Klit...

Suara khas lampu flash menutup sesi foto siang ini. Gua menjatuhkan diri di sofa beludru kecil berwarna hijau yang sudah sedikit usang, sofa yang seringkali menemani para fotografer dikala menunggu setting lighting yang perlu dirubah oleh asisten foto atau model yang ganti wardrobe kebangetan lama. Gua melirik ke arah jam tangan, waktu menujukkan pukul dua lebih seperempat. Terdengar suara riuh yang samar dari ruang editor yang berada tepat disebelah ruang studio, berbanding terbalik dengan suasana di dalam sini; hening. Hanya terdengar suara Daus yang bersiul sambil merapikan barang foto yang dengan teliti dibungkus dengan plastik lalu dimasukkan kedalam kardus.

Sambil menenteng kardus kearah pintu keluar, Daus bertanya ke gua; "Mo diambilin kateringnya bang?"

Gua menggeleng pelan. Kemudian merogoh ponsel disaku celana, melihat kelayar-nya; 4 missed call dan beberapa ikon pesan singkat. Tanpa rasa penasaran, karena gua tau itu pasti dari Marcella, gua membaca pesan-pesan yang masuk.

Pesan pertama (jam 11.59): Mau makan siang bareng nggak?

Pesan kedua (jam 12.15):Kalo lu mau nyusul, gua makan dibelakang ya

Pesan ketiga (jam 12.34): Gua pesen nasi goreng, kalo lu mau nyusul gua pesenin sekalian, how?

Pesan keempat (jam 13.02): Gua udah selesai makan. Masih sibuk?

Pesan kelima (jam 13.11): Makan dulu Rif!!

Pesan keenam (jam 14.01): Makan dulu, ntar mati...

Gua tersenyum kecil membaca pesan-pesan dari Marcella, lalu mulai menggerakkan jari-jari, membalas pesannya; "Ini baru mau makan, tadi tanggung" - Sent

Drrt..

Nggak sampai satu menit, Marcela membalas pesan gua; "Puji Tuhaan, akhirnya dibales juga. Yaudah sana buruan makan"

Perlahan gua membaca pesan darinya dan kembali menyunggingkan senyum.

"Makan yuk, us.." gua bangkit dari sofa sambil bicara ke Daus yang masih bolak-balik ngangkutin kardus dari studio ke ruang admin.

"Lah, ntar kateringnya pegimana bang?" Daus menjawab.

"Taro kulkas aja, punya gua juga, ntar bawa pulang buat luu dirumah..." Gua mersepon jawaban Daus yang mengkhawatirkan katering miliknya.

"Ayodah.." Doi lalu meletakkan kardus di lantai dan bergegas menyusul gua.

"Ya kardusnya masukin dulu panjul..."
---

Entah karena emang ini hari sial gua atau emang nih gedung terlalu sempit, pas masuk ke lift untuk menuju kebawah, gua kembali ketemu sama Bayu.

"Mo ngopi rif?" Bayu membuka obrolan begitu gua dan Daus masuk kedalam lift yang kala itu hanya diisi olehnya.

"Iya nih.." gua menjawab singkat, mencoba menghindari obrolan lebih lanjut sambil pasang tampang bete.

"Wuih sama dong.. ngopi dimana? Excelso yuk, gua lagu jenuh banget nih di depan laptop.." Bayu kembali bertanya.

Gua menggelengkan kepala. "Gua mo ngopi di parkiran"

"Hah diparkiran? di kantin supir? buset nggak tambah puyeng lu ngopi disitu, campur asep knalpot?"

"Kagak, emang sengaja gua mau ngisep asep knalpot" Gua menjawab sekena-nya. Beruntung lift segera terbuka dilantai dasar. Gua langsung bergegas berjalan cepat keluar, disusul oleh Daus meninggalkan Bayu yang sepertinya masih bengong mendengar jawaban gua.

"Ngopi apa makan sih bang?" Daus berjalan cepat mengimbangi langkah gua sambil mengajukan pertanyaan.

"Makan.." gua menjawab singkat

"Lah tadi.."

"ssst..." gua menginterupsi pertanyaan Daus yang belum selesai.

----

Daus melahap habis nasi dari piring kedua-nya, sementara Soto dan nasi milik gua masih belum tuntas; nggak nafsu makan. Pengen banget rasanya hari ini cepet berakhir dan berganti esok kalo inget tampang Bayu yang super ngeselin. Gua nggak abis pikir apa motif si Bayu mengarang cerita perkara gua lagi ada 'apa-apa' sama Marcella. Jangan-jangan emang ini cara doi untuk 'ngerusak' hubungan gua dengan Marcella, dan masa iya gua hanya berdiam diri aja.

Tapi, masalahnya perkara ini nggak 'nyata'. Gua nggak bisa tiba-tiba mengajukan mosi tak percaya ke Marcella hanya gara-gara hal sepele kayak begitu. Sementara hati gua malah nggak keruan dibuatnya.

Ah pokoknya ini harus diselesaikan.

----

Malam itu, dipenghujung hari yang laknat. Gua duduk dibangku panjang didalam counter olahraga diseuah mall dibilangan Jakarta Barat. Sementara Marcella tengah berkonsultasi dengan staff toko sambil mencoba beberapa sepatu olahraga di kakinya. Dari tempatnya, dia menatap gua dan bertanya pelan; "Bagus nggak rif?"

Gua mengangguk. Sepasang sepatu olahraga berwarna biru kombinasi merah muda terlihat manis dikakinya yang jenjang.

"Kenapa sih? diem aja daritadi?" Marcella duduk disebelah gua setelah 'deal' dengan sepatu pilihannya barusan.

"Masih mikirin yang tadi siang?" Marcella menambahkan

Gua menatapnya, heran kenapa kok dia bisa banget menebak isi hati gua. Lalu gua mengangguk.

Marcella lalu bangkit, menghadap ke gua dan mengusapkan tangannya ke kepala gua yang kemudian buru-buru gua menepisnya. Malu! Marcella nggak mengindahkan-nya, dia lalu mengusapkan tangannya lagi ke kepala gua; "Rif, seandainya mencintai lu itu dianggap dosa. Mungkin gua udah masuk neraka gara-gara lu.."

Nyess...

Adem...

Kata-katanya bikin hari ini yang terkesan sial jadi seperti nggak ada artinya. Hanya sebuah kalimat yang diucapkan tanpa penekanan, sebuah kalimat yang nggak puitis-puitis banget, tapi entah kenapa bikin dada gua rasanya plong.

"..mungkin neraka terdalam yang pernah diciptakan, lebih dalam dari tempat para penista Tuhan..." Marcella menambahkan.

Gua nggak merespon apa-apa, hanya bisa membisu dan lalu kembali tersenyum.

"Nah gitu dong.. senyum.. bayarin sepatu yak.." Marcella kembali bicara lalu berlalu kearah kasir.

"What..?"

"Becanda, rif.."

----

Kami berdua lalu berjalan pelan, bersisian diantara lorong mall yang mulai sepi ditinggalkan pengunjungnya. Beberapa toko terlihat mulai sibuk bersiap untuk tutup, terlihat satu dua orang petugas cleaning servis berseragam biru muda tengah berkeliling untuk mengumpulkan sampah dari ashtray-ashtray metal besar disekitar lorong mall.

Gua lalu meraih tangan kanan Marcella, dia merengkuh cepat dan digenggamnya tangan gua dengan erat. Gua tau kalo dia sayang banget sama gua dan gua pun begitu adanya. Tapi, saat sedang berbunga-bunga seperti saat ini, lalu ada sesuatu yang mengganjal didalam hati dan perlahan merayap keluar. Dan gua yakin, nggak hanya gua yang merasakan hal ini, begitupun Marcella.

Seberapa keraspun gua mencoba untuk melakukan penolakan akan hal ini, pada akhirnya gua dan Marcella akan tetap dihadapkan pada masalah yang sama. Dan seberapa lama pun kami mencoba untuk berpura-pura menerapkan statement :'jalani saja dulu', ujung-ujung nya pasti bakal sampai pada 'Poin' yang sama. 'Poin' yang belakangan ini selalu kami hindari untuk dibahas.

"Cel.." gua menatapnya.

Marcella balas menatap gua sambil menaikkan kedua alis matanya. Lama gua terdiam sebelum akhirnya Marcella lebih dulu bicara: "Gua tau kok apa yang mau lu omongin.."

Lalu kami berdua terdiam kembali. Marcella menggenggam tangan gua lebih erat dari sebelumnya. Lalu menggumam lirih: "Kenapa agama itu mesti ada ya rif?"

Sayup lalu terdengar suara Michael Stipe dari speaker salah satu toko; Trying to keep up with you, and I don't know if I can do it?...