- Beranda
- Stories from the Heart
Meniti Garis Takdir
...
TS
Aboeyy
Meniti Garis Takdir

Meniti Garis Takdir:
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Quote:
PERSEMBAHAN:
Quote:
*****
INDEX:
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
PART #1.1

Gema azan Maghrib beberapa menit telah berlalu. Sang imam baru saja mengucapkan salam kedua. Namun malam telah membentangkan jubah hitamnya. Suasana desa yang belum terjamah oleh listrik itu semakin gelap dan sepi. Tidak terdengar bunyi, kecuali suara anak-anak yang mulai belajar mengaji. Di bawah cahaya obor, mereka tetap giat belajar. Mengeja hurup per hurup Hijaiyah, merangkai kata, menyusun kalimat, hingga sempurna menjadi satu ayat. Mereka duduk berderet, menanti giliran sang Imam mengajarkan ayat berikutnya.

Seorang anak yang duduk pada deret paling ujung tiba-tiba berdiri. “Permisi Pak Ustadz, bolehkah saya pamit pulang duluan?” kata anak itu.
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:

Quote:
Bersambung>>>
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh Aboeyy 17-08-2019 12:52
anasabila memberi reputasi
1
11.7K
81
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Aboeyy
#24
PART #3.3
Setengah bulan ditunggu, barang yang dinanti belum kunjung datang. Pak Hasmi tidak mengizinkan Mujid untuk pulang sebelum barang tiba, sebab dialah yang harus bertanggungjawab, dan akan mengecek barang jika sudah diterima.
“Mujid! Cepat telpon ke toko agen itu. Tanyakan kapan kain itu dikirim, dan mengapa sampai sekarang belum datang!”
“Iya, Pak! Tapi saya tak ingat telponnya. Nomornya ada di nota pembelian yang disimpan oleh Yanto.”
Pak Hasmi benar-benar marah ketika mengetahui Yanto sejak kemarin meninggalkan rumah dan tidak diketahui di mana keberadaannya.
“Cari Yanto sampai ketemu. Jika tidak, maka kamu harus kembali ke Surabaya,” kata Pak Hasmi dengan emosi.
Semua orang yang diketahui Mujid sebagai teman Yanto didatangi. Namun semuanya mengatakan tidak pernah bertemu Yanto. Maka pada hari ketiga, Pak Hasmi benar-benar melaksanakan ancamannya. Mujid terpaksa kembali ke Surabaya.
Sementara di kampung, Mama Mujid mulai sakit-sakitan sejak ia mengirimkan surat yang terakhir. Ia merasa yakin bahwa anaknya benar-benar lupa dengan janjinya. Hal ini menjadi beban pikirannya, sehingga mengurangi nafsu makan, dan kesehatannya mulai terganggu. Uang kiriman Mujid yang selama ini disimpannya, sedikit demi sedikit mulai berkurang karena dipakai untuk biaya berobat.
“Maaf, Mas! Barang sudah dikirim pada hari itu juga,” jawab bos toko ketika Mujid menanyakannya. Dia memperlihatkan nota bukti pengiriman.
“Kalau barang belum datang, tolong dicek di kantor cabang pengiriman di kota Anda. Mungkin barangnya masih di sana, belum sempat dikirim,” tambahnya.
Dengan perasaan berat, Mujid terpaksa balik lagi ke Banjarmasin, terus ke Amuntai. Ia menceritakan apa yang dikatakan pemilik toko si Surabaya kepada bosnya.
“Saya tidak mau tahu hal itu. Di sini tidak ada kantor cabang. Hanya ada di Banjarmasin. Mengapa tidak langsung saja waktu di Banjarmasin mengeceknya?”
Mujid tidak dapat menjawab. Ia merasa kata-kata Pak Hasmi benar. Mengapa tak terpikir olehnya untuk melakukan hal itu, padahal ia singgah dan bermalam di Banjarmasin. Terpikir olehnya untuk menyuruh Yanto ke Banjarmasin, namun sampai saat itu Yanto belum pulang. Akhirnya Mujid memutuskan dalam hatinya untuk berangkat besok pagi.
Belum sempat Mujid menyampaikan niatnya itu, seorang pengendara motor mampir di depan tokonya. Ia menyerahkan selembar surat yang dialamatkan kepada Mujid. Tak sempat mengucapkan terima kasih kepada pengantar surat, Mujid langsung merobek sampulnya. Isinya sangat singkat dan tegas: Mujid! Segera pulang. Ibumu sakit, dan akan dibawa ke Rumah Sakit.
Setelah membaca surat itu, muka Mujid berubah pucat. Tangannya tampak gemetar. Hatinya semakin was-was. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam toko dan menghampiri bosnya: “Maaf Pak, saya harus pulang kampung sekarang. Ibu saya sakit,” kata Mujid dengan ekspresi sedih sambil melipat dan memasukkan surat itu ke saku bajunya.
“Oke! Aku izinkan kamu pulang. Tapi harus ada jaminan hingga barang itu datang.”
“Iya, Pak! Saya akan berikan uang jaminan sebesar nilai barang itu,” sahut Mujid tanpa berpikir panjang.
Mujid pulang dengan sisa uang yang berjumlah sekitar lima ratus ribu. Mujib berpikir, tuh masih ada uang tabungan yang disimpan ibunya.
Bersambung ke Chapter 4: Suster Alina
Setengah bulan ditunggu, barang yang dinanti belum kunjung datang. Pak Hasmi tidak mengizinkan Mujid untuk pulang sebelum barang tiba, sebab dialah yang harus bertanggungjawab, dan akan mengecek barang jika sudah diterima.
“Mujid! Cepat telpon ke toko agen itu. Tanyakan kapan kain itu dikirim, dan mengapa sampai sekarang belum datang!”
“Iya, Pak! Tapi saya tak ingat telponnya. Nomornya ada di nota pembelian yang disimpan oleh Yanto.”
Pak Hasmi benar-benar marah ketika mengetahui Yanto sejak kemarin meninggalkan rumah dan tidak diketahui di mana keberadaannya.
“Cari Yanto sampai ketemu. Jika tidak, maka kamu harus kembali ke Surabaya,” kata Pak Hasmi dengan emosi.
Semua orang yang diketahui Mujid sebagai teman Yanto didatangi. Namun semuanya mengatakan tidak pernah bertemu Yanto. Maka pada hari ketiga, Pak Hasmi benar-benar melaksanakan ancamannya. Mujid terpaksa kembali ke Surabaya.
Sementara di kampung, Mama Mujid mulai sakit-sakitan sejak ia mengirimkan surat yang terakhir. Ia merasa yakin bahwa anaknya benar-benar lupa dengan janjinya. Hal ini menjadi beban pikirannya, sehingga mengurangi nafsu makan, dan kesehatannya mulai terganggu. Uang kiriman Mujid yang selama ini disimpannya, sedikit demi sedikit mulai berkurang karena dipakai untuk biaya berobat.
“Maaf, Mas! Barang sudah dikirim pada hari itu juga,” jawab bos toko ketika Mujid menanyakannya. Dia memperlihatkan nota bukti pengiriman.
“Kalau barang belum datang, tolong dicek di kantor cabang pengiriman di kota Anda. Mungkin barangnya masih di sana, belum sempat dikirim,” tambahnya.
Dengan perasaan berat, Mujid terpaksa balik lagi ke Banjarmasin, terus ke Amuntai. Ia menceritakan apa yang dikatakan pemilik toko si Surabaya kepada bosnya.
“Saya tidak mau tahu hal itu. Di sini tidak ada kantor cabang. Hanya ada di Banjarmasin. Mengapa tidak langsung saja waktu di Banjarmasin mengeceknya?”
Mujid tidak dapat menjawab. Ia merasa kata-kata Pak Hasmi benar. Mengapa tak terpikir olehnya untuk melakukan hal itu, padahal ia singgah dan bermalam di Banjarmasin. Terpikir olehnya untuk menyuruh Yanto ke Banjarmasin, namun sampai saat itu Yanto belum pulang. Akhirnya Mujid memutuskan dalam hatinya untuk berangkat besok pagi.
Belum sempat Mujid menyampaikan niatnya itu, seorang pengendara motor mampir di depan tokonya. Ia menyerahkan selembar surat yang dialamatkan kepada Mujid. Tak sempat mengucapkan terima kasih kepada pengantar surat, Mujid langsung merobek sampulnya. Isinya sangat singkat dan tegas: Mujid! Segera pulang. Ibumu sakit, dan akan dibawa ke Rumah Sakit.
Setelah membaca surat itu, muka Mujid berubah pucat. Tangannya tampak gemetar. Hatinya semakin was-was. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam toko dan menghampiri bosnya: “Maaf Pak, saya harus pulang kampung sekarang. Ibu saya sakit,” kata Mujid dengan ekspresi sedih sambil melipat dan memasukkan surat itu ke saku bajunya.
“Oke! Aku izinkan kamu pulang. Tapi harus ada jaminan hingga barang itu datang.”
“Iya, Pak! Saya akan berikan uang jaminan sebesar nilai barang itu,” sahut Mujid tanpa berpikir panjang.
Mujid pulang dengan sisa uang yang berjumlah sekitar lima ratus ribu. Mujib berpikir, tuh masih ada uang tabungan yang disimpan ibunya.
Bersambung ke Chapter 4: Suster Alina
0