- Beranda
- Stories from the Heart
Meniti Garis Takdir
...
TS
Aboeyy
Meniti Garis Takdir

Meniti Garis Takdir:
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Quote:
PERSEMBAHAN:
Quote:
*****
INDEX:
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
PART #1.1

Gema azan Maghrib beberapa menit telah berlalu. Sang imam baru saja mengucapkan salam kedua. Namun malam telah membentangkan jubah hitamnya. Suasana desa yang belum terjamah oleh listrik itu semakin gelap dan sepi. Tidak terdengar bunyi, kecuali suara anak-anak yang mulai belajar mengaji. Di bawah cahaya obor, mereka tetap giat belajar. Mengeja hurup per hurup Hijaiyah, merangkai kata, menyusun kalimat, hingga sempurna menjadi satu ayat. Mereka duduk berderet, menanti giliran sang Imam mengajarkan ayat berikutnya.

Seorang anak yang duduk pada deret paling ujung tiba-tiba berdiri. “Permisi Pak Ustadz, bolehkah saya pamit pulang duluan?” kata anak itu.
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:

Quote:
Bersambung>>>
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh Aboeyy 17-08-2019 12:52
anasabila memberi reputasi
1
11.7K
81
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Aboeyy
#64
PART #12.2
Sepuluh hari setelah menikah.
“Sekolahku belum selesai. Tinggal ujian akhir,” tutur Mujid kepada istrinya sore itu di beranda.
“Ya, selesaikan dulu! Sayang kalau berhenti, sudah hampir tamat,” saran Alina.
“Tapi, aku berat meninggalkanmu,” bisik Mujid mesra.
“Kenapa?”
“Aku takut kamu digoda dokter itu lagi.”
“Ia sudah pindah dari rumah sakit itu,” sahut Alina menenangkan kerisauan Mujid.
“Kamu sendiri tidak keberatan aku meninggalkanmu?”
“Kalau hanya sebentar dan akan balik lagi, tidak terlalu keberatan.”
“Baiklah, Sayang! Insya Allah tiga hari lagi aku ke Martapura. Kalau mau ikut, aku bawa.”
“Emang boleh bawa istri?” Alina serius bertanya.
“Kamu kan istriku, siapa yang melarang?” sahut Mujid gemas sambil memeluk dan menuntun Alina masuk ke dalam rumah menjelang Maghrib.
Tanpa didampingi istri, Mujid akan kembali ke Martapura untuk melanjutkan sekolah. “Tidak lama, Sayang! Paling cuma 4 hari. Hanya menjalani Ujian Susulan,” bujuk Mujid saat akan berangkat, karena Alina mau ikut.
“Jika lebih dari 4 hari, Alina akan menyusul ke sana,” rengek Alina semakin manja.
“Iya, aku pasti kembali,” Mujid meyakinkan istrinya.
Dengan berat Alina melepaskan Mujid.
Di hadapan Ketua Tingkat Ulya, Mujid menceritakan berbagai alasan mengapa ia meninggalkan sekolah, terutama tentang kondisi kesehatan ibunya yang memaksanya untuk pulang. Atas dasar alasan itu, Ketua memberinya keringanan, “Karena kamu sudah menyelesaikan semua mata pelajaran dan administrasi, maka kamu boleh mengikuti Ujian Akhir Susulan. Silakan hubungi ustadz masing-masing mata pelajaran. Terserah ustadz apakah kamu harus mendapat soal tertulis atau lisan.”
“Terima kasih, Pak!”
Mujid pun mendatangi setiap ustadz, dan ia memohon ujian lisan saja, agar lebih praktis dan cepat, sehingga nilainya bisa langsung diberikan.
Ternyata nilai Mujid dari semua mata pelajaran yang diujikan rata-rata 8, dan pada hari ketiga ia dinyatakan lulus, dan tinggal menunggu ijazah yang akan mulai diproses pada hari itu. Mujid berniat untuk segera pulang, satu hari lebih cepat dari yang dijanjikannya kepada istrinya. Namun berita tentang Muna, memberatkan langkahnya.
Siang itu ketika pulang dari sekolah, Mujid bertemu Dani. Dani mengajaknya mampir ke rumahnya, padahal Mujid sudah menceritakan bahwa ia harus pulang kampung saat itu.
“Sebentar saja, Jid! Sore Nanti kamu bisa pulang. Ada berita penting buat kamu tentang Muna,” bujuk Dani.
Mendengar nama Muna, semangat Mujid seperti berkobar kembali. Karena ingin memamerkan kebahagiaannya menikahi Alina yang lebih cantik? Ingin mengetahui nasib Muna saat ini? Hanya Mujid yang tahu.
“Jid! Sejak Muna menikah, ia berhenti sekolah. Sekarang Pak Burhan sakit-sakitan. Ia beberapa kali mengalami stroke. Harta kekayaannya hampir habis untuk biaya berobat. Sementara Muna melahirkan seorang anak perempuan secara prematur dan mengalami keterbelakangan mental. Sampai berusia dua tahun, anaknya hanya bisa berbaring, tanpa dapat bercakap-cakap,” Dani mulai bercerita saat Mujid duduk di sofa rumahnya. Mujid tetap bungkam seakan tidak percaya.
Dani melanjutkan, “Sekarang tubuh Muna agak kurus dan pendiam, tidak seceria waktu sekolah dulu. Mungkin batinnya sangat tersiksa.”
“Biarkan dia meniti garis takdir yang digores oleh ayahnya sendiri,” tukas Mujid seolah puas dengan penderitaan Muna, padahal hatinya sangat terenyuh dan perih.
“Kenapa begitu, Jid? Kamu dendam padanya? Kamu benar-benar telah melupakan dan membencinya?” cecar Dani. Mujid hanya menunduk, berusaha menahan gejolak di dadanya.
Sepuluh hari setelah menikah.
“Sekolahku belum selesai. Tinggal ujian akhir,” tutur Mujid kepada istrinya sore itu di beranda.
“Ya, selesaikan dulu! Sayang kalau berhenti, sudah hampir tamat,” saran Alina.
“Tapi, aku berat meninggalkanmu,” bisik Mujid mesra.
“Kenapa?”
“Aku takut kamu digoda dokter itu lagi.”
“Ia sudah pindah dari rumah sakit itu,” sahut Alina menenangkan kerisauan Mujid.
“Kamu sendiri tidak keberatan aku meninggalkanmu?”
“Kalau hanya sebentar dan akan balik lagi, tidak terlalu keberatan.”
“Baiklah, Sayang! Insya Allah tiga hari lagi aku ke Martapura. Kalau mau ikut, aku bawa.”
“Emang boleh bawa istri?” Alina serius bertanya.
“Kamu kan istriku, siapa yang melarang?” sahut Mujid gemas sambil memeluk dan menuntun Alina masuk ke dalam rumah menjelang Maghrib.
Tanpa didampingi istri, Mujid akan kembali ke Martapura untuk melanjutkan sekolah. “Tidak lama, Sayang! Paling cuma 4 hari. Hanya menjalani Ujian Susulan,” bujuk Mujid saat akan berangkat, karena Alina mau ikut.
“Jika lebih dari 4 hari, Alina akan menyusul ke sana,” rengek Alina semakin manja.
“Iya, aku pasti kembali,” Mujid meyakinkan istrinya.
Dengan berat Alina melepaskan Mujid.
Di hadapan Ketua Tingkat Ulya, Mujid menceritakan berbagai alasan mengapa ia meninggalkan sekolah, terutama tentang kondisi kesehatan ibunya yang memaksanya untuk pulang. Atas dasar alasan itu, Ketua memberinya keringanan, “Karena kamu sudah menyelesaikan semua mata pelajaran dan administrasi, maka kamu boleh mengikuti Ujian Akhir Susulan. Silakan hubungi ustadz masing-masing mata pelajaran. Terserah ustadz apakah kamu harus mendapat soal tertulis atau lisan.”
“Terima kasih, Pak!”
Mujid pun mendatangi setiap ustadz, dan ia memohon ujian lisan saja, agar lebih praktis dan cepat, sehingga nilainya bisa langsung diberikan.
Ternyata nilai Mujid dari semua mata pelajaran yang diujikan rata-rata 8, dan pada hari ketiga ia dinyatakan lulus, dan tinggal menunggu ijazah yang akan mulai diproses pada hari itu. Mujid berniat untuk segera pulang, satu hari lebih cepat dari yang dijanjikannya kepada istrinya. Namun berita tentang Muna, memberatkan langkahnya.
Siang itu ketika pulang dari sekolah, Mujid bertemu Dani. Dani mengajaknya mampir ke rumahnya, padahal Mujid sudah menceritakan bahwa ia harus pulang kampung saat itu.
“Sebentar saja, Jid! Sore Nanti kamu bisa pulang. Ada berita penting buat kamu tentang Muna,” bujuk Dani.
Mendengar nama Muna, semangat Mujid seperti berkobar kembali. Karena ingin memamerkan kebahagiaannya menikahi Alina yang lebih cantik? Ingin mengetahui nasib Muna saat ini? Hanya Mujid yang tahu.
“Jid! Sejak Muna menikah, ia berhenti sekolah. Sekarang Pak Burhan sakit-sakitan. Ia beberapa kali mengalami stroke. Harta kekayaannya hampir habis untuk biaya berobat. Sementara Muna melahirkan seorang anak perempuan secara prematur dan mengalami keterbelakangan mental. Sampai berusia dua tahun, anaknya hanya bisa berbaring, tanpa dapat bercakap-cakap,” Dani mulai bercerita saat Mujid duduk di sofa rumahnya. Mujid tetap bungkam seakan tidak percaya.
Dani melanjutkan, “Sekarang tubuh Muna agak kurus dan pendiam, tidak seceria waktu sekolah dulu. Mungkin batinnya sangat tersiksa.”
“Biarkan dia meniti garis takdir yang digores oleh ayahnya sendiri,” tukas Mujid seolah puas dengan penderitaan Muna, padahal hatinya sangat terenyuh dan perih.
“Kenapa begitu, Jid? Kamu dendam padanya? Kamu benar-benar telah melupakan dan membencinya?” cecar Dani. Mujid hanya menunduk, berusaha menahan gejolak di dadanya.
0