Kaskus

Story

ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)
TAK SELAMANYA [SELINGKUH ITU] INDAH (TRUE STORY)


Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)



Ketika kesetiaan cinta diuji, apakah Aku bisa bertahan atau malah menyerah?

Kalian bisa menghakimiku, mencaci maki, dan meludahiku dengan hinaan kalian, tapi jangan mereka, orang yang terlanjur mencintai. Cinta tidak pernah salah, yang salah adalah orang yang melakukan penyelewengan, apapun, cinta itu tetap suci. Aku memang sampah. Tetapi tidak dengan mereka.




Kata orang, mendua itu indah. Kata orang, mendua itu membuat bahagia. Mungkin bisa iya, mungkin juga tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini sebuah kisah tentangku yang terjebak dalam dua hati yang sama-sama mencintai, menyembunyikan segala sesuatunya dari Istriku dan menjalani dua kehidupan.

Aku adalah penghuni baru di SFTH, selama ini hanya jadi Silent Reader, dan kali ini sedang berusaha untuk bercerita tentang kisahku yang agak kelam.

Kisah ini aku modifikasi sedemikian rupa, baik dari nama tempat, nama tokoh, dan tanggal kejadian, tetapi percayalah ini masih terjadi hingga saat ini. Saat aku belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil, apakah tetap setia atau terus hidup seperti ini.

Beruntung, Cahaya, Istriku tidak tahu menahu tentang akun ini di Kaskus, bahkan ia tidak pernah sekalipun tertarik dengan Kaskus, sementara Ivory, aku yakin suatu saat ia akan menemukan cerita ini, tetapi tidak masalah.

Hati yang sudah mendua ini butuh pencerahan, karena semuanya kini sudah terlewat jauh dari batasan yang kumiliki sendiri.

Quote:


Maaf apabila ada salah kata, penulisan, atau sikap dalam berforum, mohon bimbingan dari teman-teman semua, dan apabila ditemukan gaya bahasa saya mirip dengan salah satu, atau banyak penulis di SFTH, mohon maklum, saya hanya penulis amatiran baru.

Selamat membaca.

Quote:
Polling
0 suara
Siapa yang harus gw (Sani) pilih?
Diubah oleh ivory.cahaya 11-05-2022 06:16
a.khordAvatar border
arieaduhAvatar border
mhdrdhoAvatar border
mhdrdho dan 19 lainnya memberi reputasi
20
977.7K
2.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
#2704
Final Lap
FINAL LAP


Fajar sudah menyingsing. Begitu cepat berlalu malam yang memisahkan antara jiwa yang menanti Sol dan yang masih merindukan Luna. Alunan mesra nyanyian alam mulai bersambut, manja memanggil jiwa-jiwa yang merindukan belaian Sang Malik di waktu yang masih pagi ini.

Kuhela napas panjang ketika aku sendiri sudah terjaga sejak tiga puluh menit sebelum panggilan itu membasuh jiwaku di pagi ini.

Seluruh keluargaku sudah bersiap, datang dengan membawa seserahan yang akan disandingkan dengan kehadiran diriku dan keluargaku di rumah Ivory pagi ini. Sehingga, nanti ketika jam 11.00 tepat, kami bertolak dari rumah ini dan menuju ke rumah Ivory.

Sebuah hal yang harus kualami untuk kedua kalinya.


“San,” panggil Papaku seraya memandangku yang saat ini sudah bersiap dengan pakaian terbaik untuk memanjatkan segala permohonan kepada Sang Rahman.

“Ayo bareng-bareng aja,” ujarnya lagi.


Aku bersama Ayahku, Pamanku, dan saudara laki-laki yang lain kemudian bertolak, menuju tempat di mana ayat suci selalu terlafalkan di sana, mengisi segala kekosongan hati dengan indah dan eloknya lantunan nada yang begitu mengagungkan Sang Jabbar.

*****


Waktu sudah menunjukkan pukul 10.50.

Saat ini, kami semua sudah bersiap dengan pakaian kami yang tidak seragam namun rapi. Beberapa dari saudara laki-lakiku malah meledekku dengan candaan yang begitu mencairkan suasana yang sangat menegangkan ini.

Sungguh, berapa kalipun aku dihadapkan dengan suasana seperti ini, aku pasti akan mengalami perasaan gugup yang sama.

Seluruh benakku langsung berpikir, menuju ke sebuah titik horizon di mana takdir dan impian harus dipertemukan.

Apakah aku bisa membahagiakan Ivory?

Apakah aku adalah laki-laki yang bisa selalu membimbing Ivory?

Apakah aku bisa bertanggung jawab penuh kepada Ivory?

Dan waktu penentuan itu pun tiba, seraya seluruh keluargaku bersiap untuk segera bertolak ke rumah gadis yang saat ini pasti memiliki rasa gugup dan canggung serupa denganku. Terlebih, semenjak kemarin aku memulangkannya, tidak ada satu kabarpun kuterima dari Ivory.

Bahkan dari Anita.

*****


Iring-iringan singkat kami terhenti di depan rumah Ivory.

Beberapa orang tampak sudah menantikan kedatangan kami. Senyuman mereka yang penuh kebahagiaan seolah menjadi sebuah semangat yang mungkin tidak akan pernah kulupakan di hari yang begitu kunanti ini. Walaupun ini adalah kedua kalinya aku merasakan ini, tetapi tidak pernah rasanya aku bisa melupakan bagaimana ini akan terjadi.

Pandangan penuh makna dari kedua orangtuaku juga seolah menjadi penyemangat.

Aku akan menjalankan sebuah pernikahan baru dengan seorang gadis berusia delapan-belas-tahun yang saat ini akan menempuh kuliah kedokteran di salah satu universitas ternama di Jakarta. Dan gadis yang ingin kunikahi itu adalah gadis yang begitu luar biasa tulusnya.

Sama seperti Cyllia, dan itu yang selalu Alfarizi katakan kepadaku.

Sejurus, kulangkahkan kakiku untuk turun dari kursi baris kedua kendaraan J-Segment ini seraya kedua orangtuaku yang juga ikut turun, berjalan di sampingku seraya membentuk formasi ketika seluruh keluargaku membawa dua-puluh-dua seserahan yang sudah terbungkus rapi di sebuah tempat berwarna ungu, warna kesukaan Ivory.

Sambutan yang sangat hangat kami terima. Dengan adat Jawa klasik, keluarga Ivory menerima kedatangan kami, lengkap dengan pembawa acara yang menggemakan suara berat dan khas Jawa tersebut melalui sebuah speaker yang tampak terpasang di sudut-sudut rumah ini.

Seketika pandanganku memburam saat langkah demi langkah maju.

Dan ketika secara simbolik, pihak keluarga Ivory menerima seserahan dari kami seraya kami duduk bersimpuh di antara ramainya orang yang juga memandang kami dengan sorot mata yang menyiratkan kebahagiaan yang begitu absolut saat ini.


“Terima kasih untuk keluarga Ivory sudah menerima kedatangan kami,” ujar Papaku.

“Kedatangan kami kemari, pertama-tama adalah untuk menjalin tali silaturahmi, di antara pihak Sani dan juga Ivory.”

“Terima kasih banyak Pak Ilham selaku orangtua Mas Sani sudah repot-repot datang jauh dari Bandung menuju kemari,” ujar Pak Ardi, senyumannya begitu bersahaja saat ini.

“Sama-sama Pak Ardi,” ujar Ayahku.

“Seperti yang kita tahu juga Pak.”

“Anak-anak kita sudah menjalin hubungan cinta yang sudah terjadi selama dua bulan terakhir ini.”

“Dan agar menjaga anak-anak kita tetap di jalur dan tetap di syariah yang tepat, saya selaku orangtua Sani berniat untuk melamar anak Bapak, Ivory.”


Sesaat setelah Papaku mengatakan itu, duniaku serasa berhenti berputar. Pandanganku terus menerus kabur dan mulai menggelap. Bahkan, untuk melihat secercah cahaya pun rasanya amat sangat sulit. Napasku tersengal, tertahan di tenggorokan seolah tidak mau memenuhi paru-paru ini dengan oksigen.

Sejurus, seluruh bayang-bayang tentang Cahaya kembali terputar di kepalaku.

Sungguh, rasa ini benar-benar kuingat, ketika aku bersama kedua orangtuaku juga pernah melakukan ini. Di seberangku sudah menunggu seorang wanita terindah yang saat itu selalu kucintai, Cahaya. Dan saat ini, bayang-bayang itu kembali menyeruak, menampar dengan keras seluruh kenanganku dengan keindahan yang pernah ia pancarkan kepadaku.

Cahaya, wanita itu masih saja memiliki nama di hatiku, sejurus dengan segala hal yang pernah terjadi di antara kita, membuat kami semakin terikat dan semakin tak mungkin dipisahkan hanya dalam hitungan hari saja.


“Saya selaku wali dari Ivory, dengan bahagia dan senang hati menerima lamaran Sani hari ini.

“Alhamdulillah,” seluruh tamu yang hadir saat itu mengucapkan satu kalimat syukur yang sama.

“Dan selaku pihak wanita, saya berharap Akad Nikah bisa segera dilakukan secepatnya.”

“Sani sudah mengatur semuanya, dan tanggal yang terpilih adalah 4 Juni 2016, itu berarti hanya tinggal beberapa hari lagi,” ujar Papaku, dan sekali lagi ucapan syukur teruntai begitu indah, membuat seluruh bulu kudukku berdiri.

“Sebagai ucapan terima kasih kami, saya selaku wali dari Ivory meminta para tamu yang hadir untuk sekadar menikmati hidangan seadanya sebelum nanti kita melakukan Sholat Dzuhur berjamaah di Masjid terdekat, baru kita lanjutkan dengan acara makan siang.”


*****


Selesai melakukan kewajiban siang, acara diteruskan dalam sesi ramah tamah. Banyak pertanyaan yang teruntai ketika aku duduk menyendiri di sudut ruangan seraya menikmati makan siang yang begitu luar biasa ini. Kedua orangtuaku bersama Pak Ardi tampak langsung akrab.

Benar-benar sebuah atmosfer yang terasa begitu berbeda ketika aku dahulu melamar Cahaya.

Sejurus kemudian, sesosok gadis muncul di depanku, lengkap dengan pakaian yang menutup sempurna tubuhnya, ia benar-benar terlihat begitu anggun saat ini.


“Kakak,” panggilnya manja.

“Eh, Dek,” ujarku, tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini, seorang bidadari cantik yang duduk bersimpuh di depanku seraya membawakanku sepiring makanan penutup.

“Bengong aja sendirian,” ujarnya, senyuman gadis itu benar-benar begitu menenangkan segala yang mengacaukan pikiranku kini.

“Iya Dek, lagi kepikiran aja.”

“Daritadi aku gak bisa berenti mikirin Aya.”

“Maafin aku ya,” ujarku pelan.

“Enggak apa lah Kak, namanya juga Kak Aya pernah jadi Istri Kakak,” ujar gadis itu dengan senyuman yang begitu tulus.

“Dan akhirnya hari ini dateng juga,” ujarku, tersenyum kepadanya.

“Dua hari lagi ya Kak kita resmi,” ujar Ivory bersemangat.

“Insya Allah,” sahutku pelan, “jadi gak perlu kucing-kucingan lagi ya Dek.”

Gadis itu lalu tersenyum, “jadi dong Kak bikin Adek buat Reva.”

“Ya jadi dong sayang.”

Ivory lalu tertawa kecil, “tapi bikin aja ya Kak.”

“Jangan jadiin dulu, masih pengen pacaran Adek.”


Aku mengusap pelan kepalanya yang tertutup oleh hijab panjang itu. Begitu sempurna menutup tubuhnya, dan sungguh menambah aura wanita yang selama ini belum pernah aku lihat dari Ivory sebelumnya. Ia tersenyum seraya aku mengusap kepalanya lebih keras lagi.

Ada satu kelegaan atas keputusan yang kuambil beberapa hari yang lalu itu.

Meskipun miliaran sakit telah kuterima.

Meskipun triliunan bahagia telah kudapatkan.

Tetapi, hal itu tentu belum sepadan dengan apa yang telah berjalan di rentang waktu sejak aku mengenal Cahaya.

Semua itu tidak akan pernah bisa tergantikan di dalam hatiku. Sebuah nama yang benar-benar banyak memberikanku arti kehidupan dan arti bagaimana bisa mencintai seseorang dengan tulus, walaupun banyak hal yang telah terjadi di antara kami.


“Nanti malem Kakak mau kan ke rumah Kak Nita?” tanya Ivory pelan.

Aku memandang ke arah gadis itu, enggan rasanya aku menjawab pertanyaannya barusan, “sebenernya sih Kakak gak mau Dek.”

“Kakak harus ke sana,” pinta Ivory, “please.”

“Ini permintaan aku ke Kakak,” ujar Ivory pelan.

“Tapi Dek, apapun yang terjadi, itu cuma akan nambah sakit Anita nanti.”

Ivory menggeleng, “justru dia akan lebih sakit kalo Kakak enggak ke sana.”

“Sekarang udah tanggal dua, besok tanggal tiga.”

“Lusa, Kakak sama aku udah nikah.”

“Dan saat itu, Kak Nita pasti akan pergi dari Kakak.”

Aku menghela napas panjang, “tapi enggak dengan cara begini Dek.”

“Please Kak,” wajah Ivory berubah seketika ia mengetahui bahwa aku menolak permintaannya dengan halus, “aku minta, buat malem ini aja, dateng ke rumah Ka Nita.”

“Besok enggak ke sana juga enggak apa-apa.”

“Tapi Adek mau, Kakak temuin Ka Nita.”

“Adek tahu rasanya gak punya orangtua Kak.”

“Apalagi, dia pasti butuh dukungan saat orang yang dia cintai ternyata lebih milih perempuan lainnya.”

“Adek mohon ya Kak,” pinta Ivory, ia merendahkan nada bicaranya.

Aku mengangguk pelan, “iya Dek, aku akan coba buat ke rumah Nita.”


*****


Acara selesai saat jam menunjukkan pukul 14.00, dan saat itu kami langsung berpamitan kepada Pak Ardi dan keluarga besar Ivory yang saat itu mengantarkan kepergian kami hingga ke mobil masing-masing.

Ribuan ucapan terima kasih terus menerus dilantunkan begitu tulus oleh Pak Ardi. Ada sebuah kebahagiaan dan juga kebanggaan yang terlihat dari tiap sorot matanya kepada kami. Meskipun, ia sendiri tahu, bahwa Nada, kakak kandung Ivory yang saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana harus dilewati oleh pernikahan Ivory.

Tetapi, tampaknya itu bukan masalah yang besar bagi mereka.

Sejurus kami naik ke kendaraan ini, kami pun melaju pelan untuk meninggalkan kediaman Ivory dan kembali ke rumahku yang sudah kuberikan kepada Cahaya sesaat setelah aku menikah dengan Ivory nanti.


“Kamu yakin San, mau tinggalin rumah yang lama?” tanya Papaku.

“Iya Pa,” jawabku pasti, “yang di sini biar buat Aya aja.”

“Yaudah, sekarang kamu rapiin lah, waktu kamu kan cuma sedikit,” ujar Papaku tegas.

“Udah rapi kok Pa,” ujarku ringan.

“Barang-barang yang di sana kan masih di sana, masih bagus-bagus juga,” ujarku lalu tersenyum melalui kaca spion tengah.

“Berarti kamu emang ada niat buat nikah lagi kalo gitu sih,” ujar Papaku lalu tertawa kecil.

“Eh, bukan gitu Pa.”

“Emang aku bilang sama Aya, kalo rumah yang di sana biarin aja gitu.”

“Tiap sebulan sekali Herman selalu ke sana buat beresin kok,” ujarku lagi, “apalagi, Herman kemaren udah beresin semuanya, jadi udah bisa ditinggalin.”

“Berarti, rumah udah siap ya San,” ujar Mamaku, “terus buat kemana-mana gimana?”

“Kan masih ada motor Ma, lagian Vo katanya mau bawa mobilnya juga.”

“Mobil yang di rumah itu?” tanya Mamaku.

“Iya Ma,” jawabku pelan.

“Terus buat kuliah Vo gimana?” tanya Papaku lagi.

“Dia kuliah kedokteran loh San.”

“Butuh biaya banyak buat ini itu.”

“Vo juga udah bilang, kalo masalah kuliah dia udah ada dana dari mendiang orangtuanya.”

“Jadi nanti usaha yang di ruko buat sehari-hari.”

“Sementara aku masih nunggu panggilan buat yang offshore itu Pa.”


Kedua orangtuaku tersenyum dan mengangguk, mereka langsung paham dengan jalan pikiranku yang sudah kususun ini. Hanya saja, satu hal yang belum aku pahami tentang jalan pikiran mereka, bagaimana bisa mereka memikirkan Anita yang seharusnya tidak boleh kupikirkan mengingat dua hari lagi adalah hari bahagiaku.

Entahlah, tetapi saat ini aku hanya ingin fokus untuk membahagiakan Ivory, itu saja.

*****


Waktu sudah menunjukkan pukul 19.30, bertepatan saat hujan gerimis yang mewarnai Bekasi sejak jam 18.00 tadi. Sejenak aku ingin mengurungkan niatku untuk mengunjungi Anita, tetapi Ivory sudah memintaku untuk menemuinya malam ini.

Dengan Hatch B Segment milik Ivory, aku langsung bertolak menuju ke rumah Anita, saat itu aku membutuhkan waktu kurang dari dua-puluh-menit untuk tiba di rumahnya yang saat ini tampak begitu sepi, dan memang selalu sepi setiap saat.

Saat aku turun dari rumahnya, wanita itu tampak langsung keluar dari pintu depan.

Wajahnya begitu sendu saat senyum itu tersungging begitu getir di atas pandangannya yang begitu nanar. Sejurus, seolah tidak peduli dengan apapun, ia langsung berlari dan mendekapku dengan begitu erat.

Ada hangat rasa cinta yang benar-benar kurasakan di tiap-tiap detik dekapannya yang begitu erat di tiap-tiap rintik hujan yang turun semakin deras malam ini.


“Malem ini, mau enggak Kakak ajak aku dating?” tanya Anita pelan.

“Ke mana?” tanyaku pelan.

“Ke mana aja, terserah Kakak.”

“Aku mau keluar dari rumah ini, terakhir sama Kakak sebelum Kakak nikah sama Vo,” ujarnya pelan.

Aku mengangguk, “yaudah kita maen ke rumah aku yang di Setu aja, gimana?”

“Eh, rumah tempat kamu tinggal sama Vo nanti ya Kak?”

“Iya,” ujarku pelan.

“Malem ini, aku mau masakin sesuatu buat kamu Nit.”


Kuraih tangannya pelan, seraya aku menutup pintu depan rumahnya dan mengajaknya memasuki Hatch B milik Ivory yang saat ini kubawa. Sejurus, aku langsung meninggalkan rumah Anita dan segera menuju ke sebuah rumah yang berada di wilayah Setu.

Butuh waktu hampir satu jam untukku tiba di sana. Dan sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam bersama Anita. Ia lebih banyak menggenggam tanganku yang sejak tadi bersandar di atas tuas perseneling otomatis kendaraan ini. Hanya helaan napas yang terdengar begitu berat saat detik demi detik terlewati hingga kami tiba di depan sebuah rumah yang memiliki ukuran sembilan-kali-dua-belas-meter-persegi ini.


“Lampunya nyala Kak?” tanya Anita. Itu adalah lisan pertamanya setelah hampir satu jam ia hanya membungkam lisannya tanpa mengatakan apapun kepadaku.

“Otomatis Nit,” ujarku pelan.

“Lagian rumah ini udah dibersihin sama Herman kemaren, jadi aku yakin pasti bersih.”


Aku lalu memutar kunci mobil ini, sesaat setelah mesinnya dimatikan, aku langsung melangkahkan kaki turun, kemudian membukakan pintu penumpang depan, lalu menarik pelan tangannya untuk masuk ke dalam rumah ini.

Ketika pintu ini kubuka, rumah yang sudah lama tidak aku singgahi ini benar-benar masih bersih dan terawat. Seluruh barang-barangnya masih berada di tempatnya, bahkan saat lampu dinyalakan, ruangan ini tidak lembab seperti rumah yang sudah lama tidak ditinggali.

Sejurus, aku mengajak wanita itu untuk duduk di depan televisi sementara aku memasak makanan untuknya. Tidak banyak yang bisa kumasakkan untuknya, hanya pasta yang tadi kubeli di mini market terdekat dengan beberapa pelengkap.

*****



“Makasih Kak, masakan Kakak enak,” ujarnya, dengan senyuman yang masih terlihat getir malam ini.

“Sama-sama Nit,” ujarku pelan, “makasih juga udah mau aku ajak ke tempat ini,” ujarku lalu melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan sudah pukul 22.30.

“Yuk pulang,” ujarku lalu tersenyum kepada Anita.

Wanita itu langsung menggeleng, “aku mau semalem aja sama kamu di sini, bisa enggak Kak?”

“Aku pengen ulangin lagi sama kamu, sampe aku mungkin udah gak bisa lagi.”

“Tapi, aku juga pengen jadi Istri kamu, gak cuma sekadar sekali, dua kali, ato sesuatu yang bisa kuitung.”

Wanita itu lalu duduk bersimpuh di bawahku, ia memandangku dengan tatapan yang penuh kesedihan, “cinta aku ke kamu, udah bener-bener lebih gede dari apapun Kak.”

“Aku mau, kamu jadi yang terakhir buat aku.”

“Aku lebih baik enggak nikah kalo enggak sama kamu,” ujar wanita itu, tangisannya pun pecah seraya air mata yang mengalir pelan membasahi pipinya.

“Nit, hei Nit,” ujarku lalu mengusap kepalanya, “kamu enggak perlu segitunya sayang.”

“Aku juga sayang sama kamu, aku juga cinta sama kamu.”

“Tapi, aku enggak mungkin bisa buat lakuin itu lagi ke kamu, cukup saat itu aja.”

Wanita itu menggeleng, “justru aku akan kuat buat pergi jauh Kak.”

“Aku mau pulang ke Yogya, ke rumah Nenek aku di sana.”

“Dan aku mau, ini jadi yang terakhir buat aku sama kamu, sebelum aku pergi.”


Wanita itu lalu menegakkan tubuhnya tepat di depanku. Tanpa banyak bicara, di tempat ini, ia berusaha melumpuhkan segala saraf sadarku dengan begitu cepat. Sungguh, aku tidak dapat berkutik atas pernyataan cintanya barusan, dan aku tidak dapat bergerak saat ia mulai melangkah lebih jauh.

Menancapkan cinta lebih dalam lagi, membuat segalanya makin rumit di antara pilihan hati yang telah terputuskan saat itu.


“Let the light exploding again, again, and again in the black hole,” ujar wanita itu, saat tangisannya masih mewarnai malam ini.

“I love you very much, Kak.”

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.