- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
...
TS
bunbun.orenz
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
Spoiler for Credit Cover (THANK YOU SO MUCH):
And I know
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
- Famous Last Words by MCR -
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 90% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahyang dituangkan oleh suami ku tercinta Agatha
Quote:
Spoiler for Special Thanks:
***
Spoiler for From Me:
Versi PDF Thread Sebelumnya:
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/05/02/9605475_201705020801290527.jpg)
Foto diatas hanyalah sebagai ilustrasi tokoh dalam cerita ini
Quote:
Polling
0 suara
SIAPAKAH YANG AKAN MENJADI NYONYA AGATHA ?
Diubah oleh bunbun.orenz 04-07-2017 12:31
ugalugalih dan 27 lainnya memberi reputasi
26
1.5M
7.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7
#6799
Itachi Shinden I
Part of The Dark Night
Spoiler for cover for this part:
Quote:
*
*
*
*
*
Dua kali kita bertemu dan berkenalan.
Terlalu jauhkah waktu untuk kita hingga sampai di titik ini...? Dan part kali ini adalah untuk kamu Franziska...
...
Setelah Luna menangis dan memeluk Gua dihadapan makam Echa juga Jingga, dia limbung, tubuhnya terlihat lemah dan nyaris terjatuh jika Gua tidak sigap menahannya. Kemudian Gua papah dia kedalam rumah dan menyadarkan tubuhnya ke sofa ruang tamu.
"Bii... Tolong ambilkan teh hangat Bi..", teriak Gua dari ruang tamu.
Gua memandangi wajahnya yang nampak pucat, lalu menyeuka keringat pada keningnya itu, matanya sayu tapi tidak terpejam sepenuhnya.
"Lun.. Kamu sakit ?".
Dia tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya lemah. Gua khawatir akan kondisi kesehatannya.
"Lun, diminum dulu tehnya.. Bisa bangun ?", ucap Gua lagi.
Luna menangguk pelan lalu berusaha menegapkan duduknya yang dibantu oleh Gua. Dia meminum sedikit teh hangat itu lalu memundurkan wajahnya lagi dari cangkir yang masih Gua genggam.
"Kamu kenapa ?", tanya Gua lagi kali ini duduk di sampingnya.
"Aku enggak apa-apa kok Za.. Cuma letih aja mungkin karena baru sampai tadi malam dari Aussie...", suaranya jelas terdengar lemah, nyaris tidak terdengar oleh Gua.
Gua menghela nafas kasar. Lalu memegang keningnya lagi. "Kamu demam Lun..", ucap Gua ketika merasakan suhu tubuhnya meningkat.
"Maaf, tolong anter aku pulang kerumah ya Za.. Rasanya aku lemes, gak kuat bawa mobil".
Gua membantunya berdiri dan berjalan keluar rumah untuk masuk kedalam mobilnya. Setelah memastikan Luna duduk dengan nyaman, barulah Gua bergegas masuk kedalam bangku kemudi. Setelah itu Gua lajukan mobil kearah rumahnya yang tidak jauh dari rumah Gua ini.
Sesampainya dirumah Luna, setelah memarkirkan mobilnya, Gua kembali memapahnya kedalam rumah dan menuruti keinginannya untuk rebahan di dalam kamar tidur pribadinya dilantai dua.
Luna sudah berbaring diatas kasur kamarnya ini, Gua menarik selimut hingga sebatas perutnya, kemudian seorang art paruh baya masuk kedalam kamar dengan nampan yang berisi segelas air mineral dan plastik obat-obatan. Gua memperhatikan Luna yang disuapi obat tersebut oleh art-nya itu sampai selesai, setelah beres dan art nya keluar kamar, Gua duduk disisi kasur sambil memegang tangan kirinya.
Gua menatap wajahnya yang pucat dan terasa lemah sekali. Dia tersenyum walaupun Gua tau dirinya sedang merasakan sakit. Gua merasakan tangan lembutnya bergerak memainkan jemari ini.
"Ada apa sebenarnya Lun ?".
"Enggak ada apa-apa Za.. Aku cuma lemes aja, biasa kalo kecapean jadi gini kok...".
"Ke dokter ya..".
"Enggak apa-apa Za, enggak usah... Aku tadi udah minum obat, cuma butuh istirahat aja kok beneran..", ucapnya lagi sambil berusaha tersenyum.
Akhirnya Gua meninggalkan Luna, yang ingin beristirahat dalam kamar sendirian. Ketika Gua menuruni anak tangga dari lantai atas kamarnya, Gua melihat art rumah Luna sedang membereskan ruang tamu, saat itu fikiran Gua pun mengingatkan untuk menanyakan obat apa yang dikonsumsi Luna. Setelah memfoto obat tersebut, Gua pulang kerumah dengan berjalan kaki.
...
Sore hari Gua sedang berada di rumah seorang mantan kekasih. Entahlah mungkin karena kepala keluarganya berprofesi sebagai seorang dokter yang membuat Gua berani mendatangi lagi rumah ini. Tidak mungkin juga Gua melupakan kenangan disini. Dimana saat masih bersama sang anak gadisnya Gua pernah menjalin hubungan.
"Assalamualaikum...", ucap Gua didepan pintu rumahnya.
"Walaikumsalam...", jawab seorang wanita yang berjalan dari dalam rumah kearah pintu.
Gua tersenyum ketika dia berhenti beberapa langkah dihadapan Gua dengan ekspresi wajah yang terkejut.
"A' Ezaaaa!!!", teriaknya.
"Hai... Apa kabar Neng ?", sapa Gua.
"Ya ampuuun.. Masuk-masuk A'a..", ajaknya kali ini sampai menarik lengan kanan Gua secara antusias. "Alhamdulillah baik, aku baik kok.. A'a apa kabarnya ?", tanyanya ketika kami sudah duduk di sofa ruang tamu rumahnya.
"Baik.. Ya baiklah... Hahaha..".
"Hmmm.. Selalu deh gitu.. Ada apa A' ? Pasti ada sesuatu ya..", terkaannya memang selalu tepat dari dulu.
Gua tersenyum kepadanya. Dia, Wulan Adinda Putri, ternyata sudah banyak berubah, terakhir Gua bertemu dengannya saat pernikahan Gua dengan almh. Echa, semenjak itu kami tidak pernah bertemu. Wajahnya imut dan masih nampak lugu, potongan rambutnya kini sudah memanjang sebahu lebih. Bukan lagi Wulan saat di smp yang Gua kenal.
"Mmm.. Maaf loch Neng, aku kesini karena ada perlu... Maaf...", jawab Gua merasa tidak enak karena sekalinya datang ada keperluan.
"Enggak apa-apa A'.. Kayak kesiapa aja kamu tuh.. Aku seneng kok kamu masih inget main kesini...".
"Ehm.. Mamah dan Papah kamu kemana ?", tanya Gua.
"Mereka lagi pergi keluar kota A', ada acara gitu.. Eh sebentar ya, aku ambilin minum dulu..", Wulan beranjak dari duduknya lalu masuk kebagian rumah lainnya.
Gua menyapukan pandangan di ruang tamu rumahnya ini, beberapa hal kembali mengingatkan Gua saat dulu masih sering kesini. Ah beberapa dosa juga pernah Gua lakukan disini.. Fakdat!
"Silahkan diminum A' sirupnya...", tawarnya ketika sudah menaruh gelas berisi es sirup diatas meja.
Berubah.. Ya, dia menjadi lebih dewasa dan sangat sopan. Ah enggak enggak... Dia memang lebih dewasa dari Gua sejak dulu.
"Makasih Neng...".
"Oiya.. Mana Echa, A' ? Kok gak dibawa ? Udah punya momongan belum A' ?".
Degh...
Astagfirullah... Gua lupa, Wulan belum mengetahui kalau Echa sudah berpulang, begitu juga dengan anak Gua. Ya Tuhanku...
Bohong kalau hati ini tidak bergetar ketika dia menanyakan orang yang Gua cintai dan sayangi itu telah berpulang. Tapi inilah hidup, bagaimanapun Gua harus memberitahukannya.
"A' ? Kamu kenapaa ? Jangan bikin aku takut..", Wulan memegangi bahu kanan Gua dengan tangan kirinya dengan wajah khawatir.
Gua memejamkan mata sejenak seraya menggigit bibir ini. Air pada pelupuk mata sudah menggenang, sebelum terjatuh Gua menyeuka butiran air tersebut.
"Ehm.. Maaf ya Neng... Ehm.. Ehm..".
"Ada apa A' ?", suaranya bergetar.
Wulan.. Kamu itu memang paling tau ya dari dulu, belum sempat aku bercerita, tapi airmata kamu sudah tertumpah duluan.
"Echa.. Sudah berpulang satu setengah tahun yang lalu...", ucap Gua sambil tersenyum kepadanya.
Pelukannya ini bukanlah pelukan antara seorang lelaki dan wanita yang pernah jatuh cinta, bukan seperti itu... Pelukannya adalah tanda bahwa manusia memang membutuhkan manusia lainnya untuk berkeluh kesah, sebagai makhluk sosial yang mana kita bisa berbagi kebahagiaan juga kesedihan.
Wulan menangis sambil memeluk Gua, dia menyandarkan kepalanya ke bahu ini. "Astagfirullah A'... Hiks.. Hiks.. Kenapa kamu baru cerita... Aku enggak tau sama sekali, gak ada yang ngasih kabar duka itu ke aku A'... Ya Alloh...", ucapnya sambil tetap menangis.
Setelah itu, Gua menceritakan apa yang selama ini sudah terjadi dalam kehidupan Gua, kehilangan istri, anak, sampai akhirnya sekarang soal Luna.
"Ini obat untuk ?", tanya Wulan yang memperhatikan foto obat dalam blackberry Gua.
"Aku enggak tau, makanya kesini untuk nanya soal itu ke Papah kamu Neng...".
"Hmmm...", Wulan memperhatikan foto obat tersebut sambil berfikir, kemudian entah sengaja atau tidak, ibu jarinya menggeser trackpad blackberry itu dan bergeserlah foto pada layar ke kanan. "Wow...", suaranya sedikit berteriak karena terkejut.
"Eh ? Kenapa Neng ?".
"Maaf A', hihihi... Enggak sengaja kok.. Hihihi...", jawabnya sambil menengok lalu menunjukkan foto pada layar blackberry itu kepada Gua dan menjulurkan lidahnya.
"Aduuh.. Hahaha.. Sini sini.. Jangan diliat ah", Gua mencoba meraih kembali blackberry itu tapi tangan kanan Wulan lebih cepat dan menyembunyikannya dibalik tubuhnya.
"Hihihi... Cantik tau... Itu yang namanya Luna A' ?".
Gua mengangguk cepat sambil tersenyum lebar.
"Terus yang lagi nyium pipinya siaaaaapaahh ? Hehehehe...".
"Yaelah Neng... Udah ah.. Siniin bb aku.. Dasar kamu tuh... Hahahahaha..".
Wulan akhirnya menelepon sang Papah untuk menanyakan obat apa yang Luna konsumsi saat ini, Gua berjalan keluar rumah dan duduk di ayunan halaman depan rumahnya itu. Membakar sebatang rokok sambil menunggu Wulan selesai menelepon. Beberapa kali hisapan rokok, akhirnya Wulan keluar rumah dan menghampiri Gua yang masih duduk di ayunan ini.
"A'... Luna itu pacar kamu atau lebih ?", tanyanya langsung ketika dia berdiri disamping Gua.
Gua melirik kepada Wulan. Menatapnya agak keheranan. "Kenapa emangnya Neng ?", tanya Gua balik.
"....".
"Neng.. Ada apa ? Kenapa kamu nanya gitu ?".
Wulan menunjukkan sebuah isi pesan singkat yang ia terima dari Papahnya. Benar-benar sangat singkat, padat dan jelas... Gua yang hanya orang awam dan buta akan dunia kedokteran pun tau apa arti dari kata yang tertulis di pesan tersebut. Hati Gua menclos, tidak percaya dengan apa yang Gua baca. Rasanya dunia Gua berputar dan terlalu berat (lagi dan lagi) untuk Gua tapaki.
Wulan memegangi bahu Gua dan mengusapnya lembut.
"Sabar ya... Ini ujian untuk kamu dan Luna mungkin A'...".
"Neng... Berapa kali lagi aku harus menghadapi situasi seperti ini ?, belum cukupkah sang maut menyapa aku dengan mencabuti nyawa-nyawa dari orang yang aku sayangi selama ini Neng ?".
Kembali pelukannya menyapa tubuh ini, kali ini... Airmata Gua mengalir pelan membasahi sisi wajah ini. Lembut tangannya membelai punggung Gua, Wulan berkali-kali mengingatkan Gua agar tetap berada disisi Luna, mendampinginya yang mungkin sedang berada dalam masa sulit.
"Apapun kejadian yang akan terjadi di depan nanti, aku harap itu yang terbaik untuk kamu dan Luna, jangan berprasangka buruk pada Tuhan ya A'... Aku yakin kamu dan Luna pasti bahagia, baik bersama ataupun enggak... Yang jelas, itu semua adalah takdir..", ucapnya kali ini sambil menatap mata ini lekat-lekat.
Gua tersenyum lalu mengangukan kepala pelan. "Insha Alloh, Neng..".
"Salam untuk Luna ya A'... Semoga dia selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa..".
"Aamiin.. Terimakasih Wulan..".
Terlalu jauhkah waktu untuk kita hingga sampai di titik ini...? Dan part kali ini adalah untuk kamu Franziska...
...
Setelah Luna menangis dan memeluk Gua dihadapan makam Echa juga Jingga, dia limbung, tubuhnya terlihat lemah dan nyaris terjatuh jika Gua tidak sigap menahannya. Kemudian Gua papah dia kedalam rumah dan menyadarkan tubuhnya ke sofa ruang tamu.
"Bii... Tolong ambilkan teh hangat Bi..", teriak Gua dari ruang tamu.
Gua memandangi wajahnya yang nampak pucat, lalu menyeuka keringat pada keningnya itu, matanya sayu tapi tidak terpejam sepenuhnya.
"Lun.. Kamu sakit ?".
Dia tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya lemah. Gua khawatir akan kondisi kesehatannya.
"Lun, diminum dulu tehnya.. Bisa bangun ?", ucap Gua lagi.
Luna menangguk pelan lalu berusaha menegapkan duduknya yang dibantu oleh Gua. Dia meminum sedikit teh hangat itu lalu memundurkan wajahnya lagi dari cangkir yang masih Gua genggam.
"Kamu kenapa ?", tanya Gua lagi kali ini duduk di sampingnya.
"Aku enggak apa-apa kok Za.. Cuma letih aja mungkin karena baru sampai tadi malam dari Aussie...", suaranya jelas terdengar lemah, nyaris tidak terdengar oleh Gua.
Gua menghela nafas kasar. Lalu memegang keningnya lagi. "Kamu demam Lun..", ucap Gua ketika merasakan suhu tubuhnya meningkat.
"Maaf, tolong anter aku pulang kerumah ya Za.. Rasanya aku lemes, gak kuat bawa mobil".
Gua membantunya berdiri dan berjalan keluar rumah untuk masuk kedalam mobilnya. Setelah memastikan Luna duduk dengan nyaman, barulah Gua bergegas masuk kedalam bangku kemudi. Setelah itu Gua lajukan mobil kearah rumahnya yang tidak jauh dari rumah Gua ini.
Sesampainya dirumah Luna, setelah memarkirkan mobilnya, Gua kembali memapahnya kedalam rumah dan menuruti keinginannya untuk rebahan di dalam kamar tidur pribadinya dilantai dua.
Luna sudah berbaring diatas kasur kamarnya ini, Gua menarik selimut hingga sebatas perutnya, kemudian seorang art paruh baya masuk kedalam kamar dengan nampan yang berisi segelas air mineral dan plastik obat-obatan. Gua memperhatikan Luna yang disuapi obat tersebut oleh art-nya itu sampai selesai, setelah beres dan art nya keluar kamar, Gua duduk disisi kasur sambil memegang tangan kirinya.
Gua menatap wajahnya yang pucat dan terasa lemah sekali. Dia tersenyum walaupun Gua tau dirinya sedang merasakan sakit. Gua merasakan tangan lembutnya bergerak memainkan jemari ini.
"Ada apa sebenarnya Lun ?".
"Enggak ada apa-apa Za.. Aku cuma lemes aja, biasa kalo kecapean jadi gini kok...".
"Ke dokter ya..".
"Enggak apa-apa Za, enggak usah... Aku tadi udah minum obat, cuma butuh istirahat aja kok beneran..", ucapnya lagi sambil berusaha tersenyum.
Akhirnya Gua meninggalkan Luna, yang ingin beristirahat dalam kamar sendirian. Ketika Gua menuruni anak tangga dari lantai atas kamarnya, Gua melihat art rumah Luna sedang membereskan ruang tamu, saat itu fikiran Gua pun mengingatkan untuk menanyakan obat apa yang dikonsumsi Luna. Setelah memfoto obat tersebut, Gua pulang kerumah dengan berjalan kaki.
...
Sore hari Gua sedang berada di rumah seorang mantan kekasih. Entahlah mungkin karena kepala keluarganya berprofesi sebagai seorang dokter yang membuat Gua berani mendatangi lagi rumah ini. Tidak mungkin juga Gua melupakan kenangan disini. Dimana saat masih bersama sang anak gadisnya Gua pernah menjalin hubungan.
"Assalamualaikum...", ucap Gua didepan pintu rumahnya.
"Walaikumsalam...", jawab seorang wanita yang berjalan dari dalam rumah kearah pintu.
Gua tersenyum ketika dia berhenti beberapa langkah dihadapan Gua dengan ekspresi wajah yang terkejut.
"A' Ezaaaa!!!", teriaknya.
"Hai... Apa kabar Neng ?", sapa Gua.
"Ya ampuuun.. Masuk-masuk A'a..", ajaknya kali ini sampai menarik lengan kanan Gua secara antusias. "Alhamdulillah baik, aku baik kok.. A'a apa kabarnya ?", tanyanya ketika kami sudah duduk di sofa ruang tamu rumahnya.
"Baik.. Ya baiklah... Hahaha..".
"Hmmm.. Selalu deh gitu.. Ada apa A' ? Pasti ada sesuatu ya..", terkaannya memang selalu tepat dari dulu.
Gua tersenyum kepadanya. Dia, Wulan Adinda Putri, ternyata sudah banyak berubah, terakhir Gua bertemu dengannya saat pernikahan Gua dengan almh. Echa, semenjak itu kami tidak pernah bertemu. Wajahnya imut dan masih nampak lugu, potongan rambutnya kini sudah memanjang sebahu lebih. Bukan lagi Wulan saat di smp yang Gua kenal.
"Mmm.. Maaf loch Neng, aku kesini karena ada perlu... Maaf...", jawab Gua merasa tidak enak karena sekalinya datang ada keperluan.
"Enggak apa-apa A'.. Kayak kesiapa aja kamu tuh.. Aku seneng kok kamu masih inget main kesini...".
"Ehm.. Mamah dan Papah kamu kemana ?", tanya Gua.
"Mereka lagi pergi keluar kota A', ada acara gitu.. Eh sebentar ya, aku ambilin minum dulu..", Wulan beranjak dari duduknya lalu masuk kebagian rumah lainnya.
Gua menyapukan pandangan di ruang tamu rumahnya ini, beberapa hal kembali mengingatkan Gua saat dulu masih sering kesini. Ah beberapa dosa juga pernah Gua lakukan disini.. Fakdat!
"Silahkan diminum A' sirupnya...", tawarnya ketika sudah menaruh gelas berisi es sirup diatas meja.
Berubah.. Ya, dia menjadi lebih dewasa dan sangat sopan. Ah enggak enggak... Dia memang lebih dewasa dari Gua sejak dulu.
"Makasih Neng...".
"Oiya.. Mana Echa, A' ? Kok gak dibawa ? Udah punya momongan belum A' ?".
Degh...
Astagfirullah... Gua lupa, Wulan belum mengetahui kalau Echa sudah berpulang, begitu juga dengan anak Gua. Ya Tuhanku...
Bohong kalau hati ini tidak bergetar ketika dia menanyakan orang yang Gua cintai dan sayangi itu telah berpulang. Tapi inilah hidup, bagaimanapun Gua harus memberitahukannya.
"A' ? Kamu kenapaa ? Jangan bikin aku takut..", Wulan memegangi bahu kanan Gua dengan tangan kirinya dengan wajah khawatir.
Gua memejamkan mata sejenak seraya menggigit bibir ini. Air pada pelupuk mata sudah menggenang, sebelum terjatuh Gua menyeuka butiran air tersebut.
"Ehm.. Maaf ya Neng... Ehm.. Ehm..".
"Ada apa A' ?", suaranya bergetar.
Wulan.. Kamu itu memang paling tau ya dari dulu, belum sempat aku bercerita, tapi airmata kamu sudah tertumpah duluan.
"Echa.. Sudah berpulang satu setengah tahun yang lalu...", ucap Gua sambil tersenyum kepadanya.
Pelukannya ini bukanlah pelukan antara seorang lelaki dan wanita yang pernah jatuh cinta, bukan seperti itu... Pelukannya adalah tanda bahwa manusia memang membutuhkan manusia lainnya untuk berkeluh kesah, sebagai makhluk sosial yang mana kita bisa berbagi kebahagiaan juga kesedihan.
Wulan menangis sambil memeluk Gua, dia menyandarkan kepalanya ke bahu ini. "Astagfirullah A'... Hiks.. Hiks.. Kenapa kamu baru cerita... Aku enggak tau sama sekali, gak ada yang ngasih kabar duka itu ke aku A'... Ya Alloh...", ucapnya sambil tetap menangis.
Setelah itu, Gua menceritakan apa yang selama ini sudah terjadi dalam kehidupan Gua, kehilangan istri, anak, sampai akhirnya sekarang soal Luna.
"Ini obat untuk ?", tanya Wulan yang memperhatikan foto obat dalam blackberry Gua.
"Aku enggak tau, makanya kesini untuk nanya soal itu ke Papah kamu Neng...".
"Hmmm...", Wulan memperhatikan foto obat tersebut sambil berfikir, kemudian entah sengaja atau tidak, ibu jarinya menggeser trackpad blackberry itu dan bergeserlah foto pada layar ke kanan. "Wow...", suaranya sedikit berteriak karena terkejut.
"Eh ? Kenapa Neng ?".
"Maaf A', hihihi... Enggak sengaja kok.. Hihihi...", jawabnya sambil menengok lalu menunjukkan foto pada layar blackberry itu kepada Gua dan menjulurkan lidahnya.
"Aduuh.. Hahaha.. Sini sini.. Jangan diliat ah", Gua mencoba meraih kembali blackberry itu tapi tangan kanan Wulan lebih cepat dan menyembunyikannya dibalik tubuhnya.
"Hihihi... Cantik tau... Itu yang namanya Luna A' ?".
Gua mengangguk cepat sambil tersenyum lebar.
"Terus yang lagi nyium pipinya siaaaaapaahh ? Hehehehe...".
"Yaelah Neng... Udah ah.. Siniin bb aku.. Dasar kamu tuh... Hahahahaha..".
Wulan akhirnya menelepon sang Papah untuk menanyakan obat apa yang Luna konsumsi saat ini, Gua berjalan keluar rumah dan duduk di ayunan halaman depan rumahnya itu. Membakar sebatang rokok sambil menunggu Wulan selesai menelepon. Beberapa kali hisapan rokok, akhirnya Wulan keluar rumah dan menghampiri Gua yang masih duduk di ayunan ini.
"A'... Luna itu pacar kamu atau lebih ?", tanyanya langsung ketika dia berdiri disamping Gua.
Gua melirik kepada Wulan. Menatapnya agak keheranan. "Kenapa emangnya Neng ?", tanya Gua balik.
"....".
"Neng.. Ada apa ? Kenapa kamu nanya gitu ?".
Wulan menunjukkan sebuah isi pesan singkat yang ia terima dari Papahnya. Benar-benar sangat singkat, padat dan jelas... Gua yang hanya orang awam dan buta akan dunia kedokteran pun tau apa arti dari kata yang tertulis di pesan tersebut. Hati Gua menclos, tidak percaya dengan apa yang Gua baca. Rasanya dunia Gua berputar dan terlalu berat (lagi dan lagi) untuk Gua tapaki.
Wulan memegangi bahu Gua dan mengusapnya lembut.
"Sabar ya... Ini ujian untuk kamu dan Luna mungkin A'...".
"Neng... Berapa kali lagi aku harus menghadapi situasi seperti ini ?, belum cukupkah sang maut menyapa aku dengan mencabuti nyawa-nyawa dari orang yang aku sayangi selama ini Neng ?".
Kembali pelukannya menyapa tubuh ini, kali ini... Airmata Gua mengalir pelan membasahi sisi wajah ini. Lembut tangannya membelai punggung Gua, Wulan berkali-kali mengingatkan Gua agar tetap berada disisi Luna, mendampinginya yang mungkin sedang berada dalam masa sulit.
"Apapun kejadian yang akan terjadi di depan nanti, aku harap itu yang terbaik untuk kamu dan Luna, jangan berprasangka buruk pada Tuhan ya A'... Aku yakin kamu dan Luna pasti bahagia, baik bersama ataupun enggak... Yang jelas, itu semua adalah takdir..", ucapnya kali ini sambil menatap mata ini lekat-lekat.
Gua tersenyum lalu mengangukan kepala pelan. "Insha Alloh, Neng..".
"Salam untuk Luna ya A'... Semoga dia selalu dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa..".
"Aamiin.. Terimakasih Wulan..".
...SCROLL DOWN to CONTINUES READING...
Diubah oleh glitch.7 30-06-2017 14:43
dany.agus memberi reputasi
1
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/18/9605475_20170318104940.jpg)
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/19/9605475_20170319120710.jpg)



love u too bun...ahaha..

). 
(Jangan lupa tempura seminggu sekali ya Yah) 

