- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#867
WAKTU IMSAK KURANG LIMA MENIT
Spoiler for :
Sebagian kita mengeluh ketika alarm weker berbunyi jam tiga pagi. Ketika lelapnya tidur harus diinterupsi agar kelopak mata bisa terjaga. Setelah itu sambil sedikit menggerutu mungkin kita menenangkan diri sejenak dengan duduk di sisi tempat tidur lalu bangun menuju kamar mandi dan dapur, memasak makanan cepat saji seperti mi instan atau kalau tidak bisa masak tinggal menekan layar sentuh dan ojek online akan mengantar menu sahur siap makan ke depan pintu.
Tetapi sadarkah kita kalau di luar sana, dalam keadaan yang berbeda, rutinitas yang kita keluhkan pada paragraf satu diatas justru menjadi surga yang dirindukan? Ya orang-orang kurang beruntung seperti Fahri dan Qonita hanya bisa memimpikan suasana sahur yang normal di bulan ramadhan.
“Sardennya habis.” Kata Qonita sambil menunjukkan kaleng merah bergambar ikan yang kosong melompong.
“Corned beef-nya?”
“Habis juga.”
“Apa lagi yang habis?”
“Semuanya.”
“Termasuk air?”
Qonita mengangguk.
“Biar aku carikan, menurut peta tiga ratus meter dari sini ada supermarket.”
“Tiga ratus meter? Itu terlalu Jauh Mas.” Jerit Qonita berurai air mata.
“Sssst jangan keras-keras.”
Kata Fahri dengan pandangan mata yang tiba-tiba tegang. Setelah diam sejenak dan memandang sekeliling untuk memastikan kalau semuanya aman, ia meraih shotgun yang tersandar di dinding, mengikat tangan dan kaki dengan majalah tebal, memakai helm dan menyelipkan pisau ke ujung tongkat lalu mengikatnya dengan tali.
“Jangan lupa timer jam tangan diset biar tahu waktu imsak dan subuh.”
“Sudah. Aku berangkat dulu.”
Fahri membuka jendela rumah kosong yang mereka temukan tiga hari lalu itu dan melompat keluar. Sesampainya diluar sambil berjingkat, mantan guru ngaji di kampung ini melintasi halaman rumput dan berhenti di luar pagar besi.
“Huf...huf...huf.”
Fahri manarik nafas mengambil ancang-ancang. Setelah menghitung dalam hati segera ia berlari sekencang mungkin menyusuri jalanan beraspal menuju ke arah supermarket. Mengapa pemuda ini harus berlari? Karena dikejar, bukan satu atau dua tetapi sekumpulan penuh, zombie-zombie lapar yang menginginkan dagingnya.
Pertama kali dikejar zombie tentu menakutkan, tetapi malam itu adalah keseratus sekian kalinya ia berlari diburu oleh sekawanan penuh mayat hidup sehingga hal seperti ini biasa saja baginya. Lari kemana? Fahri melihat peta di jam tangannya, Alhamdulillah ada Pom bensin seratus meter di depannya.
Fahri berhenti di balik tiang bertuliskan ron 95. Ia melihat ada truk tangki gandengan dan sebuah sepeda motor dengan bahan bakar terisi penuh. Ia naik ke atas motor gede warna hitam itu, menunggu kumpulan mayat bergerak mendekat lalu menjalankan sepeda motornya. Setelah itu dikeluarkannya shotgun dan dibidikkan ke arah truk tangki yang berisi penuh. Hasilnya tak perlu dituliskan lagi disini para pembaca pasti sudah tahu apa yang terjadi dengan gerombolan zombie tersebut.
Mengendarai motor membuatnya tiba di supermarket dalam waktu yang lebih cepat. Berhati-hati sekali ia masuk sambil menggenggam shotgun ke pusat perbelanjaan tanpa lampu tersebut. Sepi tidak ada kaum terinfeksi. Fahri sedikit lega ketika sampai di rak makanan kaleng. Diambilnya beberapa puluh, dimasukkan tas lalu ia berjalan kembali menuju stan minuman. Disini terdengar bunyi langkah sepatu, disusul dengan sebuah suara.
“Siapa di situ?” Tanya seorang pria yang wujudnya tidak kelihatan.
“Jangan tembak, aku manusia juga seperti kalian. Namaku Fahri.”
“Ada perlu apa masuk ke tempat kami?”
“Aku bersama istriku yang sedang hamil, kami kehabisan bekal dan tidak bisa makan sahur. Kalau boleh aku minta ijin mengambil sedikit makanan,minuman dan obat-obatan disini.”
“Tidak boleh.”
"Apa kau pemilik supermarket ini ?"
"Setiap bangunan yang kumasuki adalah milikku termasuk isinya, tidak terkecuali supermarket ini. Karena kau ada di dalam waktu aku masuk berarti kau dan seluruh barang yang kau bawa juga milikku, ayo serahkan cepat, kalau masih mau hidup!"
"Tidak mau."
"Mati kau !"
Kata penjarah itu disusul dengan bunyi revolver kaliber 45 yang menyalak. Fahri yang sudah siap berguling di lantai dua kali lalu balas menembak.
“Argh”
Tembakan shotgunnya menembus tembok tipis tempat orang itu berlindung. Yang ditembak, mati tentu saja. Buru-buru Fahri mengambil kaleng dan botol-botol minuman lalu dengan dua tas terisi penuh dihampirinya mayat penyerangnya yang memegang revolver tersebut. Ia ambil pistol berwarna keperakan berikut dua bungkus amunisi dari saku jenazah dan berniat meninggalkan pasar swalayan tetapi beberapa orang berdatangan dan memergokinya.
“Woi...dia membunuh Bang Jerry.”
“Gila....cari mampus.”
“Habisi!”
Teman-teman orang itu berdatangan dan langsung menembak tanpa ampun. Ini gawat, suara letusan senjata-senjata api itu pasti mengundang monster-monster yang dulunya manusia itu untuk masuk ke dalam dan menyerbu. Tinggal masalah waktu, jadi bagaimanapun caranya Fahri harus cari cara untuk keluar dan mencapai motornya lalu kembali ke tempat Qonita yang sedang menunggunya. Satu-satunya cara yang terpikirkan adalah lari sambil menembak beruntun, menghunjamkan covering fire sambil terus bergerak menembus dinding kaca
CRING
Dan mencapai sepeda motor.
VROOOOM....
Fahri berhasil mencapai kendaraan tersebut tetapi seluruh amunisinya habis. Kini ia hanya mengandalkan tombak darurat dari tongkat yang digabung dengan pisau untuk menghabisi zombie yang satu satu mulai berdatangan ke supermarket. Sambil terus berkendara, dirinya menombak beberapa mayat hidup tepat di kepala.
“Waktu imsak kurang tiga menit.”
Kata alarm di jam tangannya. Qonita istrinya yang memasang rekaman suara dari masjid di masa silam itu untuk dirinya, mengingatkan agar disaat sulit sekalipun dirinya harus tetap mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah.Qonita, istri soleha yang setia menemani dalam senang maupun duka. Kalau dipikir-pikir sejak pernikahan mereka belum pernah ia membahagiakannya. Rencana bulan madu ke Turki terpaksa batal, rumah baru mereka belum sempat ditinggali dan satu jam setelah resepsi pernikahan wanita itu sudah harus kehilangan kedua orangtuanya karena sakit-dan mereka berdua akhirnya menggigit orang-orang di rumah sakit. Untung Fahri dan Qonita berhasil menyelamatkan diri.
Tiga tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu, kini seperti manusia pra sejarah dirinya dan Qonita harus rela hidup berpindah-pindah. Mencari makanan dengan berburu dan meramu seperti yang diajarkan di buku sejarah dan geografi kelas satu SMP. Fahri ingat, tak pernah sekalipun Qonita mengeluh, justru perempuan itu selalu menyemangatinya dan memberikan alasan baginya untuk tetap hidup dan selalu berharap bahwa pada suatu hari nanti, wabah ini akan berakhir dan semua impiannya bersama istri tercinta akan terwujud.
CIIT
Fahri memarkir motor agak jauh dari tempat Qonita menunggu. Ia mengendap-endap kemudian memasuki rumah persembunyian dan langsung menuju dapur.
“Bagaimana Mas?”
“Ini dapat banyak, kita bisa makan sahur.”
Katanya sambil menyodorkan makanan kaleng.
“Buat Mas saja.”
“Kamu besok nggak puasa?”
Qonita mengangguk sedih.
“Oh ya, kandunganmu sudah semakin besar, kalau tidak kuat tidak usah puasa.”
“Bukan karena itu Mas Fahri.”
“Lalu kenapa?”
Fahri tercekat setelah tahu jawabannya. Dibawah jendela dapur teronggok sesosok zombie dengan pisau menancap di otak, gigi mayat hidup yang tampaknya mencoba masuk lewat jendela itu berlumur darah.
“Selamat tinggal Mas Fahri, apapun yang terjadi jangan menyerah untuk hidup ya, Assalamualaikum.”
“Qonita!...Qonita!”
Berurai air mata Fahri mengguncang tubuh Qonita yang mulai mendingin. Tak lama kemudian jasad kaku itu bergerak,membuka mata dan melompat sambil menerkam manusia di hadapannya dengan gigi-giginya yang meneteskan air liur. Alarm jam tangan pun berbunyi.
“Imsak....imsak...imsak.”
Tetapi sadarkah kita kalau di luar sana, dalam keadaan yang berbeda, rutinitas yang kita keluhkan pada paragraf satu diatas justru menjadi surga yang dirindukan? Ya orang-orang kurang beruntung seperti Fahri dan Qonita hanya bisa memimpikan suasana sahur yang normal di bulan ramadhan.
“Sardennya habis.” Kata Qonita sambil menunjukkan kaleng merah bergambar ikan yang kosong melompong.
“Corned beef-nya?”
“Habis juga.”
“Apa lagi yang habis?”
“Semuanya.”
“Termasuk air?”
Qonita mengangguk.
“Biar aku carikan, menurut peta tiga ratus meter dari sini ada supermarket.”
“Tiga ratus meter? Itu terlalu Jauh Mas.” Jerit Qonita berurai air mata.
“Sssst jangan keras-keras.”
Kata Fahri dengan pandangan mata yang tiba-tiba tegang. Setelah diam sejenak dan memandang sekeliling untuk memastikan kalau semuanya aman, ia meraih shotgun yang tersandar di dinding, mengikat tangan dan kaki dengan majalah tebal, memakai helm dan menyelipkan pisau ke ujung tongkat lalu mengikatnya dengan tali.
“Jangan lupa timer jam tangan diset biar tahu waktu imsak dan subuh.”
“Sudah. Aku berangkat dulu.”
Fahri membuka jendela rumah kosong yang mereka temukan tiga hari lalu itu dan melompat keluar. Sesampainya diluar sambil berjingkat, mantan guru ngaji di kampung ini melintasi halaman rumput dan berhenti di luar pagar besi.
“Huf...huf...huf.”
Fahri manarik nafas mengambil ancang-ancang. Setelah menghitung dalam hati segera ia berlari sekencang mungkin menyusuri jalanan beraspal menuju ke arah supermarket. Mengapa pemuda ini harus berlari? Karena dikejar, bukan satu atau dua tetapi sekumpulan penuh, zombie-zombie lapar yang menginginkan dagingnya.
Pertama kali dikejar zombie tentu menakutkan, tetapi malam itu adalah keseratus sekian kalinya ia berlari diburu oleh sekawanan penuh mayat hidup sehingga hal seperti ini biasa saja baginya. Lari kemana? Fahri melihat peta di jam tangannya, Alhamdulillah ada Pom bensin seratus meter di depannya.
Fahri berhenti di balik tiang bertuliskan ron 95. Ia melihat ada truk tangki gandengan dan sebuah sepeda motor dengan bahan bakar terisi penuh. Ia naik ke atas motor gede warna hitam itu, menunggu kumpulan mayat bergerak mendekat lalu menjalankan sepeda motornya. Setelah itu dikeluarkannya shotgun dan dibidikkan ke arah truk tangki yang berisi penuh. Hasilnya tak perlu dituliskan lagi disini para pembaca pasti sudah tahu apa yang terjadi dengan gerombolan zombie tersebut.
Mengendarai motor membuatnya tiba di supermarket dalam waktu yang lebih cepat. Berhati-hati sekali ia masuk sambil menggenggam shotgun ke pusat perbelanjaan tanpa lampu tersebut. Sepi tidak ada kaum terinfeksi. Fahri sedikit lega ketika sampai di rak makanan kaleng. Diambilnya beberapa puluh, dimasukkan tas lalu ia berjalan kembali menuju stan minuman. Disini terdengar bunyi langkah sepatu, disusul dengan sebuah suara.
“Siapa di situ?” Tanya seorang pria yang wujudnya tidak kelihatan.
“Jangan tembak, aku manusia juga seperti kalian. Namaku Fahri.”
“Ada perlu apa masuk ke tempat kami?”
“Aku bersama istriku yang sedang hamil, kami kehabisan bekal dan tidak bisa makan sahur. Kalau boleh aku minta ijin mengambil sedikit makanan,minuman dan obat-obatan disini.”
“Tidak boleh.”
"Apa kau pemilik supermarket ini ?"
"Setiap bangunan yang kumasuki adalah milikku termasuk isinya, tidak terkecuali supermarket ini. Karena kau ada di dalam waktu aku masuk berarti kau dan seluruh barang yang kau bawa juga milikku, ayo serahkan cepat, kalau masih mau hidup!"
"Tidak mau."
"Mati kau !"
Kata penjarah itu disusul dengan bunyi revolver kaliber 45 yang menyalak. Fahri yang sudah siap berguling di lantai dua kali lalu balas menembak.
“Argh”
Tembakan shotgunnya menembus tembok tipis tempat orang itu berlindung. Yang ditembak, mati tentu saja. Buru-buru Fahri mengambil kaleng dan botol-botol minuman lalu dengan dua tas terisi penuh dihampirinya mayat penyerangnya yang memegang revolver tersebut. Ia ambil pistol berwarna keperakan berikut dua bungkus amunisi dari saku jenazah dan berniat meninggalkan pasar swalayan tetapi beberapa orang berdatangan dan memergokinya.
“Woi...dia membunuh Bang Jerry.”
“Gila....cari mampus.”
“Habisi!”
Teman-teman orang itu berdatangan dan langsung menembak tanpa ampun. Ini gawat, suara letusan senjata-senjata api itu pasti mengundang monster-monster yang dulunya manusia itu untuk masuk ke dalam dan menyerbu. Tinggal masalah waktu, jadi bagaimanapun caranya Fahri harus cari cara untuk keluar dan mencapai motornya lalu kembali ke tempat Qonita yang sedang menunggunya. Satu-satunya cara yang terpikirkan adalah lari sambil menembak beruntun, menghunjamkan covering fire sambil terus bergerak menembus dinding kaca
CRING
Dan mencapai sepeda motor.
VROOOOM....
Fahri berhasil mencapai kendaraan tersebut tetapi seluruh amunisinya habis. Kini ia hanya mengandalkan tombak darurat dari tongkat yang digabung dengan pisau untuk menghabisi zombie yang satu satu mulai berdatangan ke supermarket. Sambil terus berkendara, dirinya menombak beberapa mayat hidup tepat di kepala.
“Waktu imsak kurang tiga menit.”
Kata alarm di jam tangannya. Qonita istrinya yang memasang rekaman suara dari masjid di masa silam itu untuk dirinya, mengingatkan agar disaat sulit sekalipun dirinya harus tetap mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah.Qonita, istri soleha yang setia menemani dalam senang maupun duka. Kalau dipikir-pikir sejak pernikahan mereka belum pernah ia membahagiakannya. Rencana bulan madu ke Turki terpaksa batal, rumah baru mereka belum sempat ditinggali dan satu jam setelah resepsi pernikahan wanita itu sudah harus kehilangan kedua orangtuanya karena sakit-dan mereka berdua akhirnya menggigit orang-orang di rumah sakit. Untung Fahri dan Qonita berhasil menyelamatkan diri.
Tiga tahun sudah berlalu sejak peristiwa itu, kini seperti manusia pra sejarah dirinya dan Qonita harus rela hidup berpindah-pindah. Mencari makanan dengan berburu dan meramu seperti yang diajarkan di buku sejarah dan geografi kelas satu SMP. Fahri ingat, tak pernah sekalipun Qonita mengeluh, justru perempuan itu selalu menyemangatinya dan memberikan alasan baginya untuk tetap hidup dan selalu berharap bahwa pada suatu hari nanti, wabah ini akan berakhir dan semua impiannya bersama istri tercinta akan terwujud.
CIIT
Fahri memarkir motor agak jauh dari tempat Qonita menunggu. Ia mengendap-endap kemudian memasuki rumah persembunyian dan langsung menuju dapur.
“Bagaimana Mas?”
“Ini dapat banyak, kita bisa makan sahur.”
Katanya sambil menyodorkan makanan kaleng.
“Buat Mas saja.”
“Kamu besok nggak puasa?”
Qonita mengangguk sedih.
“Oh ya, kandunganmu sudah semakin besar, kalau tidak kuat tidak usah puasa.”
“Bukan karena itu Mas Fahri.”
“Lalu kenapa?”
Fahri tercekat setelah tahu jawabannya. Dibawah jendela dapur teronggok sesosok zombie dengan pisau menancap di otak, gigi mayat hidup yang tampaknya mencoba masuk lewat jendela itu berlumur darah.
“Selamat tinggal Mas Fahri, apapun yang terjadi jangan menyerah untuk hidup ya, Assalamualaikum.”
“Qonita!...Qonita!”
Berurai air mata Fahri mengguncang tubuh Qonita yang mulai mendingin. Tak lama kemudian jasad kaku itu bergerak,membuka mata dan melompat sambil menerkam manusia di hadapannya dengan gigi-giginya yang meneteskan air liur. Alarm jam tangan pun berbunyi.
“Imsak....imsak...imsak.”
THE END
Diubah oleh reloaded0101 05-07-2017 13:56
0
Kutip
Balas