- Beranda
- Stories from the Heart
THEY -
...
TS
nellairfan
THEY -
Quote:
COVER


Quote:
PENDAHULUAN
"They" novel bercerita tentang keruwetan gugatan perdata berlatar belakang hukum para pelaku Lembaga Jasa Keuangan. Akan saya update setiap minggunya. Mohon bantuannya ya dan mohon maaf atas segala kekurangan.
Untuk kritik dan saran:
Instragram: @nellairfan
Gmail : nellairfan@gmail.com
Quote:
SPESIFIKASI KARYA
Judul Karya : THEY
Genre Karya : Romance, Thriller, Misteri
Diilhami oleh kisah nyata
Spoiler for Prolog:
PROLOG
Langit mulai meredup,
cahaya bersemburat jingga dari ufuk barat merambat hangat dalam hembusan angin Desa Jambu Kedung Paso, salah satu desa di Jawa tengah. Selayang pandang ada sesemakan, hamparan padi yang luas, gubuk-gubuk para petani dan warung-warung yang kecil dibangun seadanya dan goyah. Ditanah yang becek nan subur itu membeliak deretan mata makhluk-makhluk kecil yang menyeruak alam. Tatkala manusia melintasi melalui pematang sawah, sebagian dari makhluk kecil itu lari terbirit-birit lalu bersembunyi di balik batu, ada juga yang berhenti bersuara seolah kehadirannya tidak pernah ada. Begitu manusia-manusia itu hilang dari pandangan, semua dari mereka menyumbul kembali: kadal-kadal melompat dari balik batu, kepik muncul dari balik dedaunan, ketam mengambang kembali kepermukaan, jangkrik dan kodok-kodok sawah suaranya kembali menggetarkan udara.
“Sudah hampir 4 hari kita mengelilingi desa ini?” Kata Dewa. “Kuharap ini hari terakhir.”
“Ya.. Ya. Kuharap ini hari terakhir..” Kata Komandan Jo mengulangi, ia kemudian menghirup nafas dalam-dalam, “agar perjalanan dinasmu tidak sia-sia.”
Dewa sadar bahwa meski ucapannya di dengar namun segenap jiwa dan raga Komandan Jo terkosenstrasi pada sebuah foto yang dia pegang sejak menginjakkan kaki di Desa Jambu Kedung Paso, empat hari yang lalu. Foto itu memperlihatkan wanita berusia sekitar 45 tahun, dengan kelopak mata yang mengembung, mengernyit sipit ketika otot pipinya mendorong daging lingkaran matanya. Tatkala memori wajah wanita itu tersimpan, Komandan Jo bergerak berjalan masuk menuju kedai kopi yang dibangun di atas ruko, Dewa mengikuti.
Kedai Kopi itu kosong. Tidak lama setelah duduk, entah si empunya Kedai Kopi atau si pelayan itu muncul. Namun kemunculan wanita itu memperlihatkan wajah penuh syak wasangka dan kecurigaan ketika matanya bertumbuk pandang dengan dua pria tersebut. Wanita itu memilih untuk menunduk.
Seketika Dewa tertampar oleh kenyataan yang dia lihat: “ini bukan pepesan kosong.” Bisiknya kepada Komandan Jo.
“Sore sore ngombe kopi karo mangan gedang goreng koyone enak.” (Sore-sore bersama kopi hitam dan pisang goreng enak rasanya). Kata Komandan Jo Keras-keras. “Njaluk tulung cepakno, bu Dian?” (Bisa kamu siapkan itu, Ibu Dian?)
Nama Desa Jambu Kedung Paso berawal dari kemarahan seorang ulama bernama Ki Agung Alim. Diceritakan Ki Agung Alim memerintahkan kepada seluruh santri menyiapkan segala kebutuhan syukuran dengan memerintahkan para santrinya. Termasuk menyiapkan ikan dalam satu malam. Karena tidak bisa dipenuhi oleh para santrinya Ki Agung Alim sangat kecewa dan marah. Seketika itu, tiba-tiba datanglah angin yang sangat besar sehingga semua peralatan dapur yang digunakan memasak kebutuhan tumpengpun kocar-kacir. Peralatan dapur yang lainnya tersebar dimana-mana di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Jambu. Dandangnya jatuh di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jambu Sedandang. Piringnya jatuh di daerah yang sekarang menjadi Jambu Ujung Piring. Kekepnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Sekekep. Lampingnya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Lamping dan pasonya jatuh di daerah yang sekarang bernama Jambu Kedung Paso, tempat yang saat ini Dewa kunjungi bersama Komandan Jo. Nasi tumpengnyapun berubah menjadi gunung yang sekarang di kenal dengan gunung tumpeng: “Cerito bab Ki Agung Alim lan santri-santrine kui bener onone, Bu Dian?” (Cerita tentang Ki Agung Alim dan santri-santrinya itu benar, Bu Dian?) Tanya pria itu kembali.
Tubuhnya pendek dengan kulit putihnya masih kencang terawat, tidak seperti warga asli jawa tengah yang mayoritas berwarna sawo matang, gosong karena setiap hari harus pergi ke sawah. Sejak Dewa dan Komandan Jo datang, seolah matanya mengisrayatkan dirinya tidak lagi bisa mengelak, tidak kuasa lagi jika mengumpat - semua sudah terlambat, semua harus dia hadapi dengan sekuat tenaga agar tetap tenang – seolah tidak terjadi apa-apa. Namun semakin dia berusaha sekuat tenaga agar tenang, semakin aneh pula gelagatnya. “Kenapa wanita ini diam saja? Apa karena takut?” Pikir Dewa dalam hatinya.
Wanita itu berjalan ke meja pelanggannya, membawa dua cangkir yang masih mengepul, tercium aroma kopi sachet yang sering Dewa cium di kantor. Wanita itu menaruh di depan pelanggannya.
“Pie, Bu Dian? Koe ngerti ceritane Ki Agung Alim ian santri-santrine?” (Gimana, Bu Dian? Kamu tahukan cerita Ki Agung Alim dan santri-santrinya itu?) Ulang Komandan Jo.
“Tidak tahu.” gumam wanita itu pada akhirnya angkat bicara, “lagi pula namaku bukan Dian. Bapak salah orang mungkin.”
“Tuhanku.” Kata Komandan Jo, sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. “Kupikir ibu orang yang sedang aku cari di sini. Bayangkan Bu. Kami datang jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang menghabiskan biaya tiket pesawat lebih dari satu juta. Dari Semarang ke Jepara sudah kami tempuh dua jam perjalanan menggunakan travel, setelah itu kami harus menumpang mobil bak sayur yang lewat untuk datang ke Desa Jambu Kedung Paso, di Desa ini tidak ada angkutan umum sekalipun, jadi dengan sangat amat terpaksa kami harus melambai-lambaikan tangan untuk mendapat tumpangan. Dan selama empat hari disini, kami selalu kehujanan di malam hari dan kepanasan di siang hari membuat kepala kami pusing. Setelah kami tahu bahwa Ibu bukanlah Ibu Dian Asyura yang kami maksud, maka semua perjalanan yang saya sebutkan satu persatu tadi itu terasa sia-sia.” Kata Komandan Jo kemudian diam sambil menunggu reaksi wanita itu.
Hening dan tidak ada jawaban. Dewa yakin ucapan Komandan Jo cukup didengar oleh wanita itu, pertanyaan Komandan Jo yang tidak mendapat sambutan membuat Dewa merasa tidak nyaman. Ia berdehem.
“Jadi ibu bukan Ibu Dian Asyura?” Polisi itu mempertegas.
Dari cara wanita itu memandangi mereka, tidak satupun banyolan Komandan Jo yang dia telan. Wanita itu hanya melihat mereka berdua dengan muka gugup. Segugup ucapannya: “Apakah gorengannya bisa saya lanjutkan tuan?”
Komandan Jo mengangkat kedua tanggannya tinggi-tinggi seolah semua ocehannya tidak berarti apa-apa. Toh wanita itu tetap menggoreng pisangnya hingga menimbulkan suara, “Cess.”
Komandan Jo mengambil cangkir dan menyeruputnya hingga menimbilkan suara berisik, kemudian ia mulai bicara ketika cangkirnya kembali ke posisi semula: “aku pernah membaca sebuah novel semi-klasik, judulnya The Chameleon ditulis dengan bahasa inggris setebal tiga ratus halaman lebih. Pernah baca atau tidak? Atau setidaknya pernah kamu tau itu, Wa?”
“Oh.. tidak pernah saya tahu itu Komandan.” Kata Dewa tergagap, karena tidak siap dengan trik-trik yang akan dimainkan oleh Komandan Polisi itu. “Bagaimana ceritanya?” katanya menambahkan.
“Tokoh utamanya seperti bunglon karena dia bisa mengubah kepribadian dan fisiknya secara cepat untuk membaur ke tempat dimana dia berada. Jika berada di tengah musisi jazz berkulit hitam, dia akan berubah menjadi negro yang jago bermain saksofon. Jika berada di tengah sekumpulan Yahudi bertubuh tambun, dia akan segera berubah menjadi rabbi obesitas.”
“Ah.. Apakah tokohnya seperti Mistique dalam film X-Men, Komandan?” Tanya Dewa spontan.
“Ya. Namun tidak se-epic Mistique itu. Novel ini dinilai sebagai sebuah karya fiksi – ilmiah, karena cerita dilihat dari sudut pandang dokter yang tertarik meneliti si manusia bunglon, sehinga penjabarannya menggunakan teknik-teknik psikoanalisa dalam psikoterapinya, melibatkan: alam bawah sadar, hipnotis, asosiasi bebas, dan lain-lain. Itu seperti buku psikologi namun dalam bentuk novel. Bahkan pertamakali saya membaca, saya menilai buku itu sangat mungkin terjadi. Namun ternyata itu hanya sebuah karangan fiksi yang tidak pernah dialami oleh siapapun dimanapun.”
“Oh..” gumam Dewa sambil berpikir keras “Siapa penulisnya?” Tanya Dewa untuk mengurangi ketegangan.
Komandan Jo setengah berfikir: “Basil Constant. Orang inggris. Saya menilai ini sebuah karya kontemporer, karena tokoh utamanya tidak memiliki identitas. Bayangkan jika kamu mengikuti sebuah cerita, setiap lembar karaternya berubah-ubah… Tentu akan terasa sangat membingungkan bukan? Nah… dicerita ini justru setiap kejadian tokoh utamanya selalu berubah dan beradaptasi dengan lingkungan barunya.”
Kini Komandan Jo bicara soal novel postmoderenis yang katanya bagus berjudul The Invisible Man, cerita tentang aseorang pria kulit hitam yang tidak kasat mata bagi orang kulit putih. Tokohnya sangat sulit dilihat dan diindentifikasi. Bahkan beberapakali dia tidak ingin difoto. Sekalinya ada yang mencoba untuk memfotonya, dia berkemuflase dan menyerupai dengan latar belakangnya, sehingga tokoh ini seperti tidak pernah ada. Dewa merasa ngantuk, seakan dia baru saja dijejali mata kuliah sastra oleh sahabatnya sendiri. Agar tidak salah tingkah Dewa mencoba meraba kopi hitamnya, untuk dia minum, namun enggan setelah tahu bahwa kopinya masih panas. Kini dia merasa sial, seolah-olah Komandan Jo sudah lupa alasan mengapa mereka datang ke Desa Jambu Kedung Paso ini. Sejak tadi dia bicara soal Manusia Bunglon, Manusia Tak Kasat Mata (Invisble Man) dan segala tetek bengek karya postmodern yang membuat Dewa jengah, bicaranya pun keras-keras pula, sementara wanita pemilik kedai ini menyimak pembicaraan kedua pria itu dengan penuh perhatian. “Apakah dia menunggu?” Dewa membatin.
“Komandan,” bisik pria muda itu pelan-pelan, ia merasa merasa gelisah dan inilah puncak kegelisahannya. “Apakah kisah Manusia Bunglon dan Invisible Man itu memberikan kita petunjuk tentang kasus ini?”
“Tentu saja itu memberikan kita petunjuk,” Kata Komandan dengan mata membelalak. “Kita memang tidak bicara soal manusia Bunglon yang dikarang-karang itu karena penyakit aneh,” mendadak ucapan Komandan Jo berhenti.
Dewa melihat mata Komandan Jo terang benderang dan kemudian membatin: “Ini saatnya!”
Wanita itu berjalan mendekat kearah pelanggan, membawa piring yang penuh gorengan, tatkala tangan pelayan wanita itu menaruh piringnya didepan meja, dengan cepat tangan kasar Komandan Jo menagkapnya, matanya melihat wanita itu dengan tatapan yang menusuk: “Kita bicara soal orang yang menjadi Bunglon karena UANG!!”
- Lanjut ke BAGIAN I - THEY di Index -
>>>
INDEX
Diubah oleh nellairfan 19-09-2017 23:07
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
Kutip
11
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
nellairfan
#11
Spoiler for BAGIAN 1:
1
“Uang!”
Jawab Luwi dengan lantang, setelah mendapat pertanyaan dari Tama: “Apa motivasinya jadi sales?”
Luwi dan Tama sedang berada di Kantor Cabang Utama Bank Agung Indonesia. Disinilah tempat Tama sebagai Junior Bancassurance (Sales asuransi yang ditempatkan di Bank) di tempatkan. Sedangkan Luwi, sebagai Area Sales Manager (ASM) ia tidak memiliki kantor tetap, kesehariannya ia lalui dari satu kantor ke kantor cabang lain untuk memastikan penjualan di wilayahnya mencapai target. Ketika anak buahnya mengalami penurunan penjualan, saat itulah Luwi memberikan semangat agar anak buahnya itu giat mencari nasabah demi mencapai target.
“Buang jauh-jauh dulu bayanganmu tentang sales dimata mereka, si rakyat jelata.” Sungut Luwi, “dimata mereka tuh sales dianggap sebelah mata. Jenis pekerjaan yang tidka prestige. Tapi cobalah apa yang bisa kita dapatkan dari pekerjaan ini. Uang!” Desah Luwi gregetan hingga giginya gemeletuk, rasanya ingin memecahkan botol dikepala orang yang ada dihadapannya. Bagaimana bisa tiap hari kerjanya hanya bengang-bengong, beranjak sedikit menemui nasabah tanpa rasa percaya diri lalu menyerah begitu saja ketika nasabahnya menunjukan raut muka tidak suka.
“Tanggung jawab kita di perusahaan ini sangat sederhana Tama, yaitu: memindahkan uang nasabah ke kantung kita. Setelah itu kita pulang. Bahagiakanlah keluargamu dengan makanan yang enak: Daging dan susu nomor satu. Menarik bukan?” tambah Luwi, diam sejenak. “Tetapi kalau otakmu bersarang seperti rakyat jelata itu, maka gairahmu tidak ada..” Tambah Luwi. Ia sadar meski sejak tadi Tama mendengarkan dan manggut-manggut tanda setuju, namun segenap jiwa raganya tidak ada di dalam banking hall ini.
Jam menunjukan pukul 7:30 pagi. Luwi meihat karyawan lain: Customer Service, dan Teller sudah di mejanya masing-masing. Hanya Carla dari marketing yang belum datang. Kemana dia? Walaupun ada beberapa wanita di Kantor Cabang itu, hanya Carla yang selalu menarik perhatiannya.
“Kau ingin mengajukan resign atau aku sendiri yang merekomendasikanmu agar segera mencari penggantimu?”
“Ah.. Tidak. Bukan itu maksudnya.” Kata si Tama tergagap, sambil membenarkan tempat duduknya “aku merasa sudah capek-capek kuliah Komunikasi, harapan bekerja sebagai jurnalis malah berakhir disini.” Ucapnya sembari menghela nafas panjang
“Ya. Pantaslah anjlok begitu. Pikiranmu aja seperti pecundang. Maaf aja aku bicara seperti ini ya. Tapi baik memang. Seharusnya bukan urusanku mengurus mental tempemu itu. Lalu apa yang membawamu kemari? Apa keputusanmu menandatangani kontrak menjadi sales? Bukannya kamu datang kesini secara sukarela? Apa personalia BAI Insurance memaksamu meminta CVmu disini? Memaksamu ujian AAJI?” Luwi memberondong pertanyaan, namun dengan nada cepat ia bersungut: “Terserah kamu mau jawab yang mana dulu.”
Diam sejenak. Luwi menimbang apakah dia bicara terlalu cepat?
“Aku nanya ini penasaran saja. Bukan bermaksud apa-apa. Nggak penting juga.” Tambah Luwi.
“Alasan yang klasik sih, mas Luwi. Aku butuh uang untuk keperluan sehari-hari, sambil mencari-cari..”
“Nah.. Seperti yang sudahku bilang tadi.” Potong Luwi sebelum Tama menyelesaikan pembicaraannya. “Bayangkan saja tentang uang, uang dan uang. Dengan uang bukan saja kamu bisa membayar keperluanmu sehari-hari, tapi juga bisa membeli kehidupan malangmu ini menjadi lebih mevah, makanan yang lebih layak, dan juga kehidupan cintamu akan lebih baik. Ahh.. bayangkanlah itu sudah ada depan mata. Ayolah semangat sedikit, jangan kayak ayam sayur begitu.” kemudian terdiam sejenak, melihat reaksi dari Tama, namun sepertinya sia-sia sudah, seolah jiwanya tidak lagi disini.
Tepat pukul 8:00, tatapan Luwi dan Tama langsung menujuh arah yang sama: Carla yang baru saja datang menuju meja kerjanya. Wanita itu terkesan seksi namun tetap professional dengan mengenakan dress bermotif batik songket dengan warna cerah dan high heels yang hampir sama dengan warna kulitnya membuat wanita itu terkesan berjalan jinjit tanpa alas kaki. Luwi melonggarkan kerahnya untuk melancarkan ludah yang dia telan, “glek!”
“Nah coba lihatlah siapa yang ada disana? Makin hari makin mantap saja ya kan?”
“Mantap ya?” Jawab si Tama sekenanya.
“Ya.. mantaplah. Masa nggak mantap. Semakin hari semakin gurih rasanya. Pernah kamu lihat wanita seperti itu, Tama?”
Mereka berdua masih menatap Carla tanpa bernjak tdari tempat duduknya. Namun dari caranya memandang: Tama melihatnya sekilas-sekilas saja demi asas kesopanan, sedangkan Luwi menatapnya seolah ingin menelanjanginya.
Carla bekerja sebagai Marketing di BAI, Melayani KTA (Kredit Tanpa Agunan) dan (KPR) Kredit Kepemilikan Rumah. Bagi Luwi, wanita itu lebih pantas menjadi wanita penggoda dibandingkan pegawai yang professional bersertifikat. Lihatlah dari pakaiannya yang menggunakan dress ketat membuat lengkukan tubuh dan tonjolan payudaranya terekpos dengan jelas, belum lagi ketika bicara: wanita itu seringkali merengek seperti anak kecil dibandingkan menjelaskan program dan memberikan solusi kepada nasabah. Tapi system di Bank BAI sangat menunjang keunggulan fisik Carla, karena tugas dia hanya fokus pada menawarkan produk, tidak perlu lagi membuat analisis: apakah calon nasabah yang dia tawarkan akan mampu membayar atau tidak di suatu saat nanti. Tinggal mencari calon nasabah potensial dan presentasi, semakin banyak menemui calon nasabah semakin besar potensinya untuk closing – semakin cepat pula untuk mencapai target. Kebetulan Carla memiliki wajah yang cantik dan tubuh yang seksi, siapa yang tidak suka bercakap-cakap dengannya? Ketika seseorang senang diajak ngobrol dengannya dari situlah ia memulai pekerjaannya sebagai marketing.
“Kalau kau merasa gerakanmu lamban, mungkin nutrisimu perlu ditambah dengan daging dan susu. Dengan mata telanjang saja, kita bisa tahu kalau apa yang ada di dua kantung besarnya itu berisi daging. Bukan implant - plastic – sialan. Siapa juga yang mau dibohongi dengan benda seperti itu. Nah barang ini pastilah danging yang kenyal. Seperti yang aku bilang tadi: Daging dan susu kualitas nomor satu, Tama, kualitas nomor satu.”
Tama menekuk mukanya seolah bicara: “Darimana mas Luwi tau?”
“Mungkin kamu akan berpikir: darimana aku tau isi teteknya? Kayak pernah megang aja. Iya kan? Kamu pasti berpikir seperti itu. Ya ini berdasarkan pengamatan saja. Selagi mataku lagi bagus, aku bisa menilai itu Tama.” Kata Luwi sambil melihat gerakan Carla yang menyilangkan kakinya sesaat setelah duduk di kursi, ketika kakinya mengangkat tersingkap sepasang paha yang tebal nan keras membuat Luwi makin bersemangat, “persetanlah dengan uang, Tama. Sekarang bawalah dia keranjang, sebelum bermain tepuk buah dadanya tiga kali dan tampar bokongnya. Aiihh.. Kau akan aku jadikan raja diwilayah ini, akan aku jadikan kau Bos, Jendral, Legenda! Itu kalau kau berhasil menancapkan lancungmu, baik. Walaupun itu sebuah pengakuan, tidak ada yang gratis di dunia ini.”
Luwi berdiri dari kursinya meninggalkan Tama dan menghampiri Carla yang berjarak kurang lebih 10 langkah, “La, Sabtu punya waktu luang nggak? Kamu sudah punya pacar belum?” Ia terdiam sejenak sadar terlalu banyak bicara, “jawab yang kedua dulu.”
Si Carla mengangkat kedua alisnya, “Pertanyaan pertama dan kedua jawabannya sama: Tidak!”
Boleh nih, pikir Luwi dalam hati. “Kamu tahu, sepanjang tadi aku disini, Tama terus membicarakanmu sepanjang waktu. Dia selalu memujimu seolah tidak ada wanita lain di kehidupannya. Aku pikir hanya kamu yang bisa menbuatnya jatuh hati. Kamu akan geli sendiri mendengarnya kalau aku cerita yang sejujurnya.”
“Membual saja kalian. Bicara apa si pemalu itu?” Tanya Carla penasaran
“Ah… Tidak begitu sebenarnya. Dia itu cuma merasa anak baru aja disini. Lambat panas. Masih butuh penyesuaian. Hari ini aku sedang memberikannya motivasi saja, supaya kerjanya sedikit menggigit.” Ujar Luwi, namun ia sadar topic pembicaraannya bukan soal kinerja anak buahnya. “Sebenarnya aku tidak ingin bicara soal itu? Balik, lagi kemasalah tadi. Kamu bisa tidak Sabtu ini jalan? Kita happy-happy saja ke café, ada jazz live music di Pasific Place. Tenang saja, aku yang traktir nanti.”
Carla tersenyum manis, “aku perlu tahu. Ini ide siapa: Mas Luwi atau Tama?”
“Sebenarnya ini ide Tama, tapi aku eksekutornya.” Desah Luwi. “Lagi pula…”
“Ya.. ya..” potong Carla seolah tidak mau mendengarkan ucapan panjang lebar Luwi. “Dengan kata lain ini idenya Tamakan?”
“Yess.. Mam. Exactly! Itu adalah idenya. Tapi nggak penting juga ide siapa, Carla. Kami butuh konfirmasi saja darimu. Bagaimana? Mau join atau tidak?”
“Ya.. Gimana ya. Kenapa tidak Tama saja sih mas yang langsung ngomong kalau ini idenya dia?” Ujarnya sambil menjulur lidahnya bak anjing.
“Hah… Damn! Bilang saja kamu mau berdua, tanpa kehadiranku kan? Kamu nyebut aku ini apa: Deadwood? Trash? Yeah… kidding. Akan aku sampaikan ke Tama sebentar ya.” Ujar Luwi kegirangan. Namun tatkala ia berbalik hendak menghampiri, Tama sudah berada persis dibelakangnya, gerakan yang tiba-tiba membuat Luwi keduanya hampir berciuman.
“Sebentar ya Carla.” Ucap Tama dengan nada manis. “Mas Luwi bisa bantu saya sebentar?” Luwi langsung mendekatkan telinganya ke Tama “Jadi gini ada nasabah yang ingin join produk investasi. Namun sepertinya dia masih kurang yakin dengan penjelasanku.” Desah Luwi.
“Kenapa dia ingin produk investasi. Kamu yang menawarkan atau memang dia yang mau?”
“Sepertinya dia tidak tahu apa-apa soal produk asuransi. Calon nasabah hanya seorang pemilik took kelontong di daerah Cipayung. Dia baru saja mendapatkan uang sebesar 300 juta tahun lalu dan menempatkan uangnya di deposito. Seorang Teller memberikan referral agar dananya disimpan saja di produk investasi, dan Teller menyerahkan nasabah ini untuk di prospect.” Tama menjelaskan pelan.
“Gitu ya. Berarti nasabah sudah tahu manfaat deposito bank. Baiklah akan aku temui dia. Bisakah kau antar dia ke ruangan khusus, perlakukan dia bak raja, sementara aku pergi dulu ke toilet dulu.”
>>>
Diubah oleh nellairfan 19-09-2017 23:08
0
Kutip
Balas