tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
Titik Irasional dalam Rasionalitas. (Horror, Keluarga, True Story)


Halo agan-agan penghuni Kaskus, kususnya SFTH. Perkenalkan nama saya Tyo Kartiko (nama samaran tentunya hehehe). Selama ini saya hanya menjadi penikmat, alias silent reader dari SFTH, tp kali ini izinkan saya berbagi sepenggal kisah hidup yang semoga menarik buat disimak. Sebelumnya mohon maaf jika tulisannya agak berantakan, karena saya juga baruu belajar nulis hehehee.

Kisah yang saya alami ini terjadi berkisar tahun 1998, 2004, hingga 2006 ketika saya masih kelas 1 SMA. Sekarang saya sudah lulus kuliah dan bekerja btw. Cerita ini saya jamin 99% real, true story, kisah nyata karena saya alami sendiri. 1%-nya lagi bumbu2 jika saya lupa detail ceritanya hehehe..

Ohya, untuk updatenya saya usahkan bisa tiap hari gan... Tp dgn catatan tdk sedang lembur kerja yahh hehehehe. Doakan saja tetap istiqomah. Tapi saya janji bakal saya selesaikan cerita ini.

INDEX

Spoiler for INDEX:


Kalo tidak keberatan rate, share, komen dan cendolnya yah gan, biar tambah semangat nulisnya hehehee, makasih banyak... emoticon-Shakehand2

... Selamat Membaca ....
Diubah oleh tyo.kartiko 02-12-2017 15:41
eL89
ableh80
meqiba
meqiba dan 7 lainnya memberi reputasi
8
46.2K
186
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
#94
Chapter 7 : Pak Samsudin Sang Paranormal
Setelah Ibu kembali jatuh sakit, keluarga kami menyimpulkan bahwa pemindahan ke kambing bersama Abah Kiai telah gagal. Apa lagi dari telfon terakhir ayah ke Abah Kiai, terdengar Abah Kiai sedikit pesimis.

Ayah kembali mencari alternatif penyembuhan lain. Pakdhe Prasojo (kakak dari ayah) menawarankan kenalannya, Pak Samsyudin, seorang paranormal yang juga bisa menyembuhkan berbagai penyakit dengan “ilmu”nya.

Malam itu, Pakdhe Prasojo datang bersama dengan Pak Samsyudin untuk melihat kondisi Ibu. Terlihat sekilas dari penampilan, Pak Samsyudin ini sama sekali tak seperti Kiai ataupun Ustadz. Dia mengenakan blankon cokelat tua, jas hitam, dan sarung hitam. Ketika dia masuk rumah kami, langsung tercium aroma kemenyan yang sangat menusuk hidung. Jujur, saya seperti skeptis terhadap Pak Samsyudin.

Setelah Pak Smasyudin ngobrol sebentar dengan Ayah, ia langsung masuk ke kamar Ibu untuk melihat kondisinya. Ibu di malam itu terlihat sangat kesakitan. Beliau mengeluhkan tulang belakangnya, yang sangat terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pisau.

Pak Samsyudin saat itu hanya tersenyum dan memegang jempol kaki Ibu. Ia seperti merapalkan semacam mantera yang entah dalam bahasa apa karena terdengar sangat lirih.

Beberapa menit setelah itu, Pak Samsyudin keluar dari kamar Ibu dan menuju mobilnya. Ia terlihat seperti mencari-cari sesuatu di mobil.

“Ini pak, ini coba dicampur air putih dan diminumkan ke Ibu”, Pak Samsyudin memberikan sebungkus bubuk putih yang diwadahi kertas kecil (seperti obat yang digerus untuk anak kecil) kepada Ayah.

“Apa ini pak?” Tanya Ayah dengan penasaran.

“Semoga ini bisa sedikit meredakan sakit ibu, ini untuk menangkal serangan2 ghaib itu terjadi lagi pak. Karena Proses pengeluaran ‘barang’ yang sudah dimasukan ke Ibu ini akan memakan waktu, jadi ibu setidaknya bisa berkurang rasa sakitnya jika meminum ini” Terang Pak Samsyudin.

“B.baaik pak” Balas Ayah. Ayah kemudian mencampurkan bubuk putih tadi ke segelas kecil air putih dan meminumkannya ke Ibu.

Secara ajaib, Ibu langsung tak merasa sakit lagi, meski tetap tidak bisa berjalan dan hanya terbaring di tempat tidur, tapi setidaknya Ibu jadi bisa istirahat. Padahal sebelumnya kami juga memberi ibu berbagai macam obat pereda nyeri dari dosis kacangan, hingga dosis yg lumayan tinggi, tapi tak memberi efek apapun. Sekarang, setelah minum bubuk putih dari Pak Samsyudin ibu langsung bisa istirahat.

“Oke pak, sepertinya Ibu sudah bisa istirahat. Sekarang kita akan mulai proses pembersihan. Tapi sebelum itu saya butuh barang2 ini pak.” Pak Samyudin menyerahkan catatatan daftar berbagai macam barang yang harus kita beli sebelum prosesi/ritual pembersihan dimulai.

Saya lupa detail barang apa aja yang harus dibeli, beberapa yang saya inget adalah Dupa, Kemenyan, Kembang Sekar, Kembang Kanthil dan sebuah kendhi kecil. (tempat minum dari tanah liat)

Ayah menyerahkan daftar itu kepada saya untuk membelinya di Pasar Besar kota kami. Sekitar jam 9 malam tentu agak susah mencari barang-barang tersebut. Mbak Nana, menemani saya untuk mencari barang-barang tersebut, karena memang saya sendiri juga kurang paham dimana harus membeli barang-barang macam itu.

Selang 30 menit setelah saya balik ke rumah dengan membawa barang-barang tersebut, prosesi / ritual pembersihan pun dimulai.

“Jadi Pak, ini Ibu mesti kita pindah dahulu dari kamar ini. Nanti Saya, Pak Prasojo, Pak Kartiko dan Mas Tyo yang akan masuk ke kamar untuk melaukan prosesi pembersihan. Mbak Nana dan Dik Adit jagain ibu yahh..” Terang Pak Samsyudin.

Kami akhirnya menggendong Ibu, untuk sementara pindah ke Kamar Tamu. Tempat tidur di kamar Ibu juga kami keluarkan.

Jadi di kamar itu ada saya, Ayah, Pak Samsyudin dan Pakdhe Prasojo. Kita berempat duduk bersila melingkar saling berhadapan. Kemenyan dan dupa dibakar lalu diletakan di tengah2 tempat kami duduk. Sebelumnya Pak Samsyudin juga telah menebar kembang sekar ke seluruh sudut kamar.

Pak Samsyudin lalu menutup pintu kamar dan berpesan kepada Mbak Nana yang berada diluar “Mbak apapun yang kamu dengar dari dalam kamar, jangan pernah kamu buka pintu kamar ini yaah”.

“Pak Prasojo, Pak Kartiko, Mas Tyo, nanti apapun yang anda lihat, yang anda dengar, yang anda rasakan, jangan beranjak dari tempat duduk yahh. Jangan berdiri, jangan berteriak, tetap duduk ditempat yah. Njenengan baca-baca doa apapun semampu-mampungnya yah” Terang Pak Samsyudin. Kami hanya duduk kebingungan dan penasaran sebenernya mau apa orang ini.

Jujur, saat itu saya seperti ingin menertawai diri sendiri, apa yang sedanga saya lakukan ini. Bagaimana kami bisa masuk kedunia yang serba tak masuk akal seperti ini. Meski begitu apapun tetap kami lakukan demi kesembuhan Ibu.

Pak Samsyudin lalu mematikan lampu, dan kembali membaca berbagai mantra-mantra yang terdengar sangat aneh. Udara sangat pengap ditambah bau dan asap kemenyan dan dupa membuat kamar Ibu menjadi sangat amat tidak nyaman. Bau kemenyan yang menusuk hidung membuat kami sedikit sudah tuk bernafas. Mata saya juga terasa sangat pedas karena terkena asap dari dupa.

Kami mulai semakin berkeringat, ayah tak henti-hentinya mengusap keringat dari dahinya. Pakdhe Prasojo juga terus menerus batuk2 kecil. Pak Samsyudin masih merapalkan berbagaimacam mantera yang terdengar semakin keras dan semakin cepat.

Rasanya pusing sekali terus menerus menghisap asap dari kemenyan dan dupa. Sesekali terlihat Pak Samsyudin menebarkan sesuatu di atas kemenyan yang membuat asapnya langsung keluar banyak sekali. Rasa pusing dan sesak nafas sungguh membuatku tak tahan lagi, ingin segera aku keluar dari kamar.

Seiring Pak Samsyudin semakin cepat membaca mantra-mantranya, tiba-tiba udara dikamar semakin dingin dan semakin sejuk. Saya akhirnya bisa bernafas dengan sedikit lega, padahal kemenyan dan dupa masih hidup dan mengeluarkan asap. Pintu dan jendela kamar juga masih terkunci rapat. Entahlah apa yang sedang terjadi, yang penting sudah tidak lagi pengap, pikirku saat itu.

Tapi udara yang semakin dingin ini justru membuat bulu kudu kami berdiri. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa merinding. Ruang kamar yang tadinya tak begitu gelap meski lampu sudah dimatikan tiba-tiba menjadi semakin gelap dan semakin pekat. Suara Pak Samsyudin pun juga terdengar semakin lirih dan semakin menjauuh. Bara api kemenyan dan dupa yg berada didepan kami juga lama kelamaan memudar dan seperti terutup kegelapan. Tapi saya yakin dupa itu masih hidup karena sedikit-sedikit saya masih bisa mencium baunya.

Entah sejujurnya saya juga bingung terhadap yg saya rasakan malam itu. Serasa mata ini terpejam, karena semakin lama semakin gelap pekat. Segala suara yang ada juga semakin lama semakin memudar. Semakin hening, semakin sunyi senyap dan saya hanya mendengar suara helaan nafas saya sendiri.

Didalam suasana yang sunyi itu tiba tiba saya mendengar suara gemricing lonceng yg biasa dipakai dikaki penari-penari jawa timuran.

“Krimpyinngg.....” suara itu muncul sayup sayup dan terdengar sangat jaauuh.. Selain itu juga tercium bau melati yang sangat wangi. Entah kenapa bau menyan dan dupa hilang dan tergantikan oleh bau melati yang wangi menyengat.

“Kriiiimpyiiiiinngg........” Suara itu terdengar semakin mendekat dan disertai suara langkah kaki.

Bulu kuduku semakin merinding, degub jantungku juga semakin kencang. Saking kencangnya berdegub, rasanya janjung ini sudah seperti mesin disel. Entah apa yang saya rasakan saat itu, padahal sebelumnya saya termasuk orang yang sangat rasional dan tak percaya akan hal-hal ghaib. Tapi saat itu saya benar2 merasa takut yang luar biasa. Keringat dingin mulai mengucur deras, padahal udara masih terasa sangat dingin.

“Kriiiimpyiiiiiiiinngg............”Kali ini rasanya jantungku berhenti berdegub, karena tiba2 suara langkah kaki yg disertai gemricing lonceng gelang kaki itu tepat berada di belakangku.
.
.
.
.
“PLAKKKK, KRIIIPMPYYIIIIIIINNGGGGGG...!!!”

“ASTAGFIRULLAAHHHH., YA ALLAAHHH, YA ALLAAHHH, YA ALLAAHHHHH....!!!!”

Tiba2 suara kaki itu laksana meloncat dan jatuh tepat di tengah2 tempat kita duduk bersila, sontak terdengar juga suara Pakdhe Prasojo beristigfarr.

Suasa langsung berubah 180 derajat. Sekarang suasana langsung kembali pengap dan panas. Nafasku terasa langsung sesak lagi. Bara api dari kemenyan juga langsung terlihat lagi setelah Pakdhe Prasojo berteriak astagfirulah tadi.

“AYOOO, AYOOO, AYOO DIPEGANG, AYO DIPEGANG JANGAN SAMPAI LEPAS” Teriak Pak Samsyudin kepada kami sambil tangannya memegangi kendhi kecil yang diletakkan disampung kemenyan.

Kami langsung memegangi kendi tersebut. Enah apa yang tiba2 ada dialamnya, tapi sepertinya ada sesuatu yang berusaha untuk keluar dari kendi tersebut. Kendi tersebut seperti meronta-ronta dan ingin terlempar sendiri.

“PAK DIPEGANG PAK! JANGAN SAMPE LEPAS” Teriak Pak Samsyudi kepada Ayah. Lalu Pak Samsyudin mengeluarkan sepotong kain hitam yg berbau menyengat kemenyan dan menutupkan kain tersebut di kendi yang sedang kami pegang.

Pak Samsyudin susah payah membungkus kendi itu dengan kain hitam yang baru ia keluarkan dari kantung bajunya. Setelah kendi tersebut terbungkus, tiba2 kendi tersebut pecah. Ternyata benar, kalau dari yang saya lihat, ada semacam mahluk yang ada didalam kendi, entah semacam belut yg besar atau ikan lele apapun itu, karena kami tidak melihatnya langsung. Kami hanya melihat ada yg bergerak2 didalam pecahan kendi yang terbungkus kain hitam tadi.

“Mas Yo, AYO DIAMBIL” Pak Samsyudin berteriak dan menyuruhku untuk mengambul kendi pecah yang terbungkus kain hitam tersebut sambil menyalakan lampu kamar.

“Mas, kamu pegang erat2, jangan sampe lepas, jangan sampe jatuh...!” perintah Pak Samsyudin.

Saya yang masih ketakutan terpaksa mengambil dan memegangi bungkusan hitam itu. Saya menggenggamnya dengan erat di tangan. Memang selain pecahan kendi, terasa seperti ada yg bergerak2 dan meronta2 didalam. Dari segi tekstur yang bisa saya rasakan, yang bergerak2 dan menggelinjang didalam bungkusan hitam yg saya pegang ini semacam Ular, Belut atau semacam Ikan Lele. Hanya saja, jika itu memang ikan atau belut, dorongan yang saya rasakan ditangan itu terlalu kuat dan membuat bungkusan itu terus menerus akan jatuh.

Pak Samsyudin langsung keluar kamar dan menuju mobil.

“Ayo Mas Tyo, Ayo Pak cepet naek” Teriak Pak Samsyudin lagi.

Kami tanpa banyak tanya langsung menaiki mobil yang dibawa Pak Samsyudin. Bungkusan hitam tadi juga masih saya pegang erat2 dengan dua tangan.

“Kita mau kemana pak?” Tanya Ayah dengan nada sedikit takut.

“Kita ke Brantas pak!” Pak Samsyudin menjawab sambil menyetir mobil. (FYI Kota tempat saya tinggal adalah salah satu kota di jawa timur yg dilalui sungai brantas)

Beberapa menit mengemudi, akhirnya kita sampai di tepi sungai Brantas. Kita kemudian keluar dari mobil dan berdiri di jembatan dimana dibawah jembatan mengalir sungai Brantas.

Pak Samsyudin kembali seperti membaca mantra atau doa atau apalah itu.

“Ayo Mas Tyo, dilemparkan ke sungai kendinya” Perintah Pak Samsyudin.

Tanpa pikir panjang, saya membuang bungkusan berisi pecahan kendi itu ke sungai Brantas.

Setelah itu kami langsung bergegas pulang.

Diperjalanan, Pak Samsyudin bercerita bahwa mahkluk yang didalam kendi tadi adalah “barang” yang dimasukan ke tubuh Ibu pertama kali.

Barang yang dimasukan itu berupa mahkluk hidup, karena itulah bisa berkembang, bisa melukai, bisa bersembunyi dan kemudian muncul lagi. Proses tadi adalah proses pengambilan mahluk tersebut.

“Lalu bagaimana Pak Samsyudin? Apakah dengan ini Istri saya sudah terselamatkan” Tanya Ayah dengan khawatir.

Pak Samsyudin sambil menyetir mobil menghela nafas panjang....

“Hhhheemmm.... Belum bisa dikatakan seperti itu pak, karena kita harus mencari apa yang telah mahkluk itu perbuat ke Ibu. Kita harus tau apa yang telah ia lukai sebelum akhirnya berusaha untuk mencari penyembuhnya.” Jawab Pak Samsyudin.

“Berati ritual ini masih akan kita lanjutkan?” Tanya Ayah lagi.

“Iya pak, besok lusa, ketika malam Jumat Legi, saya akan balik kerumah bapak, dan mulai menerawang kondisi Ibu lagi. ” Jawab Pak Samsyudin.

Ayah tak menjawab apa2, hanya menghela nafas, terlihat seperti sangat sedih dan khawatir...


Next Chapter : Pak Samsudin Sang Paranormal – Part 2



Diubah oleh tyo.kartiko 02-12-2017 15:40
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.