Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#51
Spoiler for Ucapan Maaf:


Chapter 10: Hari yang Melelahkan di Surabaya (Bagian 1)

04 Juni 2016, Pukul 08.15 WIB

Aku sampai di Terminal Tulungagung. Seperti biasa aku diantar pamanku. Melewati jalanan yang ramai, kendaraan lalu lalang. Sebelumnya, diperjalanan tadi sempat ada razia polisi. Ditengah perjalanan, dari kejauhan terlihat plang razia dan kerumunan orang berhenti diantara kumpulan petugas berseragam cokelat muda.

Seorang polisi berseragam rapi memberikan isyarat agar kami menepi dipinggir jalan untuk diperiksa kelengkapan berkendara. Berhubung kami merupakan warga yang taat hukum, kami dipersilahkan jalan kembali karena tidak ada satupun kesalahan. Lampu depan sudah menyala, helm lengkap, spion lengkap, surat-surat berkendara pun lengkap.

“Temenmu mana ini?” Pamanku bertanya kepadaku. Dengan santainya ia duduk diatas motor sambil menghisap rokoknya disebelah timur terminal.

“Sepertinya masih diperjalanan, tunggu sebentar.” Jawabku yang sedang berteduh dibawah pohon, sambil sesekali melihat smartphone-ku.

Beberapa menit kemudian, dari arah timur samar-samar kulihat Ipung melaju pelan dengan motor lawasnya, lengkap dengan jaket kuning hitamnya persis sebelas duabelas dengan tukang ojek pengkolan. Dengan santainya dia lewat didepanku tanpa menyadari keberadaanku. Dia menuju tempat parkir dekat terminal untuk menitipkan sepeda motornya selama dua hari.

Aku berlari bergegas menyusul ketempat dia berada. Sebelum itu, aku memberi isyarat kepada pamanku bahwa tidak apa-apa jika dia pergi sekarang.

“Ayo pung kita segera masuk ke terminal!” Aku menggebu-gebu. Dari nada bicaraku, terlihat aku seperti orang yang tergesa-gesa.

“Santai bos, kayak dipantai.” Dia terkekeh, tanpa berlama-lama disitu kami berdua menyeberang dan menuju kedalam terminal.

Mungkin jika aku sendirian, aku bakalan celingukan. Untung ada dia yang mau menemaniku. Pucuk dicinta ulam pun tiba, bus jurusan Surabaya telah standby ditempatnya. Aku menunjuk-nunjuk bus tersebut pertanda agar kami segera naik kesana.

“Eh sebentar ya Megg, gue kebelet. Tunggu dulu ya. Lima menit.” Tanpa ba-bi-bu dia langsung pergi mencari toilet. Aku menunggunya sambil sedikit menggerutu. Tak apalah. Itu manusiawi.

Bus jurusan Surabaya tadi masih tetap berdiam ditempatnya. Terdengar mesinnya mulai dihidupkan, bergetar dan suara khas mesin bus itu menderu-deru diudara.

“Ayok.” Suara itu terdengar dari belakangku, ia langsung berlari menuju ke bus tersebut. Aku mengikuti dibelakangnya.

***

Didalam bus, kami mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman ditempati. Kami berdua duduk sisi kanan, kursi panjang dengan muatan tiga orang. Ipung duduk didekat jendela, aku dikursi tengah. Cahaya matahari perlahan menembus kaca-kaca bus, sedikit memancarkan terik.

Bus pun berjalan, meninggalkan terminal melewati sudut-sudut jalanan kota Tulungagung. Disepanjang jalan, kami disambut oleh graffitigraffiti iseng karya anak jalanan, pamflet-pamflet iklan, serta baliho yang terpampang jelas. Sesekali bus mengurangi kecepatan. Berhenti disetiap halte atau disetiap ada penumpang yang hendak naik.

Tiba-tiba, Ipung mengeluarkan sebungkus obat dari dalam sakunya.

“Itu apa pung?” Tanyaku penasaran, yang jelas itu bukan obat terlarang.

“Ini obat anti mabuk, gue kalau nggak minum ini nanti pusing-pusing. Nanti bangunin gue ya kalau sudah sampai Surabaya.” Mendengar jawaban tersebut aku sedikit besuara keras, seenaknya saja dia tidur.

“Woi, jangan tidur dulu woi. Tunggu bentar! sampai kernet bertanya turun dimana kita nanti. Gue nggak ngerti apa-apa.” Dia yang mulai terlelap perlahan menunda niatnya, mungkin sedikit sebal bercampur iba terhadapku.

Mendengar omelanku tadi, sayup-sayup Ipung menjawab sekenanya saja.

Dari belakang, kernet bus mulai bergerak menariki ongkos bus dari para penumpang. Satu persatu ia interogasi singkat layaknya petugas sensus penduduk. Eh, mungkin lebih tepatnya petugas pajak. Setelah ditanyai penumpang menyerahkan ongkos bis sesuai tempat tujuan ia berhenti. Jauh dekat beda tarifnya tak seperti angkutan kota. Kernet pun menyerahkan karcis tanda bukti pembayaran kepada penumpang.

“Mau turun dimana?” Tanya kernet itu ketus ketika sampai giliranku.

“Surabaya pak, terminal Bungurasih. Dua orang.” Aku yang menjawab, Ipung diam saja melihatku yang telah berada dijalan yang benar. Ia meneruskan tidurnya yang sempat tertunda.

“Empat puluh delapan ribu.” Ucap kernet tersebut. Tangannya menggerak-gerikan spidol warna merah ke ratusan karcis yang dijepit klip besar ditangannya kirinya.

Aku langsung menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. Kernet itu menyobek karcis itu kemudian menyerahkannya kepadaku beserta uang kembalian. Cukup beberapa detik, ia telah memalingkan muka ke arah penumpang lain. Ah, masa bodoh.

Tepat dikursi sebelah kiriku, ada seorang bapak-bapak setengah baya dengan pakaian abu-abu sedikit lusuh. Sudah jadi tabiatku untuk berprasangka negatif terhadap orang yang baru kukenal. Ditengah perjalanan aku hanya diam, sesekali melihat ke jendela bus, ramai kendaraan berlalu lalang.

“Mau kemana mas?” Tanya bapak tadi ramah.

“Ini mau ke Surabaya pak, lha anda sendiri mau kemana?” Aku berbalik tanya dengan sikap seramah mungkin. Keseharianku biasa memakai bahasa Jawa asli, bahasa kedua yang kubanggakan setelah bahasa Indonesia.

“Saya nanti turun ke Kediri. Ada urusan apa mas ke Surabaya?” Bapak itu berbincang-bincang sebentar denganku, melepas penat ditengahtengah sesaknya kondisi dalam bus.

“Oh, saya ada tes ini pak. Bapak asli Tulungagung?”

“Saya asli Kediri mas, ini tadi ada sedikit urusan. Memangnya kenapa mas kok nggak pilih kuliah ke Jogja saja daripada di Surabaya?” Bapak itu heran. Sedikit menduga-duga, tanpa kujelaskan lebih lanjut ia tahu bahwa aku hendak menjajaki bangku kuliah.
Aku hanya menggeleng pelan sedikit menjelaskan secara implisit. Aku tidak terang-terangan bahwa tes ini adalah tes masuk Universitas Indonesia.

“Dulu saya pernah bekerja disalah satu restoran ayam goreng terkenal di Surabaya. Dulu enak, bisa bolak-balik pulang ke Kediri. Biayanya juga murah. Tapi tiba-tiba saya dipindahkan kesalah satu cabang restoran tersebut di daerah Jogja.” Bapak itu bercerita menyinggung masa lalunya. Aku takzim mendengar cerita bapak tersebut. Bapak itu melanjutkan.

“Tidak seperti Surabaya yang panas. Jogja lebih nyaman suasananya. Kalau masnya naik kereta api ke Jogja, setelah keluar dari stasiun nanti masnya langsung disambut pasar yang cukup terkenal di Jogja, Malioboro. Nah, kalau masnya terus lurus kedepan nanti akan sampai ke Keraton Yogyakarta.” Aku yang tidak tahu apa-apa hanya sekedar mengangguk-angguk mendengar cerita bapak tersebut. Ipung masih terlelap dalam tidurnya, mungkin dia sedang bermimpi indah.

Didepan terlihat gapura besar yang diatasnya bertuliskan “Selamat meninggalkan kota Tulungagung.” Bus melaju melewati perbatasan antara Kediri dan Tulungagung. Jalanan tentunya semakin padat.

Tak berapa lama kemudian bapak yang duduk disampingku tadi berdiri dari tempat duduknya. Hendak turun di halte berikutnya.

“Duluan ya mas.” Dengan senyum ramahnya ia berpamitan, menuju ke sisi pintu depan. Aku membalas senyum itu ramah.
Mulai dari sini dan seterusnya para pengamen, peminta-minta dengan berbagai macam model mulai bebas berkeliaran, menjamur seakan tiada habisnya. Masih banyak orang yang rela menggantungkan hidupnya dijalanan yang terkadang begitu kejam. Mengais rezeki hanya dengan bermodalkan tangan dibawah, memelas mengharap dikasihani. Entah aku tak tahu apakah mereka hanya berpura-pura karena malas mencari pekerjaan yang layak atau memang mereka benar-benar membutuhkan dan terdesak oleh keadaan..

“Eh Megg, lo pindah duduk kesini gih.” Kata-kata Ipunh barusan menyadarkan lamunanku, dia terbangun dari tidurnya.

Aku pun berpindah tempat duduk dengan dia yang masih setengah sadar beranjak berdiri hendak berpindah ke tempatku.

“Nih permen, ambil aja buat temen diperjalanan.” Dia menyodorkan sebungkus permen yang masih penuh. Kuambil beberapa dan kubuka bungkusnya. Rasa mint dari permen tersebut menyebar keseluruh lidahku.

Perjalanan masih tetap berlanjut, satu jam berlalu setelah aku meninggalkan terminal Tulungagung.

***

Bus dengan cat luar putih oranye dengan motif tribal sederhana itu masih terus melaju stabil.

Kali ini melewati Simpang Lima, Gumul, Kediri. Ditengah-tengah jalanan melingkar tersebut terdapat bangunan dengan arsitektur yang megah, Monumen Simpang Lima. Bangunan ini memang mirip dengan monumen yang ada di Paris, yaitu monumen yang biasa dikenal dengan arc de Trimphoe.

Hanya sepersekian menit bus pun melaju cepat meninggalkan bangunan megah tersebut. Melaju terus menyusuri jalanan yang ramai.
Masih beberapa jam lagi untuk sampai di Surabaya. Bus itu kini berhenti di terminal Kediri. Mencari beberapa penumpang yang hendak naik. Lima belas menit singgah sebentar di terminal, kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

Pengamen, pedagang asongan, pemandangan yang cukup lazim didalam bus kota. Hanya bermodalkan gitar, mereka bernyanyi seadanya, memainkan gitar dengan ciri khas pengamen pada umumnya. Bukan hanya satu dua, tapi disetiap perempatan lampu merah, ada saja pengamen yang naik ke dalam bus. Aku selalu merasa tergerak untuk memberikan sedikit recehan apabila ada pengamen.

Satu dua lagu terselesaikan, dengan topi mereka atau ada juga yang memakai kantong plastik biasa, mereka mengatungkannya kearah setiap penumpang. Receh, seribuan, lebih-lebih dua ribuan adalah balas jasa atas penampilan mereka. Mungkin juga dari hasil mengamen, mereka bisa mendapatkan puluhan ribu dalam sehari.

Bertolak belakang dengan para pedagang asongan. Aku sangsi dengan penghasilan mereka, aku merasa bahwa penghasilan mereka jauh dari kata cukup. Tak semudah pengamen yang hanya bermodalkan suara dan pengemis mampu membuat orang dengan mudahnya memberikan recehan-recehan. Pedagang asongan berbeda, mereka tidak meminta-minta. Selelah apapun, mereka tetap berusaha menjajakan dagangan mereka kepada setiap penumpang, meski itu berujung penolakan dan muka ketus dari para penumpang yang enggan membeli barang yang dijajakannya.

Asa masih terlihat diantara goresan wajah mereka. Pekerjaan ini lebih bermartabat daripada meminta-minta atau mengamen. Yah, inilah potret negeri ini kawan, puluhan tahun negeri ini merdeka, masih saja banyak orang yang menderita. Janji kemakmuran yang tertuang dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 belum terealisasikan secara sempurna. Terlebih janji-janji para pemimpin sebelum mereka berkuasa, halah paling tiga bulan atau lima bulan setelah mereka menjabat mereka lupa. Seperti tidak tahu tabiat orang yang dilimpahi kekuasaan saja. Hampir dua puluh tahun Zaman Reformasi. Namun apa yang berubah dari negeri ini?

***

Aku masih menatap kaca jendela, menikmati jajaran ruko-ruko yang terdiam dipinggiran jalan. Laju kendaraan kecil yang melintas disepanjang jalan, orang-orang yang ramai beraktifitas, ibu-ibu penjual yang sedang melayani pelanggannya. Aku selalu suka menikmati perjalanan dengan bus ini, terlebih ketika ada acara rekreasi ke suatu tempat.

Tanpa kusadari, Ipung yang dari tadi ketiduran lekas terbangun.

“Kita sampai dimana ini Megg?” Tanya dia setengah mengantuk, mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang belum utuh.

“Masih di Jombang, udahlah tidur aja lagi sono.” Jawabku menyeringai.

“Ah udah nggak ngantuk gue.” Dia menjawab sambil melihat-lihat smartphone-nya, mungkin memeriksa pesam masuk dari pacarnya.
Bus berwarna putih oranye tersebut perlahan berhenti. Ada penumpang yang hendak naik. Sosok perempuan cantik berkerudung merah yang sungguh menawan, hanya saja wajahnya terhalang oleh masker. Tanpa kusadari lebih awal, sosok cantik itu duduk tepat didepan tempat dudukku.

“Eh Megg, lo liat cewek itu. Aduh, cantiknye amboi.” Dengan gaya genitnya, Ipung berbisik menggodaku.

“Ah males gue sama yang begituan.” Aku menjawab ketus, masa bodoh dengan ucapannya barusan. Lelah dengan sesuatu yang berbau perasaan.

“Yaelah elu mah, punya kertas dan pulpen nggak?” Ia yang sedari tadi lemas tak bertenaga, tanpa diduga tanpa disangka semangatnya kembali pulih dalam hitungan detik. Hanya karena kedatangan sosok cantik tersebut.

“Sebentar gue carikan terlebih dahulu.” Aku mengambil tasku, mencari-cari pulpen ditasku yang terselip diantara baju gantiku.

“Ah lama banget lo.” Dia sedikit mengeluh disela-sela aku sibuk mencari.

“Sabar dikit napa!” Aku menyeru sedikit kesal, masih mencari-cari letak dimana pulpen itu.

“Nah ini dia, gue cuman nemu pulpen ini. Kertasnya nggak ada.” Aku menjawab pelan.

“Ya udah nggak apa-apa, udah cukup.” Dia cengar-cengir, tangannya langsung menyambar pulpen yang kupegang tadi.

“Emang buat apaan?” Tanyaku penasaran.

“Ssssst, gue mau minta nomer handphone-nya.” Sambil mendekatkan jarinya diujung bibirnya, ia berbisik pelan.

Aku hanya menggeleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan tingkah konyolnya. Terserahlah pikirku, aku tak ikut campur. Aku masih menatap kaca jendela, meskipun tak terlalu signifikan tapi itu cukup untuk membunuh kebosananku.

Sedangkan, Ipung masih melirik-lirik, menatap genit sosok cantik tadi. Berpikir keras, mencari momen yang tepat untuk melakukan aksi konyolnya tersebut. Sesekali dia tersenyum kepadaku, entah apa maksudnya. Aku tak peduli dengan tingkahnya tersebut.

Harap-harap cemas melanda dirinya, akankah aksinya akan berhasil atau tidak. Dia bisa dibilang cukup berpengalaman dalam hal ini. Berbeda jauh denganku yang kadangkala canggung ketika dekat dengan perempuan, meskipun dalam tanda kutip aku pernah juga merasakan apa itu menjalin hubungan.

Tekadnya sudah bulat, ia pun melakukan aksinya. Dan yang terjadi……

Sewaktu ia menggamit pundak sosok cantik tersebut dari arah belakang. Sosok itu menoleh sebentar, lantas Ipung bilang ‘Mbak, minta nomor handphone-nya?’ sambil menyodorkan secarik kertas karcis tadi dan pulpen yang ia pinjam dariku. Aku yang melihatnya menahan tawa, sedikit sesak melihat asiknya.

Cukup sepersekian detik, gadis itu tanpa ba-bi-bu menolak mentahmentah. Ia tak menggubris Ipung sama sekali. Jujur saja, aku sedikit kasihan melihat hal tersebut, sambil sesekali aku tertawa karena aksi konyolnya tersebut.

“Gimana?” Dengan terkekeh aku bertanya kepada Ipung.

“Cih, Sial banget gue. Nggak dikasih.” Mukanya kusut masam setelah kejadian itu, aku hanya tertawa kecil. Ia menatapku sinis.

“Yaelah lo sendiri sih terlalu mendadak. Tanpa basa-basi langsung ke intinya. Kalau gue jadi dia, ya jelas gue nggak mau memberikan nomor handphone gue lah. Terlebih sama orang asing.” Aku mencoba menenangkan suasana, ekspresi wajahnya masih dirundung penyesalan.

“Iya juga. Cuih.” Dia masih saja menggerutu atas kegagalannya, setengah menyadari kesalahannya.
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.