One of My Biggest Lost...

Hampir satu minggu, Anggie belum juga membalas pesan maupun menerima panggilan gw lewat Hp.. Sementara, Ridho beberapa kali datang menemui gw, baik itu di sekolah atau di rumah.. Gw memang sempat memberikan alamat rumah ke Ridho sebelumnya.. Dia juga mengaku sudah mengirimkan pesan ke dua remaja lagi, yang mengalami kejadian sama dengan kami, yaitu sempat di nyatakan hilang selama tiga hari..

Ridho juga bercerita, waktu itu dia iseng mengetik nama Bimo dan Suluh di kontak Hp nya.. Sesuai dengan nama yang ada di dalam screen shot berita yang di simpan di dalam hp nya.. Ternyata kedua nama remaja tersebut sudah tersimpan di dalam kontak Hp nya Ridho.. Jika memang suatu kebetulan, maka ini adalah kebetulan yang tingkatannya berada di luar akal sehat.. Gw dan Ridho semakin yakin bahwa ada sesuatu atau seseorang dibalik semua keganjilan ini..

Sementara, gw yang tak tega mendiamkan Rio, mau tidak mau harus menekan rasa ego dan emosi gw untuk memaafkannya.. Rio juga berjanji tidak akan mengulangi tindakan bodohnya yang dahulu dan akan berusaha menceritakan kejadian sebenarnya ke Anggie..

Selepas pulang sekolah, gw berdiam diri di kamar sambil membuka Hp.. Sejak Anggie tidak mau di hubungi oleh gw, Hp selalu menjadi barang pertama sekaligus yang paling sering gw lihat baik saat senggang atau pun sibuk.. Sekedar untuk memastikan akan ada tidaknya balasan dari Anggie..

Mengetahui tidak ada pesan apapun, gw langsung mengambil ear phone dan menyumpal kedua telinga.. Lagu ‘Reason’ milik Hoobastank, terasa tepat untuk menggambarkan suasana hati gw saat ini..

“Bang, Ayah boleh bicara sebentar” Kata Ayah yang berjalan masuk ke kamar gw dan duduk di sisi ranjang..

Gw yang sedang mendengarkan musik di Hp dengan ear phone sambil bersandar di kepala tempat tidur, langsung melepas kedua earphone dan duduk di sebelahnya..

“Ada apa, Yah?” Tanya gw penasaran..

Sesaat, Ayah menatap gw dengan tatapan sendu namun terkesan aneh, lalu membelai kepala gw dengan penuh kasih sayang..

“Ayah mau tanya sama abang, mau kuliah dimana nanti?” Tanya beliau lagi..

Gw terdiam sesaat memikirkan jawaban yang tepat, tapi sayangnya tak ada satupun pilihan kampus yang muncul di benak gw..

“Belom tau, Yah” Jawab gw cukup singkat..

“Loh, kamu kan kelas tiga sekarang.. Seharusnya sudah ada bayang-bayang atau rencana untuk melanjutkan pendidikan, Bang” Nasihat Ayah..

Gw mengangguk untuk mengiyakan nasihatnya barusan..

“Kamu kan anak pertama sekaligus anak laki-laki di keluarga ini, bang.. Ayah minta kamu lebih fokus lagi belajar dan menanamkan rasa tanggung jawab dari sekarang, karena suatu saat kamu akan jadi kepala keluarga juga seperti ayah” Ucap Ayah sambil merangkul bahu gw..

“Ayah juga punya tabungan yang lumayan untuk biaya kamu kuliah, dan juga pendidikan Ayu.. Semua tabungan itu, ayah jadikan dua rekening atas nama kamu dan adik mu, tapi kedua nya di pegang oleh ibu” Sambung Ayah yang di selingi wajah seperti menahan sakit, namun segera di sembunyikan oleh beliau..

“Ayah minta maaf beberapa waktu lalu, sedikit keras ke kamu, Bang.. Ayah mau mulai sekarang kamu harus lebih bisa belajar dewasa, terus rajin beribadah, itu saja bang” Kata Ayah sambil berdiri..

Gw menatap laki-laki yang tubuhnya nampak jauh lebih kurus semenjak sakit-sakitan itu, lalu ikut berdiri mengikutinya.. Tiba-tiba Ayah memeluk dengan sangat erat untuk beberapa saat.. Sejenak, dalam hati gw terbersit sebuah rasa tidak enak sekaligus haru melihat kasih sayang Ayah yang begitu tulus ke gw, seorang anak yang boleh di bilang kurang berbakti..

Kondisi Ayah kembali menurun, beberapa hari lalu, beliau sempat tidak masuk kerja karena mengeluhkan sakit di jantungnya.. Memang menurut dokter yang biasa menangani, ada masalah cukup serius di jantung Ayah.. Tapi hari ini, beliau memaksakan untuk masuk dengan alasan ada tugas penting yang harus ia kerjakan di kantor.. Gw sempat melihat ibu yang sepertinya berat untuk melepas kepergian ayah ke kantor..

Di sekolah, perasaan gw yang dari awal berangkat sudah tidak enak, rupanya mempengaruhi selera humor yang hari ini ikut menurun.. Beberapa kali Rio menanyakan perihal perubahan gw yang menjadi lebih pendiam.. Menerima transferan ilmu dari guru pun, terasa kurang terserap dalam benak gw.. Seperti saat ini, tidak ada satupun materi yang gw paham..

Tiba-tiba, dari pengeras suara yang terpasang di tiap ruang kelas, seorang guru menyebut nama gw dan Rio, lalu menyuruh kami untuk bertemu Bu Septi, mamahnya Rio.. Joni sempat menakut-nakuti kami yang sepertinya akan mendapat masalah, karena biasanya siswa yng namanya di panggil lewat pengeras suara selalu terkait dengan suatu kasus di sekolah..

Gw dan Rio pun izin ke guru yang sedang mengajar, dan mulai melangkah ke ruang guru.. Disana, beberapa orang guru menepuk-nepuk bahu gw seakan sedang memberi semangat.. Gw yang tidak mengerti maksud mereka, hanya mengangguk sambil tersenyum..

Di sebuah ruangan, Bu Septi terlihat sudah menunggu kami berdua.. Jantung gw tiba-tiba berdetak lebih cepat begitu tante sekaligus guru gw itu, menutup pintu ruangan.. Sesaat, gw dan Rio saling pandang berusaha mencari tahu kesalahan apa yang mungkin sudah kami buat..

“Imam, barusan Tante menerima telpon dari ibu kamu” Kata Tante Septi yang terputus dengan sendirinya..

Beberapa kali ia berdehem untuk melancarkan suara yang terdengar sedikit serak.. Kedua mata nya nampak merah dan sembab seperti habis menangis..

Gw yang tak mengerti mengapa mamahnya Rio itu menghentikan ucapannya, hanya terdiam.. Dalam hati mulai timbul lagi perasaan aneh yang sangat tak enak sekali rasanya, terutama saat wanita yang merupakan Mamahnya Rio itu menyebut ibu..

Pandangan gw sempat melirik ke arah Rio yang nampaknya juga tak mengerti apa yang sedang ibu nya coba untuk sampaikan..

“Tante tahu kamu seorang anak yang kuat, laki-laki memang harus begitu” Katanya lagi, kali ini kedua mata nya nampak mulai berkaca-kaca..

Tiba-tiba, Tante Septi langsung memeluk gw dengan sangat erat sambil berbisik

“Yang sabar ya, sayang.. Ayah kamu mengalami kecelakaan, jasadnya sudah berada di rumah, nak” Ucap nya dengan suara lirih..

Kedua mata gw terbelalak mendengar kalimat tante Septi barusan.. Dengan sedikit kasar gw mendorong tubuhnya yang agak tambun, untuk melepaskan diri dari pelukan.. Tatapan mata gw menyorot tajam ke arah perempuan yang menjadi guru sekaligus tante gw itu..

Seketika, gw berlari meninggalkan ruangan sambil membanting pintunya dengan cukup keras.. Beberapa orang guru yang terkejut mendengar suara bantingan pintu menatap gw sendu, bukan tatapan marah..

“Semua bohong, ga mungkin ayah meninggal.. Tadi pagi ayah masih sehat, sangat sehat bahkan” Kata gw terus berulang-ulang dalam hati, berusaha menolak sugesti negatif yang di sampaikan Tante Septi tadi..

Tanpa pikir panjang, gw lari ke arah parkiran motor, menghidupkan dan melarikannya dengan kecepatan tinggi menuju rumah.. Beberapa kali gw mengumpat saat ada kendaraan yang bergerak lambat dan menghalangi laju motor sport merah yang gw naiki, padahal jalan nampak lengang di depan..

Persis di gang masuk rumah gw, ada beberapa orang tetangga yang sedang memasang bendera kuning.. Berkali-kali gw beristighfar, mencoba menghapus kalimat Tante Septi yang terlanjur di serap dalam benak..

Tepat di depan teras rumah, puluhan orang nampak berkumpul di sana.. Beberapa tetangga yang melihat kedatangan gw, mencoba menghampiri dan hendak merangkul.. Semua tangan-tangan dan tatapan penuh iba itu gw tolak dengan keras, bahkan ada yang sampai gw dorong tubuhnya agar menjauh..

Kerumunan orang yang tak biasa nya berkumpul di rumah gw, nampak menutupi jalan masuk, berdiri di depan pintu, hingga ada yang berinisiatif menyuruh mereka memberi jalan gw untuk masuk..

Disana, di ruang tamu.. Di atas lantai yang terlapisi karpet merah terlihat sebujur jasad seseorang terbaring, ditutupi kain batik panjang milik ibu.. Wajah orang yang nampak kaku tak bergerak itu tertutup kain putih tipis.. Mata gw nanar menatap jasad itu.. Seluruh tubuh gw bergetar hebat seiring kedua kaki yang terasa lemas tak bertulang, yang memaksa gw harus berlutut tepat di sisi kepalanya..

Perlahan-lahan, tangan kanan gw menyibak kain putih tipis yang menutupi seraut wajah yang nampak samar di baliknya.. Wajah seseorang yang sangat gw kenal dengan canda nya yang khas, kini hanya diam, seperti kekasih hati yang sedang merajuk.. Sosok laki-laki yang baru semalam menasehati gw dan memeluk dengan hangat dan penuh kasih sayang, kini berubah dingin..

“Ayah..” Ratap gw dengan suara tertahan sambil mencium pipinya, dan membuatnya basah oleh airmata gw yang mengalir deras..

(Jujur, di part ini gw sempat berhenti mengetik dan menghapus airmata yang ga kerasa keluar.. Rasa sedih kehilangan ayah gw kembali terasa, Gan)

Beberapa orang termasuk Om Hendra memegangi tubuh gw, namun gw berontak dan lari ke kamar.. Gw menangis sejadi-jadinya di sana, dengan terduduk bersandar di pintu dan membenamkan wajah dalam paha yang terpeluk dua tangan.. Panggilan Om Hendra dari luar, sama sekali tidak gw hiraukan.. Gw terus menangis karena itu hanya itu yang bisa gw lakukan..

Sempat gw membuat dosa dengan mengumpat Tuhan yang terasa tak adil, karena sudah menjadikan gw dan Ayu anak yatim.. Tuhan tega menjadikan ibu gw seorang janda.. Beberapa kali gw memukul tembok kamar hingga kulit tangan lecet.. Beberapa kali gw melempar sesuatu yang ada di dekat jangkauan tangan.. Tapi semua tak mampu menyurutkan rasa sedih dan kehilangan ini..

Tubuh gw terasa lemah dan kedua mata tak lagi mengeluarkan air mata.. Hanya sesekali nafas gw tersedak karena tangisan hebat.. Semua rasa bersalah muncul dalam benak gw.. Saat gw berani membantah perintah Ayah.. Saat menjawab bentakan Ayah dengan nada tak kalah tinggi beberapa waktu lalu..

Tiba-tiba, Rasa hangat yang aneh keluar dari bahu dan menyebar ke seluruh tubuh.. Kedua mata gw mulai berbalik putih, seiring seluruh tubuh gw bergetar hebat.. Teriakan banyak orang yang menyebut-nyebut gempa, samar-samar terdengar dari luar kamar.. Bahkan suara gedoran tangan seseorang di pintu kamar gw yang awalnya keras, lambat laun menghilang..

Mendadak, ada sebuah telapak tangan terasa memegang kepala dan membuat kesadaran gw kembali perlahan-lahan.. Pandangan gw yang mulai normal, sempat menangkap sekelebat bayangan putih melesat dengan cepat menembus dinding.. Beberapa benda yang ada di dalam kamar nampak masih bergerak-gerak sedikit.. Dinding dan lantai yang beberapa saat lalu terguncang, masih terasa menyisakan getaran..

Untuk beberapa saat, tatapan mata gw kosong menatap langit-langit kamar, sambil menyebut nama Ayah dengan suara lirih.. Lalu perlahan gw berbaring meringkuk di atas lantai kamar, yang dinginnya tak mampu membekukan dua tetes airmata yang kembali mengalir..