berpendidikan.
“Mau mampir dulu nggak? Kalian kan udah nganterin gue.” Dini menawarkan untuk mampir ke rumahnya.
“Hmm lain kali aja deh Din, lagian udah malam juga. Nggak enak soalnya. Salam ya sama nyokap lo, bilangin maaf anaknya udah kita culik.” Sambil tersenyum dan sedikit bercanda, Rama kali ini menolak tawaran Dini untuk mampir ke rumahnya.
“Iya Din, lain kali aja ya. Udah malem juga, belom gue harus nganterin ni anak satu.” Dito ikut menambahkan omongan Rama tadi.
“oh, okey deh kalo gitu. Gue turun ya. Makasih ya kalian berdua udah mau gue repotin nganterin sampai rumah.” Dini sebenarnya kalau boleh memilih, ia tidak ingin malam itu berakhir. Ia ingin malam itu terjadi lebih panjang lagi. “Ram, kalo udah sampe rumah kabarin ya. At Least gue tahu karyawan kantor nggak bakal ilang satu hari Senin.” Omongan Dini tadi sebenarnya terdengar biasa, tetapi Dini mengatakannya bukan dengan maksud yang biasa.
“Yailah, gue nggak dimintain kabar juga?” Dito kali ini mencoba menggoda Dini
“Yaudah ya Din, daah, kita berdua pulang dulu. Langsung tidur yaa.” Rama memotong pembicaraan Dito.
Langsung tidur yaa..... Kata-kata Rama yang terakhir itu, membuat Dini tidak berhenti tersenyum. Ia sangat senang, tidak tahu apa yang membuat Dini senang. Bahkan setelah Rama dan Dito pergi, menghilang dari pandangannya, Dini tidak berhenti dengan senyumnya.
Kenapa waktu cepat banget ya malam ini. Dini tidak ingin sebenarnya malam itu cepat berakhir. Kalau ia bisa membalikkan waktu, ia ingin membalikkan waktu saat tadi sore bertemu Rama di kantor mereka. Suara Rama saat menyanyi, candaan bersama Rama, bisa semobil kembali dengan Rama, semuanya membuat malam itu bahagia untuk Dini.
Dan waktu seakan menunjukkan kuasanya, dimana waktu bisa menentukan suatu hal terjadi, seperti saat Dini bertemu Rama dengan tidak sengaja sore tadi, waktu menentukan mereka untuk betemu sore itu, dan, waktu juga yang mengharuskan mereka berpisah, berganti dari satu moment ke moment lainnya, berganti dari satu bahagia, ke kebahagiaan lainnya.
Mungkin.....
continue to part 5
Diubah oleh d.p.library 19-01-2018 17:42
hardinurmaji583 memberi reputasi
-1