- Beranda
- Stories from the Heart
Namaku Aleya (Based on true story)
...
TS
alealeya
Namaku Aleya (Based on true story)
Peringatan : Cerita ini mengandung unsur BB 18+.
Selamat datang di thread pertama ane, sambil dengerin lagu yuukks...

Selamat datang di thread pertama ane, sambil dengerin lagu yuukks...
Quote:

Quote:
Spoiler for sedikit penjelasan tentang alur cerita:
Quote:
Quote:
Spoiler for video:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 7 suara
Siapa kira-kira yg lebih pantas buat jadi pendamping Aleya?
Rian
43%
Tomy
0%
Gak keduanya
57%
Diubah oleh alealeya 25-07-2017 06:46
imamarbai dan 35 lainnya memberi reputasi
36
144.2K
869
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alealeya
#1
Part 1

"Nak gimana kabarmu? Udah bayar uang kost buat bulan ini? Maaf ya bulan ini ibu cuma bisa kasih transferan sedikit", bunyi sebuah pesan singkat yg barusan ku terima dari ibu di siang hari saat istirahat makan siang. Sebenarnya aku gak terlalu berharap sih sama transferan ibu, toh sekarang kan aku juga udah kerja di sebuah restoran cukup ternama di kota ini, walaupun dengan penghasilan yg pas-pasan, aku masih bisa bertahan hidup kok. Ternyata semuanya terasa amat sangat berbeda setelah bertahun-tahun berlalu, sering terbesit di pikiranku, "begini toh rasanya jadi anak broken home". Kedua orang tua ku bercerai ketika aku masih duduk di bangku SMP, tepat nya kelas 3 SMP menjelang ujian nasional. Bayangkan betapa beratnya bebanku, disamping harus terus belajar untuk menghadapi 3 hari penentuan hasil belajar selama 3 tahun di SMP, terpikirkan juga olehku tentang kedua orang tua yg makin hari makin sering berantem, bahkan malam ini seakan menjadi final dari semuanya.
Nama ku Aleya 25 tahun, ini kisahku...
9 tahun yg lalu...
Malam ini rumahku seakan menjadi medan perang, penuh dengan ledakkan emosi, suara piring dan barang lainnya yg berjatuhan menambah semarak suasana. Aku hanya berusaha untuk tetap tenang sambil terus memaksakan diri membaca setiap materi pelajaran bahasa indonesia, namun sayang nya dengan suara gaduh diluar kamar membuat konsentrasi dan keinginan untuk belajar ku padam. Ku raih sebuah pemutar musik yg terlilit dengan earphone lalu ku pasangkan di telinga, volume hampir penuh dari musik avril malah bikin suasana tambah campur aduk. Kenapa sih dengan keluarga ku? Kok gak bisa normal kayak keluarga lainnya? Hidup damai, rukun dan tentram tanpa ada masalah yg seakan terus melanda disetiap hari. Tak bisa di pungkiri, sebagai seorang anak terkadang aku meminta agar ditemani saat belajar, entah oleh ayah atau ibuku, namun keduanya sangat sibuk, hampir tak ada waktu untuk anak mereka satu-satunya ini. Disamping disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, sesampainya dirumah pun mereka harus sibuk dengan kegiatan rutin nya, saling mengencangkan urat leher, berantem hampir tiap hari, apa mereka gak pernah mikir tentang anak nya?
Memang, aku hidup serba berkecukupan dalam segi materi, apapun yg ku pinta selalu tersedia, apapun yg ku mau selalu ku dapatkan. Lalu apa yg kurang dari hidupku? Bagaimana dengan kasih sayang orang tua? Itukah yg hilang selama ini? Itukah yg kucari selama ini?
Sebagai pelarian, aku punya beberapa teman akrab cowok, mungkin agak aneh ya? Tapi aku gak peduli dan gak pernah mau peduli tentang omongan orang lain, ku pikir gak ada salah nya mau berteman dengan siapa aja, selagi kita bisa menjaga diri dan gak ikut-ikutan yg gak baik. Aku memang cewek tomboy, disaat para remaja wanita seumuran ku mulai senang memakai make up, aku bahkan gak pernah menyentuh yg namanya make up. Disaat para remaja wanita seumuranku bangga dengan rambut panjang nya yg berkilau, bodo amat! Aku lebih enak dengan rambut pendek diatas bahu, bahkan kalo bisa bakal ku potong lebih pendek lagi ni rambut.
"Praanngg", terdengar suara sebuah piring yg dibanting dengan kerasnya, itulah makna makan malam yg sesungguhnya bagi kedua orang tua ku.
Suara pertengkaran hebat masih saja terdengar sayup-sayup padahal telinga ini sudah ditutupi earphone, "astaga makin menjadi-jadi aja kalo gini kapan aku belajarnya", gerutu ku sambil memejamkan mata dan menutupi kepala dengan bantal. Rupanya kegaduhan malam itu adalah kegaduhan terakhir yg terjadi di rumah ini, sesaat kemudian suasana menjadi hening. Apa aku salah dengar? Atau karena volume musik terlalu kencang jadi aku gak bisa mendengar suara mereka lagi?
Ku lepaskan earphone di kedua telingaku, memberanikan diri beranjak dari tempat tidurku sekedar mengecek apa gerangan yg terjadi. Langkah demi langkah ku ambil menghampiri pintu kamar lalu kutempelkan kuping di daun pintu berwarna putih itu. Sepertinya ada yg gak beres.
Ku buka perlahan pintu kamar dan maju menuju ruang tengah tempat biasanya pertengkaran terjadi, kosong.
Ku lanjutkan langkah ke dapur dan juga kosong, hanya tersisa pecahan sebuah piring berhamburan di lantai, "kasian bibi harus bersihin ini tiap hari", pikirku.
Lalu aku berjalan menuju kamar orang tua ku, dari kejauhan kulihat ibu sedang memindahkan pakaian dari dalam lemari, eh bukan hanya memindahkan, tapi memasukkan nya ke dalam sebuah tas.
"Loh bu, mau kemana?", tanya ku sambil menghampiri ibu.
Ibu hanya diam dengan mata penuh emosi, nampaknya masih marah.
"Bu, kok diam aja? Ibu mau kemana malam-malam gini?", tanya ku lagi.
Ibu menoleh kearahku sambil berkata, "kamu mau ikut ibu atau ikut ayahmu?, kalo kamu mau ikut ibu, bereskan barangmu sekarang!".
Apa aku harus memilih salah satu? Kenapa sih aku gak bisa hidup tenang dengan kedua orang tua ku? Kalau boleh memilih, aku masih mau tinggal dengan keduanya, masa iya aku harus tinggal dengan salah satu?.
"Kalo kamu mau ikut ibu, jangan diam disitu, cepat sekarang juga ke kamarmu, ambil barang-barang mu, kita keluar dari sini sekarang juga!", ucap ibu dengan nada tinggi.
"Iya bu, aku bereskan sekarang", sambil berlari menuju kamarku yg terletak lumayan jauh dari kamar kedua orang tua ku.
Jujur, aku enggan untuk memilih diantara mereka berdua, tapi kalau memang diharuskan untuk memilih, aku akan memilih ibu. Kemudian ku bereskan semua perlengkapan sekolahku, mulai dari seragam, buku-buku yg seabrek, beberapa kaos dan celana untuk santai. Masih ada banyak barang yg harus ku tinggalkan karena kapasitas ranselku yg paling besar pun tak mampu menampung semua barang-barangku.
"Aleya! Udah selesai belum? Ayo cepat kita pergi, ibu udah gak betah disini", sambil berteriak dari ruang tengah.
"Iya bu, ni udah hampir beres", ku pastikan sekali lagi barang-barang yg penting bagiku tak ketinggalan.
Aku dan ibu sudah berada di ruang tengah, dengan bawaan masing-masing ditangan, ibu masih menyempatkan diri untuk pamitan dengan ayah.
"Ini kan mau mu? Aku pergi sekarang juga!", ucap ibu sambil melangkah keluar.
"Aleya mau kemana?! Masuk ke kamar sekarang!", teriak ayah. Aku yg berjalan mengikuti ibu dari belakang tetap melangkah maju tak menghiraukan.
"Leya!"
"Hei Aleya dengar ayah gak?! Mau kemana kamu?!", ayah menarik tanganku.
"Udah gak usah pikirin aleya!, dia bakal lebih baik kalo ikut aku", ibu melepaskan tangan ayah dari tanganku.
"Oh jadi kamu lebih milih ikut ibu mu? Oke silahkan pergi dari sini"
Kami pun terus melangkah meninggalkan rumah tempatku dibesarkan, walau kebanyakan waktu ku dihabiskan dengan bibi dirumah, tapi aku masih ingat waktu-waktu bahagia dulu. Seiring dengan langkah menyusuri halaman depan rumah yg cukup luas, seakan ingatan masa kecil dulu kembali terlintas di kepalaku, jatuh bangun saat belajar naik sepeda bersama ayah, lari-larian main lempar bola dengan ibu, mendirikan tenda lalu berkemah di halaman rumah dengan ayah dan ibu. Tapi semua itu kini tinggal kenangan, bahkan aku pun lupa kapan terakhir kali kami punya aktifitas bersama.
Akhirnya aku dan ibu semakin jauh menyusuri jalanan yg sudah mulai sepi, waktu di arloji ku menunjukkan pukul 23.40
"Mana ada taksi jam segini bu, emang kita mau kemana?", tanya ku sambil membetulkan posisi ransel yg terasa semakin berat.
"Kita ke rumah om mu dulu, paling gak kita numpang sampai besok disana, kalo emang gak ada taksi yasudah kita jalan aja sampai sana", tampang ibu pun terlihat kelelahan. Wajar saja, ibu seharian bekerja, ditambah lagi sekarang harus berjalan kaki dengan beban lumayan banyak pasti sangat menguras tenaga ibu.
"Bu ini udah tengah malem lho, apa gak sebaiknya kita mampir aja dulu disitu?", sambil menunjuk sebuah mesjid di pertigaan jalan.
"Gak, pokoknya kita harus ke tempat om mu, tapi kalo kamu capek ya gak papa kita mampir dulu sebentar buat istirahat", jawab ibu.
Malah disaat begini aku bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, padahal aku tau ibu jauh lebih lelah daripada aku, tapi ibu malah mengkhawatirkan kondisiku.
Beberapa langkah menuju mesjid, cahaya lampu dari sebuah mobil menerangi kami di ikuti dengan suara klakson dari mobil hitam tersebut.
"Tiiit tiiiiiiit", ia kemudian berhenti tepat di dekat kami yg terdiam terkejut dengan hadirnya mobil itu.
Diubah oleh alealeya 18-07-2017 10:17
Nikita41 dan 15 lainnya memberi reputasi
16





