Kaskus

Story

ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)
TAK SELAMANYA [SELINGKUH ITU] INDAH (TRUE STORY)


Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)



Ketika kesetiaan cinta diuji, apakah Aku bisa bertahan atau malah menyerah?

Kalian bisa menghakimiku, mencaci maki, dan meludahiku dengan hinaan kalian, tapi jangan mereka, orang yang terlanjur mencintai. Cinta tidak pernah salah, yang salah adalah orang yang melakukan penyelewengan, apapun, cinta itu tetap suci. Aku memang sampah. Tetapi tidak dengan mereka.




Kata orang, mendua itu indah. Kata orang, mendua itu membuat bahagia. Mungkin bisa iya, mungkin juga tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini sebuah kisah tentangku yang terjebak dalam dua hati yang sama-sama mencintai, menyembunyikan segala sesuatunya dari Istriku dan menjalani dua kehidupan.

Aku adalah penghuni baru di SFTH, selama ini hanya jadi Silent Reader, dan kali ini sedang berusaha untuk bercerita tentang kisahku yang agak kelam.

Kisah ini aku modifikasi sedemikian rupa, baik dari nama tempat, nama tokoh, dan tanggal kejadian, tetapi percayalah ini masih terjadi hingga saat ini. Saat aku belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil, apakah tetap setia atau terus hidup seperti ini.

Beruntung, Cahaya, Istriku tidak tahu menahu tentang akun ini di Kaskus, bahkan ia tidak pernah sekalipun tertarik dengan Kaskus, sementara Ivory, aku yakin suatu saat ia akan menemukan cerita ini, tetapi tidak masalah.

Hati yang sudah mendua ini butuh pencerahan, karena semuanya kini sudah terlewat jauh dari batasan yang kumiliki sendiri.

Quote:


Maaf apabila ada salah kata, penulisan, atau sikap dalam berforum, mohon bimbingan dari teman-teman semua, dan apabila ditemukan gaya bahasa saya mirip dengan salah satu, atau banyak penulis di SFTH, mohon maklum, saya hanya penulis amatiran baru.

Selamat membaca.

Quote:
Polling
0 suara
Siapa yang harus gw (Sani) pilih?
Diubah oleh ivory.cahaya 11-05-2022 06:16
a.khordAvatar border
arieaduhAvatar border
mhdrdhoAvatar border
mhdrdho dan 19 lainnya memberi reputasi
20
977.7K
2.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
#2188
Dan, Ketika Ia Datang...
DAN, KETIKA IA DATANG…



“Rahma?” ujarku, tidak percaya dengan sesosok wanita yang saat ini duduk di kursi ruang tamu rumahku.


Wanita yang menggerai rambut panjangnya itu tersenyum begitu anggun di depanku. Balutan kaus tangan panjang berwarna abu-abu yang terlihat begitu longgar hingga menutupi telapak tangannya dan juga hot pants denum berwarna hitam membuatku begitu mengingat sosok Rahma yang pernah kucintai dahulu.

Aku terdiam cukup lama di antara bibir pintu yang hanya terbuka tiga-per-empatnya kini.

Sungguh, ada sebuah angin yang begitu segar kurasakan berembus saat pandangan mata itu seolah menyapaku dengan kata-kata yang sudah bisa terdengar begitu merdu di indraku kini.

Sejurus, kulangkahkan kakiku maju untuk mendekatinya, duduk di seberang wanita itu dan mencoba untuk mencari tahu, apa yang membuatnya ada di sini saat ini.


“Sorry,” ujarnya pelan dengan nada suara yang masih tetap sama seperti dahulu.

“Gue dateng pagi-pagi ke sini, sebenernya cuma mau transit doang.”

“Tapi, dari mana loe tahu alamat rumah gue?” tanyaku keheranan.

“Aya yang kasih ke gue, terus ya mumpung ada waktu, gue sekalian mampir San,” ujarnya, tersenyum di akhir lisan.

“Loe mau pergi ke mana jalan sepagi ini Ma?” tanyaku.

“Oh itu,” tukasnya singkat, “mau tau banget, ato mau tau aja?”

“Gue serius Ma,” sungutku seraya menghela napas tajam.

“Loe gak akan nemuin orang yang gak loe kenal dengan baju kayak gitu.”

“Loe pasti mau ketemu sama seseorang yang pasti udah deket sama loe sebelumnya.”

“Mantan, ato mungkin pacar,” ujarku lalu tersenyum kepadanya.

“Gue gak punya pacar San, semenjak terakhir gue pacaran sama Hendri,” jawabnya pasti.

“Jujur, sebenernya ya gue mau ke sini,” ujarnya pelan, “sorry gue malah boong.”

“Tapi ternyata, loe masih perhatiin gue sampe sedetail itu ya San.”

“Kenapa loe masih inget hal-hal itu San?”

“Anita ato Vo udah nemuin loe?” tanyaku, seolah tidak ingin menjawab pertanyaan yang memang seharusnya tidak kujawab barusan.

“San, gue tanya ih,” tukasnya manja, “kenapa loe masih inget hal itu?”

Aku menghela napas panjang seraya memandangnya, “manusia gak akan lupa hal-hal yang menyenangkan dan menyedihkan.”

“Jujur, setaun sama loe itu adalah hal yang menyenangkan, sampe akhirnya Aya dateng di hidup gue, ngerebut seluruh perhatian gue dari loe, sampe gue kejebak dalam situasi ini.”

“Maaf, gue gak pernah percaya sama loe dulu Ma,” ujarku pelan, tiba-tiba mengingat segala hal yang pernah terjadi di antara kami saat itu.

“Kamu masih ingetin hal itu ya?” tanya Rahma, nada bicaranya langsung berubah saat ia memandangku dengan wajah yang sangat merah.

“Jujur San, aku dateng ke sini juga bertaruh atas nama harga diri aku.”

“Aku berharap, ada ruang di hati kamu buat terima aku lagi kayak dulu.”

“Tapi, tapi.”

“Kamu gak harus kasih jawaban apapun tentang itu semua, aku cuma pengen liat kamu lagi, itu aja.”

“Hehehe, murahan banget ya aku, nyamperin mantan yang udah beristri pagi-pagi buta, cuma karena pengen bilang satu hal.”

“Kalo aku masih cinta sama kamu.”


Deg!

Sungguh tubuhku langsung bergetar mendengar kata-kata yang terlontar begitu pelan namun pasti dari lisan Rahma. Di mana ada senyuman yang begitu tulus tersungging di akhir kata-katanya hingga saat ini ia menatapku dengan wajah yang sangat merah.

Napasku terasa begitu terburu. Pandanganku terasa buram seraya otakku berusaha mencerna kata-kata barusan.

Apa yang menyebabkan ia mengatakan hal itu?

Mengapa ia begitu berani bertaruh dan merendahkan harga dirinya untuk mengatakan itu?

Masih saja aku terhentak oleh kata-kata barusan, membuat duniaku berhenti berputar dalam beberapa detik ini. Lemas rasanya tubuhku walau hanya untuk sekadar menegakkannya dan beranjak dari tempatku menyandarkan punggungku saat ini.


“Kamu kenapa San?” tanya Rahma pelan.

“Loe gak lagi sakit kan Ma?”

“Loe gak lagi gila kan?”

Wanita itu menggeleng pelan, “aku tahu, mungkin aneh ya mantan pacar kami tiba-tiba dateng sepagi ini teris bilang kalo aku masih sayang sama kamu?”

“Bukan Ma,” tukasku singkat, “tapi, kenapa loe yakin buat ngomong hal itu sama gue?”

Wanita itu lalu tersenyum, masih sama anggunnya seperti dahulu, “karena cinta kan harus diungkapkan, bener kan?”

“Lagian, aku yakin mata kamu pasti udah kebuka tentang Aya dan semua kegilaannya.”

Aku terdiam sejenak, “loe bener Ma, makasih buat apa yang udah loe coba buat kasih tau ke gue.”

“Makasih buat apa yang udah loe kasih juga buat gue selama ini,” ujarku lalu menghela napas panjang.

“Sama-sama San, dan sampe sekarang pun kamu adalah laki-laki terbaik yang pernah aku miliki, walau mungkin gak ada terbesit sedikitpun keinginan kamu buat milikin aku seutuhnya.”


Hening. Tiada kata-kata yang bisa kulontarkan saat akhir lisan itu terucap dari bibir mungil Rahma. Semuanya terasa terkunci, bak sebuah mobil yang bahkan tidak mau memasuki mode pembakaran karena kuncinya tidak sesuai.

Hanya helaan napas yang terdengar berulang-ulang keluar dari mulutku kini. Bukan sebuah kata, ataupun seuntai kalimat yang mungkin diharapkan oleh Rahma saat ini bisa terlontar.

Mengapa aku lebih memilih Cahaya dahulu?

Entahlah, tetapi aku rasa Cahaya jauh lebih menarik ketimbang Rahma saat aku memutuskan untuk meninggalkan Rahma yang saat itu begitu tulus kepadaku.


“Kak,” panggil suara itu, sejenak memecah keheningan ini.

“Iya Dek,” ujarku lalu memandang ke arah gadis yang saat itu turun dari tangga dengan mengenakan tank top hijau tosca dan celana yang sangat pendek berwarna putih. Jelas semakin menampilkan kulit orientalnya yang sangat bersih dan putih pagi itu.

“Adek boleh masak sarapan kah?”

“Kak Rahma pasti laper kan jauh-jauh dari Pati ke sini?”

Gadis itu lalu mengangguk, “iya Adek Ivory, makasih ya cantik.”

“Sebentar, loe dari Pati langsung ke sini?” tanyaku tak percaya seraya memandang ke arah Rahma yang saat itu hanya mengangguk pelan seraya tersenyum.

“Aku abis dari rumah Mama sama Papa di sana,” jawabnya santai.

“Karena aku inget pesen mereka, ya makanya aku langsung berangkat dari Pati ke sini.”

Aku terdiam sejenak, lalu memandang ke arah Rahma, “Mama sama Papa masih inget sama gue Ma?”

Wanita itu lalu tersenyum dan mengangguk pasti, “gak akan lah Mama sama Papa lupa sama kamu San.”

“Kakak, jadi gimana…?” tanya Ivory manja.

Lamunanku terhenti sejenak, lalu memandang ke arah Ivory yang masih berdiri di tempat yang sama, “yaudah nanti kita masak sarapan bareng ya Dek.”

“Iya sayang,” sahutnya, tersenyum dengan begitu manis pagi ini, seraya melangkahkan kakinya untuk menuju ke dapur yang terletak tidak jauh dari sana.

Pandanganku kembali menyorot Rahma yang saat ini memandangku dengan tatapan yang masih saja sama seperti dahulu, “makasih ya Ma, udah rela dateng sepagi ini ke sini.”

“Kapan sih aku pernah kecewain kamu San selama aku jadi pacar kamu dulu?” kenang wanita itu pelan.

“Selama satu tahun, aku gak pernah gak ada buat kamu. Bahkan kalo kamu lagi gak ada di kostan, aku selalu mampir buat nungguin kamu.”

“Sampe suatu ketika Aya dateng di hidup kita, padahal ya kamu tahu niatan awalnya gimana,” Rahma menghela napas panjang, pandangannya lesu seraya menggelengkan kepalanya pelan. Aku tahu, seuntai kecewa terbesit dari sorot matanya.

“Maafin aku Ma,” ujarku pelan, “maafin aku udah sebego itu dulu malah ninggalin kamu.”

“Maaf atas semua sikap aku sama kamu.”

“Bahkan, aku gak sadar kalo kedatangan Cahaya dulu itu adalah suatu hal yang enggak pernah bisa aku terima awalnya.”

Wanita itu lalu tersenyum, “nanti lah aku mau cerita sesuatu sama kamu San, banyak hal.”

“Terus, aku boleh numpang istirahat sebentar kan di sini?”


Tanpa persetujuan apapun dariku, ia lalu merebahkan tubuhnya di sofa tempatnya duduk saat ini. Ia bahkan tersenyum sesaat sebelum ia memejamkan matanya saat ini. Seraya ia mengembuskan napas yang terlihat dari dadanya yang berangsur turun, dan tidak lama setelah itu, dengkuran halus langsung terdengar.

Wanita itu sepertinya benar-benar lelah. Sungguh, aku menggumam di dalam hati. Ia mungkin berangkat dari Pati pada siang atau sore hari, sehingga baru tiba di rumahku pada pagi ini. Terlebih, ia bukanlah seorang pengemudi yang andal, dan biasa mengemudikan kendaraan dengan kecepatan menengah, jadi jelas saja ia baru tiba di sini sepagi ini.

Aku tersenyum, sejenak kulangkahkan kaki ini untuk mengambil selimut dari kamarku. Dan di sana, aku masih mendapati Anita yang masih tenggelam di dalam lelapnya kini. Kubenahi juga selimut wanita itu, karena aku tahu bagaimana jika ia tertidur, sama dengan Cyllia menurut pengakuan Alfarizi. Setelah kuambil selimut di lemari ini, kubalutkan di tubuhnya lalu kutinggalkan wanita itu dan aku memilih untuk memimpin langkahku menuju ke dapur.

*****


Jam 1000, ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi ruko yang sudah beberapa hari belakangan ini kutinggalkan. Herman langsung menyambutku dengan senyuman, seperti ada kelegaan melihatku bisa berada lagi di sini setelah sekian lama aku tidak berada di sini.

Setelah beberapa perbincangan, aku pun meninggalkan ruko itu lagi dan melajukan skuter ini untuk kembali ke rumah, di mana ada tiga bidadari terindah yang saat ini menjaga rumahku. Entah bagaimana ini semua bisa terjadi, bahkan aku merasa ini semua adalah sebuah fatamorgana yang penuh dengan keniscayaan.

Entahlah.

Aku tidak dapat berpikir lagi, bagaimana aku bisa melewati ini semua. Lamunanku terus melaju seraya Michelin yang membalut pelek berukuran empat-belas-inci ini terus melaju konstan melahap aspal di jalan perumahan ini. Entah apa yang bisa kuperbuat sekarang.

Pernyataan cinta Rahma yang begitu tiba-tiba.

Penyerahan diri Anita yang begitu tiba-tiba.

Ketulusan Cahaya yang begitu tiba-tiba.

Namun tidak dengan keikhlasan sosok Ivory yang selalu ada bahkan sejak dahulu.

Ah gadis itu, tidak habis rasanya batinku terus memuji segala keindahan dan kesempurnaan yang telah ia tunjukkan begitu nyata di depanku hingga kini. Aku tidak mungkin bisa melepaskan sosok gadis terhebat yang pernah datang kepadaku kini.

Teringat kata-kata seseorang yang mengatakan betapa ketulusan seorang wanita adalah bagaikan karbon yang terus menerus ditempa pada tekanan dan suhu tinggi, menjadikannya sebuah unsur kasar, gelap, dan lusuh menjadi sebuah intan yang bening dan juga berharga.

Hingga tanpa sadar, aku telah tiba di depan rumahku, dan sebuah kendaraan sudah terparkir di sana.

Celaka aku!

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.