- Beranda
- Stories from the Heart
Meniti Garis Takdir
...
TS
Aboeyy
Meniti Garis Takdir

Meniti Garis Takdir:
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)
Quote:
PERSEMBAHAN:
Quote:
*****
INDEX:
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
Part 1.2,
Part 1.3,
Part 1.4,
Part 1.5,
Part 1.6,
Part 1.7
****
Part 2.1,
Part 2.2,
Part 2.3,
Part 2.4
****
Part 3.1,
Part 3.2,
Part 3.3
****
Part 4.1,
Part 4.2,
Part 4.3
****
Part 5.1,
Part 5.2,
Part 5.3,
Part 5.4
****
Part 6.1,
Part 6.2,
Part 6.3
****
Part 7.1,
Part 7.2,
Part 7.3,
Part 7.4
****
Part 8.1,
Part 8.2
****
Part 9.1,
Part 9.2,
Part 9.3,
Part 9.4,
Part 9.5,
Part 9.6,
Part 9.7
****
Part 10.1,
Part 10.2,
Part 10.3,
Part 10.4,
Part 10.5
****
Part 11.1,
Part 11.2,
Part 11.3,
Part 11.4,
Part 11.5,
Part 11.6,
Part 11.7,
Part 11.8,
Part 11.9
****
Part 12.1,
Part 12.2,
Part 12.3,
Part 12.4,
Part 12.5,
Part 12.6,
Part 12.7,
Part 12.8,
Part 12.9 (Tamat)
****
1. Seruan dari Langit
PART #1.1

Gema azan Maghrib beberapa menit telah berlalu. Sang imam baru saja mengucapkan salam kedua. Namun malam telah membentangkan jubah hitamnya. Suasana desa yang belum terjamah oleh listrik itu semakin gelap dan sepi. Tidak terdengar bunyi, kecuali suara anak-anak yang mulai belajar mengaji. Di bawah cahaya obor, mereka tetap giat belajar. Mengeja hurup per hurup Hijaiyah, merangkai kata, menyusun kalimat, hingga sempurna menjadi satu ayat. Mereka duduk berderet, menanti giliran sang Imam mengajarkan ayat berikutnya.

Seorang anak yang duduk pada deret paling ujung tiba-tiba berdiri. “Permisi Pak Ustadz, bolehkah saya pamit pulang duluan?” kata anak itu.
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:
Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.
Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.
Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.
Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”
“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.
Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.
“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.
“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”
“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.
Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:
“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”
“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.
“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.
“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”
Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.
Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.
Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.
“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”
Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.
“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”
“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.
Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:

Quote:
Bersambung>>>
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh Aboeyy 17-08-2019 12:52
anasabila memberi reputasi
1
11.7K
81
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Aboeyy
#16
PART #2.3
Hari pertama bekerja, Mujid menemukan uang kertas seribu rupiah di lantai. Ia memungut uang itu, dan menyerahkannya kepada pemilik toko. “Ini, Pak! Saya menemukan uang di lantai, mungkin milik Bapak tercecer atau uang pengunjung.”
Seminggu kemudian, ketika Mujid membersihkan rak kain, ia mendapatkan uang sepuluh ribu bawah rak itu. Tanpa berpikir panjang, ia menyerahkannya kepada Pak Hasmi.
Sebulan kemudian, ketika Mujid akan membuka toko, ia menemukan uang kertas lima puluh ribu rupiah dua lembar, tergulung agak kumal, di depan tokonya. Lagi-lagi ia menyerahkannya pada pak Hasmi. Akhirnya pemilik toko mulai yakin bahwa Mujid adalah anak yang jujur. Memasuki bulan kedua, gaji Mujid dinaikkan 50% menjadi tiga ratus ribu rupiah.
Suatu hari di bulan ketiga.
“Mujid! Siang ini ambil kain-kain yang ada di gudang, lalu pajang di depan toko.”
“Baik, Pak!” jawab Mujid tegas.
Ketika membuka bungkus gulungan kain di dalam gudang, Mujid menemukan uang kertas yang jumlahnya tertulis di sana Rp. 3.000.000,- terbungkus dalam plastik yang rapi, terselip di atas perekat label merek kain. Di sana terdapat pula tulisan, “Selamat, Anda Mendapatkan Hadiah.”
Mujid mulai tergoda. Tanpa berpikir panjang, uang itu dimasukkannya ke dalam saku celananya. Sambil terus membuka bungkusan gulungan kain, dan memajangnya di depan toko, Mujid tidak henti-hentinya berpikir tentang uang itu.
“Kalau uang ini kuambil, Pak Hasmi tidak akan tahu. Ini pasti bukan uang Pak Hasmi, sebab uang ini kutemukan dalam gulungan kain yang masih terbungkus, dan ada tulisan hadiah dari perusahaan kain. Berarti uang ini hadiah bagi yang beruntung membeli gulungan kain ini. Karena itu, kain ini akan kubeli. Harganya cuma tiga ratus ribu rupiah. Jadi, aku masih dapat untung dua juta tujuh ratus ribu rupiah. Secara fiqih, hal ini sah. Tuh, aku tidak mencuri, tapi membeli. Dengan uang sejumlah ini, aku bisa melanjutkan sekolah, dan berhenti kerja. Gajiku sekarang cuma tiga ratus ribu rupiah perbulan. Jadi, untuk dapat uang sejumlah ini, aku harus kerja di sini minimal 10 bulan. Kalau gaji itu hanya 50% yang dapat kutabung, berarti aku harus kerja kurang lebih 20 bulan,” bisik nafsunya.
Ketika sudah bulat tekad Mujid untuk mengambil uang itu, dan memutuskan untuk berhenti bekerja, tiba-tiba ia teringat pesan ibunya, “Kamu harus jujur terhadap dirimu sendiri.”
“Apa yang harus kukatakan, jika mama bertanya darimana aku dapat uang ini? Jika aku terus terang, berarti aku tidak jujur terhadap diri sendiri. Walaupun uang ini halal menurut fiqih, namun tetap haram menurut tasawuf, sebab aku tidak jujur pada diri sendiri. Kain ini kubeli karena aku tahu ada uang di dalamnya. Andaikan aku tidak tahu adanya uang ini, lalu membelinya, itu baru halal. Pak Hasmi sendiri pasti tidak akan menjual kain ini kalau ia tahu ada uang jutaan rupiah di dalamnya. Karena itu, aku harus beritahukan uang ini kepada Pak Hasmi. Hukum asal uang ini adalah miliknya, sebab dialah yang membeli dan memiliki kain ini. Kalau memang uang ini rezekiku, maka dia pasti akan memberikannya kepadaku,” kata Mujid dalam hati membantah bisikan jahat itu.
To be continue>>>
Diubah oleh Aboeyy 08-01-2018 00:50
0