- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#133
PART 19
Kurang lebih sekitar satu jam perjalanan dari Jogja, akhirnya kita menyusul mobil satunya yang ternyata sudah lebih dulu dari awal. Ya tadi niatnya sih mau berangkat bareng, mereka di depan dan mobil yang gue bawa tinggal nyusul. Tapi berhubung si Luther sok tau jalan, akhirnya mobil yang di bawa Bull maju lagi sedikit-demi sedikit.
‘Luther tau jalan yang di daerah perlimaan itu, enggak?’ tulis Melly di grup.
‘Tau, lanjut aja, Bu,’ tulis Luther enteng.
“Kenapa kita enggak minta ditunggu aja, sih?” tanya gue. “Bukannya lebih enak konvoi, ya?”
“Kalo sampai nyasar gue tonjok lo, Lut,” canda Yansa.
“Tenang aja, Yan,” kata Luther santai. “Gue sering ke Klaten, kok. Gue juga tau perlimaan yang dimaksud mbak Melly.”
Di kota Klaten, waktu itu yang namanya petunjuk jalan itu masih minim banget. Jadi semisal lo enggak tau jalan, ya bener-bener nyasar. Apalagi orang yang sok tau kayak Luther ini, gue yakin begitu kita turunin dia di jalan, sampai kita kelar KKN juga dia pasti belum nemu jalan.
Ya… itu emang sebuah kabar buruk kita punya anggota unit kayak dia. Tapi kabar yang lebih buruknya lagi, dia adalah satu-satunya navigator di mobil ini. Enggak begitu lama kemudian, perlimaan pun terlihat di depan.
“Nah tuh,” ucap Yansa mengganti lagu DVD player. “Perlimaan di depan belok mana?”
“Perlimaan?” kata Luther dengan suara terdengar ragu. “Bukannya masih jauh di depan, ya?”
“Masih jauh gimana?” tanya gue. “Ya kalo lo bilang sepuluh meter itu jauh ya berarti emang masih jauh. Masalahnya buat kita sepuluh meter itu deket.”
“Yang ini gue enggak tau, Bang,” jelas Luther tanpa dosa. “Kayaknya jalan baru, deh.”
“Jalan baru kepala lo bocor!” keluh Yansa mulai kesal. “Jalan segede ini mana mungkin baru di bangun.”
“Yaudah, sih,” ucap Luther masih mencari aman. “Ikutin petunjuk jalannya aja.”
“Luther nih gimana, sih?” tanya Sasha ikutan kesal. “Tau jalannya, enggak?”
“Lut,” panggil Echa sambil menjambak rambut Luther. “Lo sadar enggak sih daritadi kita enggak nemu petunjuk jalan.”
Dengan muka kaget yang bener-bener mengesalkan, dia menatap kita satu persatu kemudian kembali membuka mulutnya, “Emang iya?”
Gara-gara kebodohan kami berempat yang dengan polosnya percaya dengan kemampuan navigasi Luther yang ketika akhir-akhir ini kita telusuri nilai geografi sewaktu di SMA nya tiga dan lulus boleh nyogok, akhirnya kita muter-muter di perlimaan itu. Ada kali mobil kita muterin sepuluh putaran sewaktu menunggu mobil satunya untuk mengangkat telepon untuk memberi pencerahan.
Begitu kita tau mendapatkan petunjuk atas jalan yang sebenarnya, akhirnya kita melanjutkan perjalanan dengan tenang. Dengan sebelumnya, kita memaksa Luther buat pindah duduk di kursi paling belakang bertukar tempat dengan tas bawaan kita. Antara tega sama nahan meredam emosi, sebuah ironi yang mengejutkan.
“Mel, si Dinda bisa bahasa jawa kan dia?” tanya gue ketika turun dari mobil ketika berhenti di pom bensin.
“Bisa,” jawab Melly mengiabas-ibaskan bajunya bekas snack. “Kenapa, Wi?”
“Tukeran, gih,” pinta gue. “Repot soalnya kalo nanti kepisah lagi terus enggak ada yang bisa bahasa jawa buat nanya jalan.”
“GPS?” tanya Melly. “Bukannya bisa? Jangan gaptek-gaptek, ah.”
“Ya justru itu, Mbak,” timpal Sasha. “Gara-gara terlalu maju teknologinya kita enggak bisa pake GPS.”
“Kok gitu?”
“Di sini sinyal 4G belum masuk,” jelas gue. “Satu-satunya yang hapenya 3G cuma Luther.”
“Nah itu,” kata Melly lagi. “Bisa dong harusnya?”
“Mbak lihat tampang ngeselinnya si Luther aja, sih,” gerutu Echa.
Melly memperhatikan Luther yang nyengir dengan seksama, “Dua bulan sekali beli satu giga byte aja udah syukur, ya?”
Kurang lebih sekitar satu jam perjalanan dari Jogja, akhirnya kita menyusul mobil satunya yang ternyata sudah lebih dulu dari awal. Ya tadi niatnya sih mau berangkat bareng, mereka di depan dan mobil yang gue bawa tinggal nyusul. Tapi berhubung si Luther sok tau jalan, akhirnya mobil yang di bawa Bull maju lagi sedikit-demi sedikit.
‘Luther tau jalan yang di daerah perlimaan itu, enggak?’ tulis Melly di grup.
‘Tau, lanjut aja, Bu,’ tulis Luther enteng.
“Kenapa kita enggak minta ditunggu aja, sih?” tanya gue. “Bukannya lebih enak konvoi, ya?”
“Kalo sampai nyasar gue tonjok lo, Lut,” canda Yansa.
“Tenang aja, Yan,” kata Luther santai. “Gue sering ke Klaten, kok. Gue juga tau perlimaan yang dimaksud mbak Melly.”
Di kota Klaten, waktu itu yang namanya petunjuk jalan itu masih minim banget. Jadi semisal lo enggak tau jalan, ya bener-bener nyasar. Apalagi orang yang sok tau kayak Luther ini, gue yakin begitu kita turunin dia di jalan, sampai kita kelar KKN juga dia pasti belum nemu jalan.
Ya… itu emang sebuah kabar buruk kita punya anggota unit kayak dia. Tapi kabar yang lebih buruknya lagi, dia adalah satu-satunya navigator di mobil ini. Enggak begitu lama kemudian, perlimaan pun terlihat di depan.
“Nah tuh,” ucap Yansa mengganti lagu DVD player. “Perlimaan di depan belok mana?”
“Perlimaan?” kata Luther dengan suara terdengar ragu. “Bukannya masih jauh di depan, ya?”
“Masih jauh gimana?” tanya gue. “Ya kalo lo bilang sepuluh meter itu jauh ya berarti emang masih jauh. Masalahnya buat kita sepuluh meter itu deket.”
“Yang ini gue enggak tau, Bang,” jelas Luther tanpa dosa. “Kayaknya jalan baru, deh.”
“Jalan baru kepala lo bocor!” keluh Yansa mulai kesal. “Jalan segede ini mana mungkin baru di bangun.”
“Yaudah, sih,” ucap Luther masih mencari aman. “Ikutin petunjuk jalannya aja.”
“Luther nih gimana, sih?” tanya Sasha ikutan kesal. “Tau jalannya, enggak?”
“Lut,” panggil Echa sambil menjambak rambut Luther. “Lo sadar enggak sih daritadi kita enggak nemu petunjuk jalan.”
Dengan muka kaget yang bener-bener mengesalkan, dia menatap kita satu persatu kemudian kembali membuka mulutnya, “Emang iya?”
Gara-gara kebodohan kami berempat yang dengan polosnya percaya dengan kemampuan navigasi Luther yang ketika akhir-akhir ini kita telusuri nilai geografi sewaktu di SMA nya tiga dan lulus boleh nyogok, akhirnya kita muter-muter di perlimaan itu. Ada kali mobil kita muterin sepuluh putaran sewaktu menunggu mobil satunya untuk mengangkat telepon untuk memberi pencerahan.
Begitu kita tau mendapatkan petunjuk atas jalan yang sebenarnya, akhirnya kita melanjutkan perjalanan dengan tenang. Dengan sebelumnya, kita memaksa Luther buat pindah duduk di kursi paling belakang bertukar tempat dengan tas bawaan kita. Antara tega sama nahan meredam emosi, sebuah ironi yang mengejutkan.
“Mel, si Dinda bisa bahasa jawa kan dia?” tanya gue ketika turun dari mobil ketika berhenti di pom bensin.
“Bisa,” jawab Melly mengiabas-ibaskan bajunya bekas snack. “Kenapa, Wi?”
“Tukeran, gih,” pinta gue. “Repot soalnya kalo nanti kepisah lagi terus enggak ada yang bisa bahasa jawa buat nanya jalan.”
“GPS?” tanya Melly. “Bukannya bisa? Jangan gaptek-gaptek, ah.”
“Ya justru itu, Mbak,” timpal Sasha. “Gara-gara terlalu maju teknologinya kita enggak bisa pake GPS.”
“Kok gitu?”
“Di sini sinyal 4G belum masuk,” jelas gue. “Satu-satunya yang hapenya 3G cuma Luther.”
“Nah itu,” kata Melly lagi. “Bisa dong harusnya?”
“Mbak lihat tampang ngeselinnya si Luther aja, sih,” gerutu Echa.
Melly memperhatikan Luther yang nyengir dengan seksama, “Dua bulan sekali beli satu giga byte aja udah syukur, ya?”
JabLai cOY dan 3 lainnya memberi reputasi
4
