- Beranda
- Stories from the Heart
Can't Stop Loving You
...
TS
wadonsubur
Can't Stop Loving You

Quote:
RANIA - Intro
Namaku Rania Wibisana.
Aku tinggal di sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta. Rumah dengan dua kamar tidur, dua kamar mandi, ruang keluarga yang langsung menyatu dengan dapur, taman depan yang kutanami bougenvilledan beberapa pot bonsai, serta taman belakang yang bersebelahan dengan tempatku menjemur pakaian, serta carport tempatku memarkirkan mobil Picanto merahku. Mobil yang senantiasa mengantarkan ke tempatku mengais rezeki di pusat kota Jakarta ini.
Komplek rumahku tergolong kecil, hanya terdiri dari 18 unit rumah. Wajar, karena susah mencari lahan baru untuk membangun tempat tinggal di ibukota ini. Rumahku bercat abu-abu dan biru langit, bernomorkan 7. Kiri kanan tetanggaku adalah keluarga muda kelas menengah yang rata-rata seumuran denganku dan suamiku Andre Latriel. Anak dari tetanggaku yang paling besar baru masuk Sekolah Dasar, Nadia namanya, rumahnya tepat di seberang rumahku. Sedangkan aku dan Andre belum memiliki keturunan. Maklum, selama tiga tahun menikah lelaki dengan tinggi 176 cm ini sering bertugas di luar kota bahkan luar pulau. Pekerjaan Andre sebagai kepala teknisi di perusahaan pembangkit listrik, memang cukup menyita waktu. Apalagi pemerintahan sekarang sedang berkonsetrasi membangun infrastuktur di luar pulau Jawa.
Namaku Rania Wibisana.
Usiaku baru saja menginjak dua puluh delapan tahun di bulan Mei lalu. Di umurku ini, masih banyak yang mengira aku masih kuliah. Tampilanku sehari-hari sangat casual, celana jeans dipadankan dengan kaus dan sneakers atau polo shirt dengan flat shoes. Tatanan rambut ponytail menjadi ciri khasku, ditambah kacamata lebar yang menghiasi wajahku. Wajar, karena aku bekerja sebagai desainer grafis di salah satu agency advertising terkenal di Jakarta.
Namaku Rania Wibisana
Usaha kerasku akhirnya membuahkan hasil, kini aku menempati posisi baru sebagai creative director. Proyek besar dari klien utama kami berjalan lancar. Memang tidak mudah dan menguras waktu serta energi yang tidak sedikit. Seringkali aku membawa pekerjaan kantor ke rumah agar tidak meleset dari deadline yang diberikan. Jika jenuh, terkadang aku mengerjakannya di kedai kopi langgananku. Kafein sudah menjadi candu untukku, selain aroma kopi yang membuat rileks, kandungan kopi melepaskan hormon dopamine dan norepinephrine membuat kinerja otak meningkat dan menaikkan mood.
PART INTRO
Quote:
PART RANIA DAN ANDRE
Quote:
Rumah Tangga Rania - Andre
Quote:
Rupa-rupa
Quote:
Diubah oleh wadonsubur 05-02-2018 16:48
anasabila memberi reputasi
2
38.5K
260
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wadonsubur
#1
Rania – Pertemuan
Aku meninggalkan rumah tepat pukul 08.30 WIB. Kacamata hitam Ray Ban kukenakan untuk mengurangi silau dari sinar matahari pagi ini, suhu Jakarta pagi ini adalah 28°C. Kunyalakan radio pada frekuensi 99,9 FM, dimana banyak lagu terbaru yang diputar sekaligus bisa kudapatkan informasi padatnya jalanan ibukota.
Senin pagi ini aku mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih yang lengannya kugulung hingga ke sikut, celana jeans belel berwarna biru muda dan sneakers Converse kesayangan yang berwarna putih. Tumbler berwarna biru, warna favoritku, berisi kopi Toraja Minanga kuletakkan di samping kursi.
Picantoku baru melaju sekitar 7 kilometer dari rumah saat lagu milik Halsey – I’m Not Afraid Anymore sedang diputar di stasiun radio kesayanganku. Lagu ini mengingatku akan seseorang di masa lalu sebelum aku dan Andre menikah. Lamunanku buyar saat ban depanku masuk ke sebuah lubang jalan yang lumayan besar, tak lama kemudian mobil merah ini menjadi sulit dikendalikan. Aku menepi dengan segera.
“Ah sial, bannya robek. Padahal baru akan diganti.
Tenang Rania, cek ban serep dulu,” ujarku dalam hati setelah mengecek kondisi ban mobilku.
Aku membuka bagasi belakang, namun tidak kutemukan ban serep. Aku ingat-ingat lagi dimana aku menaruhnya dan langsung mengingatnya. Andre kemarin ke tukang tambal ban di dekat rumah untuk menambal ban serep ini tapi lupa dikembalikan ke bagasi karena buru-buru berangkat ke airport.
“Arrrghhh......,” aku gemas dan kesal, apalagi siang ini aku harus meeting dengan klien perusahaan rokok.
Kuraih ponselku dari tas, aku mencoba menelpon Andre tapi tidak tersambung. Mungkin tidak ada sinyal disana. Aku bingung dan panik. Tidak ada ban serep, menuju pulang juga cukup jauh. Kalau mobil kutinggal juga tidak mungkin. Saat bingung, sebuah mobil berwarna putih menepi. Sesosok lelaki dengan celana kain warna khaki dan kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak kecil dan sepatu loafer berwarna coklat turun dari mobil.
“Bannya robek mbak?” tanya lelaki berambut ikal itu.
“Iyah, robek kena lubang besar tadi,” jawabku singkat .
"Ada ban serepnya mbak?" lelaki berkulit kuning langsat ini menanyaiku lagi.
"Ada, tapi ketinggalan di rumah," timpalku.
"Hmmmm..... Rumahnya jauh mbak? Apa perlu saya bantu bawa bannya ke tukang tambal ban? Lagi buru-buru nggak?" tanya lelaki ini bertubi-tubi.
"Lumayan jauh mas, belum lagi nanti kena macetnya. Saya juga mau ada meeting siang ini, duh gimana ya?" jawabku kebingungan.
"Gini aja mbak, saya pinjamkan ban serep saya, saya bantu gantikan bannya. Nanti ban saya bisa dikembalikan kalau sudah di rumah. Kebetulan kan, mobil kita sama jenisnya," cerocos lelaki jangkung itu
"Eh, seriusan mas nggak apa-apa? Saya yang nggak enak, ngerepotin mas. Nanti nggak telat juga?" jawabku
"Nggak apa-apa mbak. Jam kerja saya fleksibel kok. Yuk saya bantu yah," ujar lelaki itu sambil menuju mobilnya dan melepas kemejanya.
Tampak kaus oblong berwarna hitam membalut dada lebar dan bahu bidangnya. Dengan sigap dia mengganti ban yang bocor. Aku bersyukur ada orang yang tidak kukenal bisa membantu di saat aku kebingungan seperti ini.
"Saya punya adik perempuan juga mbak. Saya tadi lihat mbaknya kebingungan, langsung ingat adik saya. Kalau dia kesusahan di jalan, pasti saya yang dihubungi, tapi pakai mewek dulu," cerita lelaki itu memecah keheningan.
"Makasih ya mas. Tadi saya memang sudah bingung banget. Untung ada mas random yang baik mau nolongin saya dan untung saya nggak sampai mewek juga" ujarku
"Hahaha... Kalau mbak ini, kayaknya nggak akan sampe mewek deh, pasti banyak yang mau nolongin, by the way nama saya bukan Random, tapi Randy. Tadi nebak yah, udah hampir mirip tuh, RAANNDOM ama RAAANDY, beda dua huruf doang loh," jawab lelaki itu sambil sedikit mengeja namanya.
"Hahaha... mungkin karena cewek yah, jadi banyak yang mau nolongin? Kalau masalah nama, saya nggak nebak mas. Kebetulan ajah asal sebut," sahutku sambil tertawa.
"Bisa jadi karena mbak cewek dan pada inget sama adiknya, jadi banyak yang mau nolongin, hehehe... Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan mbak, yang ada cuman takdir," ujar Randy sambil mengusap peluhnya.
Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.
"Mbak sudah selesai nih, hmmm sebentar yaaa," kata Randy setelah membereskan peralatan dan menuju ke mobilnya.
Randy mengambil sebotol air minum, mencuci tangannya dan membasuh wajahnya. Diambilnya tisu dan dikeringkannya bagian tubuhnya yang basah. Dirogoh dompet dari saku celana belakangnya. Disodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam ke arahku.
"Ini mbak kartu nama saya, hubungi saja kalau mau kembalikan bannya nanti. Mbaknya sudah bisa jalan ke kantor dan nggak telat," kata Randy sambil tersenyum.
"Waaah mas Randy, makasih banyak yah. Saya ketolong banget. Anyway nama saya Rania dan kartu nama saya lagi habis, nanti saya hubungi yah," jawabku sambil menyalami tangan Randy.
Setelah itu, kami berdua berpisah. Aku bergegas menuju kantorku untuk bersiap meeting dengan klien. Mobil Randy pun hilang dari pandangan mata setelah traffic light kedua. Kuraih kartu nama tadi, kusalin nomornya, ku save dengan nama "Mas RANDOM"
Aku meninggalkan rumah tepat pukul 08.30 WIB. Kacamata hitam Ray Ban kukenakan untuk mengurangi silau dari sinar matahari pagi ini, suhu Jakarta pagi ini adalah 28°C. Kunyalakan radio pada frekuensi 99,9 FM, dimana banyak lagu terbaru yang diputar sekaligus bisa kudapatkan informasi padatnya jalanan ibukota.
Senin pagi ini aku mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih yang lengannya kugulung hingga ke sikut, celana jeans belel berwarna biru muda dan sneakers Converse kesayangan yang berwarna putih. Tumbler berwarna biru, warna favoritku, berisi kopi Toraja Minanga kuletakkan di samping kursi.
Picantoku baru melaju sekitar 7 kilometer dari rumah saat lagu milik Halsey – I’m Not Afraid Anymore sedang diputar di stasiun radio kesayanganku. Lagu ini mengingatku akan seseorang di masa lalu sebelum aku dan Andre menikah. Lamunanku buyar saat ban depanku masuk ke sebuah lubang jalan yang lumayan besar, tak lama kemudian mobil merah ini menjadi sulit dikendalikan. Aku menepi dengan segera.
“Ah sial, bannya robek. Padahal baru akan diganti.
Tenang Rania, cek ban serep dulu,” ujarku dalam hati setelah mengecek kondisi ban mobilku.Aku membuka bagasi belakang, namun tidak kutemukan ban serep. Aku ingat-ingat lagi dimana aku menaruhnya dan langsung mengingatnya. Andre kemarin ke tukang tambal ban di dekat rumah untuk menambal ban serep ini tapi lupa dikembalikan ke bagasi karena buru-buru berangkat ke airport.
“Arrrghhh......,” aku gemas dan kesal, apalagi siang ini aku harus meeting dengan klien perusahaan rokok.
Kuraih ponselku dari tas, aku mencoba menelpon Andre tapi tidak tersambung. Mungkin tidak ada sinyal disana. Aku bingung dan panik. Tidak ada ban serep, menuju pulang juga cukup jauh. Kalau mobil kutinggal juga tidak mungkin. Saat bingung, sebuah mobil berwarna putih menepi. Sesosok lelaki dengan celana kain warna khaki dan kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak kecil dan sepatu loafer berwarna coklat turun dari mobil.
“Bannya robek mbak?” tanya lelaki berambut ikal itu.
“Iyah, robek kena lubang besar tadi,” jawabku singkat .
"Ada ban serepnya mbak?" lelaki berkulit kuning langsat ini menanyaiku lagi.
"Ada, tapi ketinggalan di rumah," timpalku.
"Hmmmm..... Rumahnya jauh mbak? Apa perlu saya bantu bawa bannya ke tukang tambal ban? Lagi buru-buru nggak?" tanya lelaki ini bertubi-tubi.
"Lumayan jauh mas, belum lagi nanti kena macetnya. Saya juga mau ada meeting siang ini, duh gimana ya?" jawabku kebingungan.
"Gini aja mbak, saya pinjamkan ban serep saya, saya bantu gantikan bannya. Nanti ban saya bisa dikembalikan kalau sudah di rumah. Kebetulan kan, mobil kita sama jenisnya," cerocos lelaki jangkung itu
"Eh, seriusan mas nggak apa-apa? Saya yang nggak enak, ngerepotin mas. Nanti nggak telat juga?" jawabku
"Nggak apa-apa mbak. Jam kerja saya fleksibel kok. Yuk saya bantu yah," ujar lelaki itu sambil menuju mobilnya dan melepas kemejanya.
Tampak kaus oblong berwarna hitam membalut dada lebar dan bahu bidangnya. Dengan sigap dia mengganti ban yang bocor. Aku bersyukur ada orang yang tidak kukenal bisa membantu di saat aku kebingungan seperti ini.
"Saya punya adik perempuan juga mbak. Saya tadi lihat mbaknya kebingungan, langsung ingat adik saya. Kalau dia kesusahan di jalan, pasti saya yang dihubungi, tapi pakai mewek dulu," cerita lelaki itu memecah keheningan.
"Makasih ya mas. Tadi saya memang sudah bingung banget. Untung ada mas random yang baik mau nolongin saya dan untung saya nggak sampai mewek juga" ujarku
"Hahaha... Kalau mbak ini, kayaknya nggak akan sampe mewek deh, pasti banyak yang mau nolongin, by the way nama saya bukan Random, tapi Randy. Tadi nebak yah, udah hampir mirip tuh, RAANNDOM ama RAAANDY, beda dua huruf doang loh," jawab lelaki itu sambil sedikit mengeja namanya.
"Hahaha... mungkin karena cewek yah, jadi banyak yang mau nolongin? Kalau masalah nama, saya nggak nebak mas. Kebetulan ajah asal sebut," sahutku sambil tertawa.
"Bisa jadi karena mbak cewek dan pada inget sama adiknya, jadi banyak yang mau nolongin, hehehe... Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan mbak, yang ada cuman takdir," ujar Randy sambil mengusap peluhnya.
Aku hanya bisa tertawa mendengar kata-katanya.
"Mbak sudah selesai nih, hmmm sebentar yaaa," kata Randy setelah membereskan peralatan dan menuju ke mobilnya.
Randy mengambil sebotol air minum, mencuci tangannya dan membasuh wajahnya. Diambilnya tisu dan dikeringkannya bagian tubuhnya yang basah. Dirogoh dompet dari saku celana belakangnya. Disodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam ke arahku.
"Ini mbak kartu nama saya, hubungi saja kalau mau kembalikan bannya nanti. Mbaknya sudah bisa jalan ke kantor dan nggak telat," kata Randy sambil tersenyum.
"Waaah mas Randy, makasih banyak yah. Saya ketolong banget. Anyway nama saya Rania dan kartu nama saya lagi habis, nanti saya hubungi yah," jawabku sambil menyalami tangan Randy.
Setelah itu, kami berdua berpisah. Aku bergegas menuju kantorku untuk bersiap meeting dengan klien. Mobil Randy pun hilang dari pandangan mata setelah traffic light kedua. Kuraih kartu nama tadi, kusalin nomornya, ku save dengan nama "Mas RANDOM"
0
