Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

setiawanariAvatar border
TS
setiawanari
Patahan Salib Bidadari
In the name of Allah, the beneficient, the merciful
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Patahan Salib Bidadari
Terimakasih untuk gambar sampulnya awayeye

Terimakasih Kaskus, khususnya untuk sub forum SFTH yang telah menyediakan tempat menampilkan sebuah cerita. Sebuah fasilitas yang akan saya gunakan untuk menulis dimulai dari hari ini hingga di hari-hari selanjutnya.

Terlepas dari nyata atau tidaknya cerita ini, adalah tidak terlalu penting karena sebagian dari kisah nyata dan sebagian dari imaginasi saya. Harapan saya tokoh-tokoh dalam cerita ini dapat menjadi inspirasi untuk para pembaca cerita yang saya tulis ini dapat menjadikan saya untuk terus berkreatifitas.

Mohon maaf jika materi dalam cerita ini nantinya ada kesalahan dan menyinggung pihak-pihak tertentu sekiranya nasihat, kritik dan saran dari agan/sista yang lebih berpengalaman selalu sangat saya harapkan.

Menemani istirahat untuk menghilangkan lelah setelah pulang kerja/sekolah/kuliah, atau saat sedang menunggu sesuatu mari kita baca ceritanya. Ditemani alunan musik dan segelas kopi/cokelat/susu/teh hangat kita kembali ke beberapa tahun yang lalu!!!.


PEMBUKA CERITA

Terpaku di dalam rasa cinta yang tak mungkin pudar, menanti cinta datang membawa arti sampai segenap organ ini berhenti.

Sore itu saat cuaca cerah di lantai 6 gedung akademisi yang melahirkan sarjana ekonomi terbaik aku termenung. Melamunkan manis, asam, asin dan pahitnya segala kehendak Tuhan yang dianugerahkan kepada salah satu ciptaanNya.

Manusia diberikan otak untuk berfikir dan menggunakan logika lalu diberikan hati untuk merasakan. Hati adalah malaikat sedangkan otak kadang menjadi iblis dan sangat sulit untuk mengontrolnya menjadi malaikat. Hati menjerit saat kita berbuat salah sedangkan otak adalah penyebab semua kesalahan yang dilakukan manusia. Malaikat dan iblis adalah gambaran dari manusia, sebagai simbol antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan tidak akan bersanding dengan kejahatan dan sebaliknya.

“Permisi Mas! Bisa pindah duduknya, lantainya mau di bersihkan!” Sapa seorang petugas cleaning service membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya mas”. Jawabku sambil berlalu pergi menuju tempat parkir motor tepatnya dihalaman depan kampus.

Karamnya cinta ini
Tenggelamkanku diduka yang terdalam
Hampa hati terasa
Kau tinggalkanku meski ku tak rela
Salahkah diriku hingga saat ini
Kumasih mengharap
Kau tuk kembali………


Sore itu gerimis turun saat aku pulang, tak terasa sampai ditempat kos yang kebetulan hanya berjarak 10 menit dari kampus air hujan membasahi jaket jeans yang ku kenakan. Segera aku mengambil handuk dan membersihkan diri, bersiap untuk mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa. Dengan ritual sholat Ashar aku merasakan kedamaian yang tidak ada bandingannya, sebagai bentuk kepatuhan dan rasa syukur atas semua yang diberikan Tuhan baik itu berkah yang membuat hati senang maupun musibah sebagai ujian kepada hambanya agar menjadi sosok yang lebih kuat.

Waktunya istirahat, kurebahkan badan ini di kasur busa sebagai surga dunia yang paling indah, sambil memutar lagu menemaniku melepas lelah. Secangkir kopi hitam telah kusiapkan untuk menghangatkan suasana karena diluar hujan turun semakin deras. Kupandangi sebuah kalung berwarna emas berliontin salib yang bersanding dengan sebuah kalung perak berliontin lafaz Allah, tergantung dibawah poster foto Ibu Sundari Sukotjo tepat di tengah-tengah dinding kamar kosku. Masih menampakkan kilaunya meski kalung-kalung itu sudah hampir 4 tahun lamanya. Aku bangkit dari tempat tidur, meminum sedikit kopi hitam, sambil menarik nafas dalam sedalam yang aku mampu. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu di sore ini, ya aku merasakan suatu kerinduan yang luar biasa dengan pemilik kalung salib yang tergantung dikamarku, seorang yang sangat suka musik klasik, seseorang pecinta sepakbola, seseorang yang suka kopi hitam dan mungkin pernah mencintaiku walaupun tak pernah mengungkapkan sepatah katapun.

“Ya Tuhan hari ini aku kangen banget sama dia, meski tak sebesar kangen ku kepadaMu, tapi sungguh seolah-olah aku merasa sangat lemah dan sangat kehilangan. Hari ini tepat 4 bulan yang lalu dia beranjak pergi dari tempat ini, dia pergi untuk cita-citanya, untuk impiannya dan bodohnya aku belum sempat mengutarakan seluruh perasaanku kepadanya. Perbedaan keyakinanlah yang menghalangi, aku bahkan hanya bisa diam membisu saat ku ingin mengucapkan seluruh rasa cinta ini aku takut rasa cinta kepada makhluk ciptaanMu melebihi rasa cintaku padaMu. Tak kuasa air mata ini menetes, berusaha ku tahan tapi tak sanggup karena mungkin ini air mata rindu yang mencapai puncaknya.

Aku bukan seorang penulis tetapi hari ini tiba-tiba ingin sekali aku ingin sekali memainkan jariku di keyboard yang biasanya hanya kupakai untuk membuat tugas. Aku ingin menulis tentang dirimu tentang cerita kita, walaupun mungkin tidak berujung bahagia tidak apa karena mungkin dengan tulisan ini aku bisa mencurahkan segala isi hati dan kerinduanku kepada mu. Kenangan indah tentang hari-hari yang pernah kulalui dengan seorang bidadari yang telah merubah seluruh hidupku, meski meninggalkan perasaan yang terus menggantung entah sampai kapan. Bidadari yang datang di hidupku, menemaniku sejenak lalu pergi meninggalkan patahan salibnya di hidupku.


Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku
Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku sepanjang hidupmu


Sekilas Gambar Tentang Aku
Harapan Sesuai dengan Kenyataan
Kerikil Kecil dan Awan yang Jauh
Pertemuan dengan Sahabat
Sepatu Mengawali Sebuah Impian
Dunia Kampus dan Teman Baru
Keluarga Kecil Bernama HALTE
Sesuatu Mengganggu Pesta Akhir Smester
Diantara Rasa Kagum dan Penasaran
Meluapnya Sebuah Emosi
Hubungan yang Semakin Dekat
Kegelisahan Menghadapi Perasaan yang Berbeda
Siang Menjadi Malam dan Sebaliknya
Perjalanan yang Semakin Indah

Momen Menggelikan dan Warna Kehidupan
Dilema Menghadapi Ungkapan Perasaan
Tetangga di Sekitar Kami
Liontin Salib untuk Leher yang Indah
Kepedihan Cerita di Masa Lalu
Senyuman untuk Hati yang Terluka
Sosok yang Menjadi Pertanyaan
Mencoba Menghilangkan Trauma
Pelangi yang Hilang Bersama Turunnya Hujan
Malam Kebahagiaan Bersama Keluarga Kecil
Bidadari Kecil Kini Telah Dewasa
Kebahagiaan Kini Tinggal Prasasti
Semua Terjadi Sangat Cepat
Sebuah Cinta yang Salah
Surga yang Tak Layak untuk Dilihat
Rumput Dingin Di Bawah Bangku Taman
Pahitnya Sebuah Ucapan
Air Mata Menepis Kerasnya Kata-kata
Satu Langkah ke Arah Normal
Bertahan Hanya dalam Waktu Singkat
Semakin Tenggelam dalam Kedekatan
Lilin Kecil di Malam Penuh Kebahagiaan
Selamat Datang Kemarau
Kerinduan yang Teramat Dalam
Hembusan Angin Masa Lalu
Sayap yang Kuat Untuk Bidadari Kecil
Tinta Biru Menorehkan Luka
Berusaha Menyembunyikan Luka
Hilangnya Rasa Segan
Keberhasilan Tanpa Perayaan
Berharap Hanya Andai Saja
Serpihan Kenangan yang Menyiksa
Tempat Baru
Berita Baik Bersama Undangan
Selamat Menempuh Hidup Baru
Kesan yang Baik di Hari Pertama
Insiden Kecil dan Masa yang Telah Terlewati
Menutup Momen 4 Tahun Kebersamaan
Kotak Makan Siang
Keberanian Untuk Memulai
Pahitnya Sambutan Selamat Datang
Seperti Kembali ke Waktu Itu
Teka Teki dari Perhatian Sederhana
Cerita di Ujung Sore
Peneduh Panasnya Amarah
Mengungungkapkan tak Semudah Membayangkan
Titik Terang yang Terasa Gelap
Patahan Salib Bidadari
Terimakasih Untuk Masa yang Terlewati
Apa yang Sebenarnya Terjadi
Kembali Terjatuh
Dunia Ciptakan Keindahan
Dan Kebahagiaan [TAMAT]

Kata Penutup (Q&A)
Diubah oleh setiawanari 10-07-2018 10:35
calebs12
nona212
nona212 dan calebs12 memberi reputasi
3
110.7K
608
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
setiawanariAvatar border
TS
setiawanari
#177
Kerinduan yang Teramat Dalam


Kini, sebulan berlalu setelah kudengar kabar dari Putri kini saatnya menuju tanah ku dilahirkan menjadi orang yang bertanggung jawab mengikat hubungan 2 orang yang akan menjadi satu. 12 jam perjalanan akhirnya sore itu aku tiba di kota yang selalu memanggilku untuk kembali pulang.


Aroma tanah dan dedaunan saat ku buka jendela sangat khas menyegarkan hidung setelah hampir setahun tak pernah aku hirup. Jalan melewati pegunungan yang semakin lama semakin kecil namun rasa lelah tubuh ini seolah hilang. Aku mengurangi kecepatan karena beberapa lubang kecil mulai nampak di sepanjang jalan.

“Hoaaah masih jauh Wan, kok ac-nya mati?" Kata Ninda bangun dari tidurnya.
“Bentar lagi yah paling 1 jam, kita udah keluar kota Solo tinggal menuju Karanganyar, eh jendelanya buka aja Nin, anginnya beda sama Jakarta?" Kataku
“Uuuhhhhhh dingin ya, padahal baru jam 3, pemandangannya bagus banget Wan, isinya pohon semua, rumahnya juga jaraknya agak berjauhan, kaya di puncak ya!"
“Yah namanya juga kota kecil, iler tu lap dulu,"
“Enak aja, gw gak pernah ngiler kalau tidur."


Perbincangan kami berlanjut, mobil terus melaju melewati beberapa desa dan mesin kumatikan saat tiba di halaman rumah. 2 buah rumah dengan model joglo berdiri kokoh seperti sedang bergandengan tangan. Nampak sedikit berubah karena kali ini di kelilingi pagar dari anyaman pohon bambu di sekelilingya hingga beberapa meter ke arah jalan desa. Tiang-tiang besi untuk tenda juga mulai berdiri meskipun belum sempurna. Akupun keluar mobil bersama dengan Ninda yang tidak tampak rasa lelah di tubuhnya setelah menempuh perjalanan.


“Mas, Awan......" Indri yang sudah menunggu di halaman berlari memeluk ku, air matanya tumpah. Lalu berganti oleh pelukan Putri.

Ninda pun mendapat perlakuan yang sama justru sepertinya lebih lama kedua adikku memberikan pelukan hangatnya.

“Aduuuh cantiknya calon pengantin.” Kata Ninda mencubit pipi Putri.
“Iiih cantikan juga mbak Ninda.” Jawab Putri.
Paman dan bibi juga sudah menunggu akupun menyalaminya.
“Gimana Pak Lek kabarnya?” Kataku memeluk Paman.
“Alhamdulillah sangat baik, kamu pasti juga dalam keadaan yang sama,"
“Iya lek, Gusti Allah selalu menjaga saya."
“Yowis ayo masuk, biar nanti saja barang-barangnya dibereskan sekarang istirahat dulu." Kata bibi.

Sebelum masuk rumah aku menyalami beberapa tetanggaku yang ternyata sudah ramai membantu acara pernikahan Putri lusa nanti.

Kami pun duduk di ruang tamu rumah almarhum ayah yang di tempati Putri dan Indri bersebelahan dengan rumah Paman.

“Maaf ya nak Ninda, ya beginilah kondisi disini beda sama di kota." Kata Bibi saat kami duduk di ruang tamu.
“Aduh bibi, rumahnya bagus kok bi, nyaman, saya pun pasti betah disini, justru Ninda yang minta maaf yang gak bawa apa-apa dari Jakarta dan malah bikin repot bibi."
“Repot apa to Nduk, justru bibi malah seneng kamu mau ikut ke sini, padahal kan jauh, mana naik mobil segala bukannya kamu ajak naik pesawat aja to Le." Kata Bibi.
“Pesawat? Saya kan gak berani naik pesawat Bulek, kalau mabok malah repot."
“Gak berani duitnya ya mas?" Kata Indri dari arah dapur membawakan beberapa gelas teh manis hangat, diikuti Putri membawa makanan ringan sebagai pelengkap minum.

“Enggak lah, Mas Awan takut ketinggian." Kataku disambut tawa.
“Ayo di minum Nduk tehnya, nanti baru mandi terus istirahat." Kata bibi.
“Iya mbak ayo diminum, abis ini Putri ajak muter-muter sekitar rumah." Kata Putri.
“Eh istirahat dulu orang abis perjalanan jauh kok, masih capek mbak Nindanya, Putri.” Kata bibi.
“Tau nih Mbak Putri ma gak tau orang capek." Kata Indri.
“Tadinya sih capek banget tapi begitu sampai kayanya udah ilang capeknya." Kata Ninda.
“Capeknya ilang tinggal lapernya." Kataku
“Iiih apaan sih." Kata Ninda tangannya menepuk pelan pahaku.
“Oh iya keasikan ngobrol sampai lupa nasinya belum di keluarin, bentar ya ayo Putri bantu Bulek keluarin nasinya." Kata Bibi beranjak ke dapur.
“Ninda ikut bantu ya Bi." Kata Ninda berdiri mengikuti Bibi dan Putri ke ruang dapur.
“Oh, ayo tapi apa kamu nggak capek to nduk?"
“Enggak kok Bi, orang di mobil Cuma tidur," Kata Ninda.

Kami pun menikmati makan sore bisa di katakan begitu karena memang hari masih menunjukkan pukul lima lewat 15.

“Bulek kok dari tadi liat mbak Ninda terus to?" Kata Indri.
“Lha biarin to, Bulek tu kagum. Mas mu itu pinter banget ke kota selain bawa ijasah juga bawa bidadari, cantik, badannya bagus, kulitnya putih kaya orang Korea, di kampung ini orang putih pun gak seputih Nduk Ninda." Kata bibi memuji, memang bibi ini orangnya kalau bicara ceplas-ceplos dan apa adanya.
“Aduuuhhh bibi, sampai segitunya nanti saya terbang lho bi." Kata Ninda.
“Tapi beneran lho Nduk, bener bener cantik Yo pak.” Kata Bibi berbicara ke Paman.
“Masih cantikan kamu, Bu e.” Jawab paman membuat kami tertawa.
“Alaah, gombalnya mulai, yowis bibi tinggal kebelakang dulu ya nanti kalau perlu jangan sungkan-sungkan ini rumah kamu sendiri Yo Nduk Ninda." Kata Bibi.
“Iya Bi, Terimakasih.” Jawab Ninda.

Bibi pun pergi meninggalkan ruang tamu di temani paman.

“Mbak nanti tidur di kamar Putri ya." Kata Putri.
“Iiih apaan sih.....mbak Ninda tidur di kamar Indri kok." Jawab Indri.
“Kamar mbak Putri, Indri kamu sekali kali ngalah kenapa?" Kata Putri.
“Gak mau Mbak Putri, pokonya mbak Ninda tidur sama Indri." Kata Indri.
Aku dan Ninda pun saling berpandangan.
“Lho-lho kok jadi rebutan tidur sama Ninda, gak rebutan tidur sama Mas Awan?" Kataku.
“Mas Awan tidur di sini aja, ruang tamu hahahaha." Kata Indri.
“Iiih jahat banget, yaudah Ninda biar tidur di kamar Mas Awan, kalian berdua tidur sana aja tar mas Awan biar tidur disini." Kataku.
“Setuju." Kata Putri
“Kamu gimana Ndri." Kataku
“Hhmm iya deh setuju." Jawab Indri.


Kami pun bergegas membereskan barang-barang yang dalam mobil. Sampai azan magrib berkumandang kami telah selesai mandi. Indri, Putri dan Ninda sedang berada di ruang tamu, berbincang entah apa yang dibicarakan seolah ada saja materi yang di ceritakan.

“Mas Awan udah sholat.” Kata Putri saat aku keluar kamar.
“Ini mau nyari sajadah, kamu ada gak mas lupa bawa dari Jakarta." Kataku Ninda melihatku tersenyum seolah dia tahu kebiasaan ku saat di Jakarta.

“Ooh sebentar Putri ambil dulu," kata Putri mengambilkan sajadah dari dalam kamarnya.

Sudah lupa kapan terakhir kali aku bersujud bersimpuh diatas sajadah. Baru hari ini aktivitas itu kembali ku lakukan, mungkin karena rasa malu saja karena sedang berada dekat dengan kedua adikku.

Selesai sholat aku duduk di tepi ranjang kamarku melihat beberapa coretan dinding hasil karyaku waktu kecil. Ada beberapa angka, huruf dan gambar gambar tapi dari semua itu yang paling mencolok saat ini adalah gambar berbentuk orang memegang seekor ular yang cukup besar dan dikelilingi beberapa gambar orang yang lebih kecil. Di sebelah orang yang memegang ular ada seorang lagi memegang ular kecil tetapi jumlahnya lebih dari satu.

Gambar tidak sempurna tapi cukup membuatku tersenyum dan mengingat dengan siapa aku menggambar coretan itu dan kapan coretan itu terjadi. Meskipun tampak seperti ular namun sebenarnya itu gambar seorang anak memegang belut sawah.


Aku dan Wahyu yang membuatnya. Imaginasi seorang Awan yang ingin sekali menangkap belut terbesar saat sedang berburu disawah lalu orang-orang kagum dengan apa yang aku tangkap. Sedangkan Wahyu selalu membayangkan bisa menangkap belut-belut kecil dalam jumlah banyak, membawanya pulang lalu sebagian akan diberikan untuk Putri dan Indri. Saat ku tanya alasannya waktu itu jawaban Wahyu hanya karena dia tidak memiliki adik jadi dia ingin berbagi dengan kedua adikku. Saat bermain dirumah ini Wahyu sering memberikan mainannya untuk Putri ataupun Indri kadang itu juga yang membuatku kesal. Sebuah mainan yang aku pinjam saja tidak boleh namun justru diberikan cuma-cuma untuk adikku.

Teman kecilku kini telah tumbuh dewasa, beberapa jam lagi akan menjadi adik iparku. Dari beberapa mainan kecil yang tak berarti kini dia berikan hatinya untuk bidadari kecilku yang paling berharga. Wahyu dan Puteri mereka telah menemukan cinta disaat mereka belum mengenal cinta.


Tok. Tok. Suara pintu diketuk 2 kali.


“Masuk," Kataku.
“Kamu belum selesai?"
“Udah lagi nyantai aja Put, Eh kirain Putri, kok manggilnya....?"
“Iya gak apa apa kan Mas?" Kata Ninda lalu duduk di sampingku.
“ Hahahahaha nah, nah kesambet setan apa ini, hahahaha."
“Iiih biarin aja sih, ini kan di desa, di rumah kamu aku gak enak manggil kamu nama atau Elu gw, kamu juga manggil aku jangan elu tapi kamu atau Ninda, yak yak." Kata Ninda memegang pundakku.

“Iya, iya Herninda Rafaela Maharani.”
“Iiiih kepanjangan Ninda aja, yaudah aku keluar dulu ya mau lanjutin cerita sama Putri," Kata Ninda lalu berdiri.

“Enak aja keluar duluan, aku masih lama ni keluarnya.. auwwww." Kataku terhenti saat tangan Ninda mencubit perutku.
“Lagian gak jelas.” Kata Ninda kesal.
“Iya maksudnya keluar kamar Nin, kamu ma... Sakit tau."
“Bodo." Kata Ninda keluar kamar.
“Wudu lagi ini mah." Pikirku lalu keluar mengambil air wudhu untuk solat isya yang tiba beberapa menit lagi.
“Paman sama bibi dimana Put?" Kataku selesai sholat isya.
“Ada di rumahnya Mas." Jawab Putri.
“Yaudah aku kesana dulu, lanjutin dah ngerumpinya." Kataku lalu menuju rumah Paman yang hanya di batasi tembok penyekat.


“Wah udah ganteng anak bibi ini, baru Pak Lek sama Bu Lek mau kesitu." Kata Bibi saat aku tiba di rumahnya.
“Dari dulu lahir juga udah ganteng saya ma Lek" Kataku lalu duduk di sofa.
“Iya, iya kalau gak ganteng mana Nduk Ninda mau, hehehehe." Kata bibi.
“Nah itu Bulek pinter."
“Terus Ninda sama adik kamu mana?"
“Ada di rumah lagi ngobrol, tau ngobrolin apa seru banget kayanya."
“Oooh yaudah Bu Lek ikut kesana ya." Kata Bibi lalu beranjak meninggalkan kami.



“Oh iya Wan, katanya kamu udah mau lulus kuliahnya?" Kata Paman.
“Iya Pak lek, akhir tahun ini aku wisudanya" Kataku.
“Syukur Alhamdulillah, terus kamu mau pulang atau cari kerja di Jakarta?"
“Belum tau Lek, mungkin sementara cari kerja disana sampai cukup modal untuk usaha di sini. Untuk acara besuk lusa gimana Pak Lek?”
“Udah beres semua, tinggal besuk masang tenda, dan dekorasi. Dapur perabotan, meja kursi juga siap, pokoknya tinggal akad dan resepsi aja."
“Tapi kayanya mewah banget Lek, itu ukuran tendanya gak kebesaran?"
“Awalnya sih mau sederhana aja Wan, tapi biarlah sekali seumur hidup, asalkan niat kita bukan pamer tapi biar kelihatan meriah kan gak apa apa, terlebih kemaren undangan yang di cetak ada 2000 undangan."
“Hah 2000? gak kebanyakan itu Lek, pejabat kecamatan aja paling cuma 1000 undangan lek, belum lagi yang gak di undang pun pasti ada aja yang dateng.”
“Ya gimana lagi, pihak Wahyu aja sebenernya masih kurang dan temen-temen Putri, Indri, kamu itu kan banyak wan, gak enak kalau gak diundang."
“Iya, semoga semuanya lancar ya Lek, sama ini ada uang buat nambahin biaya pernikahan Putri, mungkin masih kurang tapi cuma ini adanya." Kataku menyerahkan amplop cokelat berisi uang kepada Paman.

“Masyaallah, kalau mau kasih uang jangan ke Saya Le, kamu kasih ke Putri aja kalau untuk biaya ini gak usah kamu pikirkan. Semua ini juga semata-mata uang dari almarhum ayahmu yang memang paman jaga untuk acara ini."
"Tapi Ini Pak Lek simpen aja, Lek kan tau sendiri kalau Putri sama Indri selalu nolak kalau Awan kasih uang, kalaupun semuanya memang sudah cukup tapi tetep Awan mohon ini diterima nanti buat jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak baik Paman, Bibi atau kedua adikku Lek."
"Yaudah kalau memang ini keputusanmu akan Pak Lek simpen, semoga semoga Almarhum Mas dan mbak memaafkan kesalahan Pak Lek dan Bu Lek karena belum bisa berbuat terlalu banyak untuk anak-anak yang mereka titipkan."
"Yaampun Lek jangan ngomong gitu, mereka pasti senang lek dan mengucapkan terimakasih untuk Pak Lek dan Bu Lek. Semua yang Pak Lek dan Bu Lek berikan melebihi dari cukup Lek, justru Aku, Putri dan Indri yang belum bisa membalasnya.
"Iya Wan, besuk siang kita ke kuburan ya, nyekar almarhum dan semoga acaranya lancar tanpa gangguan apapun."
"Amin Lek."


Akupun kembali kerumah, Ninda, Bibi dan kedua adikku pun masih asik berbincang di ruang tamu.

"Masih pada belum kelar nih ceritanya." Kataku duduk diantara mereka.
"Yah yang di omongin dateng ganti cerita yuk." Kata Indri
"Oooh jadi pada ngomongin aku ya, awas kalau ngomongin yang jelek jelek tar tidurnya di kasih mimpi jelek." Kataku.
"Iiih enggak kok, kita ngomongin masa kecil Mas Awan, hahahaha lucu kalau diinget-inget." Kata Putri.


Aku ikut bergabung dalam perbincangan mereka hingga larut malam baru berhenti saat rasa kantuk mulai kami rasakan. Ninda dan kedua adikku menuju kamarku bersiap tidur begitu juga dengan bibi kembali ke rumahnya. Akupun merebahkan diri sambil menyaksikan acara televisi hawa dingin dan sedikit pegal ditubuh ini akhirnya membawaku ke alam mimpi.


Azan subuh terdengar samar-samar membangunkanku di tambah sayup sayup orang memanggil sambil mengusap-usap kepalaku.

"Mas, bangun sholat subuh."
“Hoaaah, iya eh Elu, ehm kamu Nin, udah bangun." Kataku bangkit sambil menyingkirkan selimut.
“Iya, yaudah wudu gih aku mau bantuin Bibi masak." Kata Ninda lalu berjalan ke dapur.


Aku melangkah ke kamar mandi melawan udara pagi yang begitu dingin. Terdengar suara ayam berkokok dari sekitar rumah saling beradu memamerkan merdunya suara. Dinginnya air membasuh muka, menghilangkan rasa kantuk dan beratnya mata untuk terbuka.



Perlahan matahari mulai menampakkan sinarnya, embun pagi mulai menguap dan mengering. Suara Kokok ayam mulai berganti dengan suara kendaraan sesekali melintas di jalan desa.

“Lho, pagi-pagi pada mau kemana nih?" Kataku melihat Ninda, Putri dan Indri seperti mau pergi.
“Mau ke pasar Mas, Mbak Ninda mau ikut katanya, ya mbak." Kata Indri.
“Iya, mau beli es potong, hehehehe." Kata Ninda merangkul pundak Putri.
“Iiih mbak Ninda itu kan kesukaanku." Kata Putri
“Kan aku mau nyobain, siapa tau suka." Kata Ninda.
“Pasti suka, nanti Putri yang beliin." Kata Putri.
“Yaudah berangkat dulu ya Mas." Kata Indri.
“Ayo Bu Lek, keburu siang." Teriak Putri memanggil bibi.
“Iya bentar." Jawab bibi lalu keluar dari dapur membawa tas belanja.

Selepas mereka berangkat ke Pasar, Tetangga sekitar mulai berdatangan untuk membantu kami menyiapkan acara esuk hari. Tradisi di kampung ini jika ada yang sedang menggelar hajatan warga seluruh desa berkumpul membantu proses penyelenggaraan sampai selesai. Seminggu sebelum acara tugas telah di pagi. Ada yang memasang tenda, dekorasi, dan panggung. Sedangkan untuk ibu-ibunya mendapat tugas memasak dan menyiapkan makanan. Tidak ada yang dibayar, karena hal tersebut merupakan tradisi gotong royong. Tuan rumah hanya menyiapkan makanan saja untuk warga yang membantu penyelenggaraan acara. Akupun ikut bergabung memasang tenda. Ada beberapa temanku yang juga datang membantu dan bisa dipastikan tidak ada satu wargapun yang tidak hadir. Suasana kegotong royongan yang masih tetap terjaga hingga kini di desa kecil jauh dari pusat kota besar.

Selesai makan siang Aku, Ninda dan kedua adikku bersiap ziarah ke makam kedua orang tuaku.

“Mas sini mas bentar." Kata Putri memanggil dari dalam kamarku.
“Ada apa Put," kataku berjalan ke dalam kamar.
“Gimana Mas, penampilan mbak Ninda?" Kata Indri menunjukkan pandanganku ke arah Ninda membuatku kaget.
“Lho, Putri Indri kok Mbak Ninda disuruh pakai jilbab? Kalian kan tau Ninda itu..." Kataku terpotong.
“Iya, aku Katolik tapi gak apa apa kok Mas." Kata Ninda.
“Orang tadi mbak Ninda yang minta dianterin beli kok, ya Mbak?" Kata Putri.
“Iya Mas, tadi aku yang minta anter Putri, awalnya dia menolak tapi aku pengen banget pakai, gimana bagus gak?" Kata Ninda.
“Tapi Nin, emang ini gak masalah buat kamu?" Kataku.
“Gak kok ini cuma baju Mas, keyakinan tetep didalam hati hanya kita sendiri dan Tuhan yang tau mas." Kata Ninda.
“Iiiih mas Awan ditanya belum di jawab, gimana mas penampilan mbak Ninda." Kata Indri lalu kutarik badannya lalu berbisik.
“Lebih dari Cantik." Bisikku
“Tu kan Mbak kata mas Awan, lebih dari Cantik" Teriak Indri.
“Makasih." Balas Ninda.
“Yaudah berangkat yuk udah siang." Kataku.

Kamipun berangkat ke makam siang itu, dengan mobil Ninda sementara bibi dan paman berangkat dengan berboncengan sepeda motor. Makam desa jaraknya tidak terlalu jauh 15 menit melalui jalan aspal yang sedikit rusak tiba lah kami di pemakaman. Suasana malam yang begitu sunyi karena jauh dari perumahan warga namun tidak ada kesan angker. Terlihat begitu rapi meskipun banyak daun jati mengering yang berserakan di sana sini.

Kami mulai mecabuti rumput yang sedikit tumbuh di makam orang tuaku. Membersihkan lumut yang menempel di batu nisan. Makam ayah dan ibu nampak terawat karena selalu dikunjungi Putri dan Indri desetiap hari raya Qurban dan Lebaran. Duduk bersimpuh sejenak berdoa lalu aku siram dengan air kembang.

“Ayah.... Ibu, besuk Putri akan menikah dengan orang yang Putri cintai. Pasti disana ayah dan ibu melihat Putri. Putri bahagia disini Ayah, Ibu Putri dikelilingi orang yang sayang sama Putri, ada Paman, Mas Awan, Indri dan Mbak Ninda pacarnya mas Awan. Dia cantik ayah ibu, Putri pun kalah cantiknya sama mbak Ninda. Disana Putri yakin Ayah dan Ibu juga sangat bahagia. Meskipun raga ayah dan ibu tidak bisa hadir di pernikahan tapi Putri selalu percaya ayah dan ibu selalu bersama Putri. Ayah ibu, Putri sayang ayah Putri sayang ibu, bahagia ya Ayah Ibu disana."


Putri mengakhiri kata-katanya meski air mata menetes namun dia tampak sangat tabah. Lalu beranjak bersama Indri paman dan bibi menunggu di mobil. Tinggallah Aku dan Ninda di atas makam orang tuaku.

“Ayah, ibu esuk pagi aku akan mewakili ayah menikahkan Putri, seperti yang Putri bilang kami bahagia disini dan yakin ayah dan ibu juga bahagia disana. Awan minta maaf jika masih banyak kekurangan saat menjaga Putri dan Indri. Dalam setiap nafas aku akan selalu berdoa untuk ayah dan ibu agar kebahagiaan dan kebaikan selalu menyertai ayah dan ibu. Aku selalu sayang ayah dan ibu.”

Terasa berat kaki melangkah meninggalkan pemakaman, rasa rindu ini sampai kapanpun takkan pernah hilang sampai aku bertemu dengan mereka. Mobil kembali meninggalkan menuju rumah dalam perjalanan ketiga bidadari yang beramai tidak berhenti berbicara. Mulai dari makanan, pakaian, dan seperti tidak pernah habis pembicaraan mereka. Setiap berpapasan dengan warga hampir semuanya melihat ke arah mobil kami. Mungkin karena mobil ini terlalu mewah melewati jalanan desa. Meskipun usianya tak lagi muda namun hanya beberapa orang yang memiliki mobil jenis ini di kotaku.
Diubah oleh setiawanari 01-10-2017 01:33
g.gowang
g.gowang memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.