- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#118
PART 17
“Ini nanti belok kiri terus ketemu perempatan ke kanan?” tanya gue.
“Iya kali,” ucap Yansa enggak sekenanya.
“Lo tuh gimana sih, Yan. Ini nanti kalo nyasar malah tambah lama lagi anak-anak nungguinnya.”
“Lhah, bodo,” kata Yansamasih dengan tampang penuh dendamnya. “Gue enggak rela lo sama cewek lo, Bang. Cewek secakep dia, bisa-bisanya mau sama lo.”
“Ya terus? Ada masalah gitu?”
“Positif pelet kan lo, Bang?”
Sepanjang perjalanan ke tempat Echa, Yansa terus-menerus mendesak gue untuk membongkar rahasia pelet yang pada dasarnya gue enggak pake. Mulai dari menuduh gue pake jaran goyanglah dan semar mesem juga sebangsanya, dia juga menuduh kalo orangtuanya Emil punya hutang sama orangtua gue. Ya… kalo jomblo-jomblo yang bawaan lahir pasti juga bakalan mikir kayak gitu sewaktu lihat cewek cakep.
Tempat Echa enggak terlalu jauh dari rumah Yansa yang berada di daerah Condong Catur. Ah… gue bilang tempat Echa karena gue kurang yakin sama tempatnya. Menurut gue ini enggak bisa dikategorikan kosan, enggak bisa juga dikatergorikan kontrakan, dan juga enggak bisa dikategorikan sebagai rumah biasa. Dia tinggal di tempat itu bareng sama kakak dan adeknya, mirip kayak rumah, kan? Tapi dia juga tinggal di situ bareng sama temen-temennya, mirip kayak kontrakan juga, kan? Tetapi, dia juga tinggal di situ bareng sama orang yang enggak dia kenal. Hampir mirip sama kosan, tapi enggak sampai enggak kenal banget juga, sih.
“Ini sebenernya tempat apaan, Yan?” tanya gue setelah menelepon Echa.
“Auk, pikir ae sendiri.”
“E buset…. Lo masih dendam sama gue?”
“Ya jelaslah,” jawab Yansa dengan muka bete. “Hati gue tersakiti….! Gue terdzolimi…!”
“Gue dzolim di sebelah mananya, sih?”
Belum jadi gue nanya lebih jauh tentang perbuatan dzolim yang telah gue lakukan, Echa terlihat berjalan ke arah kita. Gue segera turun dari mobil dan membantunya memasukkan barang bawaannya ke dalam mobil. Bisa ditebak, Yansa enggak mau bantuin gue. Dia lebih suka melototin gue dari dalam mobil dan memperhatikan seluruh gerak-gerik gue.
Setelah berpamitan dengan seluruh warga tempat Echa dengan sejumlah tangis dan air mata padahal cuma mau KKN, akhirnya dia mengajak gue untuk segera berangkat. Begitu gue masuk mobil, pandangan Yansa makin enggak enak.
“Pasti kayak gitu tadi, ya?” tanyanya sewaktu gue memasuki mobil. “Waktu pamitan sama keluarganya cewek lo, lo pasti sambil nyebar kembang melati yang udah dimantra-mantrain, ya?”
“Kembang melati yang dimantra-mantrain?” tanya Echa. “Siapa yang main pelet?”
“Udah, Cha,” tanggap gue menjalankan mobil. “Biarin aja jomblo berpendapat.”
“Bang Dawi, Cha,” kata Yansa coba mempengaruhi. “Bang Dawi main pelet, hati-hati lo sama dia.”
“Gue sih cuek, Yan,” ucap Echa enteng. “Dia mau main pelet ya ayok, enggak main pelet ya enggak masalah. Kalo lo cewek nih ya, dari pertama kalo ketemu sama dia pasti bawaannya penasaran tau.”
“Penasaran gimana?” tanya Yansa teralihkan.
“Gue enggak bisa jelasin detilnya, sih. Cuma, kalo lihat dia tuh kayak ada kehidupan baru yang lo pasti enggak nyangka bakal nyata.”
“Lebay lo, Cha,” tanggap gue. “Gue enggak semisterius itu kali.”
“Ih! Serius, Bang!” keluh Echa memukul bahu gue. “Sewaktu gue lihat lo tuh langsung tau kalo kehidupan lo seru!”
“Lo pengin masuk ke kehidupan bang Dawi?” tanya Yansa tiba-tiba.
“Kalo iya kenapa? Enggak suka? Mau protes?”
“Pupus sudah harapanmu gadis jelita,” kata Yansa kesinetron-sinetronan. “Dia sudah punya kekasih!”
“Tidak…!” seru Echa terbawa suasana.
“Ini nanti belok kiri terus ketemu perempatan ke kanan?” tanya gue.
“Iya kali,” ucap Yansa enggak sekenanya.
“Lo tuh gimana sih, Yan. Ini nanti kalo nyasar malah tambah lama lagi anak-anak nungguinnya.”
“Lhah, bodo,” kata Yansamasih dengan tampang penuh dendamnya. “Gue enggak rela lo sama cewek lo, Bang. Cewek secakep dia, bisa-bisanya mau sama lo.”
“Ya terus? Ada masalah gitu?”
“Positif pelet kan lo, Bang?”
Sepanjang perjalanan ke tempat Echa, Yansa terus-menerus mendesak gue untuk membongkar rahasia pelet yang pada dasarnya gue enggak pake. Mulai dari menuduh gue pake jaran goyanglah dan semar mesem juga sebangsanya, dia juga menuduh kalo orangtuanya Emil punya hutang sama orangtua gue. Ya… kalo jomblo-jomblo yang bawaan lahir pasti juga bakalan mikir kayak gitu sewaktu lihat cewek cakep.
Tempat Echa enggak terlalu jauh dari rumah Yansa yang berada di daerah Condong Catur. Ah… gue bilang tempat Echa karena gue kurang yakin sama tempatnya. Menurut gue ini enggak bisa dikategorikan kosan, enggak bisa juga dikatergorikan kontrakan, dan juga enggak bisa dikategorikan sebagai rumah biasa. Dia tinggal di tempat itu bareng sama kakak dan adeknya, mirip kayak rumah, kan? Tapi dia juga tinggal di situ bareng sama temen-temennya, mirip kayak kontrakan juga, kan? Tetapi, dia juga tinggal di situ bareng sama orang yang enggak dia kenal. Hampir mirip sama kosan, tapi enggak sampai enggak kenal banget juga, sih.
“Ini sebenernya tempat apaan, Yan?” tanya gue setelah menelepon Echa.
“Auk, pikir ae sendiri.”
“E buset…. Lo masih dendam sama gue?”
“Ya jelaslah,” jawab Yansa dengan muka bete. “Hati gue tersakiti….! Gue terdzolimi…!”
“Gue dzolim di sebelah mananya, sih?”
Belum jadi gue nanya lebih jauh tentang perbuatan dzolim yang telah gue lakukan, Echa terlihat berjalan ke arah kita. Gue segera turun dari mobil dan membantunya memasukkan barang bawaannya ke dalam mobil. Bisa ditebak, Yansa enggak mau bantuin gue. Dia lebih suka melototin gue dari dalam mobil dan memperhatikan seluruh gerak-gerik gue.
Setelah berpamitan dengan seluruh warga tempat Echa dengan sejumlah tangis dan air mata padahal cuma mau KKN, akhirnya dia mengajak gue untuk segera berangkat. Begitu gue masuk mobil, pandangan Yansa makin enggak enak.
“Pasti kayak gitu tadi, ya?” tanyanya sewaktu gue memasuki mobil. “Waktu pamitan sama keluarganya cewek lo, lo pasti sambil nyebar kembang melati yang udah dimantra-mantrain, ya?”
“Kembang melati yang dimantra-mantrain?” tanya Echa. “Siapa yang main pelet?”
“Udah, Cha,” tanggap gue menjalankan mobil. “Biarin aja jomblo berpendapat.”
“Bang Dawi, Cha,” kata Yansa coba mempengaruhi. “Bang Dawi main pelet, hati-hati lo sama dia.”
“Gue sih cuek, Yan,” ucap Echa enteng. “Dia mau main pelet ya ayok, enggak main pelet ya enggak masalah. Kalo lo cewek nih ya, dari pertama kalo ketemu sama dia pasti bawaannya penasaran tau.”
“Penasaran gimana?” tanya Yansa teralihkan.
“Gue enggak bisa jelasin detilnya, sih. Cuma, kalo lihat dia tuh kayak ada kehidupan baru yang lo pasti enggak nyangka bakal nyata.”
“Lebay lo, Cha,” tanggap gue. “Gue enggak semisterius itu kali.”
“Ih! Serius, Bang!” keluh Echa memukul bahu gue. “Sewaktu gue lihat lo tuh langsung tau kalo kehidupan lo seru!”
“Lo pengin masuk ke kehidupan bang Dawi?” tanya Yansa tiba-tiba.
“Kalo iya kenapa? Enggak suka? Mau protes?”
“Pupus sudah harapanmu gadis jelita,” kata Yansa kesinetron-sinetronan. “Dia sudah punya kekasih!”
“Tidak…!” seru Echa terbawa suasana.
JabLai cOY dan 2 lainnya memberi reputasi
3
