- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru

Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:

Diubah oleh endokrin 19-05-2019 05:10
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
619.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#947
Quote:
CHAPTER 10
Bruk!!
Sebuah keril jatuh persis didepan aku dan Imron.
“Sial! kalian mendengar sesuatu ?” Terdengar suara Baim tepat diatas kami berdua. Bukannya merasa kaget justru aku merasa lega mendengar suaranya. Rasa khawatir yang sedari tadi menyelimuti kini telah pergi.
“Iya, kami mendengarnya.”
“Aku rasa yang kamu lihat benar-benar nyata bukan halusinasi.”
Aku dan Imron memandang Baim dengan heran.
“Sebentar, biarkan aku mengambil nafas dulu.” Baim melepaskan keril dari pundaknya kemudian membaringkan tubuhnya diatas tanah.
“Tanganku masih gemetar, Sial! Ini pertama kalinya aku melihat secara langsung.” Baim meracau tak jelas, membuat aku dan Imron semakin heran.
“Ada apa ?”
Baim kemudian bangun dan mengambil air minum, ia menegaknya hampir menghabiskan setengah botol.
“Sebaiknya kita pergi dulu dari sini, kita cari tempat untuk berteduh sebelum hujan semakin deras.”
Baim dan Imron menggendong kerilnya masing-masing, aku dibantu berdiri kemudian berjalan paling depan. Walaupun kaki ini baik-baik saja, tapi saat berjalan aku harus melangkah secara perlahan karena kini aku hanya menggunakan satu tangan sebagai pegangan.
Tanah menjadi rapuh dan mudah ambruk ketika diinjak, gerimis telah membuat perjalanan kami sedikit terhambat. Beberapa kali aku hampir tergelincir dan tanganku yang terluka dua kali mengahantam batu dan tanah saat mencoba menahan tubuh agar tidak terjatuh. Kain bersih yang membalut tanganku kini terlihat kotor oleh darah yang merembes dari dalam.
Perjalanan belum menunjukan tanda-tanda bahwa kami akan segera sampai di pos tiga, tapi nafasku sudah tidak bisa berkompromi untuk diajak jalan dan rasa perih ditanganku sudah tidak bisa ditahan. Setelah menemukan sebuah pohon besar yang rindang, kami duduk dibawahnya untuk beristirahat dan berlindung dari hujan yang semakin deras saja.
Baim mengeluarkan rokok dari saku jaketnya, dia menyalakannya kemudian satu dua hisapan membuat mulutnya mengeluarkan asap sebelum akhirnya roko itu diserahkan kepadaku.
“Rokok bisa mengurangi rasa sakit karena mengandung Nikotin, aku sering melihatnya di film-film perang.”
“Yang dipakai tentara itu morfin bukan nikotin, makanya sekolah yang bener.” Satu hisapan rokok membuat nafasku semakin sesak dan batuk.
“Apa yang akan kamu ceritakan tadi Im ?”
“Nanti saja kalau sudah sampai dibawah aku ceritakan.” Baim menyalakan lagi sebatang rokok.
“Sekarang saja, beri aku motivasi agar cepat sampai dibawah.”
“Ini bukan motivasi, ceritanya mungkin akan membuat kamu ketakutan.”
“Motivasi dan ketakutan sama saja, itu yang akan menggerakan kita untuk sampai ke tujuan bukan ? dan sekarang aku tidak memiliki motivasi, mungkin ketakutan bisa membantu.”
Baim melepaskan keril dari pundaknya. Dia sedang berusaha untuk mencari posisi duduk yang nyaman. Sementara Imron sedari tadi matanya tidak berhenti melirik kesegala arah, apakah dia sedang ketakutan atau masih berharap bisa menemukan Hesti dengan pandangannya yang terbatas itu, aku tidak tahu.
Baim menghisap rokonya dalam-dalam sebelum memulai cerita.
“Tadi, saat aku sedang mengepak barang-barang. Aku mendengar suara dari semak-semak, awalnya aku mengira itu hanya ranting yang tertiup angin. Tapi, entah kenapa tiba-tiba aku teringat perkataanmu tentang hewan buas. Tubuhku tiba-tiba saja merinding, karena suara itu terus terdengar.”
Baim kembali menghisap rokoknya.
“Tapi tidak begitu lama, suara yang awalnya hanya terdengar krasak-krusuk saja berubah menjadi suara geraman. Seperti suara harimau atau singa yang sedang menggeram. Aku juga mendengar suara perempuan sedang menangis pelan.”
Tiba-tiba saja Imron terperanjat dan mendekati Baim sambil memegang pundaknya dengan kencang seraya mengguncang-guncangkannya.
“Itu Hesti, itu Hesti.. kenapa kamu meninggalkannya Im ?”
“Dengarkan dulu ceritaku, aku belum selesai.”
Aku menarik Imron agar kembali duduk tenang, tapi tubuhnya menolak dan masih tetap diam didepan Baim sambil terus mengajak agar kembali keatas menjemput Hesti.
“Aku tidak bisa bercerita kalau kamu tetap seperti ini, aku ingin bercerita dengan tenang sambil menghabiskan rokok, bisa ?”
Imron melepaskan cengkraman tangannya. Wajahnya masih terlihat panik namun tidak ada pilihan lain kecuali menuruti perintah Baim jika dia ingin mendengar kabar dari Hesti.
“Aku mendengar suara perempuan dari arah semak-semak, aku juga ingin memastikan suara itu, tapi suara geraman tadi membuatku mengurungkan niat tersebut. Akhirnya aku memanggil nama Hesti namun dengan pelan, entah kenapa aku sangat ketakutan. Saat kupanggil, tiba-tiba suara tangisan perempuan tadi hilang. Aku mengambil pisau didalam ransel, hanya untuk berjaga-jaga kalau suara geraman yang aku dengar adalah hewan buas.”
Baim kembali menghisap rokok kreteknya
“Aku mengambil batu sebesar genggaman tangan, memberanikan diri untuk melempar batu tersebut kearah semak dimana suara itu berasal.”
Baim kembali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya dengan pelan, namun kali ini sebelum berbicara dia terdiam sejenak.
“Kamu tidak akan percaya apa yang aku lihat. Bahkan seumur hidup baru kali ini aku melihat yang seperti itu.”
“Apa yang kamu lihat ?” Imron sudah tidak sabar.
“Saat aku melempar batu yang aku genggam, dari semak-semak keluar sesuatu yang aneh. ukurannya mungkin sebesar sapi dewasa, tubuhnya hitam dan bersisik. Matanya bulat menonjol seperti mau keluar dan berwarna kuning seperti kucing. Aku tidak tahu apakah itu hewan atau makhluk jejadian. Aku melihatnya sekelebat, makhluk itu langsung meloncat pergi. Ku kira dia akan menerkamku.”
“Apakah itu sejenis binatang ?”
“Aku tidak memperhatikannya, menatap matanya saja membuat tubuhku merinding. Aku hanya melihat sekelebat. Tapi yang pasti dia hitam dan bersisik.”
“Kalau itu binatang buas tentu dia sudah menerkam saat kamu lempar dengan batu, tapi kalau makhluk itu sejenis dedemit, tidak mungkin keluar disiang hari bolong seperti ini bukan ?”
“Mungkin ini memang siang hari, tapi kamu lihat keadaan disini gelap karena kabut dan juga hujan. Ini persis seperti menjelang malam hari.” Baim menghisap rokonya kembali.
“Hey ! bagaimana dengan suara perempuan yang kamu dengar ?” Imron masuk kedalam pembicaraan aku dan Baim.
“Aku tidak terlalu yakin itu Hesti, kalau itu memang dia seharunya datang saat kupanggil. Tapi aku jamin seratus persen, suara yang aku dengar sebelum geraman adalah suara perempuan yang menangis lirih.”
“Aku sempat mengecek kembali disekitaran tempat kita mendirikan tenda setelah makhluk itu pergi, tapi nihil Hesti tidak ada.” Lanjut Baim.
Tidak ada kata-kata lagi yang keluar dari kami bertiga. Baim menikmati rokoknya untuk mengusir rasa takut, Imron masih terlihat gelisah, sedangkan aku memikirkan makhluk seperti apa yang dilihat Baim diatas.
Setelah berdiam cukup lama, Hujan gerimis mulai reda namun kabut kembali turun. Pemandangan dibawah yang tadi sudah mulai terlihat pepohonan kini kembali tertutup oleh warna putih.
Kami bertiga melanjutkan perjalanan karena waktu dijam tangan sudah menunjukan jam 2 siang. Menurut Baim mungkin kita akan sampai dibawah saat magrib atau mungkin isya,dia tidak bisa memastikan tepatnya, apalagi ditambah kini aku harus berjalan dengan pelan untuk menghindari cedera karena harus turun dengan satu tangan.
“Apakah menurutmu makhluk itu mengikuti kita ?”
“Aku tidak tahu, tapi tadi saat aku melihat batu menggelinding jatuh kebawah aku melihat makhluk itu terlihat meloncat-loncat, makanya aku cepat-cepat turun karena khawatir dengan kalian.” Baim menjawab pertanyaanku.
“Aku juga mendengarnya suara dentuman batu itu sangat keras.”
Ditengah perjalanan yang diisi oleh perbincangan aku dan Baim, tiba-tiba Imron meminta berhenti. Wajah Imron terlihat pucat, dia kemudian duduk dan bersender pada keril yang sedang digendongnya.
“Rasanya aku sudah tidak kuat, lemas sekali.”
‘Tentu saja, kamu belum makan dari pagi dan energi mu terkuras habis oleh rasa khawatit dan ketakutanmu.”
“Sebaiknya kita istirahat dulu disini.” Lanjut Baim, kemudian ia membuka isi kerilnya.
“Mau apa ?”
“Mie instan tinggal beberapa bungkus lagi, aku mau menanak nasi. Kasian Imron, kamu juga butuh energi banyak karena luka ditanganmu itu.”
Sebenarnya aku sedikit khawatir saat Baim mengajak untuk beristirahat apalagi harus menanak nasi, pemandangan disinipun terlihat gelap karena matahari semakin tidak terlihat dan kabut semakin tebal saja. Apalagi bayang-bayang mata kuning seperti yang diceritakan Baim terus memenuhi kepalaku, bagaimana kalau makhluk itu mengikuti dan dia sedang mengawasi kami bertiga dari balik pepohonan. Tapi aku tidak bisa menolak, sahabatku sekarang sedang dalam keadaan darurat. Memaksa Baim melanjutkan perjalanan mungkin bukan langkah yang bijak, tetapi berhenti ditengah hutan saat hari sudah mulai sore dan perjalanan masih jauh juga bukan pilihan yang tepat.
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
twiratmoko dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup