- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#61
PART 9
“Bang?” panggil suara Melly. “Abang?”
“I-iya, Mell?”
“Kayaknya mending kita pulang ke kotanya aja, deh,” lanjut suara Melly. “Besok pagi sekitar jam delapan kita berangkat lagi.”
“Masalahnya kita enggak tau ini jam berapa, Mell,” jelas gue. “Kita tadi berangkat dzuhur tapi belum juga sampai tempatnya. Apa lo yakin kalo kita balik sekarang besok pagi bisa berangkat lagi?”
Enggak terdengar suara sama sekali dari walkie talkie di mobil seberang. Gue anggap itu normal, mungkin lagi diskusi atau yang lainnya.
“Gimana kalo kita balik terus cari rumah warga aja?” usul Echa. “Kalo rumah warga harusnya enggak jauh-jauh banget dong?”
“Mell?” panggil gue lewat walkie talkie. “Lo denger sendiri kan usulnya Echa.”
“Bang,” panggil si Bull. “Lo sadar enggak sih kalo jalan yang kita lewatin ini cuma bisa dilewatin satu mobil?”
Entah gue yang udah kecapean bawa mobil dari Jogja atau gimana, gue baru sadar sama perkataannya si Bull.
“Ya terus kenapa?” tanya Dinda tiba-tiba. “Kan iring-iringan kayak tadi juga tetep muat.”
“Bukan itu, Din,” kata gue coba menjelaskan. “Itu berarti kita enggak bisa balik.”
“Enggak bisa balik gimana?” tanya Dinda mulai panik. “Jangan bercanda deh, Bang! Males kalo udah dikait-kaitin sama mistis!”
“Bukan mistis bego,” ucap Yansa sembari mengotak-atik hapenya. “Maksudnya kita enggak balik tuh gara-gara kita enggak bisa putar arah. Mau enggak mau ya jalan mundur.”
“Mell mending kita istirahat di sini dulu aja gimana?” usul gue. “Nunggu subuh atau paling enggak terangan dikit.”
“Gue setuju sama bang Dawi,” tanggap suara Cassie. “Kasihan juga si Bull sama dia bawa mobil dari siang.”
“Yaudah,” ucap suara Melly mengamini. “Malam ini kita istirahat di sini. Tapi nanti kalo ada orang lewat saling bangunin, siapa tau dia bisa antar kita. Batre walkie talkie kayaknya udah mulai lemah, daripada nanti kita butuh malah enggak ada jadi sebaiknya dimatiin aja. Kalo ada apa-apa langsung aja kasih tanda pake lampu hape ditempel kaca.”
“Siap, Bu,” setuju Yansa.
“Jamnya masih belum berubah, ya?” tanya Melly lirih.
Gue periksa jam di mobil sekilas, “Belum.”
“Yaudah anggap aja alat-alat elektronik kita lagi error,” kata Melly. “Matiin sekarang, selamat beristirahat.”
Walkie talkie dimatiin Yansa dan kita semua berusaha buat tidur.
Gue bisa tidur? Enggak. Setelah apa yang baru saja gue alami, gue bener-bener enggak bisa tidur. Ibu-ibu tua yang kelihatan di mata tapi enggak ada, jam yang menunjukkan angka triple enam dan juga langit yang sampai maghrib belum gelap tapi setelahnya mendadak gelap tanpa kita sadari.
Tunggu, tanpa kita sadari?
“Yan,” panggil gue menyenggol Yansa. “Yansa.”
“Apa sih, Bang?” tanggap dia. “Gue ngantuk nih, biarin gue tidur, kek.”
“Lo sadar enggak kapan langitnya mendadak berubah gelap?”
“Ya sadarlah,” jawab Yansa malas. “Waktu lo kasih tau kita kalo jamnya rusak, kan?”
Waktu jamnya rusak? Kok ada yang aneh, ya? Tapi apa? Kok gue sama sekali enggak kepikiran apa-apa? Gue segera menyalakan walkie talkie bermaksud memberitahu Melly tentang kecurigaan gue. Tapi begitu gue nyalakan, barulah gue ingat kalo dia mobil belakang mematikan walkie talkie mereka.
“Din,” gue senggol Dinda. “Din tolong tempelin lampu ke kaca belakang dong. Gue perlu ngomong sama Melly.”
Gue senggol Echa, begitu juga Sasha. Tapi nihil, anak-anak udah beneran pada tidur. Tapi karena gue pada dasarnya bener-bener kepikiran ada yang aneh dan enggak bisa tenang kalo belum nemu tepatnya dimana, gue langsung berpikir keras bagaimana caranya menghubungi mobil belakang tanpa cahaya hape.
Dapet ide? Iya. Brilian? Gue rasa kurang. Entah gue yang terlalu berani apa bodoh, tanpa ragu gue buka pintu mobil dan berjalan menghampiri mereka.
Gue ketok kaca mobil si Bull, berkali-kali gue ketok tapi enggak ada respon sama sekali. Sewaktu gue arahkan lampu hape ke dalam mobil, gue dikagetkan oleh nenek-nenek di kursi tengah. Tepat dipangkuan Maya dia duduk, tanpa ada rasa segan, dia tersenyum ke arah gue.
“Bang?” panggil suara Melly. “Abang?”
“I-iya, Mell?”
“Kayaknya mending kita pulang ke kotanya aja, deh,” lanjut suara Melly. “Besok pagi sekitar jam delapan kita berangkat lagi.”
“Masalahnya kita enggak tau ini jam berapa, Mell,” jelas gue. “Kita tadi berangkat dzuhur tapi belum juga sampai tempatnya. Apa lo yakin kalo kita balik sekarang besok pagi bisa berangkat lagi?”
Enggak terdengar suara sama sekali dari walkie talkie di mobil seberang. Gue anggap itu normal, mungkin lagi diskusi atau yang lainnya.
“Gimana kalo kita balik terus cari rumah warga aja?” usul Echa. “Kalo rumah warga harusnya enggak jauh-jauh banget dong?”
“Mell?” panggil gue lewat walkie talkie. “Lo denger sendiri kan usulnya Echa.”
“Bang,” panggil si Bull. “Lo sadar enggak sih kalo jalan yang kita lewatin ini cuma bisa dilewatin satu mobil?”
Entah gue yang udah kecapean bawa mobil dari Jogja atau gimana, gue baru sadar sama perkataannya si Bull.
“Ya terus kenapa?” tanya Dinda tiba-tiba. “Kan iring-iringan kayak tadi juga tetep muat.”
“Bukan itu, Din,” kata gue coba menjelaskan. “Itu berarti kita enggak bisa balik.”
“Enggak bisa balik gimana?” tanya Dinda mulai panik. “Jangan bercanda deh, Bang! Males kalo udah dikait-kaitin sama mistis!”
“Bukan mistis bego,” ucap Yansa sembari mengotak-atik hapenya. “Maksudnya kita enggak balik tuh gara-gara kita enggak bisa putar arah. Mau enggak mau ya jalan mundur.”
“Mell mending kita istirahat di sini dulu aja gimana?” usul gue. “Nunggu subuh atau paling enggak terangan dikit.”
“Gue setuju sama bang Dawi,” tanggap suara Cassie. “Kasihan juga si Bull sama dia bawa mobil dari siang.”
“Yaudah,” ucap suara Melly mengamini. “Malam ini kita istirahat di sini. Tapi nanti kalo ada orang lewat saling bangunin, siapa tau dia bisa antar kita. Batre walkie talkie kayaknya udah mulai lemah, daripada nanti kita butuh malah enggak ada jadi sebaiknya dimatiin aja. Kalo ada apa-apa langsung aja kasih tanda pake lampu hape ditempel kaca.”
“Siap, Bu,” setuju Yansa.
“Jamnya masih belum berubah, ya?” tanya Melly lirih.
Gue periksa jam di mobil sekilas, “Belum.”
“Yaudah anggap aja alat-alat elektronik kita lagi error,” kata Melly. “Matiin sekarang, selamat beristirahat.”
Walkie talkie dimatiin Yansa dan kita semua berusaha buat tidur.
Gue bisa tidur? Enggak. Setelah apa yang baru saja gue alami, gue bener-bener enggak bisa tidur. Ibu-ibu tua yang kelihatan di mata tapi enggak ada, jam yang menunjukkan angka triple enam dan juga langit yang sampai maghrib belum gelap tapi setelahnya mendadak gelap tanpa kita sadari.
Tunggu, tanpa kita sadari?
“Yan,” panggil gue menyenggol Yansa. “Yansa.”
“Apa sih, Bang?” tanggap dia. “Gue ngantuk nih, biarin gue tidur, kek.”
“Lo sadar enggak kapan langitnya mendadak berubah gelap?”
“Ya sadarlah,” jawab Yansa malas. “Waktu lo kasih tau kita kalo jamnya rusak, kan?”
Waktu jamnya rusak? Kok ada yang aneh, ya? Tapi apa? Kok gue sama sekali enggak kepikiran apa-apa? Gue segera menyalakan walkie talkie bermaksud memberitahu Melly tentang kecurigaan gue. Tapi begitu gue nyalakan, barulah gue ingat kalo dia mobil belakang mematikan walkie talkie mereka.
“Din,” gue senggol Dinda. “Din tolong tempelin lampu ke kaca belakang dong. Gue perlu ngomong sama Melly.”
Gue senggol Echa, begitu juga Sasha. Tapi nihil, anak-anak udah beneran pada tidur. Tapi karena gue pada dasarnya bener-bener kepikiran ada yang aneh dan enggak bisa tenang kalo belum nemu tepatnya dimana, gue langsung berpikir keras bagaimana caranya menghubungi mobil belakang tanpa cahaya hape.
Dapet ide? Iya. Brilian? Gue rasa kurang. Entah gue yang terlalu berani apa bodoh, tanpa ragu gue buka pintu mobil dan berjalan menghampiri mereka.
Gue ketok kaca mobil si Bull, berkali-kali gue ketok tapi enggak ada respon sama sekali. Sewaktu gue arahkan lampu hape ke dalam mobil, gue dikagetkan oleh nenek-nenek di kursi tengah. Tepat dipangkuan Maya dia duduk, tanpa ada rasa segan, dia tersenyum ke arah gue.
JabLai cOY dan 2 lainnya memberi reputasi
3
