Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

setiawanariAvatar border
TS
setiawanari
Patahan Salib Bidadari
In the name of Allah, the beneficient, the merciful
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Patahan Salib Bidadari
Terimakasih untuk gambar sampulnya awayeye

Terimakasih Kaskus, khususnya untuk sub forum SFTH yang telah menyediakan tempat menampilkan sebuah cerita. Sebuah fasilitas yang akan saya gunakan untuk menulis dimulai dari hari ini hingga di hari-hari selanjutnya.

Terlepas dari nyata atau tidaknya cerita ini, adalah tidak terlalu penting karena sebagian dari kisah nyata dan sebagian dari imaginasi saya. Harapan saya tokoh-tokoh dalam cerita ini dapat menjadi inspirasi untuk para pembaca cerita yang saya tulis ini dapat menjadikan saya untuk terus berkreatifitas.

Mohon maaf jika materi dalam cerita ini nantinya ada kesalahan dan menyinggung pihak-pihak tertentu sekiranya nasihat, kritik dan saran dari agan/sista yang lebih berpengalaman selalu sangat saya harapkan.

Menemani istirahat untuk menghilangkan lelah setelah pulang kerja/sekolah/kuliah, atau saat sedang menunggu sesuatu mari kita baca ceritanya. Ditemani alunan musik dan segelas kopi/cokelat/susu/teh hangat kita kembali ke beberapa tahun yang lalu!!!.


PEMBUKA CERITA

Terpaku di dalam rasa cinta yang tak mungkin pudar, menanti cinta datang membawa arti sampai segenap organ ini berhenti.

Sore itu saat cuaca cerah di lantai 6 gedung akademisi yang melahirkan sarjana ekonomi terbaik aku termenung. Melamunkan manis, asam, asin dan pahitnya segala kehendak Tuhan yang dianugerahkan kepada salah satu ciptaanNya.

Manusia diberikan otak untuk berfikir dan menggunakan logika lalu diberikan hati untuk merasakan. Hati adalah malaikat sedangkan otak kadang menjadi iblis dan sangat sulit untuk mengontrolnya menjadi malaikat. Hati menjerit saat kita berbuat salah sedangkan otak adalah penyebab semua kesalahan yang dilakukan manusia. Malaikat dan iblis adalah gambaran dari manusia, sebagai simbol antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan tidak akan bersanding dengan kejahatan dan sebaliknya.

“Permisi Mas! Bisa pindah duduknya, lantainya mau di bersihkan!” Sapa seorang petugas cleaning service membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya mas”. Jawabku sambil berlalu pergi menuju tempat parkir motor tepatnya dihalaman depan kampus.

Karamnya cinta ini
Tenggelamkanku diduka yang terdalam
Hampa hati terasa
Kau tinggalkanku meski ku tak rela
Salahkah diriku hingga saat ini
Kumasih mengharap
Kau tuk kembali………


Sore itu gerimis turun saat aku pulang, tak terasa sampai ditempat kos yang kebetulan hanya berjarak 10 menit dari kampus air hujan membasahi jaket jeans yang ku kenakan. Segera aku mengambil handuk dan membersihkan diri, bersiap untuk mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Dengan ritual sholat Ashar aku merasakan kedamaian yang tidak ada bandingannya, sebagai bentuk kepatuhan dan rasa syukur atas semua yang diberikan Tuhan baik itu berkah yang membuat hati senang maupun musibah sebagai ujian kepada hambanya agar menjadi sosok yang lebih kuat.

Waktunya istirahat, kurebahkan badan ini di kasur busa sebagai surga dunia yang paling indah, sambil memutar lagu menemaniku melepas lelah. Secangkir kopi hitam telah kusiapkan untuk menghangatkan suasana karena diluar hujan turun semakin deras. Kupandangi sebuah kalung berwarna emas berliontin salib yang bersanding dengan sebuah kalung perak berliontin lafaz Allah, tergantung dibawah poster foto Ibu Sundari Sukotjo tepat di tengah-tengah dinding kamar kosku. Masih menampakkan kilaunya meski kalung-kalung itu sudah hampir 4 tahun lamanya. Aku bangkit dari tempat tidur, meminum sedikit kopi hitam, sambil menarik nafas dalam sedalam yang aku mampu. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di sore ini, ya aku merasakan suatu kerinduan yang luar biasa dengan pemilik kalung salib yang tergantung dikamarku, seorang yang sangat suka musik klasik, seseorang pecinta sepakbola, seseorang yang suka kopi hitam dan mungkin pernah mencintaiku walaupun tak pernah mengungkapkan sepatah katapun.

“Ya Tuhan hari ini aku kangen banget sama dia, meski tak sebesar kangen ku kepadaMu, tapi sungguh seolah-olah aku merasa sangat lemah dan sangat kehilangan. Hari ini tepat 4 bulan yang lalu dia beranjak pergi dari tempat ini, dia pergi untuk cita-citanya, untuk impiannya dan bodohnya aku belum sempat mengutarakan seluruh perasaanku kepadanya. Perbedaan keyakinanlah yang menghalangi, aku bahkan hanya bisa diam membisu saat ku ingin mengucapkan seluruh rasa cinta ini aku takut rasa cinta kepada makhluk ciptaanMu melebihi rasa cintaku padaMu. Tak kuasa air mata ini menetes, berusaha ku tahan tapi tak sanggup karena mungkin ini air mata rindu yang mencapai puncaknya.

Aku bukan seorang penulis tetapi hari ini tiba-tiba ingin sekali aku ingin sekali memainkan jariku di keyboard yang biasanya hanya kupakai untuk membuat tugas. Aku ingin menulis tentang dirimu tentang cerita kita, walaupun mungkin tidak berujung bahagia tidak apa karena mungkin dengan tulisan ini aku bisa mencurahkan segala isi hati dan kerinduanku kepada mu. Kenangan indah tentang hari-hari yang pernah kulalui dengan seorang bidadari yang telah merubah seluruh hidupku, meski meninggalkan perasaan yang terus menggantung entah sampai kapan. Bidadari yang datang di hidupku, menemaniku sejenak lalu pergi meninggalkan patahan salibnya di hidupku.


Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku sepanjang hidupmu


Sekilas Gambar Tentang Aku
Harapan Sesuai dengan Kenyataan
Kerikil Kecil dan Awan yang Jauh
Pertemuan dengan Sahabat
Sepatu Mengawali Sebuah Impian
Dunia Kampus dan Teman Baru
Keluarga Kecil Bernama HALTE
Sesuatu Mengganggu Pesta Akhir Smester
Diantara Rasa Kagum dan Penasaran
Meluapnya Sebuah Emosi
Hubungan yang Semakin Dekat
Kegelisahan Menghadapi Perasaan yang Berbeda
Siang Menjadi Malam dan Sebaliknya
Perjalanan yang Semakin Indah

Momen Menggelikan dan Warna Kehidupan
Dilema Menghadapi Ungkapan Perasaan
Tetangga di Sekitar Kami
Liontin Salib untuk Leher yang Indah
Kepedihan Cerita di Masa Lalu
Senyuman untuk Hati yang Terluka
Sosok yang Menjadi Pertanyaan
Mencoba Menghilangkan Trauma
Pelangi yang Hilang Bersama Turunnya Hujan
Malam Kebahagiaan Bersama Keluarga Kecil
Bidadari Kecil Kini Telah Dewasa
Kebahagiaan Kini Tinggal Prasasti
Semua Terjadi Sangat Cepat
Sebuah Cinta yang Salah
Surga yang Tak Layak untuk Dilihat
Rumput Dingin Di Bawah Bangku Taman
Pahitnya Sebuah Ucapan
Air Mata Menepis Kerasnya Kata-kata
Satu Langkah ke Arah Normal
Bertahan Hanya dalam Waktu Singkat
Semakin Tenggelam dalam Kedekatan
Lilin Kecil di Malam Penuh Kebahagiaan
Selamat Datang Kemarau
Kerinduan yang Teramat Dalam
Hembusan Angin Masa Lalu
Sayap yang Kuat Untuk Bidadari Kecil
Tinta Biru Menorehkan Luka
Berusaha Menyembunyikan Luka
Hilangnya Rasa Segan
Keberhasilan Tanpa Perayaan
Berharap Hanya Andai Saja
Serpihan Kenangan yang Menyiksa
Tempat Baru
Berita Baik Bersama Undangan
Selamat Menempuh Hidup Baru
Kesan yang Baik di Hari Pertama
Insiden Kecil dan Masa yang Telah Terlewati
Menutup Momen 4 Tahun Kebersamaan
Kotak Makan Siang
Keberanian Untuk Memulai
Pahitnya Sambutan Selamat Datang
Seperti Kembali ke Waktu Itu
Teka Teki dari Perhatian Sederhana
Cerita di Ujung Sore
Peneduh Panasnya Amarah
Mengungungkapkan tak Semudah Membayangkan
Titik Terang yang Terasa Gelap
Patahan Salib Bidadari
Terimakasih Untuk Masa yang Terlewati
Apa yang Sebenarnya Terjadi
Kembali Terjatuh
Dunia Ciptakan Keindahan
Dan Kebahagiaan [TAMAT]

Kata Penutup (Q&A)
Diubah oleh setiawanari 10-07-2018 10:35
calebs12
nona212
nona212 dan calebs12 memberi reputasi
3
110.7K
608
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
setiawanariAvatar border
TS
setiawanari
#497
Mengungkapkan tak Semudah Membayangkan
"Selamat Natal dan Tahun Baru Nin"

Kalimat dalam SMS yang ku kirimkan ke nomer hp yang didominasi angka 8 meskipun aku yakin SMS tidak akan pernah terkirim ke nomer yang tidak aktif. Harapan dan doa bersama langkah kaki, aliran darah dan hembusan nafas ini. Untuk dia yang sampai saat ini belum ku dengar lagi kabarnya.


Sinar Surya mulai terpancar menerobos masuk celah-celah lubang udara yang menempel di tembok. Menghangatkan pagi meski dingin ku rasakan menerima kenyataan demi kenyataan tentang perasaan dan sekelumit harapanku.

" Hati-hati disana Mas, jangan lupa oleh-olehnya." Kata Indri sesaat sebelum aku berangkat menghadiri gathering akhir tahun perusahaan.
" Iya-iya pasti Mas bawain. Kok mau berangkat males banget ya Ndri?"
" Kok males sih mas, sudahlah gak usah terlalu dipikirkan namanya jodoh pasti akan didekatkan sama Tuhan. Lagipula disana kan nanti banyak temen-temen kamu pasti acaranya menarik dan bisa bikin Mas Awan melupakan semuanya."
" Iya sih, mudah-mudahan begitu. Mungkin Tuhan masih menganggapku belum siap mengasuh anak kecil yang bukan darah dagingku."
" Amiiin, yaudah sana berangkat tar ketinggalan rombongan." Kata Indri mencium tanganku.


Aku berangkat menuju kantor pusat di daerah Sudirman, lokasi karyawan dan jajaran direksi berkumpul kemudian dari sana kita berangkat menggunakan bus menuju Lembang.


Dalam perjalanan aku masih memikirkan kejadian beberapa Minggu yang lalu. Lagi-lagi kenyataan pahit harus kuterima saat asaku tak dapat kucapai.


Sore itu di hari Jumat, sepulang kerja aku melihat Mbak Widia di jemput seorang lelaki. Awalnya aku tak tau siapa, aku pikir hanya teman atau saudara. Lalu Pak Veri menepuk pundakku berkata " Jangan terlalu difikirkan, lagipula kamu masih muda alangkah baiknya kamu acara yang sebaya atau yang lebih muda darimu." Sebuah kalimat akhirnya membuka pembicaraanku dengan Pak Veri dan terbukalah semuanya.

Lelaki itu tunangan Mbak Widia dan sebentar lagi akan menikah. Sosok yang siap menjadi ayah Marsha. Pergi sebentar melakukan tugas kerja lalu kembali ke kota ini menemui cintanya. Lelaki yang sepertinya jauh lebih pantas dibandingkan diriku.

" Mungkin dia yang beberapa waktu yang lalu di jemput di bandara." Batinku melangkah menuju motor. Terhenti sejenak di samping tempat sampah, mengeluarkan seikat bunga dari dalam tas lalu kugeletakkan di dalam kotak itu mememani plastik dan kotoran lainnya. Rencana untuk menyatakan cinta sore itu harus berakhir dengan kecewa.




Pagi ini seluruh karyawan peserta gathering telah siap berangkat menuju Kota Bandung dengan lima armada bus. Aku memilih berada di jok belakang, samping Arif yang sebelumnya sempat bersitegang denganku memperebutkan duduk di samping jendela. Aku kalah saat jari kelingkingku dihajar oleh telunjuknya.

" Hahahaha deal ya, gw yang menang jadi gw duduk disini." Kata Arif dengan tawa kemenangan.
" Iya, iya tapi pulangnya gantian!" Jawabku meletakkan tas di bagasi atas.
" Oke." Jawab Arif.


Setelah berdoa dipimpin ketua rombongan bus melaju menyusuri jalan raya. Merayap perlahan hingga akhirnya melaju lebih kencang setelah melewati gerbang jalan bebas hambatan.


Dalam perjalanan masing-masing dari kami memperkenalkan diri satu persatu. Dengan tidak beranjak dari tempat duduk, berdiri memperkenalkan nama, posisi, dan kantor cabang penempatan. Gelak tawa dan canda selama momen perkenalan berlangsung. Semua berbaur menjadi satu seperti tak ada hubungan formal antara atasan dengan bawahan.


Tanpa terasa menjelang pertengahan siang kami tiba di hotel Gr*nd L*mbang. Turun dari bus kami langsung menuju kamar yang telah di tentukan. Lagi-lagi aku satu kamar dengan Arif namun kali ini tidak ada perdebatan untuk memilih springbed.

" Waaaah nyaman banget kamarnya pemandangannya juga keren." Kata Arif membuka gorden jendela kamar hotel.
" Rif mau sholat bareng gak?" Kataku menggelar sajadah.
" Lo duluan dah gw mau rebahan dulu, hehehehe." Jawab Arif membanting tubuhnya di atas springbed sambil membaca jadwal acara.

" Beneran molor nih anak." Batinku selesai sholat melihat Arif dengan tubuh tengkurap dan mata terpejam.

" Woiiii, Rif Lo buruan sholat tar gak kebagian makan siang baru tau Lo." Kataku menyusun baju di dalam lemari.
" Oh iya, udah waktunya makan yak." Jawab Arif berlari ke kamar mandi mengambil air wudu.
" Giliran makan cepet banget Lo, coba kalau tugas kantor pasti ada aja alasan Lo buat ngeles."
" Urusan perut ma gak bisa entar-entar Bray, kalau telat makan terus sakit gw juga kan yang ngrasain sakitnya."
" Aaah terserah Lo lah." Kataku keluar kamar.

Sejenak aku duduk di bangku teras menikmati udara pegunungan yang sejuk. Memanjakan paru-paru yang hampir setiap hari menghirup debu dan asap kendaraan.

" Ayo Wan udah laper nih." Kata Arif membuka pintu mengajakku menuju restauran hotel.


Kami bergabung dengan peserta lainnya mengisi perut yang semakin nyaring. Makanan dan minuman disusun rapi dengan konsep prasmanan. Suara gaduh orang berbicara sesekali diiringi bunyi sendok yang beradu dengan piring tak mengurangi nafsu makanku. Semua makanan yang dihidangkan aku coba satu persatu. Sungguh luar biasa tidak ada satu menu pun yang tidak enak. Hanya perut kenyang yang mampu menghentikan syaraf-syaraf lidah merespon rasa lezat.

Perut terisi penuh, menunggu makanan berjalan menuju pencernaan, aku dan Arif berbincang dengan karyawan dari cabang berbeda yang kebetulan satu meja dengan kami. Di sela perbincangan beberapa kali Arif mulai menguap pertanda merasakan kantuk. Dia mengajakku kembali menuju kamar hotel, menikmati empuknya tempat tidur yang terasa mahal jika suatu saat kita kembali kesini dengan biaya pribadi.


" Mau kemana Lo ganti baju?" Kata Arif sesaat tiba di kamar.
" Lo gak lihat di depan ada kolam renang nganggur? Mumpung gak ada yang make jadi bisa bebas!" Kataku membuka pakaian, menggantinya dengan celana street.
" Wah gila Lo, panas-panas gini berenang disangka orang gak normal tar Lo Wan. Kalau mau berenang tar agak sore."
" Aaah tar sore ma udah pasti ramai, Lo mau tidur apa ikut?" Kataku berharap Arif mau bergabung karena sugesti dari ucapan Arif sedikit menurunkan niatku.

" Hmmmm, yaudah ayooo tapi gw gak nyebur ya gw mau ngopi sama ngrokok aja. Njir padahal tadi ngantuk banget giliran sampai kamar ilang." Kata Arif beranjak dari spring bed.
" Abis makan ngantuk, penyakit itu namanya."


Kami berjalan menuju kolam renang outdor yang cukup besar dengan handuk melingkar di pinggang menutupi bagian bawah tubuh. Air kolam sangat jernih, dasar kolam dengan kedalaman 3 meter masih terlihat. Beberapa orang yang sedang duduk bersantai menatap aneh ke arah kami. Tatapan aneh melihat dua manusia yang hendak menceburkan diri ke kolam renang tanpa menghiraukan panasnya sinar matahari. Atau justru mereka menahan diri untuk memulai karena malu untuk jadi yang pertama.

Byuuuurrrrr.....

Suara air kolam renang beradu dengan tubuhku, segarnya air berbanding lurus dengan kejernihannya. Beberapa saat aku berenang Arif menyusulku, dengan tetap mengenakan baju dalam untuk menutupi perutnya yang mulai buncit. Ternyata benar dugaanku, tidak lama berselang datang Pak Veri bersama teman-teman lainnya bergabung dengan kami.


Jari-jari tangan mulai terlihat keriput aku menyudahi aktivitasku, meski semakin sore pemandangan di kolam renang semakin terasa menegangkan. Mahkluk-mahluk berambut panjang mulai berdatangan dengan balutan pakaian yang tak mampu menutup ketiaknya. Aku tidak tertarik karena diantara mereka tidak ada yang aku harapkan kehadirannya.

" Mungkin Mbak Wid takut kulitnya terbakar, atau memang gak suka berenang." Batinku berjalan kembali ke kamar hotel. Mengistirahatkan raga sejenak untuk acara formal nanti malam.




Malam telah tiba, di tandai dengan bunyi serangga malam dan beberapa binatang nokturnal di pohon-pohon yang tumbuh lebat di sekeliling hotel. Memasuki ballroom hotel suasana sangat ramai, suara gaduh dari ratusan mulut manusia berbincang satu dengan yang lainnya. Dress code batik dan kebaya yang dipakai seluruh peserta gathering sebagai bentuk kecintaan perusahaan ini terhadap negeri. Suasana hening saat acara dimulai dengan doa lalu kembali meriah saat semua berdiri menyanyikan himne perusahaan. Dilanjutkan dengan menyaksikan video dokumentasi company profil yang hampir selalu sama di setiap tahunnya. Sambutan dari direktur utama perusahaan terasa lama karena butuh penerjemah ke dalam bahasa Indonesia. Rangkaian demi rangkaian acara akhirnya selesai menjelang tengah malam ditutup dengan hiburan musik live dan stand up comedy yang tidak terlalu menarik.



Setelah acara selesai aku mengajak Arif berbincang sejenak di kafe hotel menikmati sepoi-sepoi tiupan angin malam. Sebagai karyawan baru aku belum banyak mengenal karyawan lain selain dari cabang tempatku bekerja. Berbeda dengan Pak Veri dan Mbak Widia yang mulai dari berangkat hingga saat ini sibuk dengan teman-temannya dari cabang lain.

" Hei kalian berduaan aja kaya biji kacang." Kata Pak Veri datang bersama 3 orang temannya di kafe hotel tempatku dan Arif menikmati jeruk hangat.
" Biji kacang ma ada yang tiga Pak." Jawab Arif.
" Oooh berarti biji......." Kata Veri terpotong.
" Biji anggur." Jawab Arif.
" Hahahaha kecil dong?.... Mau gabung gak disana. Ayo laah biar ramai." Kata Pak Veri menunjuk ke arah 5 orang wanita yang duduk meja di pojok kafe.
" Wah boleh Pak sekalian cuci mata, tadinya mau kesana kita tapi ya tau sendiri lah Pak. Baru lihat aja udah gemetaran saya." Kata Arif beranjak dari tempat duduknya.
" Yaelah sama cewek aja gemetaran mereka cewek beneran Rif. Lupain dulu lah kopi yang di rumah nikmati yang ada sekarang, hehehehe." Kata Pak Veri.

" Ayo Wan." Kata Arif.
" Hmmm dah Lo kesana dah tar gw nyusul." Jawabku.
" Yaah gak asyik Lo Wan, atau..... Oh iya-iya gw paham. Yaudah Rif ayok." Kata Pak Veri melihat ke dua sosok wanita sedang berbincang bangku yang berjarak beberapa meter dari tempat kami saat ini.


Arif bergabung dengan Pak Veri dan teman-temannya, aku masih menunggu salah satu dari dua wanita yang berbincang itu pergi. Namun 8 menit lamanya tak kunjung ada tanda-tanda salah satu mereka pergi. Kuputuskan untuk menghampiri mereka.

" Hei Mbak Wid, boleh gabung?" Kataku saat tiba di meja Mbak Widia.
" Yaumpun Awan! Kemana aja dari pagi gw gak lihat Lo, sini duduk-duduk." Jawab Mbak Widia yang membuatku ingin sekali memegang kedua pipinya lalu mendekatkan wajahku sambil berkata.
" Sekarang bisa lihat saya kan Mbak?"

" Iya terimakasih Mbak." Jawabku duduk sambil meletakkan jeruk hangat yang hanya tersisa 3/4 gelas di atas meja.
" Oh iya kenalin Wan, ini Christin bagian keuangan cabang Green Garden."
" Awan." Kataku mengulurkan tangan.
" Christin." Jawab wanita itu membalas uluran tanganku.

" Oh iya Mbak Wid, Mas Awan maaf saya duluan ya, ini temen sekamarku gak berani sendirian!" Kata Christin menghabiskan cappucino.
" Ooh yaudah makasih ya Tin, kapan-kapan kita ngopi lagi." Jawab Mbak Widia.

Lega rasanya kini aku hanya berdua dengan Mbak Widia seperti yang aku harapkan.

" Gimana Wan gathering perusahaan pertama kamu? Seru gak?"
" Seru Mbak, tapi mungkin besuk lebih seru lagi waktu acara game dimulai." Jawabku memulai obrolan ringan dengan Mbak Widia.

Malam semakin dingin dan entah mengapa ada sebuah hasrat tentang perasaan ku yang ingin ku sampaikan kepada Mbak Widia. Keberanian untuk mencoba mengungkapkan meski hasilnya aku sudah tau. Jawaban mulut wanita yang semakin hari semakin menawan, paling tidak memberikan jawaban tentang kedekatanku dengannya yang melebihi hubungan kerja.

" Mbak Wid, Cowok yang beberapa waktu lalu jemput Mbak Wid pulang kerja siapa?" Kataku memutar-mutar gelas jeruk mengurangi gemetar dalam tubuhku.
" Oooh itu Mas Erwin, cowokku. Belum sempet aku kenalin ke kamu dan yang lainnya soalnya baru pulang dari Belanda."
" Calon ayah Marsha ya Mbak? Udah berapa lama pacaran?"
" Ya begitulah, sulit untuk memulai lagi sebenernya tapi dia datang dan nggak tau kenapa mulai ada keberanian lagi. Baru 6 bulanan lah, cuma kalau kenal sih udah lama kebetulan dia tetanggaku di Palembang. Tumben nanya-nanya masalah pribadi aku? Atau jangan-jangan kamu?"

" Aaah enggak kok Mbak, gak apa-apa cuma pengen tau aja." Kata-kataku sedikit terbata-bata menatap wajah atasanku.
" Maksudnya gak apa-apa gimana aku kan cuma bilang jangan-jangan. Hehehehe."
" Ya mungkin... Hmmmm.. Aaah sudahlah."
" Mungkin apa Wan? Ada yang kamu pengen ucapan tapi kayanya ketahan gitu?"
" Oooh gak ada kok Mbak."
" Yakiiin?"
" Iya Mbak."
" Oooh yaudah kalau begitu, hoooaaah.....udah jam satu nih. Tidur yuk. Eh tapi aku beli teh hangat dulu temen kamarku nitip." Kata Mbak Widia hendak berdiri.



Mbak Widia terhenti saat aku menarik tangannya, lalu kembali duduk.

" Mbak Wid."
" Iya....!"
" Hmmmm, sebenernya ada yang pengen aku sampaikan Mbak. Tentang perasaanku ke Mbak Widia, meskipun aku gak terlalu berharap banyak karena sudah ada orang lain disana." Kataku membuat Mbak Widia mengerutkan dahi menatapku.
" Perasaan gimana maksudnya Wan?"
" Semua bermula dari kedekatan kita selama ini Mbak, aku merasa nyaman, bahagia, dan ada sebuah hasrat yang kuat untuk bisa lebih dekat dengan Mbak Wid dalam sebuah ikatan. Aku meyakini apa yang aku rasakan adalah cinta yang tulus dari hatiku. Aku berusaha menahannya tapi entahlah mungkin karena sudah memuncak malam ini aku ungkapkan semuanya. Mbak Wid..... Masih adakah kesempatan bagiku untuk tidak hanya sekedar di panggil Om oleh Marsha?"
" Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Kamu serius Wan?" Kata Mbak Widia tertunduk.
" Aku serius Mbak dan aku bersungguh-sungguh."
" Awan, sebelumnya aku minta maaf sepertinya apa yang kamu rasakan gak bisa aku balas. Aku menganggap kamu sebatas rekan kerjaku, dan kita gak bisa akan jadi lebih dari itu!"
" Tapi kenapa Mbak? Apa karena sudah ada lelaki itu? Lalu apa maksud kebaikan dan perhatian Mbak Wid selama ini untukku? Semua perhatian yang Mbak berikan melabihi sekedar hubungan antara rekan kerja!"
" Kamu jangan salah paham Wan! Semua itu aku lakukan hanya untuk sekedar memberi semangat untukmu. Kamu orang baru tapi berbeda dengan orang yang sebelumnya ataupun orang yang sudah ada. Kamu punya bakat yang bisa menjadi aset perusahaan. Kamu cepat belajar, cepat beradaptasi, nyambung diajak bicara. Terlebih kamu itu.....!" Kata Mbak Widia terhenti sejenak.
" Kok berhenti Mbak?"
" Hmmmm, maaf sebelumnya Wan. Kamu itu sudah gak punya orang tua, aku gak bisa membayangkan jika itu terjadi dengan adik lelakiku. Semua yang Mbak lakukan hanya untuk memberimu semangat kerja dan menjalani kehidupan ini."
" Tapi Mbak! Bagimana jika aku menginginkan hal yang lebih saat Mbak Widia sudah membuatku jatuh ke dalam perasaan seperti ini?"
" Itu tidak mungkin Wan, usia kita terpaut jauh. Kamu lelaki dan aku wanita mungkin akan berbeda jika sebaliknya. Aku yakin kamu paham dengan kehidupan setelah menikah meski kamu belum mengalaminya. Saat usia kamu 50tahun nanti, maka aku akan berusia 55tahun. Kamu pasti bisa bayangkan itu. Usia dimana kamu masih mampu untuk melakukan semuanya tapi aku tidak mungkin bisa memenuhinya karena masuk ke masa menopause. Jadi aku gak mungkin tega melihatmu menahan apa yang menjadi keinginanmu juga tak sanggup jika kau mencari yang lainnya. Awan, jangan pernah kau salah artikan secuil kebaikanku, aku yakin kamu juga pernah melakukan sesuatu kebaikan untuk orang lain!"
" Tapi Mbak....!!!"




" Hei malah bengong ayo mau bareng gak? Atau kamu mau nunggu pagi disini." Kata Mbak Widia menempelkan kantong plastik berisi teh hangat di pipiku, membuyarkan lamunanku.
" Oh udah ya Mbak, ayok." Kataku berdiri.
" Yeee malem-malem bengong tar ada yang iseng baru tau kamu." Kata Mbak Widia berjalan bersamaku meninggalkan kafe hotel.
" Aaah kalau ada yang iseng aku isengin balik, tapi denger-denger cerita katanya di hotel ini....."
" Stooop, iiiiiiihhhhhapaan sih. Tanggung jawab kamu anterin sampai depan kamar." Kata Mbak Widia saat kami melalui pertigaan lorong sebagai batas kita harus berpisah. Aku pun berbelok ke arah kiri menuju gedung yang dikhususkan untuk kamar wanita.

" Udah sampai sini aja ya, makasih."
" Hmmmm gak sekalian sampai dalem Mbak?"
" Nggak boleh, yaudah sana balik ke kamarmu. Met tidur ya, jangan lupa mimpiin aku, hehehehe. Sampai ketemu besuk." Kata Mbak Widia sebelum menutup pintu kamar.

" Mimpiin Mbak Widia? Yang ada bangun tidur aku harus segera mencuci celana dalam!!" Batinku.


Aku kembali menuju kamar melewati lorong hotel yang sepi dan cenderung gelap. Suatu hal yang akan menjadi ketakutan tersendiri bagi penderita achluophobia. Tiba di kamar hotel aku melihat sesosok tubuh manusia dengan posisi miring tergeletak di ranjang terbungkus selimut dari ujung kaki hingga lehernya. Hembusan nafas membuktikan jika dia masih hidup, meski tak ada tanda-tanda pergerakan tubuhnya.


" Pules amat nih bocah tidurnya, udah kaya mayat." Batinku melihat Arif yang tidak bergerak sama sekali dari aku membuka pintu hingga kini siap menyusulnya ke dunia mimpi.



Kombinasi air santan, sari pati jahe dan bahan rempah lainnya terasa hangat menemani pagi sebelum perut terisi makanan berat. Pagi selalu terasa dingin, uap air terlihat jelas keluar masuk saluran pernafasan. Sudah sepatutnya manusia selalu bersyukur karena Tuhan masih memberikan oksigen secara cuma-cuma.


Setelah sarapan, game yang menjadi salah satu agenda gathering dimulai. Semua peserta berkumpul di lapangan yang biasanya digunakan untuk bermain sepak bola. Sebuah game sederhana dengan tujuan melatih kerjasama tim, kekompakan, kecepatan dan kemampuan memecahkan masalah. Sorak Sorai dan kemeriahan pecah saat peserta game melakukan kejadian-kejadian konyol. Aku larut dalam kemeriahan meski sesekali pandanganku masih tertuju ke satu sosok. Lalu kembali teralihkan saat tersadar jika dia bukan orang yang bisa kumiliki.

" Biawak?" Jawabku saat Arif mempraktekkan tulisan yang tertempel di kepalaku. Arif terus bergerak memberi isyarat dengan bahas tubuhnya agar aku segera bisa menebak.
" Kadal"
" Buaya"
" Cicak"
" Kodomo eh komodo"
" Tirex....tokek....."
" Apaan sih Rif? Hmmmm.... Uler berkaki 4....eh...

"Hahahahahaha." Suara gelak tawa penonton.


" Teeeet waktu habis...." Kata panitia games membuka tali yang mengikat tanganku.

" Ah payah Lo Wan, sampai sakit badan gw masa gak ketebak juga." Kata Arif duduk menyambar air mineral.
" Emang jawabannya apaan sih?" Kataku mengambil kertas yang menempel di kepalaku.


" IGUANA? Wah bagian gw susah amat jenis reptilnya! Njir dikerjain gw." Kataku lagi-lagi disambut tawa peserta lainnya.


Kemeriahan dan keseruan acara pada akhirnya harus usai menjelang matahari lurus diatas kepala. Tidak ada yang menang dan kalah dalam games yang telah usai. Tujuannya hanya untuk menjalin keakraban seluruh karyawan. Setahun sekali kita bertemu lalu kembali ke cabang masing-masing untuk memberikan kontribusi nyata bagi perusahaan. Semakin besar kontribusi mereka semakin besar pula imbalan yang akan di dapatkan.


Waktunya pulang, roda bus mulai berputar membawa kami diatasnya dengan rasa lelah. Aku menempati jok di samping jendela, bertukar posisi dengan Arif. Menikmati pepohonan yang berdiri tegak di sepanjang jalan, lalu berganti dengan perumahan, tiang listrik dan gedung-gedung tinggi. Sebagai tanda kami tiba di kota tempat kami menggapai asa.
g.gowang
g.gowang memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.