dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted




Cover By: adriansatrio


Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+

Spoiler for QandA:


"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-


Explanation

Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 10:22
alejandrosf13
anasabila
imamarbai
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
374.3K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#1374
PART 53

“Kamu mau makan apa?” tanya gue. “Cakalang di sini enak, lho.”
“Beneran nih enak?” tanya Intan membolak-balik buku menu. “Yaudah kalo kamu bilang enak, aku mau. Tapi kalo sampai engak enak kamu yang abisin, ya?”
“Percaya deh sama aku.”
“Aku?” gumam Peppy. “Kamu?”
“Iya,” jawab gue enteng. “Ada masalah?”
“Ya masalahlah,” bisik Peppy di sebelah gue. “Lo sejak kapan jadi akrab gini sama cewek?”
“Sejak… tadi pagi, kali.”
“Haaaah!” keluhnya masih dalam keadaan berbisik. “Gue jadi enggak nafsu makan, gue tunggu di villa sama Mut ajalah.”

Aku-kamu? Ya. Dalam waktu yang singkat banget gue sama Intan jadi makin dekat, dari yang awalnya lo-gue kita berdua mulai manggil aku-kamu. Entahlah, gue juga kurang paham sama keadaan ini. Gue yang awalnya suka terus jadi jaga jarak sama dia sewaktu nanya-nanya masalah pribadai gue, pada akhirnya malah jadi balik suka lagi sewaktu dia makin nanya lebih jauh lagi. Mungkin gara-gara dia anak psikologi dan psikologi gue lagi terganggu, tapi, mungkin juga enggak.

“Kenapa kamu mau angkat permasalahan aku sama adekku?”
“Karena unik.”
“Unik? Maksudnya?” tanya gue lagi.
“Ya unik, kan jarang ada kakak adek yang sedekat kalian,” kata Intan. “Aku aja yang anak psikolog mikirnya kamu sama adekmu itu pacaran, gimana orang lain.”
“Masa, sih? Perasaan banyak yang kayak gitu. Aku aja ada satu temen yang kakak adek tapi mirip kayak orang pacaran.”
“Kalo marahan kayak kamu kemarin juga?”
“Ya enggak, sih. Enggak sampai segitunya.”
“Berarti beda.” Intan mengubah posisi duduknya, “Temen yang kamu ceritain ini gebetanmu, ya?”
“Ge-gebetan? Bukanlah.”
“Masa?” tanyanya lagi menatap mata gue.
“Mantan gebetan.”
“Tuh, kan.”
“Sadis juga, ya? Tiap kamu lihatin kayak gitu aku jadi susah mau ngebohong, lho.”
“Tatapanku yang sadis,” kata Intan. “Apa kamunya yang enggak jago bohong–”
“Kalo kamu sendiri?” potong gue. “Kalo kamu sendiri gimana?”
“Aku sendiri?” tanya Intan kebingungan. “Maksudnya?”
“Ada gebetan?”

Gue tatap mata Intan dalam-dalam, gue berharap dia bakal jawab jujur dan terus terang seperti yang biasa dia lakukan pada gue. Perlahan demi perlahan urat mata gue mulai nampak, ditambah angin pantai yang menderu-deru mata gue makin perih. “Jomblo please! Jomblo please!” kata hati gue.

“Aku….” ucap mulut Intan yang bergerak perlahan.

Gue perhatikan dengan seksama seluruh muka Intan. Sudut pipi kejujuran! Kerut dahi berlipatan! Pipi kusut yang mulai kempot! Oh…, gue salah, yang gue tatap ibu-ibu yang punya warung makan.

Gue geleng-gelengkan kepala gue agar gambaran muka ibu hilang lalu kembali menatap Intan. Kembali lagi fokus ke muka Intan, seketika perasaan itu muncul kembali. Sudut pipi kejujuran! Dahi licin penuh makna! Bibir tipis tanda terpercaya!

“Jomblo.”

Yeea...! Jomblo! Ada kesempatan buat dapetin hatinya! Yea...! Gue bisa usahain biar dia suka sama gue! Ada kemungkinan kalo dia bisa jadi jodoh gue, yea…! Ada kesempatan anak-anak gue dapet ibu yang baik, yeeea…!

“Oh… jomblo, bagus deh,” ucap gue kalem. “Jadi kalo aku deket-deket gini sama kamu berarti enggak bakalan ada yang–”
“Aku enggak mau pacaran,” ucapnya singkat.
“A-apa?!” Kok gitu? Kamu harus maulah!” kata gue enggak terima. “Masa iya enggak mau pacaran?!”
“Ah… kenapa kamu jadi kesel gitu? Kamu kecewa, ya?” ucapnya mengusap rambut samping gue.
“Eng-enggak,” kata gue membuang muka ke piring gue. “Siapa yang kecewa.”
“Aku ini mahasiswa psikologi, dibandingin orang lain aku lebih bisa mahamin perasaan orang lain.”
“Yaudah, aku terus terang kalo aku kecewa,” kata gue jujur. “Kamu mau ngerubah prinsip kamu?”
“Enggak.”
“Kok gitu?! Kan aku udah terus terang.”
“Bukannya kamu sendiri juga jomblo?”
“Ya emang, sih.” Gue tatap matanya dalam-dalam, “Tapi kan ini juga lagi usaha.”
“Usahamu percuma, aku enggak mau pacaran.”
“Yaelah, Tan,” kata gue lagi masih kurang terima. “Kan susah nemuin orang yang sekali lihat kitanya langsung pengin deket.”
“Kamu pernah enggak sih kayak aku gini? Nyaman jadi jomblo, gitu.”
“Enggak, aku enggak pernah,” elak gue. “Mending pacaran, enak, ada yang merhatiin tiap hari.”
“Enggaklah…,” kata Intan menatap mata gue balik.
“Enggak gimana?”
“Terkadang hidup itu lebih baik dijalanin sendiri, Wi.”Intan menatap gue lebih dalam lagi, “Sometimes, without somebody is better than with somebody. Sometimes, when i know some guy i just really want to be his friend. Sometime–”
“Sometimes,” potong gue. “When i close my eyes, i can’t see.”
Intan terhenyak sebentar lalu menatap gue kesal, “Yaiyalah!”
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.