tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
Titik Irasional dalam Rasionalitas. (Horror, Keluarga, True Story)


Halo agan-agan penghuni Kaskus, kususnya SFTH. Perkenalkan nama saya Tyo Kartiko (nama samaran tentunya hehehe). Selama ini saya hanya menjadi penikmat, alias silent reader dari SFTH, tp kali ini izinkan saya berbagi sepenggal kisah hidup yang semoga menarik buat disimak. Sebelumnya mohon maaf jika tulisannya agak berantakan, karena saya juga baruu belajar nulis hehehee.

Kisah yang saya alami ini terjadi berkisar tahun 1998, 2004, hingga 2006 ketika saya masih kelas 1 SMA. Sekarang saya sudah lulus kuliah dan bekerja btw. Cerita ini saya jamin 99% real, true story, kisah nyata karena saya alami sendiri. 1%-nya lagi bumbu2 jika saya lupa detail ceritanya hehehe..

Ohya, untuk updatenya saya usahkan bisa tiap hari gan... Tp dgn catatan tdk sedang lembur kerja yahh hehehehe. Doakan saja tetap istiqomah. Tapi saya janji bakal saya selesaikan cerita ini.

INDEX

Spoiler for INDEX:


Kalo tidak keberatan rate, share, komen dan cendolnya yah gan, biar tambah semangat nulisnya hehehee, makasih banyak... emoticon-Shakehand2

... Selamat Membaca ....
Diubah oleh tyo.kartiko 02-12-2017 15:41
eL89
ableh80
meqiba
meqiba dan 7 lainnya memberi reputasi
8
46.2K
186
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
tyo.kartikoAvatar border
TS
tyo.kartiko
#56
Chapter 5 : Perjuangan Bersama Abah Kiai dari Sidoarjo
Seperti yang dikatakan ayah sebelumnya, meski dokter sudah memberikan vonis bahwa usia ibu paling lama hanya akan bertahan 6 bulan, tidak lantar ayah berhenti untuk berjuang dan berusaha.

Kali ini atas saran dari Pakdhe Joko (Kakak sulung ayah), kami mencoba mendatangi untuk meminta bantuan kepada seorang Kiai dari Sidoarjo.

Kiai ini konon katanya sudah lumayan terkenal di Jawa Timur. Beliau juga memiliki pesantren yang lumayan besar. Kami memanggilnya Abah Kiai.

Sebenernya Ibu kurang sreg dengan pengobatan-pengobatan secara ghaib atau sebagainya seperti itu, tetapi karena kondisinya yg semakin memburuk akhirnya Ibu memasrahkan kepada Ayah untuk mencari penyembuh.

Lima jam perjalanan akhirnya aku dan ayah sampai di pesantren tempat tinggal Abay Kiai tersebut. Kami berdua datang dengan maksud bercerita dan meminta bantuan tentang kondisi Ibu.

“Wahhh Assalamualaikum, monggo2 mlebet, dayoh teko kutho adoohh iki... ” (Wahh Assalamualaikum, silahkan2, tamu dari kota juahh ini) Teriak Abah Kiai dari dalam rumahnya, padahal kami belum sempet mengetuk pintu dan berkenalan.

“Gimana-gimana?” Abah Kiai langsung bertanya pada kami setelah kami duduk bersila karpet merah ruang tamu beliau.

“Iya, gini abah.. ” Ayah memulai bercerita

“Iya pak, Ibu itu ada yg ‘mbikin’. Ada orang di sekitar lingkuan ibu yang ga suka dan pernah sakit hati sama ibu. Terus dia memanfaatkan energi negatif disekitar rumah untuk menyerang ibu.” Abah Kiai langsung menerangkan sebelum ayah sempat bercerita apapun.

Saya pribadi langsung berasa “deg” gitu, soalnya kami tidak pernah berfikiran seperti itu sebelumnya. Ayah juga terlihat sangat terkejut dari raut wajahnya.

“Ini kalo saya lihat, kemungkinan terbesar yang menyerang ibu itu dari selatan pak” Lanjut Abah Kiai
“D..da..dari selatan?” tanya Ayah dengan heran.

“Iya pak, dari daerah selatan.” Jawab Abah.

“Trus sebenernya siapa pak yang menyalahi istri saya hingga sampai seperti itu? ” Tanya Ayah.

“Wah itu masalah nanti aja yah pak, yang penting sekarang kita fokus buat kesembuhan ibu saja” Jawab Abah, mengelak dari pertanyaan ayah.

“Lalu bagaimana Kiai? Apa yang harus kami lakukan” Tanya Ayah.

“Begini Pak Kartiko, kami akan kerumah bapak. Saya akan membawa beberapa santri senior saya untuk melakukan istigozhah dan rukyah dirumah bapak. Masalah biaya transport, bapak jangan pikirkan, yg penting kita berusaha menyembuhkan ibu dahulu” Terang Abah Kiai.

“Terus apa yang harus kami siapkan Kiai?” Tanyah Ayah kembali.

“Tidak perlu siap apa2 pak, paling Cuma kopi dan rokok buat santri2 itu. Ehhh pak, tapi kalo saya lihat dari sini, dirumah bapak ada lukisan yah? Lukisan besar berwarna kuning begitu?” Tanya Abah Kiai kepada Ayah.

Pada awalnya aku bingun, lukisan apa yah, perasaan dirumah kami tidak ada lukisan apapun.

“Ohh bukan lukisan Kiai” Jawab ayah setelah beberapa menit beliau mengingat-ingat.

“Itu semacam ukiran dari tembaga Kiai. Yg tergambar disitu adalah Arjuna Wijaya Kiai. Ukiran itu adalah Warisan dari Ibu saya, Eyang Laksmini Kiai” Terang Ayah lebih lanjut.

“Nganu pak, lukisan itu seperti menutupi pandangan dan trawangan saya. Kalau boleh sementara waktu dilepas dulu aja Pak Kartiko, dan mungkin bisa dititipkan ke saudara yg tinggal agak jauh gitu” Pinta Abah Kiai kepada Ayah.

“I..iya pak, bisa bisa.. eehhmm...” Kemudian ayah seperti melamun sebentar, dan berfikir tentang sesuatu.

“Ada apa pak?” Tanya Abah Kiai kepada ayah yg sepertinya terlihat sangat berat untuk menyingkirkan lukisan tersebut.

“Gini Abah Kiai....” Ayah mulai akan bercerita sesuatu, ttp dari nadanya ayah seperti ragu.

“Tidak apa2 Pak, monggo diceritakan saja” Abah Kiai memotong.

“Jadi dulu waktu masih kuliah, Ibu itu semacam punya kelebihan, untuk bisa melihat sesuatu yg seharusnya tak lihat gitu Abah” Ayaah melanjutkan ceritanya

“Ibu merasa sangat terganggu dengan semua itu Kiai, hidupnya jadi tak tenang, sampe harus mengkonsumsi obat penenang secara terus menerus”

“Waktu itu akhirnya Ibu saya, (Eyang Laksmini) membantu dia. Caranya adalah dengan menggunakan lukisan tersebut Kiai”

“Lukisan tersebut salah satu warisan yg tersisa dari keluarga di Mangkunegaran Kiai”

“Dengan adanya lukisan tersebut, seperti bisa menekan kelebihan istri saya itu Kiai. Jadi dia tidak lagi melihat hal2 aneh itu” Jelas Ayah lebih lanjut.

Saat saya sangat kaget, saya sendiri juga baru mengetahui hal itu. Ibu yg selama ini selalu mengajarkan kami tentang berfikir rasional, logis dan matematis ternyata ketika muda memiliki kelebihan yg biasa disebut dengan sixth sense.

Saya seakan tak percaya dengan cerita Ayah, seperti meruntuhkan logika rasionalitas yg sejak kecil ditanamkan oleh Ibu sendiri.

*** Bagi yg tidak tahu luksian Arjuna Wijaya / Arjuna Wiwaha, Lukisan itu menggambarkan Tokoh Arjuna dari Pandawa sedang memanah sambil menaiki kereta kuda (persis dengan patuh yg ada di deket Monas itu) ***
Spoiler for Arjuna Wiwaha:


“Gini Pak, Kalau nanti setelah diturunkan ada apa2, coba anda baca ini.” Abah Kiai menyodorkan kertas bertuliskan huruf Arab, yg ternyata adalah salah satu potongan dari Ayat Kursi.

“Kalau Njenengan masih khawatir, nanti telfon saya aja langsung kalo ada apa2 Pak. Besok lusa kami akan langsung erangkat ke rumah bapak” jelas Abah Kiai lebih lanjut.

Singkat cerita, kami pulang ke rumah dan untuk sementara waktu menyingkirkan lukisan tersebut. Kondisi ibu sendiri juga tak kunjung membaik. Beliau hanya terbaring tak berdaya di tempat tidur. Bahkan paska lukisan Arjuna Wijaya tersebut disingkirkan, ibu semakin sering mengigau di malam hari. Bahkan bukan hanya ibu, kami sekeluarga beberapa kali jadi mengalami kejadian mistis, yg sebelumnya sama sekali tak pernah kami alami.

Malam itu seperti biasa, Ayah dikamar bersama Ibu, tetapi ayah tidur di lantai bawah, kerena tidak ingin mengganggu Ibu di ranjang. Saya tidur bersama Adit, dikamar yg berdempetan dengan kamar Ayah dan Ibu. Sekitar jam 1 malam, saya mendengar seperti ada orang becakap-cakap di ruang keluarga. Pada awalnya saya tak menggubris suara orang bercakap2 yg terdengar sayup-sayup, tetapi lama kelamaan suaranya makin jelas dan makin kenceng.

“Ah mungkin Ayah sedang nerima telfon” Pikir saya seperti itu. Kemudia saya berfikir, telfon apa yg begitu penting yg harus diterima Ayah malam2 begini yah. Saya semakin kawatir, kalau2 ada apa2 dengan ibu. Saya memaksa diri saya untuk beranjak dari tempat tidur. Setelah saya bangun dan amati seksama ternyata suara itu adalah suara dua orang anak-anak yg sedang bercakap-cakap dan bersedau gurau.

Jantung saya semakin deg-degkan, anatara takut dan penasaran dengan suara tersebut. Dengan berjalan sangat pelan-pelan saya intip ruang tengah dari pintu kamar dan ternyata....

Saya mendapati Adit sedang duduk di sofa ruang tengah yang ketika itu sangat gelap (kami terbiasa tidur dengan mematikan lampu). Saya langsung menyalakn lampu ruang tengah, dan lebih kaget lagi karena Adit seolah-olah ngobrol dengan seseorang, tetapi matanya masih tertutup rapat.

“Yah, yahhh,,, Adit yahh, Adit” Sambil berteriak-teriak, saya berlari ke kamar Ayah dan Ibu. Ayah yg kaget langsung terbangun dari tidurnya mendatangi saya.

“Kenapa Yo, kenapa? Ada apa?” Tanya Ayah dengan sangat kaget.

“I...ittuu yah, Adit ngomong sendiri”

Ayah langsung menepuk-nepuk pundak Adit, “Dit, Adit, dit kamu kenapa?”

Tapi Adit tetap memejamkan mata dalam posisi duduk. Ia justru tertawa terbahak-bahak, seolah benar-benar sedang ada yg mengajak bercanda.

Saya semakin merinding dan takut. Saya kawatir kalo ada apa2 juga dengan Adit.

“Yo, ambikkan catatan doa dari Abah Kiai kemarin yo. Cepetan yo..” Ayah menyuruh saya untuk mengambil catatan doa dari Abah Kiai. Ayah kemudian mengambil segelas air, dan membaca doa tersebut. Setelah itu ayah membasuh muka Adit dengan tangan beliau yg sebelumnya diberi sedikit air tadi. Adit sontak terjatuh tidur di sofa dan terdengar lagi ia mendengkur.

“Alhamdulilaah....” Ucap Ayah dengan lega.

“Yo, kamu besok pagi jangan cerita ke Adit dan Ibu yahh kejadian ini. Biar kita aja yg tahu dan kita aja yg menyelesaikannya” Pinta Ayah kepadaku. Ayah lanjut menggendong Adit untuk kembali tidur di kamar.


Next Chapter : Perjuangan Bersama Abah Kiai dari Sidoarjo - Part 2


Diubah oleh tyo.kartiko 25-11-2017 15:33
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.