- Beranda
- Stories from the Heart
Penghuni Tersembunyi Pulau Dewata ( real story )
...
TS
dk1kvn
Penghuni Tersembunyi Pulau Dewata ( real story )
Quote:
Sebagian besar yang tertulis disini adalah kisah mistis nyata selama tinggal di pulau Dewata. Beberapa bagian saya hilangkan untuk menjaga kerahasiaan, beberapa bagian saya dramatisasi tanpa mengubah esensi cerita. Nama tokoh dan tempat saya samarkan. Saat ini penulis sudah meninggalkan pulau Bali , dan masih sering mengunjungi Bali. Pesonamu oh Pulau Dewata memikat hatiku.
Quote:
Quote:
Prologue
Setelah melayang di atas awan hampir dua jam lamanya, kujejakkan kakiku di pulau para Dewa. Biasanya hanya singgah beberapa hari lalu balik ke ibukota, kali ini kuniatkan untuk merantau mencari nafkah di tempat ini. Bermodalkan hanya sebuah koper berukuran lumayan besar yang kutunggu agak lama di tempat pengambilan bagasi, dan sebuah tas bergambar king-kong yang sedari tadi merangkul punggungku, aku bergegas meninggalkan lobby Ngurah Rai, sesekali mencari tempat untuk merokok. Kuputuskan sejenak duduk di Solaria sembari menghabiskan beberapa batang rokok.
Kunyalakan handphone, lalu membaca kembali sms dari Bu Jero. Dua hari lalu, masih di Jakarta, aku berkirim pesan pada Bu Jero, menanyakan apakah ada kamar kosong di kosannya, seperti yang diiklankan di internet. Dari gambar yang diiklankan, kamarnya terlihat cukup luas, sudah lengkap dengan tv led dan kamar mandi dalam, kamarnya pun ber panorama sawah. Entah berapa kali aku sudah mengunjungi Bali seumur hidupku, dan baru kemarin aku mendengar tempat bernama Ubung di Denpasar. Setelah membaca dengan teliti kembali sms dari bu Jero, yang bertuliskan alamat lengkap kos, aku mencoba mengecek lokasi di aplikasi waze. Jarak tempuh cukup jauh dari Bandara ke tempat kos, sekitar 45 menit. Setelah menghabiskan rokok dan segelas es lemon tea, bergegas aku mencari taksi, menuju ke tempat kos.
Setelah melayang di atas awan hampir dua jam lamanya, kujejakkan kakiku di pulau para Dewa. Biasanya hanya singgah beberapa hari lalu balik ke ibukota, kali ini kuniatkan untuk merantau mencari nafkah di tempat ini. Bermodalkan hanya sebuah koper berukuran lumayan besar yang kutunggu agak lama di tempat pengambilan bagasi, dan sebuah tas bergambar king-kong yang sedari tadi merangkul punggungku, aku bergegas meninggalkan lobby Ngurah Rai, sesekali mencari tempat untuk merokok. Kuputuskan sejenak duduk di Solaria sembari menghabiskan beberapa batang rokok.
Kunyalakan handphone, lalu membaca kembali sms dari Bu Jero. Dua hari lalu, masih di Jakarta, aku berkirim pesan pada Bu Jero, menanyakan apakah ada kamar kosong di kosannya, seperti yang diiklankan di internet. Dari gambar yang diiklankan, kamarnya terlihat cukup luas, sudah lengkap dengan tv led dan kamar mandi dalam, kamarnya pun ber panorama sawah. Entah berapa kali aku sudah mengunjungi Bali seumur hidupku, dan baru kemarin aku mendengar tempat bernama Ubung di Denpasar. Setelah membaca dengan teliti kembali sms dari bu Jero, yang bertuliskan alamat lengkap kos, aku mencoba mengecek lokasi di aplikasi waze. Jarak tempuh cukup jauh dari Bandara ke tempat kos, sekitar 45 menit. Setelah menghabiskan rokok dan segelas es lemon tea, bergegas aku mencari taksi, menuju ke tempat kos.
Quote:
I. Knocking on Heaven's Door
Sampailah aku di ujung kota Denpasar, beberapa kilometer ke utara dari Ubung, tepatnya di kosan bu Jero. Tempatnya masuk sedikit dari jalan raya utama, masih asri dan benar dikelilingi sawah. Kosan ini jauh di luar perkiraanku, tempatnya besar, terdiri dari lima bangunan yang terpisah namun berdekatan. Bangunan yang di tengah, tepat setelah gerbang masuk kosan, masih di bangun. Bangunan ini di apit dua bangunan lain, masing- masing dua lantai. Bangunan di ujung kanan berbentuk seperti rumah, yang merupakan tempat tinggak Bu Jero dan keluarganya. Di seberang rumah bu Jero, ada bangunan tak terlalu luas yang dijadikan kantin, kantor kecil, juga pos satpam. Mobil taksi yang mengantarkanku pun berhenti di depan kantor, dan disana ada wanita cukup gemuk, berkulit sawo matang sedang menyiram tanaman. Bergegas aku turun setelah membayar nominal yang tertera di argo taksi.
" Selamat sore ibu, ada ibu Jero ?".
Ibu itu meletakkan selangnya di tanah, menuju ke arahku, " Ya, saya sendiri. Ada apa ya ? ", ibu itu menjawab dengan logat Bali nya yang kental.
" Saya Putra, bu, yang kemarin booking kamar kosan ". Setelah bersalaman dengan bu Jero dan mengurus administrasi, ibu Jero membawa aku ke bangunan paling kiri, di lantai dua. Kamar yang aku tempati paling ujung. Kamarnya lebih besar dari dugaanku, ada sofa kecil minimalis warna putih gading di sudut kamar, tv LED 32 inch tergantung di dinding, lengkap dengan meja panjang beraksen coklat di bawahnya. Jendela kaca besar terpampang di seberang pintu, dengan tirai warna krem menjuntai, menyembunyikan keindahan sawah di baliknya. Kamar mandi dan dapur bersebelahan di sudut lain ruangan. Setelah semua beres, berbaringlah aku di ranjang di kamar baru di kota yang baru.
Singkat cerita, malam itu aku menyewa sepeda motor yang diiklankan di Kaskus, untuk sebulan lamanya. Motor di antar setelah maghrib, dan saatnya jalan- jalan malam. Dingin. Selama ini, siapa yang mengira Bali yang terkenal dengan suhu tropisnya bisa sedingin ini pada malam hari. Cukup jauh aku berkendara malam itu, hawa dingin yang begitu menusuk rusuk seakan memaksa aku untuk segera pulang. Setelah singgah memberli beberapa barang, segeralah aku pulang, sambil beberapa kali menghafal arah jalan.
Malam itu dingin, padahal ac tak kuhidupkan. Mata belum sanggup terpejam, kuputuskan merokok di balkon. Balkon kamar ini ukurannya tak terlalu luas, tepat di bawah balkon ada ruang kosong tempat jemuran untuk kamar di lantai bawah. Dibaliknya ada sawah membentang cukup luas. Ditemani suara jangkrik dan angin dingin yang sepoi sepoi menyentuh tubuhku, aku santai merokok. Sesekali bulu kudukku berdiri, tapi kuhiraukan karena pikirku udara dingin adalah biang keroknya. Cukup lama aku menikmati duduk di balkon, kusudahi untuk mencoba tidur. Mencoba memejamkan mata namun sungguh sulit untuk dijemput mimpi. Hingga ....
Tok tok tok... beberapa kali suara jendela di ketuk, sesekali aku menatap jendela tapi tak kupedulikan, suara cicak barangkali.
Makin kuhiraukan suara ketukan itu, makin menjadi suaranya. Sekejap bulu kudukku berdiri tegak, tengkukku menghangat, kucoba beranikan diri menbuka tirai melihat gerangan apa yang mengetuk kaca jendela.
Tak ada apa- apa, kosong, bahkan jika itu kerjaan orang iseng pun tak mungkin karena di balik kaca jendela tidak ada pijakan apapun, selain balkon yang jaraknya cukup jauh dari sumber suara berasal.
Pikiranku melanglang buana, membayangkan apa (atau siapa) yang mengetuk sedaritadi. Kuputuskan untuk memaksa mata ini tidur bagaimanapun caranya. Tak seperti biasanya lampu kamar selalu padam saat tidur, kali ini kubiarkan terang benderang. Dan malam ini pun berakhir, tanpa ada suara ketukan lagi.
Sampailah aku di ujung kota Denpasar, beberapa kilometer ke utara dari Ubung, tepatnya di kosan bu Jero. Tempatnya masuk sedikit dari jalan raya utama, masih asri dan benar dikelilingi sawah. Kosan ini jauh di luar perkiraanku, tempatnya besar, terdiri dari lima bangunan yang terpisah namun berdekatan. Bangunan yang di tengah, tepat setelah gerbang masuk kosan, masih di bangun. Bangunan ini di apit dua bangunan lain, masing- masing dua lantai. Bangunan di ujung kanan berbentuk seperti rumah, yang merupakan tempat tinggak Bu Jero dan keluarganya. Di seberang rumah bu Jero, ada bangunan tak terlalu luas yang dijadikan kantin, kantor kecil, juga pos satpam. Mobil taksi yang mengantarkanku pun berhenti di depan kantor, dan disana ada wanita cukup gemuk, berkulit sawo matang sedang menyiram tanaman. Bergegas aku turun setelah membayar nominal yang tertera di argo taksi.
" Selamat sore ibu, ada ibu Jero ?".
Ibu itu meletakkan selangnya di tanah, menuju ke arahku, " Ya, saya sendiri. Ada apa ya ? ", ibu itu menjawab dengan logat Bali nya yang kental.
" Saya Putra, bu, yang kemarin booking kamar kosan ". Setelah bersalaman dengan bu Jero dan mengurus administrasi, ibu Jero membawa aku ke bangunan paling kiri, di lantai dua. Kamar yang aku tempati paling ujung. Kamarnya lebih besar dari dugaanku, ada sofa kecil minimalis warna putih gading di sudut kamar, tv LED 32 inch tergantung di dinding, lengkap dengan meja panjang beraksen coklat di bawahnya. Jendela kaca besar terpampang di seberang pintu, dengan tirai warna krem menjuntai, menyembunyikan keindahan sawah di baliknya. Kamar mandi dan dapur bersebelahan di sudut lain ruangan. Setelah semua beres, berbaringlah aku di ranjang di kamar baru di kota yang baru.
Singkat cerita, malam itu aku menyewa sepeda motor yang diiklankan di Kaskus, untuk sebulan lamanya. Motor di antar setelah maghrib, dan saatnya jalan- jalan malam. Dingin. Selama ini, siapa yang mengira Bali yang terkenal dengan suhu tropisnya bisa sedingin ini pada malam hari. Cukup jauh aku berkendara malam itu, hawa dingin yang begitu menusuk rusuk seakan memaksa aku untuk segera pulang. Setelah singgah memberli beberapa barang, segeralah aku pulang, sambil beberapa kali menghafal arah jalan.
Malam itu dingin, padahal ac tak kuhidupkan. Mata belum sanggup terpejam, kuputuskan merokok di balkon. Balkon kamar ini ukurannya tak terlalu luas, tepat di bawah balkon ada ruang kosong tempat jemuran untuk kamar di lantai bawah. Dibaliknya ada sawah membentang cukup luas. Ditemani suara jangkrik dan angin dingin yang sepoi sepoi menyentuh tubuhku, aku santai merokok. Sesekali bulu kudukku berdiri, tapi kuhiraukan karena pikirku udara dingin adalah biang keroknya. Cukup lama aku menikmati duduk di balkon, kusudahi untuk mencoba tidur. Mencoba memejamkan mata namun sungguh sulit untuk dijemput mimpi. Hingga ....
Tok tok tok... beberapa kali suara jendela di ketuk, sesekali aku menatap jendela tapi tak kupedulikan, suara cicak barangkali.
Makin kuhiraukan suara ketukan itu, makin menjadi suaranya. Sekejap bulu kudukku berdiri tegak, tengkukku menghangat, kucoba beranikan diri menbuka tirai melihat gerangan apa yang mengetuk kaca jendela.
Tak ada apa- apa, kosong, bahkan jika itu kerjaan orang iseng pun tak mungkin karena di balik kaca jendela tidak ada pijakan apapun, selain balkon yang jaraknya cukup jauh dari sumber suara berasal.
Pikiranku melanglang buana, membayangkan apa (atau siapa) yang mengetuk sedaritadi. Kuputuskan untuk memaksa mata ini tidur bagaimanapun caranya. Tak seperti biasanya lampu kamar selalu padam saat tidur, kali ini kubiarkan terang benderang. Dan malam ini pun berakhir, tanpa ada suara ketukan lagi.
Quote:
II. Berbagi Ruang
Hari kedua di pulau Dewata, aku habiskan dengan berkeliling di Kuta dan Denpasar. Setelah makan ayam goreng yang enaknya kebangetan ( di jalan raya Tuban) , akhirnya kuputuskan untuk segera pulang, mengingat udara malam di daerah kosan lumayan dingin, juga jalan Mahendradatta saat malam tiba, bus dan truck melaju cukup kencang. Empat puluh lima menit perjalanan, aku tiba di kosan. Kosan bu Jero ini kalau malam cukup remang- remang, karena lampu yang dipasang tak terlalu banyak, terlebih di bangunan yang sedang dibangun, sehingga suasana lumayan ngerti. Di koridor lantai 2, sesaat aku melihat sekelibat bayangan hitam lewat begitu saja, tapi pikiranku mencoba untuk selalu positif.
Aku bukan orang yang terlalu peka terhadap kehadiran hal- hal gaib seperti itu, pertama kali pengalaman melihat penampakan seperti itu, waktu masih duduk di bangku SMP, benar- benar melihat jelas sesosok Pocong di hadapnku. Pocong, dalam penglihatan waktu itu benar0 benar terlihat beda dengan yang ada di film- film. Sosok yang aku lihat waktu itu besar setinggi pohon, dan juga tidak melakukan adegan lompat- lompat seperti yang ada di tv, dia hanya berdiri diam memandangi aku yang masih kecil ingusan tak paham apa- apa.
Kembali ke cerita, aku memasukki kamar dengan perasaan kalut, tapi lagi- lagi mencoba positif. Sebenarnya kamar saya ini kalau dibilang gak ngeri- ngeri amat, tetangga kamar sebelah orang Prancis, namanya Javier, ahli IT, kamarnya juga selalu di buka pintunya, dan tiap hari pasti selalu ada botol bir dalam genggaman tangannya. Dua kamar di sebelahnya memang kosong, namun di sebelah tangga, aku rasa lumayan banyak penghuninya, walau saya tidak terlalu kenal
Aku mencoba tidur, tidur begitu tak tenang. Lampu kamar akhirnya ku padamkan, sesekali aku melihat kanan kiri memastikan kondisi aman, dan mimpi menjemput aku perlahan.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun dalam kondisi aku mencium bau semilir melati di dalam kamar, otomatis bulu kuduk berdiri tegak, aku waspada, namun tak berani bangun. Masih ingat benar, di layar telvisi yang sengaja tak ku padamkan, aku melihat adegan aneh, seperti semacam sendratari, tetapi ada mayat yang di angkat- angkat dan di lakukan di kuburan , benar- benar di kuburan ( tak lama aku baru tau kalau itu acara calonarang ) . Dengan suasana yang mencekam itu, aku menatap, " dengan sangat- sangat jelas " bayangan hitam berdiri di pintu dapur. Bayangan itu semacam membungkuk, namun aku cukup yakin dia sedang mengamati aku.
Aku bergegas keluar kamar, kamar Javier sudah tutup berarti dia sudah tidur, beruntung pak satpam di pos. Pak satpam ini namanya Pak Ketut, orangnya tinggi, kurus, logatnya kental. Aku menghampirinya.
Karena tak sempat ambil rokok di kamar, alhasil aku meminta sebatang rokok merk Apache punya pak Ketut. Aku hisap dalam- dalam sambil mengusir ketakutan, lalu menceritakan kejadian tadi pada beliau.
" Mas Putra, coba besok minta canang sari sama bu Jero, letakkan di kamar, namanya mas Putra itu tamu disitu, jadi beri penghormatan buat penunggu di situ ".
Canang sari itu semacam sesajen diletakkan di kotak segi empat terbuat dari janur, biasanya digunakan untuk beribadah, biasa juga untuk penghormatan pada leluhur di Bali.
"Jangan takut, yang penting selalu jaga tingkah laku dimanapun mas Putra berada ".
Kami berbicara cukup lama, hingga rasa kantuk mulai menghinggapiku, mendukungku untuk kembali ke kamar. Dengan perasaan cukup takut, kuberanikan kembali ke kamar untuk menghabiskan malam, berbagi ruangan dengan sang penghuni.
Keesokan harinya, sesuai saran Pak Ketut, aku meminta canang sari pada bu Jero, dan cukup lama tidak ada gangguan aneh- aneh lagi di kosan sampai satu malam aku pulang dari Gunung Batur.
Hari kedua di pulau Dewata, aku habiskan dengan berkeliling di Kuta dan Denpasar. Setelah makan ayam goreng yang enaknya kebangetan ( di jalan raya Tuban) , akhirnya kuputuskan untuk segera pulang, mengingat udara malam di daerah kosan lumayan dingin, juga jalan Mahendradatta saat malam tiba, bus dan truck melaju cukup kencang. Empat puluh lima menit perjalanan, aku tiba di kosan. Kosan bu Jero ini kalau malam cukup remang- remang, karena lampu yang dipasang tak terlalu banyak, terlebih di bangunan yang sedang dibangun, sehingga suasana lumayan ngerti. Di koridor lantai 2, sesaat aku melihat sekelibat bayangan hitam lewat begitu saja, tapi pikiranku mencoba untuk selalu positif.
Aku bukan orang yang terlalu peka terhadap kehadiran hal- hal gaib seperti itu, pertama kali pengalaman melihat penampakan seperti itu, waktu masih duduk di bangku SMP, benar- benar melihat jelas sesosok Pocong di hadapnku. Pocong, dalam penglihatan waktu itu benar0 benar terlihat beda dengan yang ada di film- film. Sosok yang aku lihat waktu itu besar setinggi pohon, dan juga tidak melakukan adegan lompat- lompat seperti yang ada di tv, dia hanya berdiri diam memandangi aku yang masih kecil ingusan tak paham apa- apa.
Kembali ke cerita, aku memasukki kamar dengan perasaan kalut, tapi lagi- lagi mencoba positif. Sebenarnya kamar saya ini kalau dibilang gak ngeri- ngeri amat, tetangga kamar sebelah orang Prancis, namanya Javier, ahli IT, kamarnya juga selalu di buka pintunya, dan tiap hari pasti selalu ada botol bir dalam genggaman tangannya. Dua kamar di sebelahnya memang kosong, namun di sebelah tangga, aku rasa lumayan banyak penghuninya, walau saya tidak terlalu kenal
Aku mencoba tidur, tidur begitu tak tenang. Lampu kamar akhirnya ku padamkan, sesekali aku melihat kanan kiri memastikan kondisi aman, dan mimpi menjemput aku perlahan.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun dalam kondisi aku mencium bau semilir melati di dalam kamar, otomatis bulu kuduk berdiri tegak, aku waspada, namun tak berani bangun. Masih ingat benar, di layar telvisi yang sengaja tak ku padamkan, aku melihat adegan aneh, seperti semacam sendratari, tetapi ada mayat yang di angkat- angkat dan di lakukan di kuburan , benar- benar di kuburan ( tak lama aku baru tau kalau itu acara calonarang ) . Dengan suasana yang mencekam itu, aku menatap, " dengan sangat- sangat jelas " bayangan hitam berdiri di pintu dapur. Bayangan itu semacam membungkuk, namun aku cukup yakin dia sedang mengamati aku.
Aku bergegas keluar kamar, kamar Javier sudah tutup berarti dia sudah tidur, beruntung pak satpam di pos. Pak satpam ini namanya Pak Ketut, orangnya tinggi, kurus, logatnya kental. Aku menghampirinya.
Karena tak sempat ambil rokok di kamar, alhasil aku meminta sebatang rokok merk Apache punya pak Ketut. Aku hisap dalam- dalam sambil mengusir ketakutan, lalu menceritakan kejadian tadi pada beliau.
" Mas Putra, coba besok minta canang sari sama bu Jero, letakkan di kamar, namanya mas Putra itu tamu disitu, jadi beri penghormatan buat penunggu di situ ".
Canang sari itu semacam sesajen diletakkan di kotak segi empat terbuat dari janur, biasanya digunakan untuk beribadah, biasa juga untuk penghormatan pada leluhur di Bali.
"Jangan takut, yang penting selalu jaga tingkah laku dimanapun mas Putra berada ".
Kami berbicara cukup lama, hingga rasa kantuk mulai menghinggapiku, mendukungku untuk kembali ke kamar. Dengan perasaan cukup takut, kuberanikan kembali ke kamar untuk menghabiskan malam, berbagi ruangan dengan sang penghuni.
Keesokan harinya, sesuai saran Pak Ketut, aku meminta canang sari pada bu Jero, dan cukup lama tidak ada gangguan aneh- aneh lagi di kosan sampai satu malam aku pulang dari Gunung Batur.
Diubah oleh dk1kvn 16-10-2017 01:42
marionino dan anasabila memberi reputasi
2
10.4K
Kutip
46
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dk1kvn
#13
Quote:
III. Kabut Gunung Batur
Kira- kira tiga bulan aku telah tinggal di Bali, mendiami di kosan itu dan kini telah kerasan. Pekerjaan pun sudah aku dapatkan di sebuah kantor di Jalan Cokroaminoto. Di kantor tersebut aku berteman dekat dengan pemuda asli Bali, Gusti. Gusti ini perawakannya tinggi besar, kekar, kegemarannya mencari wanita. Dan di kosan pun, aku berteman dengan pemuda asal Flores yang merantau di Bali, Junior namanya. Banyak malam saya habiskan dengan mereka bertiga sembari jalan- jalan atau kadang minum arak Bali menghilangkan penat.
Satu hari, kita berencana untuk mendaki gunung Batur, setelah ngobrol sana- sini menentukan hari, akhirnya kita tentukan akan naik hari Jumat malam. Mendaki gunung Batur umumnya jam dua pagi untuk perjalanan santai, sampai di puncak jam setengah lima pagi melihat matahari terbit, dan kami pun memutuskan berangkat Jumat jam dua pagi.
Hari yang dinantikan pun tiba, kami berangkat dari Denpasar jam sebelas malam,peralatan mendaki kami pun sebenarnya ala kadarnya, karena Gunung Batur tidak susah untuk didaki kata Gusti.
Sesampainya di Kintamani, kami pun berangkat dari pos yang di dekat danau Batur. Malam itu bulan cukup terang, sehingga kami tak perlu banyak senter saat naik. Gusti sebagai orang dengan pengalaman pernah mendaki gunung yang sama pun, berada di depan membuka jalan, saya dan Junior mengikutinya. Dari pos menuju ke kaki gunung rupanya perlu jalan kaki setengah jam melewati perkebunan warga. Perjalanan pun cukup santai, karenan jalanan tidak menanjak.
Di tengah perjalanan, kami bertiga bertemu dengan sepasang pendaki juga, satu pria dan satu wanita. Kami berkenalan, dan memutuskan untuk mendaki bersama, karena mereka bilang baru pertama kali ini mendaki. Mereka bilang mereka berasal dari Kuta.
Dua pendaki ini benar- benar pendiam, sehingga selalu kami dulu yang memancing percakapan supaya perjalanan tidak membosankan. Sesampainya kami di kaki gunung, ada sebuah tanah lapang besar dan di tengahnya ada pelinggihan untuk sembahyang sebelum mendaki. Dua pendaki tadi pun bersembahyang, lalu mengingatkan kami untuk bersembahyang dulu. Gusti yang beragama Hindu pun langsung bersembahyang, sementara saya dan Junior yang nasrani mengikuti bersembahyang di belakangnya. Perjalananan pun di lanjutkan.
Mulai dari sini, perasaan kami mulai aneh, sesaat aku mendengar musik-musik gamelan samar- samar, namun aku diam saja, karena aku pikir hanya imajinasi ku saja. Tak lama, gelagat Junior mulai aneh, serasa gelisah. Dalam posisi rombongan kami, Gusti ada di baris depan, disusul dua pendaki yang kami temui, lalu Junior dan aku berada paling belakang.
" Hei Junior masih kuat loe ? ", tanyaku pada Junior.
Junior menganggukan kepala tanda dia masih sanggup melanjutkan perjalanan.
Buat yang pernah mendaki gunung batur, mungkin tau ada sebuah gubuk kecil beberapa kilo setelah tanah lapang di kaki gunung. Gubuk itu sepertinya sudah lama tak terpakai, karena kayu- kayunya mulai rapuh. Di dekat gubuk itu aku kembali mendengar suara gamelan lagi.
" Jun, loe denger suara gamelan gak ? "
Junior kembali menganggukan kepala lalu menyuruhku jalan terus saja, tidak menghiraukan suara gamelan itu.
Di tengah jalan Gusti mendadak bingung jalan naik. Jalan sudah mulai menanjak dan berbatu- batu. Seingatku, ada dua jalan bercabang, dan kami memilih jalur yang sebelah kiri, alih- alih jalan sebelah kanan. Jalur sebelah kiri ini rupanya jalur yang benar- benar curam, sehingga kami harus merangkak susah payah. Di tengah susah payah kami merangkak, mendadak kabut mulai bermunculan, dan kami mulai kewalahan menemukan jalan.
Kejadian ini aku alami benar- benar. Di perjalanan yang curam dan berkabut, aku yang berada di paling belakang mulai merasa aneh, serasa ada yang mengikuti, sesekali kutengok tak ada apa- apa hanya kabut, sampai satu kali aku menengok, dan di balik kabut ada makhluk yang tinggi besar. Sontak, aku berteriak, diikuti Junior, dan rombongan di baris depan pun kebingungan. Adrenalin yang terpompa membuat aku dan Junior mendaki dengan cepat.
Suara gamelan terdengar lagi. Kabut makin pekat, namun bayangan itu mulai menghilang. Kali ini suara gamelan benar- benar jelas. Dan kami tiba di dekat crater gunung Batur. Di situ ada bangunan, juga papan informasi tentang Gunung Batur. kondisi sangat sepi, cuma ada kami berlima. Gusti pun menanyakan kenapa kami berteriak, lalu aku pun menceritakan tentang bayangan itu.
BERSAMBUNG
Kira- kira tiga bulan aku telah tinggal di Bali, mendiami di kosan itu dan kini telah kerasan. Pekerjaan pun sudah aku dapatkan di sebuah kantor di Jalan Cokroaminoto. Di kantor tersebut aku berteman dekat dengan pemuda asli Bali, Gusti. Gusti ini perawakannya tinggi besar, kekar, kegemarannya mencari wanita. Dan di kosan pun, aku berteman dengan pemuda asal Flores yang merantau di Bali, Junior namanya. Banyak malam saya habiskan dengan mereka bertiga sembari jalan- jalan atau kadang minum arak Bali menghilangkan penat.
Satu hari, kita berencana untuk mendaki gunung Batur, setelah ngobrol sana- sini menentukan hari, akhirnya kita tentukan akan naik hari Jumat malam. Mendaki gunung Batur umumnya jam dua pagi untuk perjalanan santai, sampai di puncak jam setengah lima pagi melihat matahari terbit, dan kami pun memutuskan berangkat Jumat jam dua pagi.
Hari yang dinantikan pun tiba, kami berangkat dari Denpasar jam sebelas malam,peralatan mendaki kami pun sebenarnya ala kadarnya, karena Gunung Batur tidak susah untuk didaki kata Gusti.
Sesampainya di Kintamani, kami pun berangkat dari pos yang di dekat danau Batur. Malam itu bulan cukup terang, sehingga kami tak perlu banyak senter saat naik. Gusti sebagai orang dengan pengalaman pernah mendaki gunung yang sama pun, berada di depan membuka jalan, saya dan Junior mengikutinya. Dari pos menuju ke kaki gunung rupanya perlu jalan kaki setengah jam melewati perkebunan warga. Perjalanan pun cukup santai, karenan jalanan tidak menanjak.
Di tengah perjalanan, kami bertiga bertemu dengan sepasang pendaki juga, satu pria dan satu wanita. Kami berkenalan, dan memutuskan untuk mendaki bersama, karena mereka bilang baru pertama kali ini mendaki. Mereka bilang mereka berasal dari Kuta.
Dua pendaki ini benar- benar pendiam, sehingga selalu kami dulu yang memancing percakapan supaya perjalanan tidak membosankan. Sesampainya kami di kaki gunung, ada sebuah tanah lapang besar dan di tengahnya ada pelinggihan untuk sembahyang sebelum mendaki. Dua pendaki tadi pun bersembahyang, lalu mengingatkan kami untuk bersembahyang dulu. Gusti yang beragama Hindu pun langsung bersembahyang, sementara saya dan Junior yang nasrani mengikuti bersembahyang di belakangnya. Perjalananan pun di lanjutkan.
Mulai dari sini, perasaan kami mulai aneh, sesaat aku mendengar musik-musik gamelan samar- samar, namun aku diam saja, karena aku pikir hanya imajinasi ku saja. Tak lama, gelagat Junior mulai aneh, serasa gelisah. Dalam posisi rombongan kami, Gusti ada di baris depan, disusul dua pendaki yang kami temui, lalu Junior dan aku berada paling belakang.
" Hei Junior masih kuat loe ? ", tanyaku pada Junior.
Junior menganggukan kepala tanda dia masih sanggup melanjutkan perjalanan.
Buat yang pernah mendaki gunung batur, mungkin tau ada sebuah gubuk kecil beberapa kilo setelah tanah lapang di kaki gunung. Gubuk itu sepertinya sudah lama tak terpakai, karena kayu- kayunya mulai rapuh. Di dekat gubuk itu aku kembali mendengar suara gamelan lagi.
" Jun, loe denger suara gamelan gak ? "
Junior kembali menganggukan kepala lalu menyuruhku jalan terus saja, tidak menghiraukan suara gamelan itu.
Di tengah jalan Gusti mendadak bingung jalan naik. Jalan sudah mulai menanjak dan berbatu- batu. Seingatku, ada dua jalan bercabang, dan kami memilih jalur yang sebelah kiri, alih- alih jalan sebelah kanan. Jalur sebelah kiri ini rupanya jalur yang benar- benar curam, sehingga kami harus merangkak susah payah. Di tengah susah payah kami merangkak, mendadak kabut mulai bermunculan, dan kami mulai kewalahan menemukan jalan.
Kejadian ini aku alami benar- benar. Di perjalanan yang curam dan berkabut, aku yang berada di paling belakang mulai merasa aneh, serasa ada yang mengikuti, sesekali kutengok tak ada apa- apa hanya kabut, sampai satu kali aku menengok, dan di balik kabut ada makhluk yang tinggi besar. Sontak, aku berteriak, diikuti Junior, dan rombongan di baris depan pun kebingungan. Adrenalin yang terpompa membuat aku dan Junior mendaki dengan cepat.
Suara gamelan terdengar lagi. Kabut makin pekat, namun bayangan itu mulai menghilang. Kali ini suara gamelan benar- benar jelas. Dan kami tiba di dekat crater gunung Batur. Di situ ada bangunan, juga papan informasi tentang Gunung Batur. kondisi sangat sepi, cuma ada kami berlima. Gusti pun menanyakan kenapa kami berteriak, lalu aku pun menceritakan tentang bayangan itu.
BERSAMBUNG
Diubah oleh dk1kvn 16-10-2017 01:43
0
Kutip
Balas