Kaskus

Story

annelis212Avatar border
TS
annelis212
Ketika Tuhan Sedang Bercanda(True Story)
Karena "tulisan tempat menaruh perasaan" untuk itulah kisah ini ditulis, menyampaikan perasan yang mungkin tidak bisa di ungkapkan. Paling tidak biar kami saling meletakkan perasaan, di dalam kisah ini. Maafkan kalau misal masih berantakan u,u maklum newbie gan emoticon-Blue Guy Peace
oiya nama dan setting tempat dll disesuaikan sedemikian rupa , agar tidak mengganggu yang bersangkutan emoticon-Smilie dan kalau ada kritik saran boleh banget gan sis emoticon-Wowcantik


PROLOG


Bahkan pergi sejauh-jauhnya pun tak menjauhkanku dari kegaduhan kedatangan bayanganmu. Pada akhirnya, kegaduhan ini mengantarkanku menyepi di kereta menuju jogja dengan secangkir coklat . Iya coklat, bukan kopi. Tampaknya aku mulai berhenti minum kopi. Candunya membuatku pusing, belum lagi pahitnya mengingatkanku tentangmu. Malam kian temaran, dan bayangan matahari sudah tak nampak sisanya. Stasiun Tugu semakin terlihat mendekat. Dan seiring dengan mendekatnya kereta ke pemberhentianku, riuh itu datang lagi. Kali ini tak bisa ku hindari, serangan kenangan tentang Jogja datang menghantui, membisikkan cerita-ceritanya. Pahit, manis, suka, duka. Oh, Tuhan kenapa harus sekarang semua film ini di putar ulang. Aku menggerutu dalam hati, meruntuki kenangan yang datang sendiri, bertambah dekat pengumuman kedatangan kereta kini terdengar jelas. Aku mengambil ranselku, berjalan menuju pintu keluar. Tepat ketika aku melangkah keluar kereta, dan menginjakkan kakiku di Tugu oh Tuhan aku baru saja menyadarinya. Ternyata tanpa sadar aku sudah membuka hatiku, bersama terbukanya pintu kereta di Stasiun Tugu.
Dan sekali lagi Tuhan, entah aku harus menyesalinya atau berbahagia bersama keadaan. Aku jatuh cinta lagi, denganmu. Masa laluku.

"dan akhirnya bayangmu kembali. lalu kenapa kau datang saat semuanya sudah berjalan begini jauh? "


Quote:


Quote:
Diubah oleh annelis212 11-06-2018 18:22
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
10.5K
60
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
annelis212Avatar border
TS
annelis212
#59


PART 20

Kita pernah sama-sama ‘mati’ lalu mencari hingga hidup kembali. Kita pernah sama-sama hilang tersesat pada belantara tak berujung dari pencarian kita sendiri. Kita pernah sama-sama menangis hingga air mata mengering dan tersisa isakan diam-diam di sudut terdalam hati. Kita pernah sama-sama terluka lalu bangkit kembali untuk jatuh cinta. Tapi, kita tidak pernah sama-sama mengerti dan belajar untuk mencintai sepenuh hati, tidak kita tidak belajar. Kau tak bisa menyematkan kata kita, ketika yang terlibat dalam pembelajaran ini hanya aku, sendirian.
***


Aku tercekat mendengar pertanyaan Devin. Semuanya mendadak dan begitu membingungkan. Entah aku tak tau harus menjawab apa. Aku terdiam cukup lama begitu juga Devin. Aku merasa nyaman dalam diam ini, mungkin karena aku sendiri tak tau harus berkata apa. Kalaupun aku siap untuk berkata, aku takut sungguh takut jawabanku akan membuat segalanya semakin runyam. Aku ingin lari saja rasanya, kabur dari suasana yang paling aku takutkan ini. Tapi toh aku tau aku harus menghadapinya, meskipun saat itu aku merasa tak adil jika menghadapi semuanya sendirian bukankah Dimas ikut terlibat di dalam kericuhan ini, lalu kenapa hanya aku saja yang harus melewati kejadian ini.

”Jadi ada apa dengan kalian?”Devin mengulangi pertanyaannya.


Aku masih terdiam, berusaha menyusun kata-kata sebaik yang aku bisa.

”Kami tidak ada apa-apa”kataku pelan.


”Aku tak tau kalau diantara dua orang yang berciuman bisa tidak ada apa-apa”kali ini Devin menatapku tajam.


”Kami.. ya kami...”Aku tergagap.


”Ya jadi kalian kenapa?”tanya Devin lagi.


”kami sudah....jadian”suaraku semakin pelan.


”apa? Aku ga denger res”Devin melihatku lagi.


”Kami sudah jadian”Ucapku sekali lagi kali ini dengan suara lebih keras.


Devin terdiam, memandangku tajam. Tak berkata-kata beberapa saat. Kemudian menghela nafas panjang.

”Kenapa kalian ga cerita”nada suaranya berubah tajam.


”Aku.. Kami.. takut kamu marah”jawabku takut-takut.


”kamu pikir sekarang aku ga tambah marah kalian bohongi?”Suara Devin meninggi.


Aku tersentak kaget dengan reaksi Devin, meskipun seharusnya aku sudah tau kalau ia akan marah.

”Maaf res, aku ga maksud bentak kamu. ”suaranya melembut.


”Pantesan kalian jadi aneh, harusnya aku tau dan bisa nebak itu dari lama. Ah, bodoh banget sih aku ini.”lanjut Devin.



”Maafin aku, Dev. Maaf . Aku ga maksud nyakitin kamu”aku menunduk.


”Kamu udah nyakitin aku, Res. Ga perlu minta maaf semua udah kejadian. Ga nyangka banget ya direbut temen sendiri”Devin tersenyum getir.


”Kenapa kamu suka dia, Res?. Kamu kan tau dia kaya gimana”Devin memandangku putus asa.


”Aku... entahlah Dev, aku sendiri juga ga tau. Iya aku tau dia, dev. Dan mungkin kalau bisa milih aku ga ingin jatuh cinta sama dia”jawabku.


”Trus kenapa kamu lakuin Resss? Kenapaaa? . Kamu tau sendiri hidupnya kaya gimana. Dia dikelilingin banyak cewek kamu tau sendiri res berapa banyak orang yang udah dia sakitin dan kamu malah datang ke sana? Tempat kamu akan terluka?”Devin memandangku tak percaya.


”Aku sendiri juga gatau kenapa malah jalan ke sana. Kalau bisa aku belok ke arah lain, kamu misalnya”ucapku sembari menerawang.


”Kenapa ga kamu coba ? cobalah berpaling res. Cari jalan lain, asal bukan dia. Aku ga mau kamu disakitin. Kamu bunga yang paling aku jaga dan ngeliat bunga itu dirusak orang kamu pikir aku bakal diam aja?”Suara Devin kembali meninggi, ia menatapku marah.


”Aku ga bisa dev. Ga ada alasannya kenapa ga bisa. Mungkin aku sebuta itu sampai masuk ke dalam kawahku sendiri”Aku menghela nafas panjang.


”Kenapa harus dia ? kenapa ga aku res? Aku yang sekian lama ngelakuin begitu banyak hal buat kamu res dan kamu malah memilih dia?”Devin mengguncang bahuku.


”Maaf, Dev. Maaf. Bahkan aku sendiri sudah berusaha melakukannya. Tapi, aku ga bisa. Aku harap ini ga ngerusak persahabatan kita”jawabku berusaha tenang.


Devin menatapku tak percaya, melepaskan cengkramannya dari bahuku dan kembali menatap hamparan sawah di hadapan kami. Kami terdiam lama, berusaha saling berkata dalam diam. Meskipun aku sendiri tak tau apa yang sedang berusaha aku sampaikan dalam diam ini. Sampai akhirnya matahari mulai tenggelam memancarkan rona jingga di hadapan kami.

”Ayo pulang sudah hampir malam”Aku berusaha memecah keheningan.


”Aku masih ingin bicara banyak, res”Devin masih menerawang memandang hamparan sawah di depannya namun entah sebenarnya pikirannya sedang berada dimana.


”Iya, tapi jangan di sini sebentarlagi malam. ”Aku beranjak.


”Res, apa kamu ga ingin mencoba lagi?”Devin berpaling menatapku.


”Dev, kamu sudah tau jawabannya”aku berusaha tersenyum.


”Res, maaf mungkin persahabatan kita tidak pernah sama lagi”katanya pelan.


Ah, kalimat itu seakan menghajarku tepat di dada. Sakit sekali bagiku mendengarnya, aku terpaku memandangnya. Lalu mencoba menguasai keadaan, menahan agar air mataku tidak keluar paling tidak untuk saat ini.

”Iya, Dev. Aku paham. Maafkan aku”balasku sebelum naik ke motor dan beranjak pulang.


Senja kali ini menyimpan banyak kata yang belum di ucapkan bersama perasaan campur aduk yang mengiringinya. Kali ini aku berusaha menerima akibat sebuah pilihan yang memang sedari awal tidak boleh aku pilih. Aku menyesal memang, tapi bukannya sudah terlalu jauh untuk mundur. Sudah terlalu banyak yang tidak bisa diperbaiki dan kali ini aku memilih maju paling tidak untuk melihat kemungkinan adakah yang bisa aku perbaiki di masa depan.

”Res,”panggil Devin tiba-tiba.


”Paling tidak kalau nanti persahabatan kita berantakan dan aku tak bisa sama kamu tolong janji satu hal ya Res”ucapnya kemudian.


”Janji apa dev?”tanyaku.


”Jangan pernah tinggalin aku ya. Aku Cuma punya sedikit orang yang berharga di hidupku dan kamu salah satunya. Aku ga pernah berharap akan kehilangan satupun”ucapan Devin mengejutkanku.


”Aku janji, Dev”aku tersenyum samar.


Kedatangan kami disambut Dimas yang sepertinya sudah menunggu di depan pintu pondokan. Dari gelagatnya tampaknya ia sudah lama menunggu kedatangan kami. Devin berlalu begitu saja melewatinya tanpa kata. Dimas menatapku penuh tanya, lalu berjalan mendekat.

”Kalian kemana aja ?”tanyanya kemudian.


”Lihat sawah”kataku singkat.


”Kok lama banget sampe jam segini. Ini udah malem lho kalau ada apa-apa gimana? Aku kepikiran”Dimas memegang kedua bahuku.


”Keasyikan ngobrol”aku tersenyum samar.


”Apasih yang kalian obrolin sampe selama ini. Toh ngobrol di pondokan juga bisa kan?”Dimas terlihat tak suka.


”Tentang kita, Devin sudah tau kita pacaran”jawabku.


”Kamu serius ? lalu gimana?”ekspresinya berganti kaget.


Kemudian aku bercerita tentang semua yang aku dan Devin bicarakan tadi, tentang pertanyaannya hingga tentang permintaan dia untuk memintaku mencoba mencintainya. Sebenarnya tidak benar-benar semua aku ceritakan, aku melewati bagian Devin memintaku sadar konsekuensi aku memilih Dimas yang selalu dikelilingi banyak wanita dan permintaan Devin untuk terus bersama Devin. Aku pikir menceritakan kedua hal itu hanya akan memperpanjang masalah dan memperunyam hubungan kami.

”Maafin aku ya, Res. Semua ini salahku, harusnya aku bilang ke dia sedari awal”Dimas tertunduk


”Gapapa, Dim toh aku juga salah di sini”aku menepuk bahunya.


”Nanti aku yang akan bicara sama Devin”kata Dimas tiba-tiba.


”Kamu yakin gapapa?”aku memandangnya cemas.


”Iya, aku harus bertanggung jawab menjelaskan semuanya. Maaf ya res”ia mengusap pipiku lembut.


Aku mengangguk kemudian berjalan masuk ke dalam pondok. Malam itu aku ingin langsung tidur saja. Segera setelah bersih-bersih aku masuk ke dalam selimutku. Berusaha segera tidur, meskipun hatiku rusuh tak karuan pikiranku pun tak kalah berantakan rasanya ada banyak hal yang berserakahan di dalamnya. Aku memaksa diri untuk segera tidur, bangun pun tak membantu apa-apa. Samar-samar aku mendengar suara Dimas memanggil Devin, percakapan mereka di depan pondok terdengar sayup lalu hilang tertelan mimpiku.
Pagi ini aku bangun dengan was-was berusaha menebak-nebak sendiri apa yang sebenarnya mereka obrolkan tadi malam. Aku menengok tempat tidur Devin dan Dimas yang seperti biasa masih mereka tempati dengan nyaman. Merasa mereka tak akan bangun sampai siang akhirnya aku beranjak dan menuju dapur untuk membantu pemilik pondok memasak. Selesai memasak aku kembali ke pondok di depan pondok Dimas sudah asyik merokok. Aku duduk di sampingnya.

”Jadi semalam kalian ngobrolin apa?”tanyaku penasaran.


”Yakin kamu mau tau?”ia melihatku.


”Iyaaaaa kan aku penasaran, Dim”kataku sebal.


”Hahahaha ga akan aku beritau laah kan itu rahasia kami ”Dimas tertawa kecil.


”Ih kok jahat, lhaa kan aku harusnya tau dong. Aku kan terlibat di sini”aku mulai manyun.


”Kan yang penting semuanya udah beres toh. Udah sana mandi duluuu bau kamu ”ia mencubit pipiku gemas.


”iyaaa iyaa yaudah lah kalau ga boleh tau. Hih padahal dia sendiri belom mandi”aku beranjak masuk pondok dengan kesal diiringi suara tawa Dimas.


Siang ini kami berencana kembali ke kota Y. Sebenarnya kami ingin lebih lama berada di pondokan, namun apa daya rutinitas kampus kami menanti untuk dikerjakan. Tidak ada tanda-tanda kami bertiga sedang mengalami hubungan yang rumit, semua obrolan berjalan seperti biasa. Devin, Dimas dan aku seolah tidak menunjukkan ada yang salah dengan kami. Semuanya tampaknya sudah kembali seperti biasa, mungkin hanya tampaknya. Siang itu kami akhirnya berpamitan pada pemilik pondok untuk kembali ke kota Y. Berat rasanya melepas adik-adik penghuni pondok yang berebutan untuk meminta kami segera kembali ke pondokan. Kala itu aku pulang berboncengan dengan Devin karena memang arah pulang kami berdua dengan Dimas yang berbeda ketika sampai perbatasan kota Y jadi aku berboncengan dengan Devin untuk mempermudah Dimas agar tidak perlu bolak-balik mengantarkanku.

Perjalanan kali ini berjalan lancar sampai kami berhenti di sebuah minimarket untuk membeli minum. Biasanya karena jarak perjalanan yang cukup jauh, kami memang menyempatkan diri berhenti di minimarket atau ketika mengisi bensin untuk melepas lelah. Aku menyodorkan minuman isotonik pada Devin dan menyodorkan air mineral pada Dimas. Setelah sekian lama tinggal bersama mereka aku sampai hapal kebiasaan mereka, Dimas yang enggan minum minuman selain air mineral dengan merk tertentu dan Devin yang menerima semua jenis minuman dengan senang. Ada kejadian yang paling ku ingat saat itu, Devin tak sengaja menggunakan minuman isotonik untuk mencuci muka karena lupa. Ia lupa kalau yang ia pegang bukan air mineral. Kejadain lucu ini membuatku dan Dimas tak berhenti tertawa. Sementara Devin hanya nyengir malu mengingat kelakuannya barusan. Setelah lelah lumayan hilang akhirnya kami melanjutkan perjalanan.

”Kita jalan pelan saja ya, ”kata Devin tiba-tiba.


”iya gapapa pelan aja. Santai toh ga keburu-buru kan”jawabku.


Dimas sudah melesat jauh di depan kami. Sebenarnya tak biasanya Devin mengendarai motor dengan pelan apalagi sampai sepelan ini. Kebiasaan Devin saat naikmotor adalah mengendarai motor dengan kencang, bahkan jarang sekali ia memacu motor dengan kecepatan yang pelan. Kecuali saat macet atau saat-saat tertentu yang jarang sekali terjadi. Seperti saat ini contohnya, ini pertama kali ia memacu kendaraannya jauh dari kecepatan ‘normal’nya. Sepanjang jalan sesekali kami mengobrol, sampai akhirnya kami mendekati perbatasan kota Y. Jalan di daerah ini cukup berbahaya karena jalannya yang penuh tanjakan, turunan serta tikungan tajam. Aku ingat sekali saat itu kecepatan motor kami melambat karena di depan kami ada lalulintas cukup pada. Kondisi jalan di sisi kami berjalan ramai lancar. Aku ingat saat itu aku asyik memikirkan kado yang tepat untuk Dimas karena besok ia ulang tahun ketika tiba-tiba kendaraan di depan kami mengerem mendadak. Lalu semua terjadi begitu cepat ketika motor kami menabrak kendaraan yang berhenti mendadak di depan kami dan kemudian jatuh ke jalan beraspal. Devin menarikku cepat ke depan sehingga aku jatuh tepat di atas tubuhnya. Kendaraan kami meluncur puluhan meter, sebuah mobil melaju kencang dari arah yang berlawanan tepat saat kami meluncur di jalan. Aku memejamkan mata pasrah dengan apa yang akan terjadi. Beberapa saat kemudian semua seakan berhenti bergerak. Sampai aku sadar masih tergeletak di aspal namun tak sanggup merespon apapun. Sekejap sekeliling kami menjadi ramai dengan kekuatan yang entah dari mana aku bangkit, lalu sadar akan keajaiban yang menghindarkan kami dengan tabrakan lebih parah. Ternyata kami jatuh mengikuti marka jalan yang saat itu membelok ke kiri sehingga terhindar dari lindasan mobil dari arah kanan yang melintas sekian senti di atas kami. Aku mengumpulkan kesadaran sebelum akhirnya menunduk melihat Devin masih tergeletak di aspal bersama ceceran jaketnya yang menyebar tak karuan sepanjang jalur jatuh kami. Sedetik kemudian aku berteriak kaget dan panik berusaha mengguncang-guncang tubuh Devin, lalu kembali tak sadarkan diri.


“Bagaimana jadinya andai semua ku buka, berdosakah aku bila ternyata. Ku tak pernah bisa cinta padanya. Andai ku bisa mencari cinta untuk kupersembahkan padanya, kan berikan semua yang ada. Dimanakah kan kucari cinta yang seharusnya menjadi miliknya berdosalah aku bila, ku tak pernah punya cinta untuknya” [Naif – Cinta untuknya]
Diubah oleh annelis212 10-07-2017 23:42
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.