- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#300
PART 40
Selain Melly dan Bull, hari ini semua libur. Kita main uno stacko dengan hukuman bagi yang kalah dicoret pipinya. Buat bahan coretannya, kita pake campuran tepung terigu dan minyak kayu putih yang diadon pake segelas air comberan lalu dicampur dengan tiga tetes sari darah ayam kampung yang mati kemarin.
Kalo kalian percaya bahan terakhir beneran kita pake, gue sarankan lo segera konsultasi dengan seorang psikolog. Ada jiwa yang tersakiti bertahun-tahun berada di dalam tubuh lo.
Oh, iya, bahan ketiga juga. Kita enggak semenjijikkan itu. Jiwa kita masih normal untuk bermain game uno stacko.
Layaknya seorang penyaji kopi kebanyakan, atau mungkin cuma penyaji kopi yang gue kenal, setelah menyajikan kopi untuk kita, Echa menodong gue buat cerita. Karena gue enggak mau terlalu cerita yang berat-berat, gue cerita soal kosan gue yang kedua. Kosan hijau, kosan dimana gue berhasil menjadi seorang negosiator handal.
Pada dasarnya karena kita semua udah terlanjur fokus ke main uno stacko dan gue kena hukuman mulu, ceritanya jadi cuma sepotong-spotong. Dari yang tadi hukumannya cuma dicoret doang, karena adonan tepungnya habis, hukumannya dirubah jadi truth or dare.
Ya namanya juga permainan, kadang ada yang di atas, kadang ada yang di bawah. Gue yang tadinya kalah mulu akhirnya jadi menang terus. Gue selamat, tapi enggak buat Luther.
“Dare aja udah,” paksa Echa. “Hidup lo enggak ada menarik-menariknya buat diceritain.”
“Sembarangan aja lo Cha kalo ngomong,” keluh Luther. “Truth aja, truth gue.”
Sementara game truth or dare di luar sana orang lain menghindari untuk menceritakan kehidupan pribadinya. Di sini, Luther malah niat. Sebaliknya, sementara Luther niat banget buat cerita, yang lain males buat dengerinnya.
“Ada mie instan enggak sih, Cha?” tanya gue di tengah-tengah cerita Luther. “Laper lagi gue.”
“Abis, Bang.” Echa menyusun uno yang berhamburan, “Kemarin dihabisin anak-anak yang main ke sini.”
“Yaelah, Cha,” keluh gue mengiba. “Kenapa enggak makan di rumahnya sendiri-sendiri aja sih tuh bocah-bocah badung.”
“Gue masih ada tuh bang di tas,” kata Luther. “Ambil aja kalo mau.”
“Serius? Gue ambil kalo beneran boleh.”
“Beneran,” kata Luther dengan cerahnya. “Ambil, deh.”
Pucuk dicita ulam pun tiba. Gue ambil mie rebus dua bungkus dari tasnya Luther. Enggak pake lama, gue langsung seduh air buat masak mie. Buka bungkus, sobek bumbu, sobek minyak, tada! Mie instan gue pun siap buat di masak.
Sebenernya dari awal gue udah curiga. Mie instannya kok warnanya beda? Udah gitu bumbunya keras banget waktu dikeluarin. Bahkan perlu gue uleg biar hancur.
“Lo masak apaan, Bang?” tanya Yansa. “Yakali masak mie instan pake diuleg.”
“Dah diem aja,” sahut gue. “Mie spesial ini.”
Curiga? Iya, gue curiga. Tapi mau gimana lagi, orang gue udah beneran kelaperan, masa iya enggak gue bikin?
Mie jadi, gue segera kembali ke ruang tengah dan duduk di samping yang lain. Mie gue tarik-tarik dari mangkok biar cepet dingin. Pas tarikan ke tiga, gue mencium aroma busuk dari arah yang lain.
“Lo kentut, ya?” tanya Yansa sambil nunjuk Luther. “Ngaku lo!”
“Sembarangan aja kalo nuduh!” kata Luther menepis tangan Yansa.
“Ya siapa lagi kalo bukan lo?” tambah Yansa berasalan. “Masa iya gue?”
“Yaiyalah! Kayak lo enggak pernah kentut aja.”
“Iya kayak bau kentut sih,” kata Dinda. “Tapi kok baunya aneh, ya?”
“Makasih lho,” sahut gue. “Mau makan malah pada ngomongin kentut.”
Jujur aja, gue enggak curiga sama sekali soal bau itu. Tapi begitu gue teringat kalo Luther yang kasih mie ini ke gue, mendadak perasaan gue jadi enggak enak. Indra penciuman gue mendadak sensitif dan bulu kuduk gue berdiri.
Bodo! Gue laper! Apa sih kemungkinan terburuknya keracunan mie instan?
Suapan pertama lancar, aroma segar mie instan soto ayam mulai tercium. Suapan kedua masih lancar, kriuk bawang goreng tabur terdengar ke penjuru ruangan. Suapan ketiga, mata gue berasa kunang-kunang. Kepala gue terasa berat banget, dan diwaktu yang sama, perut gue mendadak mual banget.
“Bang?” panggil Echa. “Abang, kenapa?!”
“B-bang?! Lo kenapa, Bang?!” seru Yansa yang suaranya meredup.
Selain Melly dan Bull, hari ini semua libur. Kita main uno stacko dengan hukuman bagi yang kalah dicoret pipinya. Buat bahan coretannya, kita pake campuran tepung terigu dan minyak kayu putih yang diadon pake segelas air comberan lalu dicampur dengan tiga tetes sari darah ayam kampung yang mati kemarin.
Kalo kalian percaya bahan terakhir beneran kita pake, gue sarankan lo segera konsultasi dengan seorang psikolog. Ada jiwa yang tersakiti bertahun-tahun berada di dalam tubuh lo.
Oh, iya, bahan ketiga juga. Kita enggak semenjijikkan itu. Jiwa kita masih normal untuk bermain game uno stacko.
Layaknya seorang penyaji kopi kebanyakan, atau mungkin cuma penyaji kopi yang gue kenal, setelah menyajikan kopi untuk kita, Echa menodong gue buat cerita. Karena gue enggak mau terlalu cerita yang berat-berat, gue cerita soal kosan gue yang kedua. Kosan hijau, kosan dimana gue berhasil menjadi seorang negosiator handal.
Pada dasarnya karena kita semua udah terlanjur fokus ke main uno stacko dan gue kena hukuman mulu, ceritanya jadi cuma sepotong-spotong. Dari yang tadi hukumannya cuma dicoret doang, karena adonan tepungnya habis, hukumannya dirubah jadi truth or dare.
Ya namanya juga permainan, kadang ada yang di atas, kadang ada yang di bawah. Gue yang tadinya kalah mulu akhirnya jadi menang terus. Gue selamat, tapi enggak buat Luther.
“Dare aja udah,” paksa Echa. “Hidup lo enggak ada menarik-menariknya buat diceritain.”
“Sembarangan aja lo Cha kalo ngomong,” keluh Luther. “Truth aja, truth gue.”
Sementara game truth or dare di luar sana orang lain menghindari untuk menceritakan kehidupan pribadinya. Di sini, Luther malah niat. Sebaliknya, sementara Luther niat banget buat cerita, yang lain males buat dengerinnya.
“Ada mie instan enggak sih, Cha?” tanya gue di tengah-tengah cerita Luther. “Laper lagi gue.”
“Abis, Bang.” Echa menyusun uno yang berhamburan, “Kemarin dihabisin anak-anak yang main ke sini.”
“Yaelah, Cha,” keluh gue mengiba. “Kenapa enggak makan di rumahnya sendiri-sendiri aja sih tuh bocah-bocah badung.”
“Gue masih ada tuh bang di tas,” kata Luther. “Ambil aja kalo mau.”
“Serius? Gue ambil kalo beneran boleh.”
“Beneran,” kata Luther dengan cerahnya. “Ambil, deh.”
Pucuk dicita ulam pun tiba. Gue ambil mie rebus dua bungkus dari tasnya Luther. Enggak pake lama, gue langsung seduh air buat masak mie. Buka bungkus, sobek bumbu, sobek minyak, tada! Mie instan gue pun siap buat di masak.
Sebenernya dari awal gue udah curiga. Mie instannya kok warnanya beda? Udah gitu bumbunya keras banget waktu dikeluarin. Bahkan perlu gue uleg biar hancur.
“Lo masak apaan, Bang?” tanya Yansa. “Yakali masak mie instan pake diuleg.”
“Dah diem aja,” sahut gue. “Mie spesial ini.”
Curiga? Iya, gue curiga. Tapi mau gimana lagi, orang gue udah beneran kelaperan, masa iya enggak gue bikin?
Mie jadi, gue segera kembali ke ruang tengah dan duduk di samping yang lain. Mie gue tarik-tarik dari mangkok biar cepet dingin. Pas tarikan ke tiga, gue mencium aroma busuk dari arah yang lain.
“Lo kentut, ya?” tanya Yansa sambil nunjuk Luther. “Ngaku lo!”
“Sembarangan aja kalo nuduh!” kata Luther menepis tangan Yansa.
“Ya siapa lagi kalo bukan lo?” tambah Yansa berasalan. “Masa iya gue?”
“Yaiyalah! Kayak lo enggak pernah kentut aja.”
“Iya kayak bau kentut sih,” kata Dinda. “Tapi kok baunya aneh, ya?”
“Makasih lho,” sahut gue. “Mau makan malah pada ngomongin kentut.”
Jujur aja, gue enggak curiga sama sekali soal bau itu. Tapi begitu gue teringat kalo Luther yang kasih mie ini ke gue, mendadak perasaan gue jadi enggak enak. Indra penciuman gue mendadak sensitif dan bulu kuduk gue berdiri.
Bodo! Gue laper! Apa sih kemungkinan terburuknya keracunan mie instan?
Suapan pertama lancar, aroma segar mie instan soto ayam mulai tercium. Suapan kedua masih lancar, kriuk bawang goreng tabur terdengar ke penjuru ruangan. Suapan ketiga, mata gue berasa kunang-kunang. Kepala gue terasa berat banget, dan diwaktu yang sama, perut gue mendadak mual banget.
“Bang?” panggil Echa. “Abang, kenapa?!”
“B-bang?! Lo kenapa, Bang?!” seru Yansa yang suaranya meredup.
Diubah oleh dasadharma10 23-12-2017 21:10
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
