- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.3K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#185
PART 22
Dari rumah pak RW kita berlima ditemani menuju rumah warga yang memang sudah disediakan untuk kita menginap. Seperti tur desa pada umumnya, jika di jalan bertemu dengan warga kami pasti berhenti untuk sekedar berkenalan dengan warga desa. Yah... antara lain ada pak Sutrisno tukang cukur rambut satu-satunya di kelurahan, pak Slamet yang masih seorang keturunan dukun pada generasi ke empat, serta pak Maif/Masyif/Macip, jujur aja yang ketiga ini gue kurang tau cara pengucapan yang tepat tapi yang jelas bapak Maif ini adalah tukang gali kubur paling jempolan di kelurahan. Hampir seluruh lubang galian dia inget, lo tinggal tunjuk, sedetik kemudian dia bakal jelasin. Kuburan siapa, matinya kapan, dia kidal apa enggak, pokoknya lo mau nanya apa aja soal orang mati, dia tau. Gampangnya … dia ini udah kayak googlenya orang mati di kelurahan.
Sebenarnya masih banyak warga lain yang pengin gue ceritakan, tapi karena jari gue terbatas mungkin tiga orang itu ditambah pak RW sudah cukup. Oh iya, nama asli pak RW adalah pak Pamudji. Dalam bahasa Jawa, nama Pamudji artinya adalah doa. Jujur aja, gue juga sempet bingung waktu tau arti nama dia. Awalnya gue pikir gue yang bego masalah bahasa, tapi setelah gue bener-bener pahami, akhirnya gue paham kalo bapaknya pak Pamudji ini ternyata emang udah salah gaul. Pada dasarnya orang tua memberi nama anaknya dengan sebuah doa, tapi entah kenapa, orang tua pak Pamudji menggunakan kata ‘doa’ menjadi sebuah nama. Yah… siapa gue buat menghakimi nama pak RW. Mungkin ini yang disebut nama adalah doa, bener-bener nama yang merupakan ‘doa.’
Sementara kita mengikuti pak RW dari belakang, gue sama si Bull ngomongin desa dan seisinya. Mulai dari ngomongin desa yang tentram, sempat lihat pemandangan ibu-ibu yang cuma pake kemben, sampai ngomongin gundukan-gundukan yang berjejer di pinggir jalan ke arah rumah unit.
“Itu apaan, Bang?” tanya Bull menunjuk sebuah gundukan.
“Tau,” jawab gue kurang fokus. “Semacam umbi-umbian kali.”
“Tanpa pohon, gitu? Emang bisa tumbuh?” tanya Bull makin penasaran.
“Ya mana gue tau sih, Bull,” tanggap gue. “Gue bukan warga asli sini.”
“Mungkin tai kali, ya?”
“Kok tai?”
“Ya kalo kita naik gunung kan biasanya poo-nya kita gali dulu terus ditutupin gitu.”
“Ya masa iya panjang-panjang begitu? Terus dijejer sepanjang jalan ke arah rumah unit? Lo pikir WC umum?”
“Ya mungkin budayanya gitu.”
“Mungkin juga, sih.”
Satu hal yang bikin gue kaget, rumah yang bakal kita tempatin bener-bener sama kayak yang ada di mimpi gue. Padahal jalan ke desa ini bener-bener beda sama yang ada di mimpi gue. Pak RWnya, para warganya, semuanya tuh beda, tapi kenapa rumah ini bisa sama?
Percakapan dengan bahasa Jawa yang gue enggak paham kembali terjadi. Yang gue tangkap, pak Pamudji sedang menjelaskan bagian-bagian rumah ini, ah… maksud gue gudang padi. Gimana gue bisa tau? Simpel, dia menjelaskan dengan memperagakan apa yang dia maksud dengan tangannya juga, jadi lo paham bahasa jawa atau enggak sebenarnya juga enggak terlalu masalah.
“Jadi gimana?” tanya gue sepeninggalan pak RW. “Kita tinggal di sini?”
“Ya menurut lo?” kata Melly melewati gue. “Ayo panggil yang lain, buruan ambil barang-barangnya.”
“Kenapa enggak mobilnya yang dibawa sini aja, sih?” usul gue. “Lebih praktis lhoh daripada di parkir dekat rumah pak Slamet.”
“Kata pak RW enggak sopan ngelewatin makam pake kendaraan,” jelas Melly. “Lo mau KKN kita kenapa-kenapa?”
“Kuburan?” tanya si Bull. “Emang kita ngelewatin kuburan, Bang?”
Tunggu! Jangan-jangan.
“Mell, lo jangan bilang kalo gundukan-gundukan yang tadi gue becandain itu kuburan?”
“Iya, gue enggak bakal bilang.”
“Mampus, Bull.”
“Ke-kenapa, Bang? Kita kena santet, kah?”
Gue tatap mata si Bull yang mulai mengiba meminta santetan apapun yang barusan masuk ke dalam badannya untuk segera dicabut, “Kayaknya lebih parah dari itu, deh.”
End of Chapter Three
Dari rumah pak RW kita berlima ditemani menuju rumah warga yang memang sudah disediakan untuk kita menginap. Seperti tur desa pada umumnya, jika di jalan bertemu dengan warga kami pasti berhenti untuk sekedar berkenalan dengan warga desa. Yah... antara lain ada pak Sutrisno tukang cukur rambut satu-satunya di kelurahan, pak Slamet yang masih seorang keturunan dukun pada generasi ke empat, serta pak Maif/Masyif/Macip, jujur aja yang ketiga ini gue kurang tau cara pengucapan yang tepat tapi yang jelas bapak Maif ini adalah tukang gali kubur paling jempolan di kelurahan. Hampir seluruh lubang galian dia inget, lo tinggal tunjuk, sedetik kemudian dia bakal jelasin. Kuburan siapa, matinya kapan, dia kidal apa enggak, pokoknya lo mau nanya apa aja soal orang mati, dia tau. Gampangnya … dia ini udah kayak googlenya orang mati di kelurahan.
Sebenarnya masih banyak warga lain yang pengin gue ceritakan, tapi karena jari gue terbatas mungkin tiga orang itu ditambah pak RW sudah cukup. Oh iya, nama asli pak RW adalah pak Pamudji. Dalam bahasa Jawa, nama Pamudji artinya adalah doa. Jujur aja, gue juga sempet bingung waktu tau arti nama dia. Awalnya gue pikir gue yang bego masalah bahasa, tapi setelah gue bener-bener pahami, akhirnya gue paham kalo bapaknya pak Pamudji ini ternyata emang udah salah gaul. Pada dasarnya orang tua memberi nama anaknya dengan sebuah doa, tapi entah kenapa, orang tua pak Pamudji menggunakan kata ‘doa’ menjadi sebuah nama. Yah… siapa gue buat menghakimi nama pak RW. Mungkin ini yang disebut nama adalah doa, bener-bener nama yang merupakan ‘doa.’
Sementara kita mengikuti pak RW dari belakang, gue sama si Bull ngomongin desa dan seisinya. Mulai dari ngomongin desa yang tentram, sempat lihat pemandangan ibu-ibu yang cuma pake kemben, sampai ngomongin gundukan-gundukan yang berjejer di pinggir jalan ke arah rumah unit.
“Itu apaan, Bang?” tanya Bull menunjuk sebuah gundukan.
“Tau,” jawab gue kurang fokus. “Semacam umbi-umbian kali.”
“Tanpa pohon, gitu? Emang bisa tumbuh?” tanya Bull makin penasaran.
“Ya mana gue tau sih, Bull,” tanggap gue. “Gue bukan warga asli sini.”
“Mungkin tai kali, ya?”
“Kok tai?”
“Ya kalo kita naik gunung kan biasanya poo-nya kita gali dulu terus ditutupin gitu.”
“Ya masa iya panjang-panjang begitu? Terus dijejer sepanjang jalan ke arah rumah unit? Lo pikir WC umum?”
“Ya mungkin budayanya gitu.”
“Mungkin juga, sih.”
Satu hal yang bikin gue kaget, rumah yang bakal kita tempatin bener-bener sama kayak yang ada di mimpi gue. Padahal jalan ke desa ini bener-bener beda sama yang ada di mimpi gue. Pak RWnya, para warganya, semuanya tuh beda, tapi kenapa rumah ini bisa sama?
Percakapan dengan bahasa Jawa yang gue enggak paham kembali terjadi. Yang gue tangkap, pak Pamudji sedang menjelaskan bagian-bagian rumah ini, ah… maksud gue gudang padi. Gimana gue bisa tau? Simpel, dia menjelaskan dengan memperagakan apa yang dia maksud dengan tangannya juga, jadi lo paham bahasa jawa atau enggak sebenarnya juga enggak terlalu masalah.
“Jadi gimana?” tanya gue sepeninggalan pak RW. “Kita tinggal di sini?”
“Ya menurut lo?” kata Melly melewati gue. “Ayo panggil yang lain, buruan ambil barang-barangnya.”
“Kenapa enggak mobilnya yang dibawa sini aja, sih?” usul gue. “Lebih praktis lhoh daripada di parkir dekat rumah pak Slamet.”
“Kata pak RW enggak sopan ngelewatin makam pake kendaraan,” jelas Melly. “Lo mau KKN kita kenapa-kenapa?”
“Kuburan?” tanya si Bull. “Emang kita ngelewatin kuburan, Bang?”
Tunggu! Jangan-jangan.
“Mell, lo jangan bilang kalo gundukan-gundukan yang tadi gue becandain itu kuburan?”
“Iya, gue enggak bakal bilang.”
“Mampus, Bull.”
“Ke-kenapa, Bang? Kita kena santet, kah?”
Gue tatap mata si Bull yang mulai mengiba meminta santetan apapun yang barusan masuk ke dalam badannya untuk segera dicabut, “Kayaknya lebih parah dari itu, deh.”
End of Chapter Three
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
