- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#110
PART 16
‘Bang, jangan lupa nanti kita berangkat abis dzuhur,’ tulis Luther.
‘Gue enggak bisa bawa mobil lho bang, jangan sampai lo telat dateng atau harga diri laki-laki jatuh karena disetirin perempuan,’ tambah Yansa.
‘Hahaha, makanya belajar, Yan,’ sambung si Bull.
‘Eh! Gue ini udah belajar ya, tapi emang dasarnya ditakdirin punya sopir aja makanya enggak bakat!’
‘Gue baru tau kalo bawa mobil itu termasuk bakat,’ tulis gue.
‘BTW ini kenapa yang chat cowok semua?’ lanjut gue.
‘Oh, gue baru sadar, ternyata grup cewek dibikin beda, ya?’
‘Mau gue invite yang lain bang?’ tanya Yansa.
‘Ya, boleh. Yang lo punya aja kontaknya, enggak perlu repot-repot cari,’ tanggap gue
Melly Melvia joined.
Meisyarah Juwandi joined.
Dinda Khanistan joined.
Maya Septiani joined.
Enisha Putri Swastika joined.
Cassandra Jacqueline joined.
Vindi Vin Siregar joined.
‘Eeee gilak,’ tulis Luther.
‘Ini semuanya lo invite, Yan?’ tanya gue.
‘Itu Vindi Vin siapa lagi? Bukannya cewek di unit kita cuma enam?’ tambah si Bull.
‘Oh, iya,’ tanggap Yansa.
‘Mampus lo, salah invite orang,’ komentar Luther.
Yansa Yasna S remove Vindi Vin Siregar.
‘….,’ ketik si Bull.
‘Muke gile asal kick orang aja lo, Yan,’ tanggap Luhter.
‘Gapapa, ntar tinggal minta maaf kalo dia ngomel.’
‘Ini grup KKN?’ tulis Melly.
‘Iya, Bu. Bang Dawi yang minta,’ tanggap Luther.
‘Pfft…, udah tua kebanyakan gaya,’ tulis Cassie.
‘Makasih lho komentarnya, sangat berfaedah,’ tanggap gue.
‘Kembali.’
‘Abang! Jangan telat jemputnya! Gue males nunggu!’ tulis Meisyarah Juwandi.
‘Ah… Meisyarah yang mana, ya?’ tanya gue.
‘Itu Echa, kosannya deket gue, Bang,’ timpal Luther.
‘Oh… rada jauh ya dari Meisyarah jadi Echa,’ tulis gue lagi.
‘Itu si Enisha yang pinter nyanyi kemarin, panggilannya Sasha,’ lantjut Luther.
‘Percuma lo jelasin, orang tua mana bisa nangkep begituan,’ timpal Cassie lagi.
‘Makasih atas komentarnya.’
‘Kembali(2).’
Yah… kurang lebih seperti itu isi grup chat KKN yang baru dibuat sewaktu hari H mau berangkat ke desa KKN. Grup KKN gue emang unik, jarang ngumpul bareng tapi begitu ngumpul udah saling akrab. Ya mungkin grup KKN yang lainnya juga begini. Tapi, gue yakin grup KKN gue yang terbaik. #KKNGUEYANGTERBAIK
Sekitar jam sepuluh gue beres-beres netbook, alat tulis, dan juga keperluan listrik gue buat tempat KKN. Masalah baju, semuanya udah dipersiapkan sama Emil dengan baik. Yah... untung ruginya punya pasangan yang mau terlibat langsung ke kehidupan kita, mau enggak mau kita harus menerima dia mengatur hidup kita.
“Bawa gih kameranya.”
“Enggak, ah,” tolak gue. “Ntar kalo rusak malah repot.”
“Malah repot gimana? Ya kalo rusak tinggal diservis, kan?”
“Itu kan punya lo, Mil,” tolak gue merapikan barang bawaan. “Masa iya gue bawa-bawa.”
“Sok-sokan banget sih jadi cowok,” kata Emil mengalungkan tas kamera ke gue. “Mobil yang harganya lebih mahal aja tiap hari kamu pake aku percaya, masa iya kamera enggak?”
“Ya tapikan–”
“Bawa!” kata Emil membungkam mulut gue dengan telapak tangannya. “Kemarin aku beli itu juga waktu KKN buat kenang-kenangan. Sekarang kamu pake juga buat kenang-kenangan kamu.”
“Harus banget?” tanya gue melirik Emil. “Harus banget punya kenang-kenangan sewaktu KKN.”
“KKN itu cuma sekali,” kata Emil duduk di sofa. “Di S2 sama S3 nanti enggak ada yang seseru KKN S1, jadi kamu harus bikin kenangan yang lebih di KKN mu!”
“Bener juga,” ucap gue beranjak memposisikan tas kamera. “Makasih, ya?”
“Sama-sama,” jawab Emil tersenyum.
Selepas dzuhur, Emil mengantarkan gue ke rumah Yansa. Sambil terus memegangi jaket yang gue pake dia duduk manis di kursi navigator. Tiap gue deket sama dia, kelakuan dia makin lama makin manis kalo diperhatiin. Gue bener-bener bersyukur punya pasangan kayak dia. Kalo sampai kita kepisah, gue enggak kebayang gimana jadinya gue nanti. Gue udah terlalu bergantung sama dia. Meski terdengar cemen, tapi pada kenyataannya, gue pengin terus bergantung sama dia. Entahlah, makin lama terasa mellow.
Begitu sampai di depan rumah Yansa, gue mematikan mobil dan segera menekan bell rumahnya. Setelah beberapa kali bunyi bell, barulah terdengar suara Yansa berseru membukakan pagar.
“Lama bener lo, Bang,” kata Yansa mendorong pagar. “Mobilnya udah gue panasin tuh, daritadi si Echa ribut buru-buru minta dijemput lo enggak baca, ya?”
“Ya sorry,” ucap gue beralasan. “Ritual pelepasan orang berpasangan kan beda-beda.”
“Yaudah keluarin barang-barang lo.” Yansa menyampirkan jaketnya di pagar, “Biar gue bantuin.”
“Yang, bukain bagasi dong,” pinta gue ke Emil. “Biar dibantu sama Yansa.”
Emil keluar dari mobil bermaksud pindah ke kursi sopir. Setelah membuka pintu bagasi, dia menghampiri gue.
“Hati-hati bawanya.”
“Yan, lo bawa yang ini,” kata gue menengok ke arah Yansa.
Bukannya dia bantuin gue, dia malah ngelihatin Emil sampai enggak berkedip sekalipun.
“Bujug, ini anak malah bengong.”
Gue lepas sepatu gue, terus gue arahkan ke arah batangnya. Dengan kekuatan penuh, gue sambit itu batang. SLEPEET…!!
“AUUWHH…!” lenguh Yansa mengejang.
“Yan?!” panggil gue. “Y-Yan? Lo kenapa?!”
Dengan mata sayu dan nafas yang mendadak tersengal-sengal, dia menatap gue tajam.
“Lo pake pelet apaan, Bang?!”
‘Bang, jangan lupa nanti kita berangkat abis dzuhur,’ tulis Luther.
‘Gue enggak bisa bawa mobil lho bang, jangan sampai lo telat dateng atau harga diri laki-laki jatuh karena disetirin perempuan,’ tambah Yansa.
‘Hahaha, makanya belajar, Yan,’ sambung si Bull.
‘Eh! Gue ini udah belajar ya, tapi emang dasarnya ditakdirin punya sopir aja makanya enggak bakat!’
‘Gue baru tau kalo bawa mobil itu termasuk bakat,’ tulis gue.
‘BTW ini kenapa yang chat cowok semua?’ lanjut gue.
‘Oh, gue baru sadar, ternyata grup cewek dibikin beda, ya?’
‘Mau gue invite yang lain bang?’ tanya Yansa.
‘Ya, boleh. Yang lo punya aja kontaknya, enggak perlu repot-repot cari,’ tanggap gue
Melly Melvia joined.
Meisyarah Juwandi joined.
Dinda Khanistan joined.
Maya Septiani joined.
Enisha Putri Swastika joined.
Cassandra Jacqueline joined.
Vindi Vin Siregar joined.
‘Eeee gilak,’ tulis Luther.
‘Ini semuanya lo invite, Yan?’ tanya gue.
‘Itu Vindi Vin siapa lagi? Bukannya cewek di unit kita cuma enam?’ tambah si Bull.
‘Oh, iya,’ tanggap Yansa.
‘Mampus lo, salah invite orang,’ komentar Luther.
Yansa Yasna S remove Vindi Vin Siregar.
‘….,’ ketik si Bull.
‘Muke gile asal kick orang aja lo, Yan,’ tanggap Luhter.
‘Gapapa, ntar tinggal minta maaf kalo dia ngomel.’
‘Ini grup KKN?’ tulis Melly.
‘Iya, Bu. Bang Dawi yang minta,’ tanggap Luther.
‘Pfft…, udah tua kebanyakan gaya,’ tulis Cassie.
‘Makasih lho komentarnya, sangat berfaedah,’ tanggap gue.
‘Kembali.’
‘Abang! Jangan telat jemputnya! Gue males nunggu!’ tulis Meisyarah Juwandi.
‘Ah… Meisyarah yang mana, ya?’ tanya gue.
‘Itu Echa, kosannya deket gue, Bang,’ timpal Luther.
‘Oh… rada jauh ya dari Meisyarah jadi Echa,’ tulis gue lagi.
‘Itu si Enisha yang pinter nyanyi kemarin, panggilannya Sasha,’ lantjut Luther.
‘Percuma lo jelasin, orang tua mana bisa nangkep begituan,’ timpal Cassie lagi.
‘Makasih atas komentarnya.’
‘Kembali(2).’
Yah… kurang lebih seperti itu isi grup chat KKN yang baru dibuat sewaktu hari H mau berangkat ke desa KKN. Grup KKN gue emang unik, jarang ngumpul bareng tapi begitu ngumpul udah saling akrab. Ya mungkin grup KKN yang lainnya juga begini. Tapi, gue yakin grup KKN gue yang terbaik. #KKNGUEYANGTERBAIK
Sekitar jam sepuluh gue beres-beres netbook, alat tulis, dan juga keperluan listrik gue buat tempat KKN. Masalah baju, semuanya udah dipersiapkan sama Emil dengan baik. Yah... untung ruginya punya pasangan yang mau terlibat langsung ke kehidupan kita, mau enggak mau kita harus menerima dia mengatur hidup kita.
“Bawa gih kameranya.”
“Enggak, ah,” tolak gue. “Ntar kalo rusak malah repot.”
“Malah repot gimana? Ya kalo rusak tinggal diservis, kan?”
“Itu kan punya lo, Mil,” tolak gue merapikan barang bawaan. “Masa iya gue bawa-bawa.”
“Sok-sokan banget sih jadi cowok,” kata Emil mengalungkan tas kamera ke gue. “Mobil yang harganya lebih mahal aja tiap hari kamu pake aku percaya, masa iya kamera enggak?”
“Ya tapikan–”
“Bawa!” kata Emil membungkam mulut gue dengan telapak tangannya. “Kemarin aku beli itu juga waktu KKN buat kenang-kenangan. Sekarang kamu pake juga buat kenang-kenangan kamu.”
“Harus banget?” tanya gue melirik Emil. “Harus banget punya kenang-kenangan sewaktu KKN.”
“KKN itu cuma sekali,” kata Emil duduk di sofa. “Di S2 sama S3 nanti enggak ada yang seseru KKN S1, jadi kamu harus bikin kenangan yang lebih di KKN mu!”
“Bener juga,” ucap gue beranjak memposisikan tas kamera. “Makasih, ya?”
“Sama-sama,” jawab Emil tersenyum.
Selepas dzuhur, Emil mengantarkan gue ke rumah Yansa. Sambil terus memegangi jaket yang gue pake dia duduk manis di kursi navigator. Tiap gue deket sama dia, kelakuan dia makin lama makin manis kalo diperhatiin. Gue bener-bener bersyukur punya pasangan kayak dia. Kalo sampai kita kepisah, gue enggak kebayang gimana jadinya gue nanti. Gue udah terlalu bergantung sama dia. Meski terdengar cemen, tapi pada kenyataannya, gue pengin terus bergantung sama dia. Entahlah, makin lama terasa mellow.
Begitu sampai di depan rumah Yansa, gue mematikan mobil dan segera menekan bell rumahnya. Setelah beberapa kali bunyi bell, barulah terdengar suara Yansa berseru membukakan pagar.
“Lama bener lo, Bang,” kata Yansa mendorong pagar. “Mobilnya udah gue panasin tuh, daritadi si Echa ribut buru-buru minta dijemput lo enggak baca, ya?”
“Ya sorry,” ucap gue beralasan. “Ritual pelepasan orang berpasangan kan beda-beda.”
“Yaudah keluarin barang-barang lo.” Yansa menyampirkan jaketnya di pagar, “Biar gue bantuin.”
“Yang, bukain bagasi dong,” pinta gue ke Emil. “Biar dibantu sama Yansa.”
Emil keluar dari mobil bermaksud pindah ke kursi sopir. Setelah membuka pintu bagasi, dia menghampiri gue.
“Hati-hati bawanya.”
“Yan, lo bawa yang ini,” kata gue menengok ke arah Yansa.
Bukannya dia bantuin gue, dia malah ngelihatin Emil sampai enggak berkedip sekalipun.
“Bujug, ini anak malah bengong.”
Gue lepas sepatu gue, terus gue arahkan ke arah batangnya. Dengan kekuatan penuh, gue sambit itu batang. SLEPEET…!!
“AUUWHH…!” lenguh Yansa mengejang.
“Yan?!” panggil gue. “Y-Yan? Lo kenapa?!”
Dengan mata sayu dan nafas yang mendadak tersengal-sengal, dia menatap gue tajam.
“Lo pake pelet apaan, Bang?!”
JabLai cOY dan 2 lainnya memberi reputasi
3
