Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
pulaukapokAvatar border
genji32Avatar border
andybtgAvatar border
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#261
PART 33

“Aturan kemarin lo enggak perlu bantuin si Luther, Bang.”
“Kompor lo, Yan!” sahut Luther ketus.

Yansa cuma ketawa tanpa membalas Luther yang kelihatannya mulai bete karena ada orang yang membahas malam ke bencana itu lagi.

“Ya tadinya gue rela-rela aja si Luther dikubur hidup-hidup sama pak Maif. Tapi begitu gue sadar kalo nilai KKN kita dipertaruhkah, ya... mau enggak mau gue ngajakin si Dinda ke rumah pak Maif buat minta maaf.”
“Ah… abang tega amat ngomongnya gitu,” timpal Luther masih mengaduk semen dengan muka bete. “Bencana enggak seharusnya dibecandain, Bang.”
“Salah sendiri lo tengil,” timpal Yansa yang makin bikin Luther bete. “Diem aja makanya.”

Luther diem? Iya. Tapi cuma sepersekian detik. Detik selanjutnya setelah Yansa menyuruh dia diam, dia ngomong lagi. Enggak cuma tentang pembelaan dia tentang malam itu, tapi juga curhatan demi curhatan tentang dia dan Dinda.

“Ngomong-ngomong makasih lho bang udah dibantuin ngomong ke pak Maif.”
“Iya Luth, sama-sama,” balas gue. “Ngomong-ngomong Makasih juga udah kasih kerjaan kayak gini ke gue. Kapan lagi coba kerja bangunan full seharian gini tapi enggak dibayar.”
“Sama-sama, Bang.”
“Itu tadi sarkas kalo lo mau tau.”
“Gue juga, Bang,” kata Luther sambil nyengir. “Sarkas juga.”
“Sarkas?” Yansa menatap gue dengan muka ditekuk kebingungan, “Sarkas di bagian mananya?”
“Udah, biarin aja, Yan.” Gue matikan rokok sambil ketawa pelan, “Saking dalemnya emang kadang sarkas enggak ketahuan gitu.”
“Tuh dengerin kata bang, Dawi!” seru Luther seolah gue paham sarkas yang dia maksud. “Itu barusan namanya sarkas! Tengil!”
“Lo tuh tengil!”

Yah… untungnya si Luther emang udah nyiapin segala sesuatu buat program kerja ‘ngerubuhin rumah orang’ ini. Mulai dari mental ketemu yang punya rumah, duit buat cari bahan ke toko bangunan, bahkan sampai alat-alat yang dia beli karena alasan tertarik sewaktu lihatin tukang yang lagi kerja bangunan di kampus pusat.

Sebenernya semua alat-alat ini malah bikin gue penasaran. Sebagai mahasiswa arsitektur, kok sempat dia beli semua ini. Apa mungkin sewaktu yang lain istirahat kuliah dipake makan atau nongkrong sama temen-temennya, si Luther ini malah nongkrong sambil makan di tempat kuli bangunan kerja sambil sok merhatiin? Terus dengan pengetahuannya yang pas-pasan itu dia mulai mempraktekkan teori-teorinya?
“Itu jangan kayak gitu ngaduk semennya,” kata Luther menunjuk-nunjuk pekerja yang mengaduk semen. “Batu batanya direndem di air dulu, jangan langsung dipasang.”

Sebagian pegawai bangunan mulai memperhatikan dia dengan aneh. Sementara sebagian lainnya mulai kesal terus membentaknya, “Lo siapa sih ngatur-ngatur kita?! Mandor? Mau mandorrin kita?! Pergi sana!”

“Bang! Gue ini mahasiswa arsitektur!” seru Luther sombong. “Secara teori gue lebih tau dari kalian semua!”
“Oh… mahasiswa arsitektur,” kata pekerja itu manggut-manggut.
“Iya, gue mahasiswa arsitektur!” Luther mulai nunjuk-nunjuk bangunan yang lagi dikerjain, “Ini! Secara teori ini salah! Dua bulan lagi bakalan roboh!”
“Pergi enggak lo?!” bentak pekerja itu.
“P-pergi?”
“Pergi….” Pekerja itu mengangkat sebuah ember tinggi-tinggi, “Apa gue sirem pake semen! Sirem nih ya! Sirem aja!”
“A-ampun, Bang,” kata Luther menjauh. “A-ampun, Bang.”

Mungkin kejadian? Iya. Dengan melihat kondisi dan kelakuan Luther yang sekarang, kayaknya emang dia beneran pernah disiram pake semen.
Enggak cuma menata batu bata, kita juga bikin cakar ayam bangunan seperti instruksi Luther yang sejujurnya gue dan Yansa kurang yakin. Sambil bekerja, kita juga ngobrolin tentang hubungan Luther dan Dinda yang katanya makin lama makin romatis.

“Kalo menurut gue itu lebih ke freak daripada romantis, sih,” komentar Yansa.
“Halah… lo tengil tau apaan,” kata Luther pedas. “Kalo menurut lo gimana, Bang?”
“Kok jadi gue yang tengil?” protes Yansa. “Lo kirim potongan puisi, ucapin selamat tidur, sama kirim foto selfie, padahal si lo sama Dinda satu rumah! Apa lagi kalo bukan freak?!”
“Ya romantislah.” Luther geleng-geleng seolah dia tau segalanya, “Ck… ck… ck…, pengetahuan lo masalah romantis tuh masih belum selevel sama gue sama bang Dawi.”

Belum jadi gue menanggapi kepolosan yang lebih menjurus ke kebodohan yang telah dilakukan Luther, gue merasakan sebuah getaran di saku gue. Di tengah seruan Luther dan Yansa yang saling ngatain ‘tengil,’ terdengar suara ringtone hape gue. Sewaktu gue cek, ada telepon masuk dari nomor Arya.

‘Halo?’
‘Gue ketemu dia.’
Diubah oleh dasadharma10 22-12-2017 21:44
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.