Kaskus

Story

AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
Meniti Garis Takdir
Meniti Garis Takdir


Meniti Garis Takdir:
Sebuah Novel by ABOEYY
(Tamat)


Quote:


PERSEMBAHAN:
Quote:

*****



PART #1.1


Meniti Garis Takdir

Gema azan Maghrib beberapa menit telah berlalu. Sang imam baru saja mengucapkan salam kedua. Namun malam telah membentangkan jubah hitamnya. Suasana desa yang belum terjamah oleh listrik itu semakin gelap dan sepi. Tidak terdengar bunyi, kecuali suara anak-anak yang mulai belajar mengaji. Di bawah cahaya obor, mereka tetap giat belajar. Mengeja hurup per hurup Hijaiyah, merangkai kata, menyusun kalimat, hingga sempurna menjadi satu ayat. Mereka duduk berderet, menanti giliran sang Imam mengajarkan ayat berikutnya.


Meniti Garis Takdir

Seorang anak yang duduk pada deret paling ujung tiba-tiba berdiri. “Permisi Pak Ustadz, bolehkah saya pamit pulang duluan?” kata anak itu.

Tanpa menanyakan alasannya, sang Ustadz menganggukkan kepala. Beliau mengetahui siapa anak itu, sehingga kalau dia meminta izin, pasti karena ada keperluan, bukan karena kemalasan.

Setelah mengambil berkah dari tangan ustadz, anak itu bergegas pulang. Ia berlari menembus kegelapan malam menuju rumahnya yang berjarak sekitar 400 meter dari masjid itu.

Sang ibu baru selesai membaca surah Yasin. Ia buru-buru menutup buku kecil itu, dan menaruhnya di atas meja, ketika mendengar ketukan pintu. Tanpa memperdulikan kakinya yang mulai sakit-sakitan, ia beranjak ke depan. Dengan dua tangan, ia mengangkat palang kayu yang berfungsi sebagai kunci, sambil menjawab salam dari suara yang sudah dikenalnya.

Palang pintu itu masih di tangannya. Ia bertanya bertubi-tubi karena terkejut melihat anaknya pulang lebih awal. Biasanya setelah shalat Isya baru pulang ke rumah, sekalipun tidak mengaji. “Kenapa pulang Nak? Mengapa tidak ikut ngaji dan shalat Isya? Ustadznya tidak hadir?”

“Tidak apa-apa, Ma! Hanya Mujid yang minta izin pulang duluan. Ada yang ingin Mujid sampaikan sama Mama,” jawabnya sambil tetap mematung di depan pintu.

Perempuan berusia 45 tahun itu bergeser ke sebelah kanan pintu, sebagai isyarat mempersilakan anaknya masuk. Sambil menundukkan badan tanda hormat, Mujid melewati ibunya. Lalu duduk di depan sajadah yang masih terhampar.

“Bukankah dapat dibicarakan setelah shalat Isya?” ucap ibunya setelah duduk di sajadahnya, berhadapan dengan Mujid.

“Iya, Ma! Tapi Mujid ingin bicara sekarang.”
“Apa yang ingin dibicarakan, Nak?”
“Begini, Ma! Tadi waktu shalat dan menanti giliran mengaji, Mujid dengar suara ustadz terserak-serak. Beliau sudah tua. Saya khawatir, kalau beliau wafat, siapa yang akan menggantikannya?”
“Lalu, apa yang ingin kau lakukan?”

“Saya sudah setahun tamat SD, dan beberapa kali tamat ngaji. Bagaimana kalau saya diizinkan melanjutkan sekolah ke Pondok Pesantren?” pinta Mujid dengan penuh harap.

Sang ibu terpaku. Mukanya menengadah ke atas seperti menanti jawaban dari langit. Sang anak terdiam menunggu keputusan ibunya. Wajahnya tertunduk. Tiba-tiba dua tetes air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Dengan ujung mukena yang masih dikenakannya, disekanya airmata seraya berkata:

“Mujid! Kau anakku satu-satunya, dan ayahmu sudah tiada. Kalau kau pergi, siapa lagi yang menemani Mama? Demi Allah, andaikan bukan karena tujuan menuntut ilmu, satu meter pun Mama tidak akan mengizinkanmu jauh dari Mama.”

“Jadi, Mama setuju?” tanya anak itu sambil mengangkat wajah, dengan mata berbinar. Ia menyalami dan mencium tangan ibunya, seolah-olah keinginannya telah direstui.

“Sebentar, Nak! Mama belum selesai bicara. Benar, Mama mendukung niatmu. Tapi Mama masih berpikir masalah biaya. Ayahmu tidak meninggalkan harta. Untuk hidup sehari-hari saja, kita lebih banyak berpuasa.”
“Iya, Ma! Tapi, setiap ada kemauan, pasti ada jalan,” jawab Mujid pelan.

“Benar! Di mana kemauan, di situ ada jalan. Tapi keinginan tanpa kemampuan, hanya akan menemukan jalan buntu.”

Mujid terdiam. Ia tidak berani menjawab. Terlihat lukisan kesedihan yang mendalam di wajahnya yang masih lugu, di usianya yang baru menanjak 14 tahun. Sementara azan shalat Isya terdengar berkumandang.
“Mari shalat dulu. Kita minta petunjuk-Nya,” kata ibunya membangkitkan lamunan anaknya.

Keduanya shalat berjamaah. Mujid menjadi imam. Rakaat pertama setelah membaca surah al-Fatihah, sang imam membaca surah al-Mulk hingga separoh, dan dilanjutkan hingga selesai pada rakaat kedua.

Dua tetes air bening tiba-tiba keluar dari kelompak mata sang ibu, ketika lantunan 5 ayat terakhir surah itu dengan lembut menyentuh kepekaan perasaannya. Dalam hati, ia berdoa: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”
“Mama rasa kalau hanya untuk jadi imam dan guru ngaji, kau sudah mampu. Suaramu fasih dan merdu, tajwidnya tepat. Jadi, kiranya tidak perlu sekolah ke Pesantren,” ucap ibunya setelah selesai berdoa.

“Kalau hanya baru bisa baca al-Quran, itu belum cukup, Ma! Ilmu agama itu sangat luas. Ada fiqih dengan ushulnya, ada al-Quran dengan tafsirnya. Ada hadis dengan mushthalah-nya. Ada tauhid dengan perinciannya. Ada tasawuf dengan berbagai coraknya. Minimal saya ingin belajar tentang hal-hal yang wajib dan yang haram, sebagai pedoman bagi diri sendiri, dan syukur kalau dapat mengajarkannya.”

Ibunya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mujid. Ia tidak menyangka anaknya sudah menguasai dasar-dasar agama, dan tampak memiliki kecerdasan yang tinggi. Padahal selama ini hanya belajar agama kepada ustadz yang menjadi imam masjid itu.

“Jika anakku sekolah pesantren, mungkin ia lebih cepat menguasai ilmu agama,” pikir ibunya.
“Baiklah, Nak! Mama restui keinginanmu. Besok Mama akan bicara dengan Pak Hamdan. Mungkin dia bisa bantu. Dia kan saudara ayahmu. Kedua anak lelakinya, Salim dan Mahdi, sudah mandiri. Keduanya ikuti jejak ayahnya jadi pedagang sejak tamat SD. Sedangkan anak perempuannya, Ahda, masih kelas 4 SD. Jadi, hanya dia yang masih dibiayai.”

“Terima kasih, Ma!” ucap Mujid sambil sekali lagi mencium tangan ibunya. Ia beranjak ke tempat tidur yang hanya beralaskan tikar purun, dan berbantal gumpalan kain bekas yang dibungkus dengan sarung. “Dengan namamu ya Allah, hidup dan matiku,” ucapnya sebelum terlelap. Matanya terpejam seolah-olah sedang berbaring di atas dipan asrama pesantren yang dicita-citakannya.

Sementara sang anak tertidur, sang ibu tetap terjaga. Dihamparkannya kembali sajadah yang telah lusuh itu. Di ujung dua rakaat shalat sunnah yang didirikannya, dengan suara lirih, ia berdoa:


Meniti Garis Takdir

Quote:

Bersambung>>>

Spoiler for Sumber:
Diubah oleh Aboeyy 17-08-2019 12:52
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
11.7K
81
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
AboeyyAvatar border
TS
Aboeyy
#4
PART #1.2

Asap putih masih pekat menyelimuti pagi. Embun belum berhenti meneteskan airmatanya, dan disambut oleh daun-daun rumput yang sedang menyongsong datangnya sang mentari. Namun sang surya tetap enggan menampakkan wajah, mungkin karena malu terhadap kabut.

kaskus-image
Source: KlikHotel.com
Pagi itu, pukul 06.12 WITA. Memerlukan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki untuk menempuh jarak kurang lebih 700 meter menuju rumah Pak Hamdan, yang terletak tepat di simpang tiga jalan menuju Kabupaten. Namun melangkah dalam jarak pandang yang hanya beberapa meter ke depan, membuat Mama Mujid baru sampai di tujuan pada saat jarum jam menunjukkan pukul 7 kurang 3 menit. Tak peduli rok bawahnya basah oleh embun yang menempel pada rumput sepanjang jalan yang dilewati.

Tiba di rumah kakak iparnya, suasana masih terlihat sepi, walaupun kabut sudah mulai menipis. Tidak ada pintu dan jendela yang mengizinkan udara pagi memasuki kediaman Pak Hamdan. Tiga kali ia mengetuk pintu, dan tiga kali pula mengucap salam, namun penghuninya sepertinya masih diselimuti mimpi. Tinggal di bangunan permanen, beratap genteng, di musim kemarau seperti ini, membuat hawa dingin mengendap di dinding, lalu menyelinap di sela-sela kulit, dan merayap di sendi-sendi tulang. Malam terasa panjang, bagi mereka yang pikirannya terbebas dari urusan perut.

Mama Mujid bimbang, antara mengetuk pintu lagi atau pulang. Ia memilih kembali, dan akan datang lagi pada pukul sepuluh nanti.

Dengan langkah berat, ia meninggalkan harapannya di depan pintu itu. Kakinya telah mengarah menuju rumahnya, namun daun telinganya masih menempel di kunci pintu. Hingga seketika ia menghentikan langkahnya, ketika terdengar bunyi pintu dibuka. “Eh, Ibu Husna! Silakan masuk! Maaf, tadi saya lagi sibuk di dapur. Bapaknya masih tidur,” kata istri Pak Hamdan.

“Ada apa Mama Mujid pagi-pagi ke sini?” tanyanya ketika sudah duduk di kursi tamu.
“Saya ada perlu sedikit yang harus dibicarakan langsung dengan Pak Hamdan.”
“Oh, begitu! Baiklah saya bangunkan Bapaknya dulu,” jawabnya seraya beranjak menuju kamar suaminya. Dari dalam kamar, terdengar percakapan:
“Pak, bangun! Ada tamu.”
“Siapa?” tanya suaminya dengan suara malas.
“Lihat sendiri!” jawab istrinya.
“Siapa yang datang pagi-pagi begini? Ganggu orang tidur saja. Jangan-jangan urusan pinjam uang lagi,” katanya dengan suara agak kesal.

Pak Hamdan segera bangun dan menuju ruang belakang, tanpa menoleh ke arah tamu yang datang. Mama Mujid yang mendengar perkataan dan melihat sikap Pak Hamdan, menjadi ragu-ragu untuk menyampaikan maksudnya. Terpikir olehnya untuk mencari alasan lain. Namun tak ada alibi yang dinilainya tepat. Akhirnya dengan berketetapan hati, dengan niat menunaikan amanat anaknya, ia sampaikan tujuannya.

“Begini, Kak! Anak saya, si Mujid ingin melanjutkan sekolah ke pesantren. Jadi, bisakah Kakak membantu biaya berangkat, uang pendaftaran, dan biaya hidup sebulan pertama. Untuk biaya selanjutnya, biarlah saya yang memikirkannya,” kata mama Mujid membuka percakapan setelah Pak Hamdan menanyakan maksud kedatangannya.

“Salim dan Mahdi saja setelah lulus SD, saya suruh berhenti sekolah. Hanya tamat SD, mereka sekarang pandai berdagang. Jadi, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Banyak para sarjana yang jadi penganggur. Toh mereka berpendidikan tinggi, namun tidak jadi pegawai, apalagi cuma sekolah pesantren, mau jadi apa?” jawab Pak Hamdan dengan muka cemberut.

Dengan nada penuh harapan, Mama Mujid menceritakan tentang latar belakang dan tujuan keinginan anaknya. Namun respon Pak Hamdan sangat bertentangan dengan stimulus yang diberikannya. Dengan nada pesimis Pak Hamdan menjawab: “Kalau sekedar ingin menjadi imam dan guru ngaji, tidak usah jauh-jauh sekolah ke pesantren. Cukup belajar dengan Pak Zarkasyi. Saya kira beliau tidak akan minta biaya. Pesantren sekarang cuma kedoknya saja mengajarkan agama, namun tujuannya adalah bisnis.

Buktinya, tuh mereka terima pungutan setiap bulan dari para santrinya. Kalau benar tujuan lillahi ta’ala, seharusnya mereka tidak terima sumbangan, terutama dari santri yang tidak mampu. Para pengurusnya terlihat hidup mewah, sedangkan santrinya sangat melarat. Para ustadznya dengan lancar bicara halal-haram, karena ada yang dimakan, sementara santri yang lapar hanya bisa nyelotok: Enak bicara hukum agama kalau perut kenyang. Coba kalau lapar, al-Quran sendiri akan dijual. Seharusnya para pendiri dan guru pesantren adalah orang-orang kaya, bukan orang-orang yang ingin kaya, sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi santri agar dapat belajar dengan tekun dan tenang, tanpa harus memikirkan urusan perut.”

Mama Mujid tidak menjawab, walaupun hatinya sangat tidak sependapat dengan perkataan Pak Hamdan. Lalu dengan tegas ia meminta kesimpulan: “Ringkasnya, Kakak mau bantu atau tidak?”

“Kalau urusan bisnis, saya sedia pinjamkan modal, berapa pun jumlahnya selama mampu. Namun masalah biaya sekolah, satu rupiah pun rasanya berat untuk memberikannya,” jawab Pak Hamdan tak kalah tegasnya.

“Baiklah, terima kasih! Saya pulang dulu,” jawab Mama Mujid ketus, tanpa sempat menghirup teh hangat yang baru disuguhkan oleh istri Pak Hamdan.

Diubah oleh Aboeyy 07-01-2018 23:51
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.