tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
Titik Irasional dalam Rasionalitas. (Horror, Keluarga, True Story)


Halo agan-agan penghuni Kaskus, kususnya SFTH. Perkenalkan nama saya Tyo Kartiko (nama samaran tentunya hehehe). Selama ini saya hanya menjadi penikmat, alias silent reader dari SFTH, tp kali ini izinkan saya berbagi sepenggal kisah hidup yang semoga menarik buat disimak. Sebelumnya mohon maaf jika tulisannya agak berantakan, karena saya juga baruu belajar nulis hehehee.

Kisah yang saya alami ini terjadi berkisar tahun 1998, 2004, hingga 2006 ketika saya masih kelas 1 SMA. Sekarang saya sudah lulus kuliah dan bekerja btw. Cerita ini saya jamin 99% real, true story, kisah nyata karena saya alami sendiri. 1%-nya lagi bumbu2 jika saya lupa detail ceritanya hehehe..

Ohya, untuk updatenya saya usahkan bisa tiap hari gan... Tp dgn catatan tdk sedang lembur kerja yahh hehehehe. Doakan saja tetap istiqomah. Tapi saya janji bakal saya selesaikan cerita ini.

INDEX

Spoiler for INDEX:


Kalo tidak keberatan rate, share, komen dan cendolnya yah gan, biar tambah semangat nulisnya hehehee, makasih banyak... emoticon-Shakehand2

... Selamat Membaca ....
Diubah oleh tyo.kartiko 02-12-2017 15:41
eL89
ableh80
meqiba
meqiba dan 7 lainnya memberi reputasi
8
46.2K
186
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
#73
Chapter 6 : Perjuangan Bersama Abah Kiai dari Sidoarjo - Part 2
Keesokan hari berjalan seperti biasa. Ayah melarangku untuk membicarakan kejadian semalam. Ibu masih terbujur tak berdaya di tempat tidur dengan ditemani Mbak Nana (Pembantu kami yg sekaligus menjadi merawat Ibu) yang sambil membersihkan kamar Ibu.

Seperti biasa, saya berangkat sekolah membawa sepeda motor berboncengan dengan Adit, sedangkan Ayah berangkat kerja membawa mobil. Ketika dijalan, Adit tiba2 bercerita kalau dia semalam mimpi aneh sekali.

“Mas Yo, kemarin aku kok ngimpi aneh banget yahh” Ucap Adit secara tiba-tiba ketika kami berhenti di lampu merah.

“Mimpi apa dit?” Saya bertanya dengan agak kawatir.

“Kok rasa’e ada anak kecil, yg berkunjung di rumah kita. Trus masuk kamar dan ngajak aku buat ngobrol2 di ruang tengah.” Terang Adit tentang mimpinya yang membuat bulu kuduku tiba2 berdiri karena ingat kejadian semalam.

“Anak kecil siapa dit? ” Aku berusaha bertanya lebih detail ke Adit.

“Sebener’e aku ga kenal sama wajahnya mas, tapi dia ngaku kalo nama’e Eka Kartika. Itu kan Kakak kita yang meninggal waktu bayi yah Mas?” Tanya Adit.

“Iya Dit, Eka Kartika itu putra pertama Ayah dan Ibu yang meninggal ketika masih bayi. Trus Mas Eka ngomong apa aja Dit?” Saya semakin merinding dan penasaran kenapa Adit bisa didatengin Mas Eka Kartika.

“Engga Mas, kita cuma bercanda2 aja ngalor ngidul. Trus Dia juga bilang kalo dia udah kangen banget sama Ibu.” Jawab Adit

Deg, pikiranku mendadak ga karuan mendengar cerita Adit tentang Mas Eka yang sudah kangen banget sama Ibu.

Adit juga tak tahu kalau kemarin dia itu bukan hanya bermimpi bercanda dan ngobrol dengan Mas Eka di ruang tengah, tetapi ia bener2 berjalan dalam tidur dan ngobrol2 sendiri dalam kondisi tidur.

.....


Sore hari menjelang magrib, Abah Kiai berserta rombongan akhirnya datang ke rumah. Kami langsung menyiapkan ruang tengah untuk tempat Istighozah bersama Abah Kiai dan juga santri2 yang ikut beliau.

Sebelum Istighozah dilaksanakan, Abah Kiai melaksanakan Sholat 2 rekaat dikamar tempat ibu berbaring. Ibu juga tak berucap sepatah katapun, beliau hanya terlihat sangat sedih, dan sesekali air mata terjatuh dari kedua mata beliau.

Setelah hampir satu jam, Abah Kiai melaksanakan sholat dan berdzikir di kamar Ibu, beliau keluar dengan bercucuran keringat. Kemudian Adit dan Mbak Nana masuk ke kamar Ibu untuk menemani beliau. Abah Kiai lalu duduk di ruang tamu bersama saya dan Ayah.

“Nganu Pak Kartiko, ini di lingkungan kerja Ibu, ada yang tidak suka dengan beliau. Mungkin Ibu terlalu tegas dan terlalu keras, sehingga ada yang sakit hati atau semacamnya gitu pak” Jelas Abah Kiai.

“Lh..lhaa terus gimana Abah?” Tanya Ayah dengan sangat khawatir.

“Dia (orang yg ga suka sama Ibu) memanfaatkan kondisi rumah yang sangat kental dengan nuansa Ghaib ini untuk menyerang Ibu.” Lanjut Abah Kiai.

“Berarti masalahnya dari rumah ini Abah?” tanya Ayah lagi.

“Bukan pak, bukan gitu. Sebenernya danyang penunggu daerah ini kalo boleh dibilang cocok dengan keringat Ibu, sehingga tak akan mengganggu ibu. Tetapi dikarenakan ada pengaruh dan dorongan dari luar, akhirnya serangan itu bisa masuk ke Ibu.” Jawab Abah Kiai

“Trus kami harus gimana Abah?” Ayah kembali bertanya pada Abah.

“Sebenernya yah Pak, Ibu itu punya karunia, kelebihan untuk bisa melihat sesuatu yg tak terlihat, bisa mendengar sesuatu yang tak terdengar dan bisa merasakan sesuatu yang seharusnya sama sekali tak bisa dirasakan. Dengan karunia itu, ibu seharusnya bisa melihat serangan tak kasat mata yang datang dan mencari cara tuk menghindarinya. Tetapi karena Ibu memilih tuk menekan dan melupakan kelebihan itu, akhirnya Ibu terkena serangan tadi.” Jawab Abah Kiai.

“Jadi ini kita akan Istighozah terlebih dahulu, kemudian nanti kita akan melakukan prosesi pemindahan ke hewan. Jadi karena serangan ghaib itu sudah terlanjur masuk ke tubuh Ibu, mau tidak mau kita harus mengeluarkannya dan jalannya adalah dengan memindahkan penyakit ibu ke kambing” Lanjut Abah Kiai.

“Memindahkan ke kambing bagaimana abah?” Tanya Ayah dengan penasaran.

Kemudian Abah mengeluarkan sebuah kalung emas dari kantung bajunya.

“Jadi Pak, Ibu harus mengenakan kalung ini selama tujuh hari. Selama tujuh hari itu, kalau bisa njenengan puasa yah pak. Kemudian, setelah 7 hari itu, anda cari kambing betina dewasa yang sehat dan tolong dibawa ke tempat saya di sidoarjo. Setelah dipakai ibu selama 7 hari, tolong kalung ini jangan sampai dipegang lasung oleh siapapun, ibu harus melepas sendiri kalung ini tanpa bantuan siapapun. ” Terang Abah Kiai.

Kemudian Abah mengeluarkan secarik kertas bertuliskan huruf2 arab yang berbau sangat wangi.

“Nanti kalungnya tolong dibungkus disini yah pak, kemudian njenengan bawa ke tempat saya.” Lanjut Abah Kiai.

Isthighozah pun dimulai, dan setelah selesai Isthigozah, Ayah memakaikan Kalung emas tadi ke leher Ibu. Abah Kiai pulang dari rumah kami sekitar pukul 5 Pagi setelah Shubuhan.

Singkat cerita 7 Hari berlalu, Ayah telah mendapatkan Kambing betina dewasa yang sangat gemuk dan sehat untuk dibawa ke pesantren Abah Kiai. Kalung emas yg dikenakan ibu juga sudah dibungkus kertas bertuliskan arab sesuai perintah Abah Kiai.

Ayah hanya mengajakku untuk berangkat menuju ke Pesantren Abah Kiai di Sidoarjo menggunakan Colt Pick Up karena kami juga harus membawa kambing.

Kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam menuju pesantren Abah Kiai. Seperti biasa, Abah Kiai langsung menyambut kedatangan kita. Sebelum kami sempat turun dari mobil, Abah Kiai sudah mendatangi kami terlebih dahulu.

“Kalungnya dibawa pak?” tanya Abah Kiai dengan tegopoh-gopoh.

“I..iinnii abah” Jawab Ayah sembari menyerahkan kalung emas tersebut ke Abah Kiai.

Abah Kiai langsung meletakan kalung tersebut di Al Quran, tepat di Surat Yasin.

“Ayo pak, langsung aja, kita langsung berangkat ke Perak” Ajak Abah Kiai.

Abah mengajak 2 orang santrinya tuk membawa mobilnya dan mengajak kami langsung berangkat ke Perak, Surabaya.

Sesampai di Perak, kami menuju ke sebuah perkampungan kumuh yg banyak ditempati masyarakat pinggiran dan miskin di Surabaya Utara. Kedua santri yang diajak oleh Abah Kiai langsung membantu tuk menurunkan Kambing yang kami bawa.

Abah kemudian berbicara sebentar dengan beberapa orang sekitar, kemudian beliau kembali dengan mengajak beberapa penduduk sekitar yang sudah siap membawa ember.

“Jadi gini pak, kalung ini akan kita kenakan ke kambingnya, kemudian kita akan sholat sunah 2 rekaat, sebelum kemudian kambing ini kita sembelih dan kita bagikan dagingnya ke warga sekitar” jelas Abah.

Jadi ternyata memang, tempat ini adalah tempat dimana biasanya Abah Kiai menyembelih hewan yg digunakan untuk media pemindahan penyakit. Daging dari hewan tersebut langsung di bagi2 ke warga2 miskin di daerah tersebut.

Setelah melaksanakan sholat 2 rekaat, kami membantu 2 santri abah Kiai tadi untuk menyembelih kambing yg dibawa. Tetapi sebelum itu, Abah Kiai membaca doa, dan memakaikan kalung emas tadi ke leher kambing.

Setelah kalung itu menempel di leher kambing, kambing tersebut langsung terjatuh tersungkur. Kambing yg semula terlihat sangat sehat dan segar, jatuh seperti kambing yang sekarat. Padahal belum kami apa2kan.

Aku dan Ayah sangat kaget melihat hal itu, tetapi sepertinya masyarakat yg ikut melihat sudah terbiasa dan tidak terheran.

Kedua santri Kiai lasung menyembelih kambing yg sedang tersungkur itu.

Sangat kaget kami dibuat, setelah kambing disembelih dan isi perutnya mulai dibuka dan dibersihkan, kami melihat sebuag kanker segenggam tangan berada di rahim si kambing. Tulang belakangnya pun juga terlihat menghitam seperti terkena penyakit gitu.

Abah Kiai langsung menyendirikan bagian2 tubuh kambing yang seperti terkena penyakit. Abah Kiai menaruhnya di wadah besar, semacam ember, Abah juga menaruh kalung emas tadi disitu.

Setelah semua daging kambing selesai dibersihkan dan dibagi-bagi ke warga sekitar, Abah Kiai kemudian mengajak kami untuk menuju arah laut. (FYI, dareah Perak Surabaya adalah daerah pelabuhan, jadi tempat penyembelihan kambing ini juga di pinggir pantai). Abah Kiai kemudian membaca doa-doa, dan menghanyutkan ember berisi bagian2 tubuh kambing yg terlihat berpenyakit tadi ke laut, kalung emas tadi juga ikut di hanyutkan di laut.

“Sampun pak, coba di telfon Ibu dirumah.” Abah Kiai meminta Ayah untuk menelfon Ibu yang sedang dirumah bersama Adit dan Mbak Nana.

“Halo, Assalamualaikum...” Tedengar suara Adit menjawab telfon Ayah yang sengaja di loud speaker.

“Iya Walaikumsalam, Adit? Adit Ibu mana Adit? Bisa ayah bicara dengan Ibu.” Tanya Ayah ke Adit lewat telfon.

“Ibu sudah bisa jalan Ayah, Ibu tadi tiba2 bangun dari tempat tidur dan berdiri kemudian jalan sendiri tanpa dibantu Ayah” Jawab Adit terdengar sangat gembira.

Saya juga sangat gembira mendengar kabar dari Adit.

“Alhamdulilaahh.... Ya udah, kamu bantuin Ibu jalan dulu yah Adit, Ini Ayah segera pulang.. ” Jawab Ayah dengan sangat gembira.

“Bah, Abah Kiai, terima kasih banyak bahhh,,, terima kasih banyakkk.... ” Ayah berutur ke Abah Kiai sambil memeluk beliau.

“Alhamdulilaahh..... ” Abah Kiai beserta kedua santri serentak mengucap hamdalah.

Setelah itu, kamipun pulang, Abah dan kedua santri pulang ke Pesantren di Sidoarjo, Aku dan Ayah pulang ke kota kami tinggal.

Hari itu sungguh bahagia kami semua. Sesampai dirumah, langsung terdengar tangis haru dari Ibu yang sudah bisa berjalan normal. Ibu memeluk Ayah dengan erat sambil menangis karena terharu.

Keesokan harinya, kami mencoba check up ke Rumah Sakit. Dokter Edy, yang menangani ibu kembali dibuat sanagt terheran-heran. Bagaimana pasien yang di vonis hanya dapat bertahan beberapa bulan lagi, bisa kembali sehat dan berjalan dengan normal.

Kami sangat bahagia ketika itu, karena Ibu kami yang sangat kami cintai telah kembali. Beberapa kali, saya juga tak bisa menahan tangis haru bahagia.

....


Akan tetapi, ternyata Tuhan berkata lain, kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Disuatu malam, Ibu tiba2 menggigil kedinginan, tubuhnya terasa sangat dingin dan kaku. Kami sekeluarga sangat panik dan kebingungan. Ibu yang sebelumnya sudah sangat sehat dan bisa berjalan, kini untuk sekedar menggerakan kakinya saja tak mampu.

Ayah terlihat sangat ketakutan dengan kondisi Ibu. Ayah kemudian menelfon Abah Kiai dan menceritakan kondisi ibu yang tiba2 menggigil kedinginan dan tidak bisa menggerakan kakinya kembali. Setelah mendengar cerita Ayah, Abah meminta waku untuk melaksanakan sholat sunah dan berdzikir sebentar.

Beberapa menit setelah itu, telfon ayah berdering, dan ternyata Abah Kiai yg meneflon Ayah. Saya tak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Abah, tetapi dari raut muka Ayah terlihat sangat kawatir, panik, sedih atau entahlah itu bercampur jadi satu.

Dari percakapan Ayah dan Abah Kiai lewat telfon tersebut, hanya satu kalimat yang saya dengar, “Wah berat ini Pak Kartiko”


Next Chapter : Pak Samsudin Sang Paranormal
Diubah oleh tyo.kartiko 25-11-2017 15:19
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.