- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 2: Challenge Accepted
...
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted
Cover By: adriansatrio
Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+
Spoiler for QandA:
"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-
-Calon wakil ketua LEM-
Explanation
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 17:22
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
375.4K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1375
PART 54
Rencana yang telah gue angan-angankan gagal total. Intan yang gue pikir bakal bisa jadi tambatan hati gue malah akhirnya menolak gue mentah-mentah. Parahnya lagi dia pakai alasan kalo lagi enggak mau pacaran, sama persis kayak gue. Iya, sama persis dengan alasan gue setelah terakhir kali gue pacaran.
Setelah seharian di pantai nemenin Inah, gue dan Peppy akhirnya berhasil memaksanya untuk pulang. Meski dengan berat hati, dia mau masuk ke mobil Peppy sambil masih menatap pasir pantai yang dibawanya dalam botol kaca sepanjang perjalanan pulang.
“Abis ini gue mau nemuin Tommy anak kampus,” kata gue. “Gue bisa nitip Inah sama lo kan, Pep?”
“Nitip? Maksudnya?” Peppy mencoba menerawang isi otak gue, “Oh… nitip tidur di rumah gue?”
“Noooo…!” teriak Inah. “Kakak tega biarin Mut tidur sama Peppy di rumahnya?”
“Lo berdua ngarep apa emang gue kurang jelas kasih perintahnya, sih?!”
Peppy gue mintain tolong buat nemenin Inah buat cari tiket dan nungguin dia berangkat balik ke Bekasi. Setelah gue berpamitan dengan Inah, jadilah gue berangkat ke kafe kembang buat ketemuan sama Tommy.
“Jadi?” ucap Kembang. “Kamu masih ada rasa sama Arin?”
“Enggak,” jawab gue singkat.
“Serius?”
“Ya iyalah,” lanjut gue mengaduk-aduk machalate di depan gue. “Kalo masih ada rasa ngapain juga gue masih sering ke sini, mending juga sering-sering nemuin dia.”
“Bener juga, sih.” Kembang duduk di bangku konter sebelah gue, “Bagus deh kalo gitu.”
“Kenapa sih emang? Kayaknya lo enggak rela banget kalo gue deket lagi sama Arin.”
“Ya iyalah aku enggak rela,” kata Kembang jujur. “Menurut cerita Emil yang udah-udah, aku tuh udah terlanjur simpulin kalo dia itu tukang nikung.”
“Ya tapikan–”
“Tapikan apa?” potong Kembang. “Iman kamu tuh belum sekuat baja, masih gampang banget kena tikung.”
“Aaaa–”
“Kamu tuh ya, kalo semisal dipepet cewek dikit aja,” lanjut Kembang menggambar cara kena pepet pakai tangannya. “Pasti langsung kena.”
“Kok lo jadi nge-judge gitu?”
“Nge-judge?” kata Kembang enggak terima. “Kamu bilang nge-judge? Aku enggak bakalan simpulin kayak gitu kalo enggak ada bukti tau.”
“Iya…, gue yang salah, maaf.”
“Lihat yang udah lalu,” kata Kembang lagi. “Kamu yang udah deket sama Emil kayak gitu aja masih bisa kena tikung, apalagi sekarang waktu kamu enggak ada pasangan?”
“Tapi yang kemarin itu kan bukan sepenuhnya kesalahan gue,” jelas gue membela diri. “Orang lo-nya sendiri juga sempat punya perasaan yang sama kayak gue, kenapa malah jadi gue yang dianggap paling salah?!"
Rencana yang telah gue angan-angankan gagal total. Intan yang gue pikir bakal bisa jadi tambatan hati gue malah akhirnya menolak gue mentah-mentah. Parahnya lagi dia pakai alasan kalo lagi enggak mau pacaran, sama persis kayak gue. Iya, sama persis dengan alasan gue setelah terakhir kali gue pacaran.
Setelah seharian di pantai nemenin Inah, gue dan Peppy akhirnya berhasil memaksanya untuk pulang. Meski dengan berat hati, dia mau masuk ke mobil Peppy sambil masih menatap pasir pantai yang dibawanya dalam botol kaca sepanjang perjalanan pulang.
“Abis ini gue mau nemuin Tommy anak kampus,” kata gue. “Gue bisa nitip Inah sama lo kan, Pep?”
“Nitip? Maksudnya?” Peppy mencoba menerawang isi otak gue, “Oh… nitip tidur di rumah gue?”
“Noooo…!” teriak Inah. “Kakak tega biarin Mut tidur sama Peppy di rumahnya?”
“Lo berdua ngarep apa emang gue kurang jelas kasih perintahnya, sih?!”
Peppy gue mintain tolong buat nemenin Inah buat cari tiket dan nungguin dia berangkat balik ke Bekasi. Setelah gue berpamitan dengan Inah, jadilah gue berangkat ke kafe kembang buat ketemuan sama Tommy.
“Jadi?” ucap Kembang. “Kamu masih ada rasa sama Arin?”
“Enggak,” jawab gue singkat.
“Serius?”
“Ya iyalah,” lanjut gue mengaduk-aduk machalate di depan gue. “Kalo masih ada rasa ngapain juga gue masih sering ke sini, mending juga sering-sering nemuin dia.”
“Bener juga, sih.” Kembang duduk di bangku konter sebelah gue, “Bagus deh kalo gitu.”
“Kenapa sih emang? Kayaknya lo enggak rela banget kalo gue deket lagi sama Arin.”
“Ya iyalah aku enggak rela,” kata Kembang jujur. “Menurut cerita Emil yang udah-udah, aku tuh udah terlanjur simpulin kalo dia itu tukang nikung.”
“Ya tapikan–”
“Tapikan apa?” potong Kembang. “Iman kamu tuh belum sekuat baja, masih gampang banget kena tikung.”
“Aaaa–”
“Kamu tuh ya, kalo semisal dipepet cewek dikit aja,” lanjut Kembang menggambar cara kena pepet pakai tangannya. “Pasti langsung kena.”
“Kok lo jadi nge-judge gitu?”
“Nge-judge?” kata Kembang enggak terima. “Kamu bilang nge-judge? Aku enggak bakalan simpulin kayak gitu kalo enggak ada bukti tau.”
“Iya…, gue yang salah, maaf.”
“Lihat yang udah lalu,” kata Kembang lagi. “Kamu yang udah deket sama Emil kayak gitu aja masih bisa kena tikung, apalagi sekarang waktu kamu enggak ada pasangan?”
“Tapi yang kemarin itu kan bukan sepenuhnya kesalahan gue,” jelas gue membela diri. “Orang lo-nya sendiri juga sempat punya perasaan yang sama kayak gue, kenapa malah jadi gue yang dianggap paling salah?!"
Diubah oleh dasadharma10 16-09-2017 19:56
JabLai cOY dan ilhamsaputra20 memberi reputasi
2
