- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#50
Chapter 9 : Rapat Malam , Prepare to Surabaya and Jogja
Tiga hari berlalu cukup singkat. Aku begitu menikmati momen singkat tersebut. Kini, aku kembali menjalani rutinitasku semula. Efek lelah yang masih melekat diseluruh tubuhku, membuatku tertidur nyenyak hingga aku bangun kesiangan. Padahal aku hari ini ada janji dengan temanku yang bernama Ipung.
Dia merupakan salah satu temanku, aku cukup akrab dengan dia, tapi belum aku belum bisa menyebutnya sahabat. Entah, kadang aku sendiri tak tahu apa arti sahabat itu sendiri. Namun, satu hal yang bisa kupahami tentang sahabat adalah ketika seseorang itu sepemikiran, mampu memahami karakterku dan aku mampu memahami karakternya dengan baik, itu cukup untuk dikatakan sebagai sahabat. Menurutku seperti itulah pemahaman tentang sahabat.
Ipung sangat baik terhadapku, sebisa mungkin aku akan membalas kebaikannya tersebut. Namun, karena pemikiran kami berdua berbeda dan tak jarang pula aku tak nyambung berbicara dengannya membuat aku tak bisa menyebutnya seorang sahabat. Ia kuanggap sebatas teman, dan banyak hal yang kupelajari dari sosoknya.
Hari ini semestinya aku menemui dia dirumahnya untuk membahas tentang perjalananku ke Surabaya. Rencananya dialah yang akan menemaniku ke Surabaya. Orangtuaku tak tega jika aku harus pergi sendirian. Sekali lagi, aku hanyalah cowok lugu yang tak tahu apa-apa tentang keadaan diluar kota. Aku seperti katak dalam tempurung, tepat pada momen inilah aku akan keluar menabrak batas-batas ketakutan yang mengukungku.
Karena aku yang masih kelelahan kuurungkan niatku untuk pergi kerumahnya. Aku menghubungi Ipung lewat Blackberry Mesengasr, aku meninggalkan pesan bahwa hari ini aku tidak jadi ke rumahnya. Kutunda besok. Ia membalas singkat, memakluminya.
Seharian penuh kuhabiskan dengan bermalas-malasan dikasur. Sesekali makan snack. Apapun kulakukan untuk membunuh kebosananku. Kuambil gitarku yang tergantung didinging, dan kumainkan pelan. Kunyanyikan lagu-lagu galau, lagu kesukaanku atau lagu apapun yang terngiang dikepalaku. Alunan nada demi nada kuhayati, hatiku terhanyut dalam setiap irama sesekali ngilu teringat kenangan, dalam setiap getar suara yang merambat diudara memenuhi langit-langit kamarku yang bercat biru itu. Kuluapkan semua perasaan dalam hatiku lewat lagu-lagu itu, kulepaskan segala resah, kuungkapkan segala macam rasa. Untuk masa lalu, untuk masa depan. Sungguh aku sangat bosan karena tidak ada kerjaan.
Malam pun menjemput senja diperaduan, menggantikan sore yang membosankan. Malam ini akan menjadi malam yang cukup menarik, malammalam yang penuh cerita dan penuh keyakinan akan impian.
Aku ada janji kecil dengan Eru untuk ngopi di salah satu warung kopi didekat rumahku. Malam ini akan kami habiskan dengan bertukar cerita, tertawa, melewati malam dengan cara kami sendiri.
Sayang, hanya kita berdua yang berada diposisi biasa. Anggota lain entah karena suatu alasan tak hadir disitu. Kelis mungkin sedang ikut pengajian, Ardan sedang sibuk mempersiapkan ujian kedinasannya, Ali masih berada di Bandung mengurusi berkas-berkas persyaratan pendaftarannya yang harus digenapi.
Hanya kami berdua yang tidak absen, duduk dalam satu meja dengan format pembicaraan empat mata.
Langkah kakiku beringsut menuju ke kamar belakang. Kuambil kunci motor yang terletak diatas meja makan. Dengan cepat kuraih, lalu kuhidupkan motorku. Motor yang selama tiga tahun ini menemani perjalanku pulang pergi tak kurang dari tiga puluh kilometer per hari. Kutancap gas pelan, motor bebek hitam itu pun melaju meninggalkan rumahku.
Aku tak terlalu suka ngebut dijalanan. tapi bukan berarti aku berkendara lambat layaknya kura-kura. Mungkin karena pesan dari orangtuaku yang membuatku berkendara secara normal, tak perlu ngebut yang terpenting selamat sampai tujuan.
Namun kadangkala pesan itu kuabaikan ketika dalam kondisi darurat dan terdesak. Aku menancap gas lebih cepat dari biasanya, adrenalinku terpacu, aku tak memikirkan segala kemungkinan buruk, aku harus sampai tepat waktu. Sejujurnya, aku setengah ketakutan ketika berkendara seperti itu, tapi mau tak mau itu pilihan satu-satunya.
Sesampainya diwarung kopi, kulihat Eru telah stay diposisinya, duduk lesehan sambil menghisap sebatang rokok dengan khidmat.
“Woi.” Teriakku sedikit keras menyapanya.
Akupun berlalu menuju mas-mas penjaga warung. Kupesan segelas kecil kopi ijo. Kembali duduk didepan meja bundar berhadapan dengan
Eru. Diatas karpet hijau itu aku menata posisi dudukku senyaman mungkin. Kuambil sebatang rokok dari sakuku sisa kemarin, perlahan kunyalakan lalu kuhisap dengan seksama.
“Er, btw lo berangkat ke Jogja kapan?” Aku mulai membuka pembicaraan. Tanganku masih memegang sebatang rokok itu.
“Malam sabtu, gue udah pesen tiket kereta soalnya. Berangkat dari stasiun pukul 22.00 WIB” Sembari menghisap rokoknya ia menjawab pertanyaanku.
Belum sempat aku berkata-kata, ia bertanya kepadaku dengan subtansi pertanyaan yang kurang lebih sama.
“Lha lo kapan ke Surabaya Megg?”
“Rencana sabtu pagi gue naik Bus. Ini besok gue mau konsultasi dulu sama temen gue, Ipung. Dia jadi nemenin gue apa enggak. Kali ini, ya gue sedikit nekad Er.” Tuturku.
Tak berapa lama pesanan kami berdua datang, dua gelas kecil kopi
ijo.
Kami berdua punya agenda dihari yang sama, agenda penting dari mimpi-mimpi kami selama ini. Hari Minggu ini, adalah penentuan atas segala keputusan, gagal atau menang. Aku ke Surabaya untuk tes SIMAK UI, sedangkan ia ke Jogja untuk tes UTUL UGM. Kami tahu, hari itu akan menjadi hari yang berat, perjuangan yang tak mudah. Puncak dari semua usaha selama ini.
Jika dipikir ulang, lucu juga. Kami mengikuti tes ini hanya bermodalkan niat dan nekad. Masalah belajar kita biasa-biasa saja, tidak serajin pelajar lain yang rela sampai belajar tambahan hingga petang hari dan mengeluarkan biaya yang tidak murah. Sekali lagi kita cuman modal niat dan nekad. Meskipun begitu, keluarga Eru mendukung penuh agar ia bisa lolos seleksi kali ini, aku pun sebagai sahabatnya akan turut bangga apabila dia diterima nanti.
Kami masih percaya dengan mimpi kami, bukankah semua orang sukses itu berawal dari mimpi. Meski mimpi itu acapkali ditertawakan oleh banyak orang.
Perbincangan kami malam itu berbeda dengan perbincangan dimalam-malam lain. Berbeda jika kami ngopi beramai-ramai dengan Ardan dan Kelis termasuk Ali jika ia ikut nimbrung, perbincangan kami semua ngelantur kemana-mana kadangkala berbau gitulah. Ketika hanya empat mata seperti ini, topik pembicaraan kami berdua lebih serius dari biasanya.
Satu permasalahan yang aku bingungkan saat itu adalah ketika nanti di Surabaya aku akan bermalam dimana?
Tak ada saudara disana, ada satu kenalan tapi aku tidak yakin ia akan berkenan menawariku untuk bermalam ditempatnya. Kosnya sempit dan pemilik kosnya cukup galak. Eru begitu tenang, dia telah memiliki tujuan bermalam ketika sampai di Jogja nanti.
Aku masih bingung sendiri. Segera kuhapuskan polemik-polemik itu dari pikiranku, aku ingin menikmati alurnya nanti.
“Eh Er, ngomong-ngomong kenapa lo nggak bareng Dewi saja?” Tanyaku penasaran, mencoba mengulik sedikit tentang hubungan mereka.
“Ah jangan bahas masalah itulah Megg. Nggak enaklah gue bareng sama dia. Lo mesti tahu, ayahnya ikut ke Jogja nemenin putri kesayangannya.” Jawab dia dengan ekspresi konyolnya.
“Yaelah, harusnya lo bareng dia aja. Bisa jadi cerita yang menarik nantinya.” Ucapku terkekeh membalas tingkah konyolnya tadi.
Disela-sela bercerita, aku menuangkan segelas kopi tadi ke lepek untuk diendapkan cethe-nya. Sesekali ku seruput sedikit. Rasa pahit terasa dipangkal lidah, bercampur dengan sedikit rasa manis. Sensasi yang sungguh menenangkan, kopi memang teman sekaligus sahabat yang paling pas untuk bersantai.
“Megg, emangnya lo masih ada mimpi buat ke UI setelah orangtua lo ngelarang?” Pelan Eru menanyakan hal tersebut kepadaku. Aku tak terlalu terkejut, namun hatiku masih bergetar mendengar nama itu.
Entah aku saat itu tak tahu, apakah mimpi itu masih ada. Mimpi itu kupikir telah hilang. Ternyata aku salah, mimpi itu masih ada, mimpi untuk diterima disana meski tanpa memakai almamater kuning khas UI. Tujuanku ikut ujian ini hanya untuk membuktikan, apakah aku berhasil atau justru aku gagal. Penekanannya disini adalah pembuktian mimpi tersebut.
“Lha lo gimana kalau nggak keterima di UGM?” Tanyaku balik.
“Bukan masalah, emang rencana awal gue bukan disana kok, gue emang pengen ke Jogja itu doang.” Dia menjawab santai dan kalem sembari mengoleskan cethe halus ke rokoknya. Masih ada universitas lain di Jogja sebagai tujuannya.
Segalas kopi kuhabiskan berpuluh-puluh menit. Tetesan terakhir, menunjukkan bahwa waktu ngopi telah berakhir. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, dipersimpangan jalan kami berpisah. Aku masih lurus terus, dan dia berbelok ke kanan.
***
Keesokan harinya, aku menuju rumahnya Ipung. Kuhidupkan motorku, kupacu pelan meninggalkan rumahku. Menyusuri jalanan lengang, melalui areal persawahan, suasana yang nanti akan kurindukan ketika meninggalkan kotaku yang tercinta ini.
Dari jalanan lengang tadi, motorku memasuki jalan raya. Ramai kendaraan berlalu lalang. Matahari masih berada dibawah, teriknya menyehatkan diwaktu-waktu ini. Angin berhembus pelan tak terlalu kencang. Kunikmati detik demi detik, tak perlu terburu-buru yang penting selamat sampai tujuan.
Setengah jam berlalu, aku akhirnya sampai dirumahnya Ipung. Kuparkirkan tepat didepan rumahnya. Pintu dari rumah bertegel hijau itu tertutup. Aku bergegas berjalan menuju sisi belakang rumah. Kebetulan disitu ada ibunya Ipung.
“Permisi bu, Ipungnya ada?” Aku memulai pembicaraan sopan.
“Oh ada, sebentar saya panggilkan terlebih dahulu, tunggu didepan saja nak.” Jawab beliau halus.
“Pung, Ipung….dicari temenmu tuh!” Suara ibunya terdengar samar ditelingaku.
Aku menunggu didepan pintu itu, tak berapa lama pintu itupun terbuka. Ipung yang kala itu sedang tidak enak badan mempersilahkan aku masuk.
“Masuk dulu Megg, bentar ya gue ke kamar dulu ganti baju.”
Aku duduk disalah satu kursi kayu yang dihiasi ukiran-ukiran yang aku tak tahu apa nama motifnya. Kuperhatikan lamat-lamat tirai hijau yang bergantung diantara ruang depan dan ruang tengah. Sambil menunggu Ipung kembali dari kamarnya.
“Gimana Pung?” Tanyaku memulai pembicaraan. Wajahnya masih terlihat kusut masam, sepertinya ia belum mandi.
“Jadi kapan berangkatnya?” Bukannya menjawab, dia malah bertanya balik kepadaku.
“Pengennya sih gue berangkat sabtu pagi berhubung besoknya gue langsung tes jam sepuluh pagi.” Aku menjelaskan pelan, kulihat dia manggutmanggut.
“
Tes lo dimana? Kira-kira jauh nggak lokasinya sama terminal Bungurasih. Ya biar enak nanti carinya.” Dia bertanya balik, sambil mengirangira rute yang akan kita lalui nantinya. Berhubung dia pernah ikut tes masuk kepolisian di Surabaya.
Tanpa basa-basi, aku pun memperlihatkan lokasi tesku di google map yang telah kuberi tanda bTiarag. Dia memperhatikannya dengan seksama. Mencoba mengira-ngira berapa jarak antara terminal dan lokasi tesku.
Pada awalnya aku ingin naik kereta api. Praktis. Hanya saja dia menolak, jadi aku megnikuti kemauannya, berhubung dia satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menemani perjalananku kali ini.
“Lokasinya dekat banget dengan jembatan Suramadu Megg.” Sontak dia berkata lebih keras dari sebelumnya. Aku yang tak mengerti hanya mengangguk seolah paham.
“Ya nanti kita dari terminal Bungurasih, oper naik bis kota menuju terminal Jayabaya, nah darisitu kita nanti cari angkutan aja.” Ia menyambung pernyataan sebelumnya.
Aku manggut-manggut, kukira aku sudah mendapatkan jawabannya. Namun ada satu hal lagi yang harus kupastikan.
“Tapi kita nanti bermalam dimana enaknya Pung? Gue rada gak enak sebenernya sama lo kalau nanti terlunta-lunta kayak gelandangan di Suabaya.” Aku membuka pertanyaan lagi. Ada pilihan tempat yang menurutku bisa untuk digunakan bermalam, yaitu pom bensin didekat lokasi tesku, dan juga masjid Cheng-Ho. Itu pradugaku sementara.
“Ah itu gampang, kita pikirkan nanti saja. Laki-laki nggak perlu takut.” Dia menjawab dengan santainya, seperti tak ada yang perlu dicemaskan.
Sepertinya pembicaraan ini telah berakhir. Aku sudah bisa membuat kesimpulan atas berbagai pertanyaan yang dari dulu masih mengambangambang didalam pikiranku.
Segelas air mineral yang tadi disuguhkan oleh ibunya Ipung tadi kuteguk pelan sampai tak tersisa setetespun. Aku pun berpamitan dengan Ipung, bergegas pulang ke rumah. Sekarang hanya tinggal menunggu hari, Surabaya I’m ready.
Tiga hari berlalu cukup singkat. Aku begitu menikmati momen singkat tersebut. Kini, aku kembali menjalani rutinitasku semula. Efek lelah yang masih melekat diseluruh tubuhku, membuatku tertidur nyenyak hingga aku bangun kesiangan. Padahal aku hari ini ada janji dengan temanku yang bernama Ipung.
Dia merupakan salah satu temanku, aku cukup akrab dengan dia, tapi belum aku belum bisa menyebutnya sahabat. Entah, kadang aku sendiri tak tahu apa arti sahabat itu sendiri. Namun, satu hal yang bisa kupahami tentang sahabat adalah ketika seseorang itu sepemikiran, mampu memahami karakterku dan aku mampu memahami karakternya dengan baik, itu cukup untuk dikatakan sebagai sahabat. Menurutku seperti itulah pemahaman tentang sahabat.
Ipung sangat baik terhadapku, sebisa mungkin aku akan membalas kebaikannya tersebut. Namun, karena pemikiran kami berdua berbeda dan tak jarang pula aku tak nyambung berbicara dengannya membuat aku tak bisa menyebutnya seorang sahabat. Ia kuanggap sebatas teman, dan banyak hal yang kupelajari dari sosoknya.
Hari ini semestinya aku menemui dia dirumahnya untuk membahas tentang perjalananku ke Surabaya. Rencananya dialah yang akan menemaniku ke Surabaya. Orangtuaku tak tega jika aku harus pergi sendirian. Sekali lagi, aku hanyalah cowok lugu yang tak tahu apa-apa tentang keadaan diluar kota. Aku seperti katak dalam tempurung, tepat pada momen inilah aku akan keluar menabrak batas-batas ketakutan yang mengukungku.
Karena aku yang masih kelelahan kuurungkan niatku untuk pergi kerumahnya. Aku menghubungi Ipung lewat Blackberry Mesengasr, aku meninggalkan pesan bahwa hari ini aku tidak jadi ke rumahnya. Kutunda besok. Ia membalas singkat, memakluminya.
Seharian penuh kuhabiskan dengan bermalas-malasan dikasur. Sesekali makan snack. Apapun kulakukan untuk membunuh kebosananku. Kuambil gitarku yang tergantung didinging, dan kumainkan pelan. Kunyanyikan lagu-lagu galau, lagu kesukaanku atau lagu apapun yang terngiang dikepalaku. Alunan nada demi nada kuhayati, hatiku terhanyut dalam setiap irama sesekali ngilu teringat kenangan, dalam setiap getar suara yang merambat diudara memenuhi langit-langit kamarku yang bercat biru itu. Kuluapkan semua perasaan dalam hatiku lewat lagu-lagu itu, kulepaskan segala resah, kuungkapkan segala macam rasa. Untuk masa lalu, untuk masa depan. Sungguh aku sangat bosan karena tidak ada kerjaan.
Malam pun menjemput senja diperaduan, menggantikan sore yang membosankan. Malam ini akan menjadi malam yang cukup menarik, malammalam yang penuh cerita dan penuh keyakinan akan impian.
Aku ada janji kecil dengan Eru untuk ngopi di salah satu warung kopi didekat rumahku. Malam ini akan kami habiskan dengan bertukar cerita, tertawa, melewati malam dengan cara kami sendiri.
Sayang, hanya kita berdua yang berada diposisi biasa. Anggota lain entah karena suatu alasan tak hadir disitu. Kelis mungkin sedang ikut pengajian, Ardan sedang sibuk mempersiapkan ujian kedinasannya, Ali masih berada di Bandung mengurusi berkas-berkas persyaratan pendaftarannya yang harus digenapi.
Hanya kami berdua yang tidak absen, duduk dalam satu meja dengan format pembicaraan empat mata.
Langkah kakiku beringsut menuju ke kamar belakang. Kuambil kunci motor yang terletak diatas meja makan. Dengan cepat kuraih, lalu kuhidupkan motorku. Motor yang selama tiga tahun ini menemani perjalanku pulang pergi tak kurang dari tiga puluh kilometer per hari. Kutancap gas pelan, motor bebek hitam itu pun melaju meninggalkan rumahku.
Aku tak terlalu suka ngebut dijalanan. tapi bukan berarti aku berkendara lambat layaknya kura-kura. Mungkin karena pesan dari orangtuaku yang membuatku berkendara secara normal, tak perlu ngebut yang terpenting selamat sampai tujuan.
Namun kadangkala pesan itu kuabaikan ketika dalam kondisi darurat dan terdesak. Aku menancap gas lebih cepat dari biasanya, adrenalinku terpacu, aku tak memikirkan segala kemungkinan buruk, aku harus sampai tepat waktu. Sejujurnya, aku setengah ketakutan ketika berkendara seperti itu, tapi mau tak mau itu pilihan satu-satunya.
Sesampainya diwarung kopi, kulihat Eru telah stay diposisinya, duduk lesehan sambil menghisap sebatang rokok dengan khidmat.
“Woi.” Teriakku sedikit keras menyapanya.
Akupun berlalu menuju mas-mas penjaga warung. Kupesan segelas kecil kopi ijo. Kembali duduk didepan meja bundar berhadapan dengan
Eru. Diatas karpet hijau itu aku menata posisi dudukku senyaman mungkin. Kuambil sebatang rokok dari sakuku sisa kemarin, perlahan kunyalakan lalu kuhisap dengan seksama.
“Er, btw lo berangkat ke Jogja kapan?” Aku mulai membuka pembicaraan. Tanganku masih memegang sebatang rokok itu.
“Malam sabtu, gue udah pesen tiket kereta soalnya. Berangkat dari stasiun pukul 22.00 WIB” Sembari menghisap rokoknya ia menjawab pertanyaanku.
Belum sempat aku berkata-kata, ia bertanya kepadaku dengan subtansi pertanyaan yang kurang lebih sama.
“Lha lo kapan ke Surabaya Megg?”
“Rencana sabtu pagi gue naik Bus. Ini besok gue mau konsultasi dulu sama temen gue, Ipung. Dia jadi nemenin gue apa enggak. Kali ini, ya gue sedikit nekad Er.” Tuturku.
Tak berapa lama pesanan kami berdua datang, dua gelas kecil kopi
ijo.
Kami berdua punya agenda dihari yang sama, agenda penting dari mimpi-mimpi kami selama ini. Hari Minggu ini, adalah penentuan atas segala keputusan, gagal atau menang. Aku ke Surabaya untuk tes SIMAK UI, sedangkan ia ke Jogja untuk tes UTUL UGM. Kami tahu, hari itu akan menjadi hari yang berat, perjuangan yang tak mudah. Puncak dari semua usaha selama ini.
Jika dipikir ulang, lucu juga. Kami mengikuti tes ini hanya bermodalkan niat dan nekad. Masalah belajar kita biasa-biasa saja, tidak serajin pelajar lain yang rela sampai belajar tambahan hingga petang hari dan mengeluarkan biaya yang tidak murah. Sekali lagi kita cuman modal niat dan nekad. Meskipun begitu, keluarga Eru mendukung penuh agar ia bisa lolos seleksi kali ini, aku pun sebagai sahabatnya akan turut bangga apabila dia diterima nanti.
Kami masih percaya dengan mimpi kami, bukankah semua orang sukses itu berawal dari mimpi. Meski mimpi itu acapkali ditertawakan oleh banyak orang.
Perbincangan kami malam itu berbeda dengan perbincangan dimalam-malam lain. Berbeda jika kami ngopi beramai-ramai dengan Ardan dan Kelis termasuk Ali jika ia ikut nimbrung, perbincangan kami semua ngelantur kemana-mana kadangkala berbau gitulah. Ketika hanya empat mata seperti ini, topik pembicaraan kami berdua lebih serius dari biasanya.
Satu permasalahan yang aku bingungkan saat itu adalah ketika nanti di Surabaya aku akan bermalam dimana?
Tak ada saudara disana, ada satu kenalan tapi aku tidak yakin ia akan berkenan menawariku untuk bermalam ditempatnya. Kosnya sempit dan pemilik kosnya cukup galak. Eru begitu tenang, dia telah memiliki tujuan bermalam ketika sampai di Jogja nanti.
Aku masih bingung sendiri. Segera kuhapuskan polemik-polemik itu dari pikiranku, aku ingin menikmati alurnya nanti.
“Eh Er, ngomong-ngomong kenapa lo nggak bareng Dewi saja?” Tanyaku penasaran, mencoba mengulik sedikit tentang hubungan mereka.
“Ah jangan bahas masalah itulah Megg. Nggak enaklah gue bareng sama dia. Lo mesti tahu, ayahnya ikut ke Jogja nemenin putri kesayangannya.” Jawab dia dengan ekspresi konyolnya.
“Yaelah, harusnya lo bareng dia aja. Bisa jadi cerita yang menarik nantinya.” Ucapku terkekeh membalas tingkah konyolnya tadi.
Disela-sela bercerita, aku menuangkan segelas kopi tadi ke lepek untuk diendapkan cethe-nya. Sesekali ku seruput sedikit. Rasa pahit terasa dipangkal lidah, bercampur dengan sedikit rasa manis. Sensasi yang sungguh menenangkan, kopi memang teman sekaligus sahabat yang paling pas untuk bersantai.
“Megg, emangnya lo masih ada mimpi buat ke UI setelah orangtua lo ngelarang?” Pelan Eru menanyakan hal tersebut kepadaku. Aku tak terlalu terkejut, namun hatiku masih bergetar mendengar nama itu.
Entah aku saat itu tak tahu, apakah mimpi itu masih ada. Mimpi itu kupikir telah hilang. Ternyata aku salah, mimpi itu masih ada, mimpi untuk diterima disana meski tanpa memakai almamater kuning khas UI. Tujuanku ikut ujian ini hanya untuk membuktikan, apakah aku berhasil atau justru aku gagal. Penekanannya disini adalah pembuktian mimpi tersebut.
“Lha lo gimana kalau nggak keterima di UGM?” Tanyaku balik.
“Bukan masalah, emang rencana awal gue bukan disana kok, gue emang pengen ke Jogja itu doang.” Dia menjawab santai dan kalem sembari mengoleskan cethe halus ke rokoknya. Masih ada universitas lain di Jogja sebagai tujuannya.
Segalas kopi kuhabiskan berpuluh-puluh menit. Tetesan terakhir, menunjukkan bahwa waktu ngopi telah berakhir. Kami pun pulang ke rumah masing-masing, dipersimpangan jalan kami berpisah. Aku masih lurus terus, dan dia berbelok ke kanan.
***
Keesokan harinya, aku menuju rumahnya Ipung. Kuhidupkan motorku, kupacu pelan meninggalkan rumahku. Menyusuri jalanan lengang, melalui areal persawahan, suasana yang nanti akan kurindukan ketika meninggalkan kotaku yang tercinta ini.
Dari jalanan lengang tadi, motorku memasuki jalan raya. Ramai kendaraan berlalu lalang. Matahari masih berada dibawah, teriknya menyehatkan diwaktu-waktu ini. Angin berhembus pelan tak terlalu kencang. Kunikmati detik demi detik, tak perlu terburu-buru yang penting selamat sampai tujuan.
Setengah jam berlalu, aku akhirnya sampai dirumahnya Ipung. Kuparkirkan tepat didepan rumahnya. Pintu dari rumah bertegel hijau itu tertutup. Aku bergegas berjalan menuju sisi belakang rumah. Kebetulan disitu ada ibunya Ipung.
“Permisi bu, Ipungnya ada?” Aku memulai pembicaraan sopan.
“Oh ada, sebentar saya panggilkan terlebih dahulu, tunggu didepan saja nak.” Jawab beliau halus.
“Pung, Ipung….dicari temenmu tuh!” Suara ibunya terdengar samar ditelingaku.
Aku menunggu didepan pintu itu, tak berapa lama pintu itupun terbuka. Ipung yang kala itu sedang tidak enak badan mempersilahkan aku masuk.
“Masuk dulu Megg, bentar ya gue ke kamar dulu ganti baju.”
Aku duduk disalah satu kursi kayu yang dihiasi ukiran-ukiran yang aku tak tahu apa nama motifnya. Kuperhatikan lamat-lamat tirai hijau yang bergantung diantara ruang depan dan ruang tengah. Sambil menunggu Ipung kembali dari kamarnya.
“Gimana Pung?” Tanyaku memulai pembicaraan. Wajahnya masih terlihat kusut masam, sepertinya ia belum mandi.
“Jadi kapan berangkatnya?” Bukannya menjawab, dia malah bertanya balik kepadaku.
“Pengennya sih gue berangkat sabtu pagi berhubung besoknya gue langsung tes jam sepuluh pagi.” Aku menjelaskan pelan, kulihat dia manggutmanggut.
“
Tes lo dimana? Kira-kira jauh nggak lokasinya sama terminal Bungurasih. Ya biar enak nanti carinya.” Dia bertanya balik, sambil mengirangira rute yang akan kita lalui nantinya. Berhubung dia pernah ikut tes masuk kepolisian di Surabaya.
Tanpa basa-basi, aku pun memperlihatkan lokasi tesku di google map yang telah kuberi tanda bTiarag. Dia memperhatikannya dengan seksama. Mencoba mengira-ngira berapa jarak antara terminal dan lokasi tesku.
Pada awalnya aku ingin naik kereta api. Praktis. Hanya saja dia menolak, jadi aku megnikuti kemauannya, berhubung dia satu-satunya yang bisa kupercaya untuk menemani perjalananku kali ini.
“Lokasinya dekat banget dengan jembatan Suramadu Megg.” Sontak dia berkata lebih keras dari sebelumnya. Aku yang tak mengerti hanya mengangguk seolah paham.
“Ya nanti kita dari terminal Bungurasih, oper naik bis kota menuju terminal Jayabaya, nah darisitu kita nanti cari angkutan aja.” Ia menyambung pernyataan sebelumnya.
Aku manggut-manggut, kukira aku sudah mendapatkan jawabannya. Namun ada satu hal lagi yang harus kupastikan.
“Tapi kita nanti bermalam dimana enaknya Pung? Gue rada gak enak sebenernya sama lo kalau nanti terlunta-lunta kayak gelandangan di Suabaya.” Aku membuka pertanyaan lagi. Ada pilihan tempat yang menurutku bisa untuk digunakan bermalam, yaitu pom bensin didekat lokasi tesku, dan juga masjid Cheng-Ho. Itu pradugaku sementara.
“Ah itu gampang, kita pikirkan nanti saja. Laki-laki nggak perlu takut.” Dia menjawab dengan santainya, seperti tak ada yang perlu dicemaskan.
Sepertinya pembicaraan ini telah berakhir. Aku sudah bisa membuat kesimpulan atas berbagai pertanyaan yang dari dulu masih mengambangambang didalam pikiranku.
Segelas air mineral yang tadi disuguhkan oleh ibunya Ipung tadi kuteguk pelan sampai tak tersisa setetespun. Aku pun berpamitan dengan Ipung, bergegas pulang ke rumah. Sekarang hanya tinggal menunggu hari, Surabaya I’m ready.
1