- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru

Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:

Diubah oleh endokrin 19-05-2019 05:10
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
619.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#823
Quote:
CHAPTER 9
“Hesti..” panggilku pada sosok tubuh yang sedang berjongkok diatas.
Beberapa kali aku memanggil hingga akhirnya sosok misterius itu kepalanya berbalik kearahku. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena tertutup kabut. Ada suatu kejanggalan yang tiba-tiba saja membuat tubuhku merinding, makhluk yang aku anggap Hesti itu tiba-tiba saja meloncat seperti seekor kangguru kearah semak-semak.
“Astagfirulloh..” aku menghentikan langkahku, aku takut makhluk tadi adalah binatang buas.
Aku kembali kebawah hendak menemui Baim dan Imron, dengan langkah terburu-buru karena ketakutan tanpa sengaja aku menginjak batu licin hingga membuat tubuhku ambruk terjatuh melewati tebing.
Entah apa yang terjadi, karena saat terjatuh aku menutup mata, karena kukira ini akan menjadi akhir hidupku. Tapi yang pasti saat bangun, aku merasakan sakit yang luar biasa dibagian sikut tangan. Tubuhku tersangkut diantara bebatuan, untunglah masih selamat.
“Jangan bergerak” Kata Baim.
Rupanya aku jatuh melewati Baim dan Imron. Saat aku mencoba bangun, aku merasakan punggungku sakit, tapi tidak lebih sakit dari tangan kananku. saaat kulihat tubuhku, ada darah yang mengalir deras dari sobekan jaket dibagian lengan.
“Jangan bergerak dulu” Baim memegang tanganku.
Sial, sakitnya luar biasa hingga ingin membuatku berteriak.
“Aku ingin melihat lukaku Im, rasanya tanganku mati rasa. Apakah tanganku patah ?” kini aku bicara dengan isak tangis, karena rasa sakit yang tidak bisa kutahan.
“Sebaiknya langsung dibalut saja, untuk menghentikan pendarahannya.” Baim menyobek baju yang dia kenakan untuk membalut luka ditanganku.”
“Aku hanya ingin memastikan tanganku tidak patah, sakit sekali aku sudah tidak tahan.”
Mungkin karena kasihan melihatku akhirnya Baim mengiyakan permintaanku, dia mengajak Imron untuk membopong tubuhku ke tempat yang lebih aman. Tubuhku disandarkan pada pada bebatuan, posisi kami sekarang sudah tidak berada ditempat yang curam. Imron terlihat jongkok dihadapanku dengan ekpresi wajah yang meringis, untuk sesaat kami lupa bahwa ada hal yang lebih mendesak yaitu salah satu teman kami telah hilang.
“Apakah wajahku berdarah Im ?”
“Kamu masih terlihat tampan tenang saja” Baim mungkin ingin menghiburku, tapi tidak terasa lucu sama sekali.
Baim membuka jaketku secara perlahan. Begitu tangan kananku digerakan, sakit itu terasa dua kali lipat dan darah mengucur lebih banyak lagi. Aku menahan sakit dengan mengatupkan gigi hingga terdengar suara gemelutuk gigi bergeser dan ludah mengucur dari dalam mulut.
Saat jaket berhasil dilepas, rasanya tubuhku terasa lemas saat aku melihat luka robek menganga dilenganku. Daging dibagian sikut atas hingga kebawah terlihat mengelupas, panjang sehingga dagingnya terlihat ingin lepas dari tanganku. Bahkan aku bisa melihat tulang tanganku yang berarwarna putih dibagian dalam.
“Sial, aku akan mati Im.. aku akan mati” aku menangis. Tubuhku menggigil entah apa penyebabnya apakah rasa dingin atau rasa sakit yang tidak bisa aku tahan lagi, sekarang aku tidak bisa berpikir.
“Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Ini tidak akan membunuhmu, kita akan sampai dibawah dengan segera.”
Tentu saja ucapan itu hanya untuk menenangkanku, kami tidak akan sampai dibawah dengan segera, dan lukaku mungkin saja akan membunuhku kalau terus mengeluarkan darah. Aku ingin memaki Baim, tapi percuma saja karena energiku terkuras untuk menahan rasa sakit.
“Tahan sebentar, gigit ini untuk menahan rasa sakit.” Baim memberiku sepotong kayu kecil, mungkin dia tidak tahan mendengar suara gemeletuk gigiku sedari tadi.
Baim memegang daging tanganku yang hampir copot dan menempelkannya agar tulangku kembali terbungkus seperti semestinya. Darah hitam keluar membasahi baju dan celanaku, rasa sakitnya hampir saja membuat pandangku gelap namun masih bisa kutahan. Begitu lukanya sudah terututup rapat, dengan segera Baim membalutkan kain dan mengikatnya dengan kencang. Garis-garis luka itu masih terlihat dan darah masih merembes keluar.
“Ini tutup lukanya sampe rapat.“ Imron merelakan Baju yang dikenakannya untuk dijadikan kain pembungkus.
“Tenang saja, aku tidak akan kedinginan. Aku mengenakan dua lapis jaket.”
Baim merobek kain bajunya agar semakin panjang, kemudian dililitkannya pada lenganku hingga kini luka itu sudah terbungkus rapih. Walupun begitu rasa sakitnya tetap saja terasa ngilu.
“Apa kamu masih bisa jalan ?”
Aku mencoba mengangkat tubuhku. Walaupun masih tertatih dan dibantu Baim, Aku masih bisa berdiri dan masih bisa melangkah, kaki ku baik-baik saja, tapi ada rasa perih dibagian punggung dan pinggang. Saat kusuruh Baim untuk melihat bagian tubuh belakangku, dia bilang semuanya baik-baik saja, hanya luka gores biasa dan hanya mengeluarkan sedikit darah.
“Aku melihat kamu tadi mendarat dengan tangan untuk menutupi wajah, masih sukur kepalamu masih terlindungi Pan.”
“Huss..sudah jangan membicarakan untung dan rugi dulu.” Baim mencoba mengikatkan sisa kain bajunya pada lenganku kebagian leher.
……………………………….
Baim menyuruhku untuk kembali duduk beristirahat, tanpa banyak bertanya mungkin dia mengerti aku masih kesakitan, Baim Pamit untuk membereskan barang dan Imron ditugaskan untuk menjagaku.
“Hati-hati Im, tadi diatas aku melihat sesuatu, itu yang membuatku kaget hingga terjatuh seperti ini, Aku takut itu binatang buas”
“Hah ? apa yang kamu liat ? Macan ? harimau ? “ Imron tampak ketakutan.
“Aku tidak tahu, dia melompat kesemak-semak dengan cepat.”
Baim sempat ragu untuk melanjutkan langkah, namun baginya tidak ada pilihan lain, semua perlengakapan kami ada diatas termasuk makanan. tapi katanya semuanya akan baik-baik saja, dia akan mengepak semua perlengkapan termasuk tenda dengan segera.
“Tinggalkan saja sebagian peralatan Im, bawa yang penting saja.” Pesan Imron.
“Tapi bukankah itu barang yang kalian sewa.”
“Persetan dengan barang-barang itu, sekarang kita sedang kehilangan teman dan Topan juga terluka.” nada Imron meninggi mungkin dia kesal dengan kejadian ini, kalau saja cuaca ditempat ini tidak dingin mungkin wajahnya sudah merah membara.
Baim pergi tanpa mengucapkan lagi apapun, perdebatan dalam kondisi genting seperti ini memang sia-sia belaka.
…………………………………………..
“Apakah yang kamu lihat benar-benar binatang buas ?”
“Aku tidak tahu, tidak terlalu yakin.”
Tiba-tiba saja Imron menangis mendengar jawabanku.
“Bagaimana kalau itu benar binatang buas dan Hesti semalam… hujan sialan telah membuat telinga kita tidak mendengar apapun, bagaimana kalau Hesti..” dalam tangisnya Imron bicara dengan terbata-bata.
“Jangan menduga-duga dan berhentilah menangis, simpan garam dalam tubuhmu, perjalanan kita masih jauh.”
Imron menyeka air matanya, dia mendekatiku dan duduk bersandar pada batu sambil melihat pemandangan didepannya yang hanya dipenuhi oleh kabut. Aku memberikannya sepotong jahe yang masih tersisa disaku, aku tahu dia belum makan dari tadi pagi. Mungkin jahe itu tidak membuatnya kenyang tapi setidaknya bisa membuat tenggorokannya hangat.
“Kalau aku mati, maukah kamu menggendong mayatku kebawah ?”
“Siapa yang bisa menjamin kamu mati lebih dulu ? bukan tidak mungkin justru kamu yang harus menggendong mayatku Topan.”
“Kalau hal buruk menimpa Hesti, mungkin seumur hidup aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku” Lanjut Imron.
Aku tidak bisa menjawab ataupun memberi motivasi lagi kepada Imron, keadaan kami bertiga sekarang benar-benar kacau. Mungkin Hesti sudah benar-benar meninggal, aku tidak tahu harus mencari skenario apa lagi di
dalam kepalaku untuk meyakinkan bahwa masih ada harapan hidup untuk Hesti.
Hari sudah menjelang siang, tapi kabut menutupi sehingga terlihat seperti sore hari. Suasana sepi tak terdengar suara apapun, mungkin burung-burung yang biasanya berkicau kini sedang bertengger disarangnya yang hangat. susasana sepi seperti ini saat di Bandung selalu aku rindukan, tapi sekarang kenapa terasa sangat mengerikan.
Aku merindukan ibuku dirumah, sedang apakah dia sekarang. Apakah dia tahu bahwa anaknya sedang sekarat ditengah hutan. Tidak bisa kubayangkan wajahnya kalau tahu aku sedang menderita, apalagi kalau aku sampai pulang kerumah dalam keadaan tidak beranyawa. Ibuku yang malang akan hidup sendirian, harapan hidup satu-satunya telah meninggalkannya.
Aku tidak bisa menahan air mata, tapi tangisan ini bukan kekecewaan ataupun perasaan putus asa. Aku meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku harus selamat dan kembali pulang kerumah. Aku ingin bertemu ibuku, aku masih punya tugas untuk membahagiakannya, dengan cara apapun nanti.
“Simpan garam dalam tubuhmu, perjalanan kita masih panjang.” Imron mengingatkanku, aku tersenyum saat mendengar ucapannya kemudian kuseka air mata dikedua pipi.
“Apakah kamu merasa Baim sudah terlalu lama pergi ?”
“Mungkin dia mengepak seluruh barang.”
“Bukankah sudah kuingatkan hanya untuk membawa barang yang diperlukan saja, membawa semuanya hanya akan menjadi beban.”
“Apakah sebaiknya aku susul saja keatas ?”
“Terserah kamu, tapi bukankah Baim berpesan agar kamu menjagaku saja disini. Aku Cuma khawatir kamu belum makan seharian. Tidak kah kamu merasa lemas sekarang ?”
“Entahlah, aku tidak tahu lagi apa yang tubuhku rasakan saat ini. Aku hanya memikirkan nasib Hesti.”
Embun dari kabut membasahi wajah, kami berdua kini duduk diam tanpa percakapan dan sedang mencoba menikmati keheningan. Gerimis kembali turun dan disini tidak ada tempat untuk berlindung. Jas hujan yang kami bawa masih berada didalam tas, tidak ada pilihan selain menunggu Baim turun sebelum akhirnya kami berdua basah kuyup.
Kabut mulai menghilang entah terbawa angin atau mulai mencair menjadi hujan. Samar-samar pemandangan dibawah terlihat secara perlahan, pucuk-pucuk pohon besar kini sudah mulai Nampak.
“Lihat..lihat..” Imron menepuk-nepuk paha, kemudian aku melihat ketempat yang ditunjuknya.
“Apa ?”
“Kamu tidak melihatnya ? tadi seperti ada yang berlari cepat dari atas kebawah.” Belum sempat aku menjawab
terdengar suara dentuman yang begitu keras seperti suara batu yang beradu dari arah kiri dibawah kami.
Kami berdua saling menatap, rasa dingin tiba-tiba saja menyelimuti. Wajah Imron kini terlihat lebih pucat dari sebelumnya, dan degup jantungku menjadi lebih cepat.
“Kenapa Baim belum juga kembali ?”
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
twiratmoko dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup