- Beranda
- Stories from the Heart
CERMIN
...
TS
kulon.kali
CERMIN

cover keren by. Awayaye
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera.
Haloo , selamat pagi, siang dan malam bagi penghuni jagad Kaskus ini.
kali ini saya WN yang menggunakan akun Warisan ini, akan membagikan sebuah cerita yang berbeda dengan 100 Tahun Setelah Aku Mati.
cerita ini adalah cerita dari seorang, ehh maksud saya cerita ini dari dua orang tapi dari dua orang yang ....... Ahhh saya sendiri bingung kalau menjelaskannya secara singkat pada kalian, simak saja ya.
cerita ini lebih nyaman saya sebut sebagai fiksi. jadi jangan over kepo ya saudara-saudara.
dan jika mungkin ada yang "seakan" mengenal tokoh dalam cerita mohon tetap anggap cerita ini fiksi, oke??
cerita ini akan sedikit panjang. saya tidak tau seberapa panjang, dan seberapa lama saya bisa menulisnya. sebisa mungkin akan saya selesaikan sampai pada titik tertentu sesuai permintaan si penutur.
mohon jangan terlalu memburu, jika ada kentang mohon maaf karena keterbatasan saya,
pertanyaan lebih lanjut via ig : @wn.naufal
semoga hikmah dan pembelajaran yang mungkin ada dalam cerita ini bisa diambil oleh pembaca semua.
ini adalah cerita mereka, yang mengaku bernama WISNU MURTI, dan cerita ini dimulai!!
Daftar Isi :
1. Wisnu Murti
2. Aku Wisnu
3. Aku Murti
4. Beradu!
5. Tidak Ada Teman
6. Safe House
7. Mengejutkan Mereka
8. Bertemu Dengan Dajjal
9. Kepo!!
10.KAMI TIDAK INGIN DIPISAHKAN!!!
11.AKU TIDAK GILA!!!
12.KABUR
13.Realita
14.Cinta Yang Normal
15.Hujan Lokal
16.Jurney To The West
17.Harapan Baru
18.Aku Manusia!
19.Si Penggendong Beban Dan Payung Terbang
TANGGAL 6 DESEMBER UPDATE LAGI
Diubah oleh kulon.kali 05-12-2017 00:14
dewisuzanna dan 8 lainnya memberi reputasi
9
70.1K
280
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kulon.kali
#239
SI PENGGENDONG BEBAN DAN PAYUNG TERBANG
“Gimana mas?” tanya nanda sambil membawakan secangkir teh di depanku.
“Gimana apanya dek?” tanyaku sambil menyruput teh panas yang ternyata benar-benar panas itu..
“Ya sekolah Mas Wisnu sama Mas Murti gimana, udah seminggu kita disekolah baru, yang tak tunggu-tunggu itu cerita mas tentang sekolah barunya”
“lumayan dek, sekarang lebih menyenangkan. Sekarang mas udah punya teman-teman baru, semoga aja bisa terus begini” jawabku sambil membalik selembar novel yang tengah kubaca.
Malam itu aku dan Nanda tengah ngobrol di teras depan, tidak banyak yang bisa dilakukan karena hujan turun dengan derasnya dan membuat hawa kota Bandung ini semakin dingin. Meskupun tidak sedingin tempat asalku, tetap saja disini dingin. Terlihat dari nanda yang menaikan resleting jaketnya hingga ke pangkal leher.
“Dingin dek?” Tanyaku
“iya mas, mana bosen malem minggu gini gak ngapa ngapain” jawabnya dengan bibir yang di manyunkan.
“minggu depan kita jalan-jalan deh. Kan kata ayah besok kita mau dikirimin motor, jadi ya bisa lebih enak kalau mau jalan-jalan”
“eh iya. Beneran loh mas.. asiiikkkk”pekiknya dengan suara yang tengil.
“yaudah ambilin flute sana, kita musikan” kataku, yang langsung dituruti nanda.
“Mur, kamu main sama nanda ya. Bosen dia” kataku memanggil murti.
“oke, tapi ambil jaket dulu lah. Badan kita kedinginan” jawab Murti sambil mengambil alih tubuh dan berdiri.
Baru selangkah tubuh ini berjalan, tiba-tiba angin besar datang dan membuat daun-daun dari pohon jambu yang tumbuh di pekarangan kontrakan kami berhamburan.
“Kayaknya bakal ada badai nih. Mending didalem aja” gumam Murti sambil melongok ke ambang teras. Terlihat titik-titik air ber volume besar yang jatuh dengan posisi serong karena terbawa angin yang bertiup sangat kencang. Air yang terbawa angin mulai membasahi keramik yang menjadi lantai kontrakan ini. Bruk, baru sedetik Murti memutar badan kami dikejutkan dengan suara sesuatu yang terjatuh. Murti menoleh lagi, dan persis didepan kami sebuah payung tergeletak.
“Payung siapa nih” tanyaku dari dalam kepala.
Belum juga dijawab, dari luar pagar kontrakan yang belum ditutup muncul seseorang dengan tas ransel super besar berlari masuk ke pekarangan kami. Seorang wanita. Ah iya, aku ingat itu adalah perempuan yang tinggal persis di sebelah kontrakanku. Dia sudah nampak basah kuyup.’
“ Maaf kang, itu payung saya.” Katanya sambil memungut payungnya kembali. Dan belum sempat Murti menjawab, angin besar kembali bertiup lebih kencang dan membuat payung yang dibawa perempuan itu terbang lagi hingga jatuh ke ujung gang.
“Yah, aduhhh” teriaknya.
“Mbak, masuk dulu. Kayaknya bakal ada badai” Kataku dengan cepat, setelah mengambil alih tubuh.
Perempuan itu menurut dan mengikutiku berjalan keambang pintu, kuliahat dia menyisir rambut panjangnya yang basah dengan tangan sambil melihat angin yang terus berhembus kencang.
“Siapa mas?” tanya nanda sambil mendekat
“Mbak berteduh dulu, airnya kebawa angin masuk teras. saya penghuni baru kontrakan ini” kataku mempersilahkan dia masuk.
“iya kang, punten ya” katanya lirih.
Perempuan berkulit putih itu mengenakan jaket abu-abu yang tipis dan sudah sangat kebasahan, ransel yang dibawanya juga nampak basah. Kupersilahkan dia duduk dan di ruang tamu, lalu dia turunkan tasnya ke lantai hinga terdengar suara berdebum. Tanda tas yang digendongnya barusan itu sangat berat. Melihat tasnya basah ia langsung membuka resleting ransel yang mungkin berkapassitas 80 liter itu.
“maaf sekali merepotkan kang, padahal kontrakan saya Cuma disebelah. Maaf saya harus bongkar tas, soalnya isinya dagangan saya. Takut basah” katanya dengan suara menurun.
“tidak apa-apa mbak, Nanda tolong mbaknya ambilkan handuk.” Kataku kepada nanda yang dari tadi hanya mengekor.
Perempuan itu kutaksir umurnya tak jauh dariku, 18 atau 19 tahun. Dia nampak sangat tegesa membuka tasnya dan begitu terbuka tampak tumpukan buku-buku yang begitu banyak didalamnya. Kuperhatikan raut wajahnya berubah menjadi raut sedih saat dia mengambil buku di tumpukan atas yang basah terkena air hujan.
“duuhhh…” hanya itu yang keluar dari mulutnya, dan tangannya mengeluarkan satu persatu buku-buku setebal kamus dari dalam tasnya yang mungkin hampir semuanya kebasahan.
“mbak saya bantu ya. Nanda, mana handuknya? Sekalian tolong buatkan teh ya. Mbaknya kedinginan” kataku kepada nanda. Perempuan yang tidak kuketahui namanya itu hanya merespon dengan anggukan kecil sambil tangannya terus bekerja. Raut sedih diwajahnya terlihat jelas, dan kulihat bola matanya mulai berair.
“mbak, saya ambilkan hair dryer ya.” Ujarku seraya berjalan dengan cepat masuk kekamarnya nanda untuk mengambil pengering rambut dan kipas angin..
“terimakasih mas.. saya merepotkan terus”
--
Suara mesin pengering rambut itu terus berbunyi nyaring, kulirik nanda yang tangannya sibuk membolak balik halaman buku buku basah itu yang dia bariskan di depan kipas angin dengan setting kecepatan maksimal. Sedangkan aku membantu mememegangi halaman yang basah untuk di tiup menggunakan hair dryer oleh perempuan itu.
“maaf ya kang, saya jadi merepotkan terus, dan terimakasih juga akang sama teteh udah bantuin saya. nama saya Tiara” ucapnya dengan lembut.
“jangan sungkan mbak, oh iya saya Murti.. dan ini adik saya”
“aku nanda mbak” kata nanda sambil menjabat tangan tiara sambil tersenyum tipis.
“sudah dari kapan ngontrak disini? Kayaknya saya belum pernah lihat akang sama teteh” tanya tiara.
“Baru 10 hari mbak kita disini,” jawab nanda.
“oh, iya pantes.. eh asal dari mana? Kayaknya bukan dari sunda ya?”
“kita dari jogja mbak” jawabku
“oalah, saya dari jawa tengah kok mas, tepatnya dari Solo” jawabnya dengan bibir yang bergetar, kuamati bibirnya mulai berwarna biru itu pasti karena dia kedinginan. Aku sampai lupa menawarinya untuk ganti baju.
“mbak tiara ganti baju dulu ya,kasian badannya kedinginan gitu” tawarku
“ah saya tak pulang saja mas, gak enak ngrepotin lagi” kilahnya
“gak usah sungkan mbak, aku bawa baju banyak kok. Apalagi diluar masih hujan angin.” Nanda menambahkan sambil mengajak Tiara. Dan nampaknya bujukan nanda berhasil membuat tiara mengikutinya untuk berganti baju.
Setelah mereka beranjak kulanjtkan mengeringkan buku-buku itu. Ada puluhan buku yang harus dikeringkan, beberapa diantaranya sudah tidak bisa diselamatkan karena sebagian halamannya sudah hancur terlumat air. Ahh kasian sekali tiara, buku-buku ini adalah buku dagangan. Ucapku dalam hati.
“cewek tangguh” Murti berkata dari dalam kepala
“ya, buku-buku ini berat banget loh” jawabku
“lebih dari itu nu.. aku merasa ada sesuatu beban yang dibawanya, lebih dari tumpukan buku ini” balas Murti lagi.
“maksudnya?” tanyaku yang tidak paham arah pembicaraan murti.
“ya, aku gak tau nu, Cuma aku merasa ada sesuatu yang lebih berat” balas murti penuh arti.
Sambil ngobrol dalam batin dengan murti, tanganku terus sibuk membalik halaman demi halaman buku-buku basah itu untuk dikeringkan lagi lalu semenit kemudian tiara dan nanda sudah kembali, tiara memakai kaos lengan pendek milik nanda yang berwarna biru dongker dipadu celana training. Sedikit kekecilan tapi menurutku dia terlihat cantik, entah kenapa bisa begitu. Mungkin karena kulitnya yang putih, atau bibirnya yang tipis, bisa juga karena hidungnya yang kalau dalam bahasa jawa disebut mbangir yaitu tidak kecil tapi tidak besar juga, ahh mancung bahasa mudahya itu. Tapi yang menarik perhatianku sejak awal adalah rambutnya yang hitam pekat dan poni khasnya.
Tiara, Nanda dan aku melanjutkan pekerjaan hingga jam dinding yang tertempel ditembok sudah menunjukan pukul 22.30, kulirik nanda sudah menguap terus pertanda dia tak kuasa menahan kantuk.
“dek, kalau kamu ngantuk tidur dulu sana.” Suruhku kepada nanda.
“entar mas, mau bantuin mbak tiara nih, kalau basah terus buku-bukunya rusak kan gak bisa dijual mas” jawabnya sambil menguap.
“iya bener kata mas Murti, ini nanti juga selesai kok. Nanda sekarang tidur dulu aja mbak tiara udah makasih banget dibantuin” tiara ikut membujuk nanda.
Akhirnya dengan mata yang sudah terus mengatup nanda mengangguk dan pamit untuk tidur, lalu tinggalah kami berdua diruangan tamu itu. Betul, kali ini benar-benar berdua karena suara murti sudah tak terdengar lagi dalam kepalaku. Mungkin dia juga tidur dan kendali tubuh serta pikiran ini sepenuhnya ada padaku. Kami memang begitu, salah satu dari kami bisa istirahat atau kami berdua beristirahat, sulit menjelaskannya karena tubuh yang kami pakai ini digunakan secara multi player.
Kulirik tiara mengankat sebuah buku tebal karangan Dan Brown yang aku lupa judulnya apa. Dia nampak menahan raut sedihnya agar tidak terdeteksi oleh pandanganku, namun tetap saja aku melihat bagaimana sorot matanya menjadi sayu saat memegang buku dengan sampul yang sudah hancur itu.
“sepertinya masih bisa di perbaiki mbak” kataku sambil mencoba melihat buku itu
“coba carii gambar sampulnya di internet terus cetak pake kertas tebel, ya harus bending ulang sih, tapi kayaknya masih bisa diperbaiki” tambahku lagi untuk sekedar menghiburnya.Tiara mengangguk, dengan pelan dia berkata “terimakasih mas”
--
Sudah jam 23.30, hampir tengah malam tapi buku-buku itu belum juga selesai dikeringkan. Sesekali kuluruskan kaki dengan berdiri karena sudah pegal sedari tadi berjongkok. Begitu juga dengan tiara yang memegang tengkuknya yang terasa pegal.
Tiara adalah perempuan yang sangat pendiam, hanya jika ditanya dia baru bicara. Selebihnya dia selalu diam dan focus dengan apa yang dia kerjakan. Sebenarnya aku sendiri ingin sekali mengajaknya sekedar mengobrolkan hal-hal ringan tapi memang aku sendiri kesulitan dalam berinteraksi yang membuatku tidak memiliki topik yang bagus untuk dibicarakan.
Kulihat dia menguap, sesekali kepalanya disenderkan pada tembok yang dingin. Kriuukk.. kriuukkk.. terdengar bunyi sesuatu yang seperti tergerus. Ah itu bukan berasal dari perutku.
“mbak tiara belum makan?” tanyaku
Tiara menggeleng pelan, “iya, tapi gapapa mas”
“tak buatkan mie instan ya. Maklumlah anak kost jadi ya menunya seadanya”
“ahh tidak perlu mas, udah ini sebentar lagi saya mau pulang. Gak enak dari udah hampir tengah malem” jawabnya sungkan.
“ya, tapi makan dulu.” Tanpa menunggu jawaban tiara aku menuju dapur dan memasak dua bungkus mie instan rebus menggunakan rice cocker.
Dua mangkok mi rebus sudah jadi. Kutaruh didepan kami yang duduk bersila dan saling berhadapan, uap panasnya mengepul dan aromanya yang khas tentunya sangat menggugah selera yang didukung suasana dingin karena hujan ini.
Kami makan sambil sesekali ngobrol, dari obrolan kami kuketahui Tiara juga belum lama tinggal di bandung,dia kesini karena mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di UPI, dan sambil menunggu semester awalnya berkuliah pada bulan agustus dia memutuskan untuk berjualan buku, dia hanya menjualkan buku-buku milik distributor yang kebetulan adalah temannya.
Kutatap lagi gadis itu, dan kutanggkap dia memiliki cerita hidup yang panjang. Mata sayu, dan senyum tipis misterius itu membuat hatiku tergelitik untuk tau lebih jauh tentangnya. Bukan sekarang, mungkin dikesempatan lain akan ada cerita yang bisa aku ceritakan kepadamu teman. Mengenai Tiara, si gadis penggendong beban.
“Gimana apanya dek?” tanyaku sambil menyruput teh panas yang ternyata benar-benar panas itu..
“Ya sekolah Mas Wisnu sama Mas Murti gimana, udah seminggu kita disekolah baru, yang tak tunggu-tunggu itu cerita mas tentang sekolah barunya”
“lumayan dek, sekarang lebih menyenangkan. Sekarang mas udah punya teman-teman baru, semoga aja bisa terus begini” jawabku sambil membalik selembar novel yang tengah kubaca.
Malam itu aku dan Nanda tengah ngobrol di teras depan, tidak banyak yang bisa dilakukan karena hujan turun dengan derasnya dan membuat hawa kota Bandung ini semakin dingin. Meskupun tidak sedingin tempat asalku, tetap saja disini dingin. Terlihat dari nanda yang menaikan resleting jaketnya hingga ke pangkal leher.
“Dingin dek?” Tanyaku
“iya mas, mana bosen malem minggu gini gak ngapa ngapain” jawabnya dengan bibir yang di manyunkan.
“minggu depan kita jalan-jalan deh. Kan kata ayah besok kita mau dikirimin motor, jadi ya bisa lebih enak kalau mau jalan-jalan”
“eh iya. Beneran loh mas.. asiiikkkk”pekiknya dengan suara yang tengil.
“yaudah ambilin flute sana, kita musikan” kataku, yang langsung dituruti nanda.
“Mur, kamu main sama nanda ya. Bosen dia” kataku memanggil murti.
“oke, tapi ambil jaket dulu lah. Badan kita kedinginan” jawab Murti sambil mengambil alih tubuh dan berdiri.
Baru selangkah tubuh ini berjalan, tiba-tiba angin besar datang dan membuat daun-daun dari pohon jambu yang tumbuh di pekarangan kontrakan kami berhamburan.
“Kayaknya bakal ada badai nih. Mending didalem aja” gumam Murti sambil melongok ke ambang teras. Terlihat titik-titik air ber volume besar yang jatuh dengan posisi serong karena terbawa angin yang bertiup sangat kencang. Air yang terbawa angin mulai membasahi keramik yang menjadi lantai kontrakan ini. Bruk, baru sedetik Murti memutar badan kami dikejutkan dengan suara sesuatu yang terjatuh. Murti menoleh lagi, dan persis didepan kami sebuah payung tergeletak.
“Payung siapa nih” tanyaku dari dalam kepala.
Belum juga dijawab, dari luar pagar kontrakan yang belum ditutup muncul seseorang dengan tas ransel super besar berlari masuk ke pekarangan kami. Seorang wanita. Ah iya, aku ingat itu adalah perempuan yang tinggal persis di sebelah kontrakanku. Dia sudah nampak basah kuyup.’
“ Maaf kang, itu payung saya.” Katanya sambil memungut payungnya kembali. Dan belum sempat Murti menjawab, angin besar kembali bertiup lebih kencang dan membuat payung yang dibawa perempuan itu terbang lagi hingga jatuh ke ujung gang.
“Yah, aduhhh” teriaknya.
“Mbak, masuk dulu. Kayaknya bakal ada badai” Kataku dengan cepat, setelah mengambil alih tubuh.
Perempuan itu menurut dan mengikutiku berjalan keambang pintu, kuliahat dia menyisir rambut panjangnya yang basah dengan tangan sambil melihat angin yang terus berhembus kencang.
“Siapa mas?” tanya nanda sambil mendekat
“Mbak berteduh dulu, airnya kebawa angin masuk teras. saya penghuni baru kontrakan ini” kataku mempersilahkan dia masuk.
“iya kang, punten ya” katanya lirih.
Perempuan berkulit putih itu mengenakan jaket abu-abu yang tipis dan sudah sangat kebasahan, ransel yang dibawanya juga nampak basah. Kupersilahkan dia duduk dan di ruang tamu, lalu dia turunkan tasnya ke lantai hinga terdengar suara berdebum. Tanda tas yang digendongnya barusan itu sangat berat. Melihat tasnya basah ia langsung membuka resleting ransel yang mungkin berkapassitas 80 liter itu.
“maaf sekali merepotkan kang, padahal kontrakan saya Cuma disebelah. Maaf saya harus bongkar tas, soalnya isinya dagangan saya. Takut basah” katanya dengan suara menurun.
“tidak apa-apa mbak, Nanda tolong mbaknya ambilkan handuk.” Kataku kepada nanda yang dari tadi hanya mengekor.
Perempuan itu kutaksir umurnya tak jauh dariku, 18 atau 19 tahun. Dia nampak sangat tegesa membuka tasnya dan begitu terbuka tampak tumpukan buku-buku yang begitu banyak didalamnya. Kuperhatikan raut wajahnya berubah menjadi raut sedih saat dia mengambil buku di tumpukan atas yang basah terkena air hujan.
“duuhhh…” hanya itu yang keluar dari mulutnya, dan tangannya mengeluarkan satu persatu buku-buku setebal kamus dari dalam tasnya yang mungkin hampir semuanya kebasahan.
“mbak saya bantu ya. Nanda, mana handuknya? Sekalian tolong buatkan teh ya. Mbaknya kedinginan” kataku kepada nanda. Perempuan yang tidak kuketahui namanya itu hanya merespon dengan anggukan kecil sambil tangannya terus bekerja. Raut sedih diwajahnya terlihat jelas, dan kulihat bola matanya mulai berair.
“mbak, saya ambilkan hair dryer ya.” Ujarku seraya berjalan dengan cepat masuk kekamarnya nanda untuk mengambil pengering rambut dan kipas angin..
“terimakasih mas.. saya merepotkan terus”
--
Suara mesin pengering rambut itu terus berbunyi nyaring, kulirik nanda yang tangannya sibuk membolak balik halaman buku buku basah itu yang dia bariskan di depan kipas angin dengan setting kecepatan maksimal. Sedangkan aku membantu mememegangi halaman yang basah untuk di tiup menggunakan hair dryer oleh perempuan itu.
“maaf ya kang, saya jadi merepotkan terus, dan terimakasih juga akang sama teteh udah bantuin saya. nama saya Tiara” ucapnya dengan lembut.
“jangan sungkan mbak, oh iya saya Murti.. dan ini adik saya”
“aku nanda mbak” kata nanda sambil menjabat tangan tiara sambil tersenyum tipis.
“sudah dari kapan ngontrak disini? Kayaknya saya belum pernah lihat akang sama teteh” tanya tiara.
“Baru 10 hari mbak kita disini,” jawab nanda.
“oh, iya pantes.. eh asal dari mana? Kayaknya bukan dari sunda ya?”
“kita dari jogja mbak” jawabku
“oalah, saya dari jawa tengah kok mas, tepatnya dari Solo” jawabnya dengan bibir yang bergetar, kuamati bibirnya mulai berwarna biru itu pasti karena dia kedinginan. Aku sampai lupa menawarinya untuk ganti baju.
“mbak tiara ganti baju dulu ya,kasian badannya kedinginan gitu” tawarku
“ah saya tak pulang saja mas, gak enak ngrepotin lagi” kilahnya
“gak usah sungkan mbak, aku bawa baju banyak kok. Apalagi diluar masih hujan angin.” Nanda menambahkan sambil mengajak Tiara. Dan nampaknya bujukan nanda berhasil membuat tiara mengikutinya untuk berganti baju.
Setelah mereka beranjak kulanjtkan mengeringkan buku-buku itu. Ada puluhan buku yang harus dikeringkan, beberapa diantaranya sudah tidak bisa diselamatkan karena sebagian halamannya sudah hancur terlumat air. Ahh kasian sekali tiara, buku-buku ini adalah buku dagangan. Ucapku dalam hati.
“cewek tangguh” Murti berkata dari dalam kepala
“ya, buku-buku ini berat banget loh” jawabku
“lebih dari itu nu.. aku merasa ada sesuatu beban yang dibawanya, lebih dari tumpukan buku ini” balas Murti lagi.
“maksudnya?” tanyaku yang tidak paham arah pembicaraan murti.
“ya, aku gak tau nu, Cuma aku merasa ada sesuatu yang lebih berat” balas murti penuh arti.
Sambil ngobrol dalam batin dengan murti, tanganku terus sibuk membalik halaman demi halaman buku-buku basah itu untuk dikeringkan lagi lalu semenit kemudian tiara dan nanda sudah kembali, tiara memakai kaos lengan pendek milik nanda yang berwarna biru dongker dipadu celana training. Sedikit kekecilan tapi menurutku dia terlihat cantik, entah kenapa bisa begitu. Mungkin karena kulitnya yang putih, atau bibirnya yang tipis, bisa juga karena hidungnya yang kalau dalam bahasa jawa disebut mbangir yaitu tidak kecil tapi tidak besar juga, ahh mancung bahasa mudahya itu. Tapi yang menarik perhatianku sejak awal adalah rambutnya yang hitam pekat dan poni khasnya.
Tiara, Nanda dan aku melanjutkan pekerjaan hingga jam dinding yang tertempel ditembok sudah menunjukan pukul 22.30, kulirik nanda sudah menguap terus pertanda dia tak kuasa menahan kantuk.
“dek, kalau kamu ngantuk tidur dulu sana.” Suruhku kepada nanda.
“entar mas, mau bantuin mbak tiara nih, kalau basah terus buku-bukunya rusak kan gak bisa dijual mas” jawabnya sambil menguap.
“iya bener kata mas Murti, ini nanti juga selesai kok. Nanda sekarang tidur dulu aja mbak tiara udah makasih banget dibantuin” tiara ikut membujuk nanda.
Akhirnya dengan mata yang sudah terus mengatup nanda mengangguk dan pamit untuk tidur, lalu tinggalah kami berdua diruangan tamu itu. Betul, kali ini benar-benar berdua karena suara murti sudah tak terdengar lagi dalam kepalaku. Mungkin dia juga tidur dan kendali tubuh serta pikiran ini sepenuhnya ada padaku. Kami memang begitu, salah satu dari kami bisa istirahat atau kami berdua beristirahat, sulit menjelaskannya karena tubuh yang kami pakai ini digunakan secara multi player.
Kulirik tiara mengankat sebuah buku tebal karangan Dan Brown yang aku lupa judulnya apa. Dia nampak menahan raut sedihnya agar tidak terdeteksi oleh pandanganku, namun tetap saja aku melihat bagaimana sorot matanya menjadi sayu saat memegang buku dengan sampul yang sudah hancur itu.
“sepertinya masih bisa di perbaiki mbak” kataku sambil mencoba melihat buku itu
“coba carii gambar sampulnya di internet terus cetak pake kertas tebel, ya harus bending ulang sih, tapi kayaknya masih bisa diperbaiki” tambahku lagi untuk sekedar menghiburnya.Tiara mengangguk, dengan pelan dia berkata “terimakasih mas”
--
Sudah jam 23.30, hampir tengah malam tapi buku-buku itu belum juga selesai dikeringkan. Sesekali kuluruskan kaki dengan berdiri karena sudah pegal sedari tadi berjongkok. Begitu juga dengan tiara yang memegang tengkuknya yang terasa pegal.
Tiara adalah perempuan yang sangat pendiam, hanya jika ditanya dia baru bicara. Selebihnya dia selalu diam dan focus dengan apa yang dia kerjakan. Sebenarnya aku sendiri ingin sekali mengajaknya sekedar mengobrolkan hal-hal ringan tapi memang aku sendiri kesulitan dalam berinteraksi yang membuatku tidak memiliki topik yang bagus untuk dibicarakan.
Kulihat dia menguap, sesekali kepalanya disenderkan pada tembok yang dingin. Kriuukk.. kriuukkk.. terdengar bunyi sesuatu yang seperti tergerus. Ah itu bukan berasal dari perutku.
“mbak tiara belum makan?” tanyaku
Tiara menggeleng pelan, “iya, tapi gapapa mas”
“tak buatkan mie instan ya. Maklumlah anak kost jadi ya menunya seadanya”
“ahh tidak perlu mas, udah ini sebentar lagi saya mau pulang. Gak enak dari udah hampir tengah malem” jawabnya sungkan.
“ya, tapi makan dulu.” Tanpa menunggu jawaban tiara aku menuju dapur dan memasak dua bungkus mie instan rebus menggunakan rice cocker.
Dua mangkok mi rebus sudah jadi. Kutaruh didepan kami yang duduk bersila dan saling berhadapan, uap panasnya mengepul dan aromanya yang khas tentunya sangat menggugah selera yang didukung suasana dingin karena hujan ini.
Kami makan sambil sesekali ngobrol, dari obrolan kami kuketahui Tiara juga belum lama tinggal di bandung,dia kesini karena mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di UPI, dan sambil menunggu semester awalnya berkuliah pada bulan agustus dia memutuskan untuk berjualan buku, dia hanya menjualkan buku-buku milik distributor yang kebetulan adalah temannya.
Kutatap lagi gadis itu, dan kutanggkap dia memiliki cerita hidup yang panjang. Mata sayu, dan senyum tipis misterius itu membuat hatiku tergelitik untuk tau lebih jauh tentangnya. Bukan sekarang, mungkin dikesempatan lain akan ada cerita yang bisa aku ceritakan kepadamu teman. Mengenai Tiara, si gadis penggendong beban.
namakuve dan black392 memberi reputasi
2
Tutup