- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#76
PART 14
“Serius lo?” tanya gue memastikan. “Berarti enggak cuma kita berdua doang yang lihat ibu-ibu tua itu?”
“Nenek Wi,” keluh Melly. “Itu tuh nenek-nenek, bukan ibu-ibu tua.”
“Iya…. Tapi itu beneran, kan?” tanya gue memastikan untuk yang kesekian kalinya. “Si Maya ngomong sendiri?”
“Ya… semacam itulah,” ucap Melly berubah ragu.
“Kok semacam itu? Tadi katanya lo yakin, gimana, sih?
“Ya dia bilang kerasa berat gitu, katanya dia habis ditindih. Siapa lagi yang nindih kalo bukan nenek itu, coba?”
Setelah bertukar informasi dengan Melly, kita berdua balik ke rumah unit. Pagi hingga siang itu semuanya normal, bener-bener enggak ada kejadian apa-apa. Meski gue sudah menghabiskan energi gue buat selalu waspada padahal enggak ada apa-apa, gue enggak menyesal. Yah… seengaknya kalo kecapekan nanti malam bisa tidur cepat.
Mengenai gue mantengin dadanya Cassie, dia biasa aja. Walaupun Luther menyebarkan kabar itu ke telinga anak-anak hingga menyebabkan Maya dan Sasha waspada sama gue, tapi Cassie tetap biasa aja. Mungkin dia emang udah biasa digituin sama cowok lain, tapi, mungkin juga enggak.
“Enggak besok pagi aja?” tanya suara si Bull dari depan pintu rumah.
“Kita butuhnya sekarang Bull,” desak Yansa. “Lo pada betah apa tanpa listrik?”
“Apa sih ribut-ribut?” tanya Melly setengah berseru dari belakang gue. “Kenapa?”
“Si Yansa ngajakin balik ke kota buat cari colokan listrik, Mel,” jelas Bull. “Gue bilang sih besok pagi aja biar baliknya enggak kemaleman.”
“Kalo nunggu besok pagi enggak efisien dong,” kata Yansa. “Masa iya malem ini tanpa listrik? Berarti kita enggak ngapa-ngapain dong, orang laptopnya enggak barang kita sebagian besar butuh listrik semua.”
Desa ini sudah menggunakan listrik, mungkin lebih tepatnya sebagian dialiri listrik. Ya, listrik masuk ke rumah warga tetapi tidak semuanya. Dengan statement tidak semuanya itu, berarti tidak juga pada rumah yang unit gue tempati. Pada dasarnya bangunan yang kita tempati ini cuma tempat penyimpanan yang enggak butuh listrik.
“Gue cuma mau beli colokan listrik yang panjang, nanti kan bisa disambungkin ke rumah warga,” jelas Yansa. “Halah, paling Indomaret juga punya.”
“Kenapa enggak ke rumah warga aja sih kalo butuh listrik?” tanya gue menghampiri pintu depan. “Bukannya itu lebih efisien, ya?”
“Ya enggak enaklah, Bang,” protes Yansa. “Masa iya selama tiga puluh hari kita ke rumah warga terus? Mana sopan.”
“Iya juga, sih.” Melly melihat jam di tangannya, “Baru jam tiga, kayaknya keburu kalo cuma Indomaret.”
“Ya, kan?” ucap Yansa beres-beres. “Buruan gih Bull.”
“Tunggu, kita data aja sekalian butuhnya apa biar enggak bolak-balik ke kota,” terang Melly. Sekalian siapa aja yang butuh ke kota bareng aja.”
Dari pendataan yang kurang lebih memakan waktu setengah jam itu, akhirnya diputuskan untuk membeli beberapa tabung gas, kabel listrik, dan juga lampu dengan dudukan. Gue berangkat bareng Yansa, Sasha, Dinda dan Cassie. Gimana sama Bull? Dia beralasan capek dan malas nyetir mobil.
Itu penyebab yang sebenarnya? Gue rasa enggak. Gue rasa dia masih trauma sama kejadian kemarin.
“Ini harus banget ya kalian bertiga ikut?” tanya gue.
“Bukannya abang seneng kalo gue ikut?” ucap Cassie ketus. “Semobil lagi, bisa lebih jelas kalo mantengin dada.”
Gue enggak menjawab perkataan Cassie. Biarin dia salah paham, asal kejadian kemarin dianggap kejadian biasa sama mereka, gue rasa itu udah cukup.
“Gue ngedudukin apaan, ya?” kata Dinda memeriksa bawahnya. “Lhoh, ini walkie talkienya kebawa.”
“Itu punya siapa sih, Din? Keren juga punya begituan,” tanya gue mencairkan suasana. “Berapa meter ya jarak maksimalnya?”
“Kayaknya punya Maya deh,” jawab Dinda berasumsi. “Dia kan anak gunung gitu.”
“Anak gunung lagi,” canda Yansa. “Lo pikir dia bukit?”
“Kan emang dia bukit,” kata Cassie menyindir gue. “Punya dua bukit, kalo enggak percaya tanya aja sama bang Dawi, Yan.”
“Y-ya…,” gue lirik ke kaca tengah memeriksa Cassie. “Enggak gitu juga, sih.”
“Udah pada diem,” kata Dinda menengahi. “Gue mau cek.”
Inget jalan di tengah sawah kemarin? Dinda mencoba menyalakan walkie talkie di sana dan ternyata masih tersambung sampai ke dalam desa. Terdengar suara Melly di seberang dengan jelas. Karena suara dia terdengar sepanjang jalan, jadilah suara di mobil makin meriah.
Memasuki perbatasan kota Boyolali, suara Melly mulai terputus. Awalnya masih terdengar lirih, hingga akhirnya benar-benar hilang. Dari cari agen tabung gas, kita langsung mencari toko material. Yansa bilang, “Mending cari colokan listrik di toko material, Bang. Biar awet kita cari yang water resistance sekalian, siapa tau nanti hujan, kan?”
“Yaudah, ambil aja yang water resistance,” kata gue. “Sekalian yang tiga puluh meter kalo ada.”
“Ya mana ada, Bang,” jelas Yansa. “Paling kita beli lima terus disambung-sambung biar sampe rumah warga.”
“Yaudah,” kata gue mengeluarkan dompet. “Berapa duit kalo lima?”
Colokan listrik water resistance sepanjang tiga puluh meter itu mahalnya minta ampun. Ini semisal colokannya kebakar, kayaknya gue bakal ikutan bakar si Yansa.
“Ini nanti bilang Melly lho, ya?” kata gue tanpa ragu. “Colokan listriknya mahal, harus patungan.”
Setelah sempat berhenti sebentar di mushola pom bensin terakhir, akhirnya kita melanjutkan perjalanan. Tepat jam enam sore, kita sampai di perbatasan ke daerah KKN. Suara Melly kembali terdengar di walkie talkie.
“Mell, ini udah perjalanan balik,” jelas gue. “Colokan listriknya patungan kan ini?”
“Berapa emang harganya?” tanya suara Melly terputus-putus. “Kalo semisal bisa dibagi rata ya nanti kita bagi rata bayarnya.”
“Lima ratus ribu, Mell.”
“Kayaknya enggak bakalan bisa rata deh, Wi.”
“Enggak bisa dibagai rata gimana?!”ucap gue setengah teriak. “Gue paham kalo matematika lo jelek, tapi enggak gitu-gitu juga kali!”
Ketika melewati jalan tengah sawah yang merupakan akses satu-satunya ke arah desa, rasa was-was kembali menyelimuti benak gue. Tanpa melakukan hal-hal yang mencurigakan, mata gue sesekali memperhatikan jam mobil. Dengan sangat hati-hati, gue membagi konsentrasi ke jalan dan ke jam mobil. Awalnya semua berjalan baik, hingga suatu saat, Sasha memanggil gue.
“Bang, lihat jamnya, deh,” ucap Sasha lirih. “Kayaknya kejadian lagi.”
“Serius lo?” tanya gue memastikan. “Berarti enggak cuma kita berdua doang yang lihat ibu-ibu tua itu?”
“Nenek Wi,” keluh Melly. “Itu tuh nenek-nenek, bukan ibu-ibu tua.”
“Iya…. Tapi itu beneran, kan?” tanya gue memastikan untuk yang kesekian kalinya. “Si Maya ngomong sendiri?”
“Ya… semacam itulah,” ucap Melly berubah ragu.
“Kok semacam itu? Tadi katanya lo yakin, gimana, sih?
“Ya dia bilang kerasa berat gitu, katanya dia habis ditindih. Siapa lagi yang nindih kalo bukan nenek itu, coba?”
Setelah bertukar informasi dengan Melly, kita berdua balik ke rumah unit. Pagi hingga siang itu semuanya normal, bener-bener enggak ada kejadian apa-apa. Meski gue sudah menghabiskan energi gue buat selalu waspada padahal enggak ada apa-apa, gue enggak menyesal. Yah… seengaknya kalo kecapekan nanti malam bisa tidur cepat.
Mengenai gue mantengin dadanya Cassie, dia biasa aja. Walaupun Luther menyebarkan kabar itu ke telinga anak-anak hingga menyebabkan Maya dan Sasha waspada sama gue, tapi Cassie tetap biasa aja. Mungkin dia emang udah biasa digituin sama cowok lain, tapi, mungkin juga enggak.
“Enggak besok pagi aja?” tanya suara si Bull dari depan pintu rumah.
“Kita butuhnya sekarang Bull,” desak Yansa. “Lo pada betah apa tanpa listrik?”
“Apa sih ribut-ribut?” tanya Melly setengah berseru dari belakang gue. “Kenapa?”
“Si Yansa ngajakin balik ke kota buat cari colokan listrik, Mel,” jelas Bull. “Gue bilang sih besok pagi aja biar baliknya enggak kemaleman.”
“Kalo nunggu besok pagi enggak efisien dong,” kata Yansa. “Masa iya malem ini tanpa listrik? Berarti kita enggak ngapa-ngapain dong, orang laptopnya enggak barang kita sebagian besar butuh listrik semua.”
Desa ini sudah menggunakan listrik, mungkin lebih tepatnya sebagian dialiri listrik. Ya, listrik masuk ke rumah warga tetapi tidak semuanya. Dengan statement tidak semuanya itu, berarti tidak juga pada rumah yang unit gue tempati. Pada dasarnya bangunan yang kita tempati ini cuma tempat penyimpanan yang enggak butuh listrik.
“Gue cuma mau beli colokan listrik yang panjang, nanti kan bisa disambungkin ke rumah warga,” jelas Yansa. “Halah, paling Indomaret juga punya.”
“Kenapa enggak ke rumah warga aja sih kalo butuh listrik?” tanya gue menghampiri pintu depan. “Bukannya itu lebih efisien, ya?”
“Ya enggak enaklah, Bang,” protes Yansa. “Masa iya selama tiga puluh hari kita ke rumah warga terus? Mana sopan.”
“Iya juga, sih.” Melly melihat jam di tangannya, “Baru jam tiga, kayaknya keburu kalo cuma Indomaret.”
“Ya, kan?” ucap Yansa beres-beres. “Buruan gih Bull.”
“Tunggu, kita data aja sekalian butuhnya apa biar enggak bolak-balik ke kota,” terang Melly. Sekalian siapa aja yang butuh ke kota bareng aja.”
Dari pendataan yang kurang lebih memakan waktu setengah jam itu, akhirnya diputuskan untuk membeli beberapa tabung gas, kabel listrik, dan juga lampu dengan dudukan. Gue berangkat bareng Yansa, Sasha, Dinda dan Cassie. Gimana sama Bull? Dia beralasan capek dan malas nyetir mobil.
Itu penyebab yang sebenarnya? Gue rasa enggak. Gue rasa dia masih trauma sama kejadian kemarin.
“Ini harus banget ya kalian bertiga ikut?” tanya gue.
“Bukannya abang seneng kalo gue ikut?” ucap Cassie ketus. “Semobil lagi, bisa lebih jelas kalo mantengin dada.”
Gue enggak menjawab perkataan Cassie. Biarin dia salah paham, asal kejadian kemarin dianggap kejadian biasa sama mereka, gue rasa itu udah cukup.
“Gue ngedudukin apaan, ya?” kata Dinda memeriksa bawahnya. “Lhoh, ini walkie talkienya kebawa.”
“Itu punya siapa sih, Din? Keren juga punya begituan,” tanya gue mencairkan suasana. “Berapa meter ya jarak maksimalnya?”
“Kayaknya punya Maya deh,” jawab Dinda berasumsi. “Dia kan anak gunung gitu.”
“Anak gunung lagi,” canda Yansa. “Lo pikir dia bukit?”
“Kan emang dia bukit,” kata Cassie menyindir gue. “Punya dua bukit, kalo enggak percaya tanya aja sama bang Dawi, Yan.”
“Y-ya…,” gue lirik ke kaca tengah memeriksa Cassie. “Enggak gitu juga, sih.”
“Udah pada diem,” kata Dinda menengahi. “Gue mau cek.”
Inget jalan di tengah sawah kemarin? Dinda mencoba menyalakan walkie talkie di sana dan ternyata masih tersambung sampai ke dalam desa. Terdengar suara Melly di seberang dengan jelas. Karena suara dia terdengar sepanjang jalan, jadilah suara di mobil makin meriah.
Memasuki perbatasan kota Boyolali, suara Melly mulai terputus. Awalnya masih terdengar lirih, hingga akhirnya benar-benar hilang. Dari cari agen tabung gas, kita langsung mencari toko material. Yansa bilang, “Mending cari colokan listrik di toko material, Bang. Biar awet kita cari yang water resistance sekalian, siapa tau nanti hujan, kan?”
“Yaudah, ambil aja yang water resistance,” kata gue. “Sekalian yang tiga puluh meter kalo ada.”
“Ya mana ada, Bang,” jelas Yansa. “Paling kita beli lima terus disambung-sambung biar sampe rumah warga.”
“Yaudah,” kata gue mengeluarkan dompet. “Berapa duit kalo lima?”
Colokan listrik water resistance sepanjang tiga puluh meter itu mahalnya minta ampun. Ini semisal colokannya kebakar, kayaknya gue bakal ikutan bakar si Yansa.
“Ini nanti bilang Melly lho, ya?” kata gue tanpa ragu. “Colokan listriknya mahal, harus patungan.”
Setelah sempat berhenti sebentar di mushola pom bensin terakhir, akhirnya kita melanjutkan perjalanan. Tepat jam enam sore, kita sampai di perbatasan ke daerah KKN. Suara Melly kembali terdengar di walkie talkie.
“Mell, ini udah perjalanan balik,” jelas gue. “Colokan listriknya patungan kan ini?”
“Berapa emang harganya?” tanya suara Melly terputus-putus. “Kalo semisal bisa dibagi rata ya nanti kita bagi rata bayarnya.”
“Lima ratus ribu, Mell.”
“Kayaknya enggak bakalan bisa rata deh, Wi.”
“Enggak bisa dibagai rata gimana?!”ucap gue setengah teriak. “Gue paham kalo matematika lo jelek, tapi enggak gitu-gitu juga kali!”
Ketika melewati jalan tengah sawah yang merupakan akses satu-satunya ke arah desa, rasa was-was kembali menyelimuti benak gue. Tanpa melakukan hal-hal yang mencurigakan, mata gue sesekali memperhatikan jam mobil. Dengan sangat hati-hati, gue membagi konsentrasi ke jalan dan ke jam mobil. Awalnya semua berjalan baik, hingga suatu saat, Sasha memanggil gue.
“Bang, lihat jamnya, deh,” ucap Sasha lirih. “Kayaknya kejadian lagi.”
END OF CHAPTER TWO
JabLai cOY dan 2 lainnya memberi reputasi
3
