tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
Titik Irasional dalam Rasionalitas. (Horror, Keluarga, True Story)


Halo agan-agan penghuni Kaskus, kususnya SFTH. Perkenalkan nama saya Tyo Kartiko (nama samaran tentunya hehehe). Selama ini saya hanya menjadi penikmat, alias silent reader dari SFTH, tp kali ini izinkan saya berbagi sepenggal kisah hidup yang semoga menarik buat disimak. Sebelumnya mohon maaf jika tulisannya agak berantakan, karena saya juga baruu belajar nulis hehehee.

Kisah yang saya alami ini terjadi berkisar tahun 1998, 2004, hingga 2006 ketika saya masih kelas 1 SMA. Sekarang saya sudah lulus kuliah dan bekerja btw. Cerita ini saya jamin 99% real, true story, kisah nyata karena saya alami sendiri. 1%-nya lagi bumbu2 jika saya lupa detail ceritanya hehehe..

Ohya, untuk updatenya saya usahkan bisa tiap hari gan... Tp dgn catatan tdk sedang lembur kerja yahh hehehehe. Doakan saja tetap istiqomah. Tapi saya janji bakal saya selesaikan cerita ini.

INDEX

Spoiler for INDEX:


Kalo tidak keberatan rate, share, komen dan cendolnya yah gan, biar tambah semangat nulisnya hehehee, makasih banyak... emoticon-Shakehand2

... Selamat Membaca ....
Diubah oleh tyo.kartiko 02-12-2017 15:41
eL89
ableh80
meqiba
meqiba dan 7 lainnya memberi reputasi
8
46.2K
186
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
#109
Chapter 8 : Pak Samsudin Sang Paranormal – Part 2
Sesuai janji sebelumnya, Pak Samsyudin kembail datang ke rumah kami di malam Jumat Legi beserta rombongannya. Kali ini, selain dengan Pakdhe Prasojo, Pak Samsyudin juga mengajak muridnya, yaitu Mas Totok.

Malam itu hujan lebat disertai angin, Ayah sudah sangat khawatir kalau2 Pak Samsyudin tidak jadi datang karena Ibu sudang mengerang2 kesakitan. Tapi nyatanya, beliau datang juga dengan sudah membawa berbagai macam peralatan perdukunannya.

Seperti biasa, Pak Samsyudin pertama-tama memberi ibu sebuah pil untuk diminum. Entah pil apa itu, tapi bisa membuat ibu langung tenang, seolah2 penyakitnya hilang, dan bisa istirahat dengan nyaman.

Sebelum memulai ritualnya, kami bersama Pak Samsyudin ngobrol2 dulu sebentar di ruang tamu.

“Pak Kartiko, kemarin kita sudah membersihkan satu dari sekian banyak benda ghaib yang dikirim orang-orang jahat itu dari rumah ini, sekarang kita akan coba mengambil yang lainnya. Mudah-mudahan bisa kita ambil semua” Terang Pak Samsyudin

“I. Iya pak, saya manut aja” terdengar Ayah sudah semakin pasrah dengan kondisi yg terjadi. Entah apapun itu sepertinya akan dilakukan oleh Ayah demi kesembuhan Ibu.

“Tapi ini gini pak, kalau saya lihat-lihat, sepertinya Ibu itu juga punya kelebihan yah?” Tanya Pak Samsyudin.

Ternyata bukan hanya Abah Kiai aja yg bisa merasakan kelebihan Ibu, Pak Samsyudin entah bagaimana ternyata juga bisa merasakannya.

“I.ii ya pak, betul” Jawab Ayah.

“Ini kalau boleh jujur, sebenernya Ibu memiliki sambungan yg jauuh lebih kuat daripada saya ke dunia Ghaib. Andai saja, andai saja lho ini pak. Kalau Pak Kartiko berkenan, bagaimana kalo kita langsung minta tolong ke Ibu sendiri aja, untuk melihat dimana saja lokasi-lokasi benda2 kiriman orang-orang jahat itu?” Tanya Pak Samsyudin.

“Hhm.... ” Ayah hanya menghela nafas sambil termenung.

Kalau dari cerita yang saya dengarkan dari Ayah, ternyata selain lukisan Arjuna Wijaya yg kapan hari telah disingkirkan, “kemampuan” ibu juga pernah berusaha ditekan oleh seorang Kiai dengan menempelkan sesuatu di kedua mata ibu.

Jadi, Pak Samsyudin ingin benar2 melepas segela sesuatu yg menekan “kemampuan” ibu untuk melihat dunia Ghaib. Sehingga ibu bisa benar2 melihat dunia ghaib yang ada di rumah secara gamblang.

“Pak, bukannya tidak boleh, tapi saya benar2 takut untuk mengembalikan kemampuan Ibu itu. Dulu ketika muda, Ibu pernah benar2 stress berat karena kemampuannya itu. Saya tidak ingin, ketika kondisi Ibu yang sudah seperti ini, Ibu harus menanggung lagi beban penglihatan akan hal-hal ghaib itu. Apakah jika nanti kemampuan Ibu itu sudah benar-benar dibuka, njenengan bisa menutupnya kembali? ” Tanya balik Ayah.

“Hmmm, gitu yaahhh Pak. Saya sendiri kalau boleh jujur juga tidak memiliki kemampuan sebesar Ibu sebenernya. Jadi untuk menutup kembali kemampuan Ibu, saya juga sejujurnya tidak terlalu yakin bisa melakukannya. ” Jawab Pak Samsyudin dengan ragu-ragu.

“Oke deh Pak, kita lakukan sendri saja.” Lanjut Pak Samsyudin.

Ritual pun dimulai, kali ini ritual dilaksanakan di ruang tengah. Adit dan Mbak Nana diminta untuk diam sejenak di kamar menemani Ibu.

Mas Totok, mulai menyiapkan berbagai perlatan yang diperlukan oleh Pak Samsyudin. Kali ini Mas Totok memasang dupa di 8 penjuru mata angin, yang entah apa tujuannya saya juga tidak tahu. Kemennyan dibakar, ditaruh semacam tungku kecil dan diletakan di tengah-tengah. Kali ini, lampu di seluruh rumah dipadamkan, Ayah mematikan listrik dengan cara mencabut sekering. Kata Pak Samsyudin, semua itu “demi keamanan”.

Di malam yg gelap itu, suasa begitu dingin dan hening hanya terdengar suara hujan angin yang semakin kencang. Kami berlima, Pak Samsyudin, Mas Totok, Pakdhe Prasojo, Ayah dan Saya duduk melingkari tungku kemenyan yang sudah membara.

Seperti biasa, Pak Samsyudin meminta kami untuk tetap tenang apapun yg terjadi. Pak Samsyudin mulai membaca berbagai mantra atau apalah itu namanya. Ayah dan Pakdhe Prasojo terdengar sayup-sayup membaca istighfar. Mas Totok hanya diam termenung, sambil sesekali ia menyalakan kembali dupa-dupa yang mati tertitup angin kencang. Sambil tetap membaca mantra, sesekali Pak Samsyudin menebar bubuk putih (yg entah apa) ke tungku kemenyan yang langsung menyebabkan asapnya menyembur keluar.

Suasana malam semakin dingin, hujan masih turun dengan lebat, angin juga berhembus kencang menyebabkan sesekali air hujan masuk melalu ventilasi-ventilasi rumah.

Entah kenapa berbeda dengan malam sebelumnya, malam itu saya tak merasakan sesak bau kemenyan dan asap dari dupa. Entah kenapa rasanya justru sangat rileks sekali. Apa lagi jika Pak Samsyudin menaburkan bubuk putih ke tungku kemenyan, rasanya begitu rileks, bahkan aroma yg tercium adalah aroma wangi seperti aroma lilin terapi.

Disaat terdengar Pak Samsyudin membaca mantra-mantranya semakin cepat, tiba-tiba delapan dupa yang terpasang mati mendadak, seolah-olah ada yg mematikan.

Kali ini sungguh berbeda dengan malam lalu, ketika nyala dupa terlihat semakin memudar, sebelum akhirnya hilang. Kali ini dupa-dupa itu mati mendadak, seolah-olah terciprat air atau semacamnya.

Tiba-tiba terdengar Mas Totok mengerang keras. Tangannya menggenggam erat, matanya terlihat terpejam. “Hrrmmmmmm... Hrrrmmmm.. HRRRMMMMMM” Suara mengerang dari Mas Totok yg semakin mengeras.

Saya kaget sekali mendengarnya, Pakdhe Prasojo langsung berdiri dan akan menyalankan kembali sekering listriknya.

“JANGAN PAK, TETAP TENANG PAK!” Teriak Pak Samsyudin.

Padkhe Prasojo kemudian langsung duduk lagi, sambil terus berigshtifar.

Pak Samsyudin lalu memegang kepala Mas Totok, sambil membaca-baca berbagai mantra.

“AYO PAK, AYO MAS, KITA TIDURKAN MAS TOTOK” Teriak Pak Samsyudin kembali.

Kami bertiga lantar langsung memegang tangan dan kaki Mas Toto yg ketika itu masih dalam posisi bersila.

“Ka..kaku banget pak, kenapa kok kaku sekali badan Mas Totok?” Tanya Ayah.

Pak Samsyudin tak menjawab apapun, kami terus beruasaha merebahkan badan Mas Totok ke lantai, tapi memang terasa sangat kaku dan sangat berat. Padahal Mas Totok ini tergolong pemuda yg lumayan kurus.

Tiba-tiba, dalam posisi masih bersila, Mas Totok membuka matanya. Terlihat sekilas, digelapnya ruangan itu, mata Mas Totok sangat merah, seperti orang sakit mata itu.

“Astagfirualllahhh..”

“Astagfirualllahhh..”

“Astagfirualllahhh..”

Ayah dan Pakdhe Prasojo berkali-kali hanya beristifar melihat semua itu.

Dengan kondisi seperti orang kesurupan itu, Mas Totok tiba2 menepis kami berempat dan berdiri. IA berjalan memutar di ruangan tengah rumah kami.

“Ssttttt, tetap tenang, tenang pak, jangan panik” bisik Pak Samsyudin kepada kami.

Kami beriga masih terduduk dilantai, kerena bercampur antara bingung dan takut harus berbuat apa. Pak Samsyudin ikut berdiri pelan-pelan, dan berjalan dibelakang Mas Totok.

“HHRRMMMMM, HRRRMMMMMM, HRRRMMMMM” Mas Totok kembali mengerang, kali ini sambil ia tendang-tendang lantai dibawahnya.

Pak Samsyudin kemudian langsung meraba-raba lantai tersebut sambil seperti berusaha mencari dan merasakan sesuatu.

“Nah ketemu!!!” Kata Pak Samsyudin setelah itu.

Pak Samsyudin langsung mengusap muka Mas Totok dengan tangannya, seketika itu pula lah Mas Totok langsung jatuh, tergeletak pingsan.

“Sudah pak, sudah, tidak apa2, ia akan sadar sendiri nanti” Terang Pak Samsyudin kepada kita bertiga yang masih terlihat ketakutan dan kebingungan.

“Pak, Nyalakan lagi lampunya pak, sudah ketemu ‘barang’ nya ini. Pak Kartiko, kalau ada saya pinjam linggis dan cetok kecil” perintah pak Samsyudin.

Pakdhe Prasojo kemudian menyalakan lagi sekering listrik dan Ayah mengambil linggis dan cetok di gudang.

Tanpa panjang lebar, Pak Samsyudin langsung menghujamkan linggis ke lantai dimana Mas Totok tadi menghantam-hantamkan kakinya.

Setelah bersusah payah menyingkirkan keramik lantai, beserta lapisan semen nya, Pak Samsyudin yg dibantu Ayah dan Pakdhe Prasojo akhirnya sampai ke lapisan tanah.

“Sebenernya kita sedang mencari apa pak?” tanya Ayah kepada Pak Samsyudin.

“Sudah pak, gali terus saja, nanti kita akan sama-sama tahu sendiri. Saya sendiri juga tidak yakin barangnya apa ini, tp yg jelas barangnya keras dan tajam” Jawab Pak Samsyudin.

Ayah dan Pakdhe Prasojo terus menggali, hingga tiba-tiba cetok Pakdhe Prasojo terdengar seperti menatap sebuah logam.

“CTEEKK...”

“Apa ini?” teriak Pakdhe Prasojo

“Terus pak, coba disingkirkan dulu tanah-tanahnya” Balas Pak Samsyudin

Pakdhe Prasojo terus menggali dan menyingkirkan tanah-tanah dari benda yg semacam logam tadi.

“Astaghfirualllahhh.... ” Tiba-tiba Pakdhe Prasojo terhuyung ke belakang..

Ternyata didalam galian tersebut, terlihat sebuah kain kafan yang membungkus suatu benda. Dari cara membungkus dan mengikatnya, terlihat menyerupai cara mengikat kain kafan di jenazah, hanya saja ini kecil, berukuran sekitar 15cm.

“Tenang pak, tenang..” Balas Pak Samsyudin sambil beliau mengambil bungkusan kain kafan tersebut dengan menggunakan sapu tangan.

Pak Samsyudin perlahan-lahan mengambil bungkusan tersebut, lalu meletakannya di nampan yg sebelumnya telah disiapkan. Kemudian ia membuka bungkusan tersebut dengan sangat hati-hati.

Jantungku berdegub dengan kencang melihat semua itu. Dari pengalaman pertama melihat orang kesurupan, hingga melihat pengambilan bungkusan kain kafan dari dalam tanah yang entah isinya apa.

Setelah Pak Samsyudin membuka seluruh kain kafan yg digunakan untuk membungkus, akhirnya kita bisa sama-sama melihat, ternyata benda itu adalah sebuah keris kecil. Sebuah keris tanpa pegangan yang berukuran sekitar 15cm, terlihat berkarat dan sudah usang.

“Nah ini pak, ini benda yang pertama kali dikirim oleh orang-orang jahat itu kepada Ibu” terang Pak Samsyudin.

Ayah terlihat sangat lemas, tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Trus, mau diapakan ini pak? Apakah kita buang saja seperti kemarin?” Tanya Pakdhe Prasojo.

“Ini akan saya simpan pak, karena akan sangat berbahaya jika kita buang begitu saja. Benda ini jauuhh lebih berbahaya dari yang kemarin pak. ” Jawab Pak Samsyudin.

“Apkah ini benda terakhir pak? Apakah sudah benar-benar bersih dan tidak ada lagi benda-benda yg dikirim oleh mereka (orang-orang jahat itu)” Tanya Pakdhe Prasojo.

“Hmmm.... pertanyaan ini susah dijawab pak” Jawab Pak Samsyudin sambil membungkus kembali keris tersebut.

Kemudian setelah membungkus kembali keris tersebut dan menyimpannya di dalam mobil, Pak Samsyudin, Ayah dan Pakdhe Prasojo duduk-duduk di ruang tamu. Mas Totok masih terbaring tak sadarkan diri di ruang tengah.

“Jadi pak, untuk bisa mengetahui apakah Rumah ini dan Ibu sudah benar-benar bersih, sebenernya bisa dengan meminta tolong kepada Ibu sendiri. Tapi itu akan butuh membuka kemampuan ibu sepenuhnya akan hal-hal Ghaib.” Terang Pak Samsyudin sambing menghisap sebatang rokok.

“Apakah tidak ada cara lain yang bisa ditempuh pak?” Tanya Ayah.

Pak Samsyudin terlihat berfikir sambil menyemburkan asap putih rokoknya.

“Ada pak, mungkin bisa pak. Tapi sepertinya bakal butuh biaya dan ‘syarat’ yang agak berat” Jawab Pak Samsyudin.

“Baik pak, apapun itu, saya akan coba penuhi sebisa mungkin, yang penting kondisi ibu mebaik” Jawab Ayah tanpa ragu-ragu, meski belum mengetahui apa saja syaratnya dan berapa biaya yang harus dikeluarkan.

Next Chapter : Pak Samsudin Sang Paranormal – Part 3
eL89
eL89 memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.