Cold War
Quote:
Sesampainya di rumah Luna akupun menceritakan semuanya ke Wina dan Luna, masalah di rumah, masalah yang dulu membuatku menjauhi Luna. Mereka memberikan support padaku, dan akupun melihat mereka sambil tersenyum.
“kenapa kamu senyum yang?”, kata Luna
Aku hanya menggelengkan kepala
“kenapa hey!”, kata Luna sambul mencubit pipiku
“ga apa-apa, aduh sakit yang”, kataku
Merekapun mencubitiku dan menggelitikiku.
“ampun sih yang, geli. Hahahaha”, kataku sambil menghindari mereka.
“mangkanya jangan macem-macem sama kita”, kata Wina
“aku mau ganti baju dulu”, kata Luna
Akupun berdua dengan Wina.
“yang, bentar lagi kita SMA loh”, katanya
“iya sih yang, makin jauh kayanya kita”, kataku
“ko kamu bilang gitu?”, katanya
“aku ga tau Luna mau kemana, kamu juga kan kemungkinan masih di luar kota”, kataku sambil memegangi tanganku
Rasa gatal sudah menghinggapi tanganku, aku mencoba untuk menahannya sebisaku.
“kamu kenapa yang? Tangannya masih sakit?”, kata Wina yang melihatku menggosok-gosok tangan.
“ga apa-apa ko, aku ke dapur dulu ya. Haus”, kataku sambil berjalan kearah dapur
Sesampainya di dapur aku langsung mencari rak pisau, akupun mengambil pisau dengan ukuran yang cukup kecil. Ku tengok tidak ada siapa-siapa. Saat aku akan melakukannya tiba-tiba ada yang memelukku dan menahan tanganku.
“jangan yang”, dia adalah Luna
“tapi yang udah gatel banget tangan aku”, kataku
“yang please. Jangan”, katanya
“ada apa sih Lun?”, tanya Wina yang menghampiri kami
“yang! Jangan ngaco deh!”, teriaknya sambil memegang tanganku yang 1 nya.
“please yang! Tangan aku gatel banget”, kataku mencoba melepaskan pegangan mereka.
Ternyata aku tidak kuat melawan dua wanita ini, Luna berhasil membuang pisau kea rah wastafel, sedangkan Wina memepetku ke tembok dan menahan badanku.
“yang lepasin”, kataku
Luna mencium bibirku menggantikan posisi Wina yang menahan tubuhku, sangat terasa badannya mendorongku. Entah apa yang merasukinya. Tenaganya benar-benar membuatku tidak bisa melawan, sedangkan terlihat Wina hanya melihat saja.
“kamu ga perlu kaya tadi yang, kamu bisa lampiasin ke aku”, kata Luna
“maksud kamu?”, kataku agak terengah
“kamu alihin ke aku yang, jangan ngelukain tangan kamu lagi. Ok”, katanya sambil mengarahkan tanganku memegang pipinya.
“ga perlu aneh-aneh yang”, kataku
“I’am serious babe”, katanya sambil menyentuh bibirku dan perlahan menciumnya
Tubuhku terasa relaks dan rasa tidak nyamanku berkurang, fokusku lebih ke Luna. Dia yang sekarang seperti bukan yang dulu, dia bisa mengendalikan situasi.
“mungkin aku ga bisa kaya Wina yang, tapi seenggaknya aku bisa bikin kamu lupain kecanduan kamu yang aneh itu”, katanya
“maksud kamu?”, kataku
“Wina cerita ko kamu ngapain aja sama dia, semuanya. Tapi aku bisa maklum karena kamu normal, Wina juga normal”, katanya
Akupun melihat ke arah Wina dia hanya tersenyum.
“kamu bener ga apa-apa?”, kataku
“iya, karena waktu itu kamu sepenuhnya punya Wina jadi aku ga punya hak buat marah sama kamu sekarang. Tapi kalau sekarang kamu berani kaya gitu sama Wina, awas aja”, kata Luna dengan nada mengancam.
Aku kaget saat tau kalau Wina menceritakan semuanya pada Luna, semuanya. Memang ada perasaan kesal tapi akupun tidak mau membuat Wina semakin merasa bersalah.
“kamu udah tenang?”, tanya Luna
“udah yang”, kataku
“someone is jealous babe”, kata Luna melirik ke Wina
“5 menit ya Win”, lanjutnya sambil meninggalkanku
“maksudnya yang?”, kataku bingung
Belum sempat rasa bingungku hilang Wina mendorongku kembali ke arah tembok dan mulai menciumiku. Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk berbicara dan akupun mulai menikmati itu. sampai akhirnya Wina berhenti
“udah 5 menit yang”, kata Wina menyadarkanku
“damn”, gumamku dalam hati. Kalau saja waktu yang di berikan oleh Wina lebih banyak, tapi memaksakan hal ini pun pasti berakibat buruk bagiku. Kami pun berjalan ke arah ruang tamu, Luna sedang nonton di sana sambil ngemil sesuatu.
“udah yang?”, tanya Luna padaku
Aku hanya mengangguk.
“Cuma 5 menit sih Lun”, kata Wina agak kesal
“kalo lebih bisa gawat kan Win”, kata Luna dengan nada yang agak mengancam.
Akupun duduk di sebelah Luna. Terasa ada perang dingin di sini, walaupun terlihat baik-baik saja tapi sejak tadi kata-kata mereka saling menusuk. Sore itu aku menghabiskan waktu menjadi tembok pembatas antara mereka berdua. Aku masih belum tau isi kepala dan hati mereka seperti apa.