- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#307
PART 42
“Lo yakin dia enggak bakalan mati kan, Cass?” tanya gue waktu jalan balik ke rumah.
“Ya enggaklah, Bang,” jawab Cassie memainkan hapenya. “Dia itu cuma asma.”
“Tapi lo beneran yakin, kan?” tanya gue lagi.
Cassie menghentikan langkahnya lalu menatap gue dengan muka bete, “Bang–”
“Ya enggak,” potong gue. “Maksud gue kan baik. Lo sendiri lihat kan kondisi dia. Habis ngisep alatnya aja dia masih lemes kayak gitu.”
“Itu tuh alat bantu pernafasan ya, bukan ganja,” jelas Cassie. “Emang abang kira habis ngisep inhaler dia bakalan kayak gimana? Ketawa-tawa? Nge-fly gitu?”
Entah kenapa tiba-tiba gue terbayang pak Maif nge-fly, “Emang bukan kayak gitu, ya?”
“Abang beneran mikir ke sana?”
Sampai sejauh ini, gue baru sadar. Lesbian atau bukan, normal atau menyimpang, Cassie tetep enak buat diajak ngobrol. Terlepas dari kejadian waktu itu, gue seneng-seneng aja ngobrol sama dia. Malahan, kalo selepas KKN nanti kita jadi temen akrab, gue juga enggak keberatan.
Begitu kita deket rumah unit, kita berdua berpisah. Cassie mau langsung mandi sore sementara gue masih mau santai-santai di lincak samping rumah pak Slamet terlebih dulu.
Belum jad gue bersantai dan menyalakan rokok, Melly menampar gue keras-keras. Mata gue kunang-kunang dan kepala gue mendadak pusing seketika.
“Apa-apaan sih lo, Mell?”
“Lo tuh yang apa-apaan?!” serunya dengan mata yang memerah.
“Gue?” ucap gue mengusap bekas tamparan Melly. “Oh… ini masalah Cassie?”
Gue tatap mata Melly yang penuh dengan maksud tersembunyi. Dengan satu kedipan mata Melly, gue tau apa yang dia maksud hingga mendaratkan telapak tangannya kencang-kencang di pipi gue.
“Oh… ini masalah Cassie?!” Melly mendorong gue mundur, “Gampang banget lo ngomongnya kayak enggak ada beban?!”
“Lo tuh kenapa sih, Mell?” tanya gue sambil memungut korek yang terjatuh. “Kenapa tiba-tiba sewot gini?”
“Gue udah bilang sama lo buat jaga jarak dari Cassandra, ya!” omel Melly dengan muka merah menyala. “Kenapa sih lo masih aja deketin dia! Gatel banget sih lo jadi orang!”
“Gue gatel?!” Gue nyalakan rokok di mulut, “Bukannya lo sendiri yang minta gue buat awasin dia?! Lo lupa?! Amnesia?!”
“Awasin sih awasin! Tapi enggak kayak gini! Enggak sampai bikin dia deket banget sama lo!” kata Melly masih menyalahkan gue. “Dia cuma boleh deket sama gue! Cuma sama gue!”
“Tengil banget sih lo, Mell,” ucap gue menatap mata Melly tajam-tajam. “Gue deketin dia bukan karena gue suka! Gue cuma enggak tega lihat dia jadi kayak lo! Cassie itu bukan lesbian! Jadi biarin dia nentuin hidupnya sendiri! Bukan jadi lesbian kayak lo!”
“Gue lesbian?! Lo tuh bego atau gimana, sih?!”
“Kalo emang gue bego kenapa?!” bentak gue. “Ada masalah sama lo?!”
Melly terdiam, dia menatap gue penuh dendam. Matanya menyala di bawah cahaya lampu kuning rumah pak Slamet yang menyala dengan tiba-tiba.
“Sebego-begonya gue,” kata gue sedikit mereda. “Gue masih bisa bedain hubungan yang sehat sama yang enggak. Enggak kayak lo, yang maksain hubungan demi tujuan yang enggak jelas. Kemarin gue juga enggak ada niatan buat deket-deket sama si Cassie, apalagi buat macarin dia kayak yang lo pikir. Gue udah punya pasangan, cewek normal, enggak kayak lo berdua.
“Tapi begitu gue lihat Cassie jadi kayak orang gila sewaktu lo tinggal cuma buat beberapa jam, gue jadi enggak tega. Cowok macam apa yang bisa biarin cewek kayak Cassie nangis kayak orang gila? Seburuk-buruknya gue, gue masih punya hati buat bikin tenang seorang cewek yang nangis kesepian, Mell.”
“Jadi lo udah tau?” ucap Melly pelan.
“Tau?” tanya gue balik. “Tau apa.”
“Dia DPD?”
“Lo yakin dia enggak bakalan mati kan, Cass?” tanya gue waktu jalan balik ke rumah.
“Ya enggaklah, Bang,” jawab Cassie memainkan hapenya. “Dia itu cuma asma.”
“Tapi lo beneran yakin, kan?” tanya gue lagi.
Cassie menghentikan langkahnya lalu menatap gue dengan muka bete, “Bang–”
“Ya enggak,” potong gue. “Maksud gue kan baik. Lo sendiri lihat kan kondisi dia. Habis ngisep alatnya aja dia masih lemes kayak gitu.”
“Itu tuh alat bantu pernafasan ya, bukan ganja,” jelas Cassie. “Emang abang kira habis ngisep inhaler dia bakalan kayak gimana? Ketawa-tawa? Nge-fly gitu?”
Entah kenapa tiba-tiba gue terbayang pak Maif nge-fly, “Emang bukan kayak gitu, ya?”
“Abang beneran mikir ke sana?”
Sampai sejauh ini, gue baru sadar. Lesbian atau bukan, normal atau menyimpang, Cassie tetep enak buat diajak ngobrol. Terlepas dari kejadian waktu itu, gue seneng-seneng aja ngobrol sama dia. Malahan, kalo selepas KKN nanti kita jadi temen akrab, gue juga enggak keberatan.
Begitu kita deket rumah unit, kita berdua berpisah. Cassie mau langsung mandi sore sementara gue masih mau santai-santai di lincak samping rumah pak Slamet terlebih dulu.
Belum jad gue bersantai dan menyalakan rokok, Melly menampar gue keras-keras. Mata gue kunang-kunang dan kepala gue mendadak pusing seketika.
“Apa-apaan sih lo, Mell?”
“Lo tuh yang apa-apaan?!” serunya dengan mata yang memerah.
“Gue?” ucap gue mengusap bekas tamparan Melly. “Oh… ini masalah Cassie?”
Gue tatap mata Melly yang penuh dengan maksud tersembunyi. Dengan satu kedipan mata Melly, gue tau apa yang dia maksud hingga mendaratkan telapak tangannya kencang-kencang di pipi gue.
“Oh… ini masalah Cassie?!” Melly mendorong gue mundur, “Gampang banget lo ngomongnya kayak enggak ada beban?!”
“Lo tuh kenapa sih, Mell?” tanya gue sambil memungut korek yang terjatuh. “Kenapa tiba-tiba sewot gini?”
“Gue udah bilang sama lo buat jaga jarak dari Cassandra, ya!” omel Melly dengan muka merah menyala. “Kenapa sih lo masih aja deketin dia! Gatel banget sih lo jadi orang!”
“Gue gatel?!” Gue nyalakan rokok di mulut, “Bukannya lo sendiri yang minta gue buat awasin dia?! Lo lupa?! Amnesia?!”
“Awasin sih awasin! Tapi enggak kayak gini! Enggak sampai bikin dia deket banget sama lo!” kata Melly masih menyalahkan gue. “Dia cuma boleh deket sama gue! Cuma sama gue!”
“Tengil banget sih lo, Mell,” ucap gue menatap mata Melly tajam-tajam. “Gue deketin dia bukan karena gue suka! Gue cuma enggak tega lihat dia jadi kayak lo! Cassie itu bukan lesbian! Jadi biarin dia nentuin hidupnya sendiri! Bukan jadi lesbian kayak lo!”
“Gue lesbian?! Lo tuh bego atau gimana, sih?!”
“Kalo emang gue bego kenapa?!” bentak gue. “Ada masalah sama lo?!”
Melly terdiam, dia menatap gue penuh dendam. Matanya menyala di bawah cahaya lampu kuning rumah pak Slamet yang menyala dengan tiba-tiba.
“Sebego-begonya gue,” kata gue sedikit mereda. “Gue masih bisa bedain hubungan yang sehat sama yang enggak. Enggak kayak lo, yang maksain hubungan demi tujuan yang enggak jelas. Kemarin gue juga enggak ada niatan buat deket-deket sama si Cassie, apalagi buat macarin dia kayak yang lo pikir. Gue udah punya pasangan, cewek normal, enggak kayak lo berdua.
“Tapi begitu gue lihat Cassie jadi kayak orang gila sewaktu lo tinggal cuma buat beberapa jam, gue jadi enggak tega. Cowok macam apa yang bisa biarin cewek kayak Cassie nangis kayak orang gila? Seburuk-buruknya gue, gue masih punya hati buat bikin tenang seorang cewek yang nangis kesepian, Mell.”
“Jadi lo udah tau?” ucap Melly pelan.
“Tau?” tanya gue balik. “Tau apa.”
“Dia DPD?”
End of Chapter Five
crispin dan 3 lainnya memberi reputasi
4
