- Beranda
- Stories from the Heart
Bangau Kertas Merah
...
TS
efantastik
Bangau Kertas Merah
Partikel 2

Baca kisah sebelumnya
BANGAU KERTAS MERAH Partikel 1
Setahun silam, kulihat kalender yang terpampang di meja kantorku, ternyata telah memasuki bulan September 2015. Tetap saja hari-hariku seperti ini, lalu lalang dalam dunia pekerjaan, pulang bertemu istri, tidur, dan kembali ke kantor menatap tumpukan kertas serta layar monitor lagi. Begitu melelahkan. Tak adanya buah hati membuatku merasa tak ada pengobat hati dan kurang sempurnanya menjadi seorang suami. Usia pernikahan kami sudah memasuki empat tahun, tapi Tuhan masih belum saja memberikan amanahnya pada kami. Berbagai pengobatan telah aku dan Rina lakukan. Mulai dari pengobatan sesuai anjuran dokter sampai pengobatan tradisional. Tetap saja tidak ada hasil yang memuaskan.
Rina terus saja menulis harapannya di kertas origami dan membentuknya jadi satu bangau kertas selama ia berobat. Awal kali melihat apa yang Rina lakukan, aku hanya berfikir mungkin itu hanya sebagai selingan saja. Tapi lama kelamaan hal itu terus saja ia lakukan, hingga membuatku penasaran.
"Sayang, kenapa kamu selalu membuat bangau kertas setiap berobat?" tanyaku.
"Aku hanya menuliskan harapanku saja di bangau ini." jawabnya santai.
"Kamu percaya?"
"Iya."
"Bagaimana bisa harapanmu akan terkabul dengan membuat bangau kertas itu?"
"Entahlah, mungkin akan terdengar lucu jika aku meyakininya. Bahwa harapan dalam bangau itu akan terbang menuju angkasa untuk bertemu dengan Tuhan, lalu Tuhan mengabulkannya," jelas Rina sambil merangkai kertas origami menjadi sebuah bangau kertas.
Aku tersenyum pelan dengan anggukan kepala.
"Ini terus aku lakukan sebelum aku bertemu denganmu Efan. Aku menulis harapan bisa bertemu dengan seseorang yang terbaik dalam mencintaiku saat kuliah dulu. Aku terus saja menulis harapan dan membuatnya menjadi puluhan bangau kertas. Asa dalam bangau itu menjadi nyata, saat kau benar-benar hadir dalam hari-hariku," sambungnya dengan menatap diriku. Aku tertegun. Sebegitu hebatnya kah bangau kertas itu. Ah, mungkin hanya kebetulan saja terjadi.
Sepulang dari kantor, aku langsung bergegas pulang. Melepaskan rasa penat akan kelelahan selepas bekerja. Rina menyambutku hangat dengan melepaskan dasi yang masih bergelayut di dahan kerah kemejaku. Setelah itu, aku langsung mandi tanpa mengajaknya bicara.
"Makan dulu gih. Biar staminamu kembali," ujarnya padaku setelah aku selesai mandi.
Aku tak menjawabnya. Langsung aku duduk di meja makan dan mulai melahap makanan yang di hidangkan.
"Maafkan aku. Aku masih tak bisa memberikanmu buah hati," ucapnya tiba-tiba.
Aku terkejut dan menghentikan makanku. Kuraih air minum dan meminumnya cepat.
"Apa yang kau bicarakan? Aku tak mempermasalahkannya," seruku. Hal ini sudah menyangkut ranah sensitif dalam sebuah rumah tangga.
"Kau pasti kecewa terhadapku sebagai seorang istri."
"Sudahlah, aku tak berprasangka seperti itu padamu. Percayalah."
"Tapi Fan, aku tetap saja tidak hamil setelah sekian lama berobat."
"Usia pernikahan kita itu masih seumuran jagung. Jangan mempermasalahkan hal ini Rin. Aku hanya pasrah kepada Tuhan. Jika diberi amanah, ya aku bersyukur. Jika tidak, ya bersabar. Sudahlah," tuturku dengan nada yang mulai naik satu oktaf.
"Maafkan aku Fan, menikahlah dengan wanita lain yang bisa memberikanmu seorang anak."
Ucapan Rina membuatku tertegun. Awalnya aku menghindar, tapi kini mulai terbawa suasana.
"Kau menyerah Rin? Aku mencintaimu apa adanya. Kau istriku yang membuatku bahagia meski tidak adanya buah hati. Kekurangan dan kelebihan dalam berumah tangga, kita harus rasakan dengan ikhlas dan bahagia. Bagaimana jika aku benar-benar menikah dengan wanita lain? Kau pasti akan sangat terluka di kala wanita itu dapat memenuhi harapanku. Aku benci dengan keputus asaanmu, Rin," ujarku.
Tak pernah kupercaya ia mengatakan hal itu. Aku pergi dari hadapannya menuju kamar. Tak lama kemudian, ia datang dan tidur di sampingku.
"Maafkan aku, Fan, aku menyesal telah berkata seperti itu," lirihnya pelan. Aku tahu ia sudah menangis saat aku pergi ke kamar.
Aku bangkit dari tidurku dengan mengambil posisi duduk di atas kasur.
"Maafkan aku juga, Rin. Aku tak ingin kau menganggap aku kecewa karena tidak adanya buah hati. Buatlah harapanmu jadi nyata dengan bangau kertas yang kau yakini itu. Jangan kau menyerah Rin. Bukannya kau pernah bilang jika harapan dalam bangau itu akan terbang menuju angkasa untuk bertemu dengan Tuhan, lalu Tuhan mengabulkannya?" jelasku pada Rina mengingatkan apa yang pernah ia katakan. Serta merta ia dekap tubuhku dalam pelukannya di sore itu.
***
Bersambung...
Next Partikel
BANGAU KERTAS MERAH Partikel 3

Baca kisah sebelumnya
BANGAU KERTAS MERAH Partikel 1
Setahun silam, kulihat kalender yang terpampang di meja kantorku, ternyata telah memasuki bulan September 2015. Tetap saja hari-hariku seperti ini, lalu lalang dalam dunia pekerjaan, pulang bertemu istri, tidur, dan kembali ke kantor menatap tumpukan kertas serta layar monitor lagi. Begitu melelahkan. Tak adanya buah hati membuatku merasa tak ada pengobat hati dan kurang sempurnanya menjadi seorang suami. Usia pernikahan kami sudah memasuki empat tahun, tapi Tuhan masih belum saja memberikan amanahnya pada kami. Berbagai pengobatan telah aku dan Rina lakukan. Mulai dari pengobatan sesuai anjuran dokter sampai pengobatan tradisional. Tetap saja tidak ada hasil yang memuaskan.
Rina terus saja menulis harapannya di kertas origami dan membentuknya jadi satu bangau kertas selama ia berobat. Awal kali melihat apa yang Rina lakukan, aku hanya berfikir mungkin itu hanya sebagai selingan saja. Tapi lama kelamaan hal itu terus saja ia lakukan, hingga membuatku penasaran.
"Sayang, kenapa kamu selalu membuat bangau kertas setiap berobat?" tanyaku.
"Aku hanya menuliskan harapanku saja di bangau ini." jawabnya santai.
"Kamu percaya?"
"Iya."
"Bagaimana bisa harapanmu akan terkabul dengan membuat bangau kertas itu?"
"Entahlah, mungkin akan terdengar lucu jika aku meyakininya. Bahwa harapan dalam bangau itu akan terbang menuju angkasa untuk bertemu dengan Tuhan, lalu Tuhan mengabulkannya," jelas Rina sambil merangkai kertas origami menjadi sebuah bangau kertas.
Aku tersenyum pelan dengan anggukan kepala.
"Ini terus aku lakukan sebelum aku bertemu denganmu Efan. Aku menulis harapan bisa bertemu dengan seseorang yang terbaik dalam mencintaiku saat kuliah dulu. Aku terus saja menulis harapan dan membuatnya menjadi puluhan bangau kertas. Asa dalam bangau itu menjadi nyata, saat kau benar-benar hadir dalam hari-hariku," sambungnya dengan menatap diriku. Aku tertegun. Sebegitu hebatnya kah bangau kertas itu. Ah, mungkin hanya kebetulan saja terjadi.
Sepulang dari kantor, aku langsung bergegas pulang. Melepaskan rasa penat akan kelelahan selepas bekerja. Rina menyambutku hangat dengan melepaskan dasi yang masih bergelayut di dahan kerah kemejaku. Setelah itu, aku langsung mandi tanpa mengajaknya bicara.
"Makan dulu gih. Biar staminamu kembali," ujarnya padaku setelah aku selesai mandi.
Aku tak menjawabnya. Langsung aku duduk di meja makan dan mulai melahap makanan yang di hidangkan.
"Maafkan aku. Aku masih tak bisa memberikanmu buah hati," ucapnya tiba-tiba.
Aku terkejut dan menghentikan makanku. Kuraih air minum dan meminumnya cepat.
"Apa yang kau bicarakan? Aku tak mempermasalahkannya," seruku. Hal ini sudah menyangkut ranah sensitif dalam sebuah rumah tangga.
"Kau pasti kecewa terhadapku sebagai seorang istri."
"Sudahlah, aku tak berprasangka seperti itu padamu. Percayalah."
"Tapi Fan, aku tetap saja tidak hamil setelah sekian lama berobat."
"Usia pernikahan kita itu masih seumuran jagung. Jangan mempermasalahkan hal ini Rin. Aku hanya pasrah kepada Tuhan. Jika diberi amanah, ya aku bersyukur. Jika tidak, ya bersabar. Sudahlah," tuturku dengan nada yang mulai naik satu oktaf.
"Maafkan aku Fan, menikahlah dengan wanita lain yang bisa memberikanmu seorang anak."
Ucapan Rina membuatku tertegun. Awalnya aku menghindar, tapi kini mulai terbawa suasana.
"Kau menyerah Rin? Aku mencintaimu apa adanya. Kau istriku yang membuatku bahagia meski tidak adanya buah hati. Kekurangan dan kelebihan dalam berumah tangga, kita harus rasakan dengan ikhlas dan bahagia. Bagaimana jika aku benar-benar menikah dengan wanita lain? Kau pasti akan sangat terluka di kala wanita itu dapat memenuhi harapanku. Aku benci dengan keputus asaanmu, Rin," ujarku.
Tak pernah kupercaya ia mengatakan hal itu. Aku pergi dari hadapannya menuju kamar. Tak lama kemudian, ia datang dan tidur di sampingku.
"Maafkan aku, Fan, aku menyesal telah berkata seperti itu," lirihnya pelan. Aku tahu ia sudah menangis saat aku pergi ke kamar.
Aku bangkit dari tidurku dengan mengambil posisi duduk di atas kasur.
"Maafkan aku juga, Rin. Aku tak ingin kau menganggap aku kecewa karena tidak adanya buah hati. Buatlah harapanmu jadi nyata dengan bangau kertas yang kau yakini itu. Jangan kau menyerah Rin. Bukannya kau pernah bilang jika harapan dalam bangau itu akan terbang menuju angkasa untuk bertemu dengan Tuhan, lalu Tuhan mengabulkannya?" jelasku pada Rina mengingatkan apa yang pernah ia katakan. Serta merta ia dekap tubuhku dalam pelukannya di sore itu.
***
Bersambung...
Next Partikel
BANGAU KERTAS MERAH Partikel 3
Quote:
Diubah oleh efantastik 18-11-2017 04:10
anasabila memberi reputasi
1
2.4K
10
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
efantastik
#7
BANGAU KERTAS MERAH
Partikel 3

Dunia telah berputar begitu singkat dan cepat membuat tak sadar jika waktu telah berlalu. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan sebab Rina kini sudah bisa berjalan. Usia kandungannya sudah berusia sembilan bulan. Memasuki masa kelahiran. Kutatap kalender di rumah menunjukkan angka tiga puluh. Dokter mengatakan kisaran tanggal dua puluh lima ke atas Rina akan melahirkan. Aku cemas akan hal ini karena sudah melebihi prediksi dokter. Segala macam keperluan sudah lama kupersiapkan. Beginikah rasanya akan menjadi seorang ayah. Berjibaku ke sana ke mari mengumpulkan segala informasi mengenai persalinan, mengenai bayi dan semacamnya. Ah, begitu melelahkan tapi inilah yang lama aku nantikan.
"Yah, Perutku sakit," teriak Rina tiba-tiba dari dalam rumah.
Aku bergegas lari menuju tempat suara Rina berasal, meninggalkan segala aktivitasku mencuci mobil. Ternyata ia berada di dapur. Aku langsung membopongnya menuju mobil sedan silver yang sedari tadi kucuci. Aku berlari panik menuju dalam rumah untuk memakai pakaian yang layak, karena aku hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.
"Yah, jangan lupa origami dan penanya." Teriakan Rina begitu samar terdengar.
Dalam kondisi seperti ini, ia masih saja mementingkan origami kesayangannya. Aku berlari menuju kamar mencari pakaianku dan mencari dompetku. Setelah itu, aku mencari origami Rina dan akhirnya aku temukan tempat kertas-kertas origaminya berada beserta penanya. Segera kuraih dan kembali berlari menuju mobilku. Aku kunci segala pintu rumah dan pagar.
"Origamiku sudah?" tanya Rina.
"Sudah," jawabku pendek.
Kulajukan mobil dengan cepat dan hati-hati. Dua puluh menit kemudian, sampailah di rumah sakit. Rina dibawa ke dalam sebuah ruangan. Tak beberapa lama dokter datang dan mulai memeriksanya. Ah, ternyata hanya kontraksi kecil sebelum melahirkan. Aku menjadi cemas. Kulihat Rina terbaring di atas kasur rumah sakit menahan sakit.
"Yah, coba pegang perutku," pintanya.
Aku langsung menjulurkan tanganku menuju perutnya. Aneh. Setelah tanganku memegang perutnya, ia bilang jika perutnya tak merasakan sakit yang begitu hebat lagi. Akhirnya kuputuskan tetap mengelusnya sampai benar-benar rasa sakit itu hilang. Aku jadi benar-benar heran akan hal ini. Mungkin anak yang ada di dalam kandungan sudah mengenali aku sebagai ayahnya. Hehehe..
"Sebentar lagi kita akan menjadi ayah dan ibu," ucapnya bangga.
Aku hanya tersenyum dan mencium tangannya dalam genggamanku.
"Nanti kalau anak kita lahir, pokoknya aku mau di panggil mama," rengeknya dengan genit.
"Iya deh, terserah mama Rina. Jangankan mama, di panggil oma pun tak apa," balasku dengan gurau.
Kami berdua tertawa.
"Yah, coba ambilin origamiku tadi, aku ingin membuat tsuru berisikan harapan untuk anak kita," pintanya.
Aku beranjak meninggalkan Rina menuju ke parkiran tempat mobilku berada. Aku ambil dan segera kembali menuju kamar Rina. Ia mulai menulis harapannya di kertas itu dan melipatnya menjadi sebuah bangau kertas yang cantik. Aku hanya bisa diam menatap apa yang dia lakukan.
"Nanti setelah lahir dan berada di ruang bayi, bacalah harapanku, ya. Warna biru untuk laki-laki dan warna merah untuk perempuan. Dan satu lagi ini untukmu," tuturnya dengan menyodorkan tiga bangau kertas padaku. Aku hanya menganggukkan kepala.
"Baiklah, sayang," jawabku.
Ke esokan harinya. Pukul sembilan malam. Tiga jam lagi pergantian tahun. Terdengar suara teriakan dari Rina. Ia merasakan kontraksi yang begitu dahsyat. Seperti inikah seorang ibu yang akan melahirkan? Aku menemaninya di ruang operasi. Dokter mempersiapkan segala peralatannya bersama suster yang menemaninya. Aku tak tega melihatnya, melihat Rina berjuang menahan rasa sakit yang menderanya.
Pada akhirnya bayi itu terlahir dan suster membersihkan darah yang menempel di tubuh mungilnya. Ku tatap jam tanganku menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tersenyum bahagia. Aku gendong bayi yang masih merah itu ke hadapan Rina. Rina menangis terharu dan tiba-tiba ia tak sadarkan diri.
"Dokter, istri saya, dok," ucapku keras terdengar seluruh ruangan ini.
Seketika aku mengalihkan gendonganku kepada suster dan aku segera pegang pipi dan bahunya.
"Rin... bangun, Rin!" Aku mengoyak tubuhnya tapi tak ada respon.
Sejurus kemudian, dokter segera memeriksa kondisi Rina. Aku cemas dengan kondisinya. Lalu dokter memegang pundakku. Aku jadi bingung akan hal itu.
"Maaf, kami telah berusaha semampu kami. Istri anda mengalami pendarahan yang tak terkontrol. Tuhan telah memanggilnya," jelas dokter.
Aku tak percaya. Ku lihat suster menutup tubuh Rina dengan selimut putih. Ku menangis sejadinya saat Rina di bawa menuju kamar jenazah. Terasa sesak segala nafasku ini, dadaku terasa panas dan bayangan di pikiranku dipenuhi dengan kenangan bersama Rina. Tiba-tiba aku teringat akan bangau kertas pemberian Rina. Segera aku membukanya.
Harapanku telah kembali terkabulkan, memberikan seorang anak kepada suamiku. Lengkaplah sudah jati diriku sebagai wanita dan sebagai istrinya. Harapanku, ia dapat menjadi ayah yang baik dalam mendidik anak kami. Aku mencintaimu Efan, rawatlah anak kita. Jika kamu membaca tsuru merah ini, berarti anak kita perempuan. Jangan lupa ajarkan ia membuat tsuru jika gadis kecil kita memiliki harapan. Semoga gadis kecil kita ini cantik sekali dan tak sejelek diriku. Katakan padanya jika ia tumbuh besar, aku selalu menyayanginya sampai kapanpun dan aku akan melihatnya selalu. Aku menuliskan harapan ini karena ku merasakan, jika tak lama lagi aku akan pergi meninggalkan kalian. Terimakasih sayang atas semua yang kau lakukan padaku. Selamat tahun baru 2017. Salam, istrimu Rina.
Di luar terdengar suara gemuruh kembang api membahana menghiasi seisi kota. Sorak sorai terdengar di mana-mana. Tawa bahagia terpancar dari berbagai rupa. Tapi di sini? Kesedihan menyelimuti.
Kenangan demi kenangan terpampang jelas. Guratan perjuangan terlihat samar menghilang. Ia tak lagi bangun. Tetes air mata mulai merembes deras di wajahku. Duhai sayangku, kau kini tak lagi tertawa bersamaku.
Wajah lembut dan kelantangan suaranya, kan menggantikan yang terlelap. Ketidaktahuannya, membuat ia tak mengerti bagaimana kehidupan yang indah mengenai kebersamaan.
Di saat mereka merayakan kebahagiaan, di saat yang sama diriku merayakan kesedihan. Tuhan telah membuat semua ini dengan mudah. Antara kebahagiaan dan kesedihan, aku memulai cerita baru.
"Sayangku, semoga dirimu bahagia di sisi-Nya. Sementara aku akan selalu menjaga buah hati kita, sampai dimana aku akan menjemputmu ke surga-Nya."
[selesai]

Dunia telah berputar begitu singkat dan cepat membuat tak sadar jika waktu telah berlalu. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan sebab Rina kini sudah bisa berjalan. Usia kandungannya sudah berusia sembilan bulan. Memasuki masa kelahiran. Kutatap kalender di rumah menunjukkan angka tiga puluh. Dokter mengatakan kisaran tanggal dua puluh lima ke atas Rina akan melahirkan. Aku cemas akan hal ini karena sudah melebihi prediksi dokter. Segala macam keperluan sudah lama kupersiapkan. Beginikah rasanya akan menjadi seorang ayah. Berjibaku ke sana ke mari mengumpulkan segala informasi mengenai persalinan, mengenai bayi dan semacamnya. Ah, begitu melelahkan tapi inilah yang lama aku nantikan.
"Yah, Perutku sakit," teriak Rina tiba-tiba dari dalam rumah.
Aku bergegas lari menuju tempat suara Rina berasal, meninggalkan segala aktivitasku mencuci mobil. Ternyata ia berada di dapur. Aku langsung membopongnya menuju mobil sedan silver yang sedari tadi kucuci. Aku berlari panik menuju dalam rumah untuk memakai pakaian yang layak, karena aku hanya memakai kaos oblong dan celana pendek.
"Yah, jangan lupa origami dan penanya." Teriakan Rina begitu samar terdengar.
Dalam kondisi seperti ini, ia masih saja mementingkan origami kesayangannya. Aku berlari menuju kamar mencari pakaianku dan mencari dompetku. Setelah itu, aku mencari origami Rina dan akhirnya aku temukan tempat kertas-kertas origaminya berada beserta penanya. Segera kuraih dan kembali berlari menuju mobilku. Aku kunci segala pintu rumah dan pagar.
"Origamiku sudah?" tanya Rina.
"Sudah," jawabku pendek.
Kulajukan mobil dengan cepat dan hati-hati. Dua puluh menit kemudian, sampailah di rumah sakit. Rina dibawa ke dalam sebuah ruangan. Tak beberapa lama dokter datang dan mulai memeriksanya. Ah, ternyata hanya kontraksi kecil sebelum melahirkan. Aku menjadi cemas. Kulihat Rina terbaring di atas kasur rumah sakit menahan sakit.
"Yah, coba pegang perutku," pintanya.
Aku langsung menjulurkan tanganku menuju perutnya. Aneh. Setelah tanganku memegang perutnya, ia bilang jika perutnya tak merasakan sakit yang begitu hebat lagi. Akhirnya kuputuskan tetap mengelusnya sampai benar-benar rasa sakit itu hilang. Aku jadi benar-benar heran akan hal ini. Mungkin anak yang ada di dalam kandungan sudah mengenali aku sebagai ayahnya. Hehehe..
"Sebentar lagi kita akan menjadi ayah dan ibu," ucapnya bangga.
Aku hanya tersenyum dan mencium tangannya dalam genggamanku.
"Nanti kalau anak kita lahir, pokoknya aku mau di panggil mama," rengeknya dengan genit.
"Iya deh, terserah mama Rina. Jangankan mama, di panggil oma pun tak apa," balasku dengan gurau.
Kami berdua tertawa.
"Yah, coba ambilin origamiku tadi, aku ingin membuat tsuru berisikan harapan untuk anak kita," pintanya.
Aku beranjak meninggalkan Rina menuju ke parkiran tempat mobilku berada. Aku ambil dan segera kembali menuju kamar Rina. Ia mulai menulis harapannya di kertas itu dan melipatnya menjadi sebuah bangau kertas yang cantik. Aku hanya bisa diam menatap apa yang dia lakukan.
"Nanti setelah lahir dan berada di ruang bayi, bacalah harapanku, ya. Warna biru untuk laki-laki dan warna merah untuk perempuan. Dan satu lagi ini untukmu," tuturnya dengan menyodorkan tiga bangau kertas padaku. Aku hanya menganggukkan kepala.
"Baiklah, sayang," jawabku.
Ke esokan harinya. Pukul sembilan malam. Tiga jam lagi pergantian tahun. Terdengar suara teriakan dari Rina. Ia merasakan kontraksi yang begitu dahsyat. Seperti inikah seorang ibu yang akan melahirkan? Aku menemaninya di ruang operasi. Dokter mempersiapkan segala peralatannya bersama suster yang menemaninya. Aku tak tega melihatnya, melihat Rina berjuang menahan rasa sakit yang menderanya.
Pada akhirnya bayi itu terlahir dan suster membersihkan darah yang menempel di tubuh mungilnya. Ku tatap jam tanganku menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tersenyum bahagia. Aku gendong bayi yang masih merah itu ke hadapan Rina. Rina menangis terharu dan tiba-tiba ia tak sadarkan diri.
"Dokter, istri saya, dok," ucapku keras terdengar seluruh ruangan ini.
Seketika aku mengalihkan gendonganku kepada suster dan aku segera pegang pipi dan bahunya.
"Rin... bangun, Rin!" Aku mengoyak tubuhnya tapi tak ada respon.
Sejurus kemudian, dokter segera memeriksa kondisi Rina. Aku cemas dengan kondisinya. Lalu dokter memegang pundakku. Aku jadi bingung akan hal itu.
"Maaf, kami telah berusaha semampu kami. Istri anda mengalami pendarahan yang tak terkontrol. Tuhan telah memanggilnya," jelas dokter.
Aku tak percaya. Ku lihat suster menutup tubuh Rina dengan selimut putih. Ku menangis sejadinya saat Rina di bawa menuju kamar jenazah. Terasa sesak segala nafasku ini, dadaku terasa panas dan bayangan di pikiranku dipenuhi dengan kenangan bersama Rina. Tiba-tiba aku teringat akan bangau kertas pemberian Rina. Segera aku membukanya.
Harapanku telah kembali terkabulkan, memberikan seorang anak kepada suamiku. Lengkaplah sudah jati diriku sebagai wanita dan sebagai istrinya. Harapanku, ia dapat menjadi ayah yang baik dalam mendidik anak kami. Aku mencintaimu Efan, rawatlah anak kita. Jika kamu membaca tsuru merah ini, berarti anak kita perempuan. Jangan lupa ajarkan ia membuat tsuru jika gadis kecil kita memiliki harapan. Semoga gadis kecil kita ini cantik sekali dan tak sejelek diriku. Katakan padanya jika ia tumbuh besar, aku selalu menyayanginya sampai kapanpun dan aku akan melihatnya selalu. Aku menuliskan harapan ini karena ku merasakan, jika tak lama lagi aku akan pergi meninggalkan kalian. Terimakasih sayang atas semua yang kau lakukan padaku. Selamat tahun baru 2017. Salam, istrimu Rina.
Di luar terdengar suara gemuruh kembang api membahana menghiasi seisi kota. Sorak sorai terdengar di mana-mana. Tawa bahagia terpancar dari berbagai rupa. Tapi di sini? Kesedihan menyelimuti.
Kenangan demi kenangan terpampang jelas. Guratan perjuangan terlihat samar menghilang. Ia tak lagi bangun. Tetes air mata mulai merembes deras di wajahku. Duhai sayangku, kau kini tak lagi tertawa bersamaku.
Wajah lembut dan kelantangan suaranya, kan menggantikan yang terlelap. Ketidaktahuannya, membuat ia tak mengerti bagaimana kehidupan yang indah mengenai kebersamaan.
Di saat mereka merayakan kebahagiaan, di saat yang sama diriku merayakan kesedihan. Tuhan telah membuat semua ini dengan mudah. Antara kebahagiaan dan kesedihan, aku memulai cerita baru.
"Sayangku, semoga dirimu bahagia di sisi-Nya. Sementara aku akan selalu menjaga buah hati kita, sampai dimana aku akan menjemputmu ke surga-Nya."
[selesai]
Diubah oleh efantastik 18-11-2017 04:18
0