- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#43
Quote:
Chapter 8 : Five Ranger
Pukul 15.00 WIB, Aku keluar dari ruangan melewati banyak kerumunan. Menyusuri jalanan diantara kerumunan-kerumunan itu, sembari kulihat sekeliling dengan seksama dimana Abi dan Ilham berada. Kita sudah bersepakat untuk berkumpul sementara di depan lokasi tesnya Abi yang berada ditengah-tengah.
Sore itu mendung menyelimuti langit-langit kota Malang. Aku segera mencari mereka, lebih cepat bertemu itu lebih baik agar nanti bisa langsung pulang tanpa membuang-buang waktu. Beberapa langkah lagi aku sampai. Dari kejauhan aku melihat Abi telah berdiri tegap didepan gedung tesnya. Aku tak perlu panik untuk mencarinya. Disusul kemudian Ilham yang datang tak lama setelahku.
Kami bertiga lalu langsung bergegas menuju Malang Town Square untuk menemui dua temanku yang masih terpencar, Eru dan Pras. Langkah kaki kami mungkin tak terlalu cepat, namun juga tidak begitu lambat. Melewati jalanan yang dipadati oleh kendaraan roda dua serta mobil-mobil yang melintas lambat akibat macet. Sesak dan menyesakkan.
Itu adalah suasana yang tak akan mudah kulupakan begitu saja, rasa lega bercampur bangga kurasakan saat itu. Aku ingin segera pulang kerumah untuk menemui keluargaku.
Beberapa menit kemudian kami sampai di depan Malang Town Square. Disana Eru telah menunggu kedatangan kami, tinggal satu orang lagi yang belum ada. Kami masih harus menunggu lagi. Ilham sedikit kesal karena Pras belum jelas dimana posisinya, dia terlalu lelah untuk menunggu.
Aku membuka smartphone-ku, mencoba mengonfirmasi dimana lokasinya. Terdapat kesalahpahaman diantara kami dengan dia. Ia berpikir bahwa tempat berkumpul kami adalah disisi barat Malang Town Square, lalu ia pun bergegas menuju lokasi kita berada.
Amboi. Sore itu jalanan macet sekali.
“Eh bro, kita enaknya cari makan sekarang apa nanti di terminal?” Ilham bertanya kepada kami bertiga.
“Terserah saja deh,” Jawab kami kompak.
“Kalau begitu, kita makan nanti saja di terminal. Yang terpenting sekarang kita nunggu Pras dan cari angkot terlebih dahulu.” Ilham berkata sedikit pelan, tenaganya mulai berkura, gurat muka tampak lesu karena kelelahan.
Kulihat samar dari seberang jalan, diantara banyaknya orang berlalu lalang, Pras dengan jaket hitamnya telah terlihat. Ekspresi wajahnya tampak sedikit kebingungan mencari posisi kami. Aku melambaikan tangan ke arahnya, diikuti temanku yang lain. Tapi ia tak memperhatikan.
Aku sungkan untuk berteriak karena banyak orang disekitarku. Tak lama, ia menoleh ke arah kami lalu menyebrang jalanan yang dipadati mobilmobil dan angkutan kota.
Ilham memberikan isyarat bahwa kita harus segera bergerak mencari angkot. Kami berlima berjalan menyusuri trotoar jalan yang dipadati para pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Terkadang aku tak sengaja menyenggol halus orang yang sedang berdiri atau melintas berlawanan arah di trotoar. Kebetulan tak jauh dari tempat kami ada angkot jurusan terminal Arjosari. Kami pun segera berlari kearah angkot tersebut.
Dalam situasi seperti ini mencari angkot tidaklah mudah, karena ada banyak orang yang membutuhkan jasa angkutan tersebut. Mumpung masih banyak kursi kosong kami semua langsung naik dan duduk disudut belakang
angkot. Tak berapa lama ada juga beberapa gadis yang bisa dibilang lumayan cantik naik ke angkot tersebut. Disusul beberapa penumpang lagi hingga mengisi penuh kursi yang semula kosong.
Sopir angkot tersebut lantas meraih tuas persneling, menancap gas dan segera melaju pelan ditengah kemacetan. Butuh beberapa menit untuk bisa keluar dari macet tersebut. Seketika angkot tersebut melaju lebih kencang disaat jalanan sudah mulai longgar dan tidak terlalu macet.
Langit-langit di kota Malang ini perlahan meneteskan airmatanya yang sedari tadi ditahan. Hujan mengguyur deras, membungkus jalanan. Aspal-aspal seketika menjadi basah dan digenangi air hujan. Disela-sela kebosananku duduk berdesak-desakan didalam angkot, aku mendokumentasikan momen langka tersebut dengan kamera smartphone-ku.
Seorang gadis manis berjilbab merah jambu duduk tepat disebelah kanan Ilham. Wajahnya polos, tak ada tanda-tanda kenakalan terlukis diwajahnya. Melihatnya terkesan adem dan menyejukkan hati.
Mungkin didunia ini ada banyak macam karakter lelaki ketika bersikap kepada seorang gadis yang tidak dikenal sama sekali. Sebagian ada yang mencoba untuk menyapa sembari menunjukkan berbagai pesonanya (sok akrab), sebagian lagi ada yang diam karena malu dan grogi. Aku termasuk kategori yang kedua.
Kategori yang pertama pas banget untuk menggambarkan bagaimana sosok Hilmi. Tiba-tiba dia membuka pertanyaan kepada gadis polos tadi.
“Mbak mau kemana?” Tanya dia halus, dengan ekspresi wajah dibuat setampan mungkin. Meski faktanya wajahnya tampak lesu dan ketampanannya sedikit luntur.
“Ke terminal mas.” Jawab gadis tersebut tertunduk malu, setengah takut dengan sosok yang ada didekatnya.
Maklum, di kota-kota seperti ini kriminalitas yang terjadi didalam angkutan kota rentan sekali. Dulu pelecehan seksual dalam angkutan kota menjadi topik yang hangat diperbincangkan media, meskipun sekarang mungkin sudah bisa diminimalisir.
Meskipun demikian, aku tahu Ilham bukanlah orang seperti itu. Kuakui ia memang sedikit genit tapi ia tidak akan mau melakukan perbuatan keji tersebut. Tentu termasuk kami berempat. Kami tahu, martabat seorang wanita bukan untuk dilecehkan tapi untuk dihormati.
Kami ini ibarat Five Ranger yang baru pulang dari medan tempur melawan monster-monster yang ganas. Penyelamat dunia dalam angan-angan manusia. Five Ranger yang punya pemikiran sendiri, karakter sendiri, mimpi tersendiri.
Detik ini hanya ada kami berlima ranger yang tersisa, sedangkan ranger-ranger lainnya telah pulang terlebih dahulu. Ardan pulang dengan motornya, Izam dijemput oleh saudaranya, sedangkan Rengga, Kamil, dan Ubed naik kereta api.
Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di terminal Arjosari. Sesampai di terminal, kami semua langsung mencari tempat sholat. Didekat sana ada bangunan kecil bertegel biru khusus untuk orang menunaikan sholat. Kami kemudian sholat bergantian.
Sesuai kesepakatan awal, setelah sholat kami langsung mencari makan. Mata-mata kami melihat warung-warung yang berjejer rapi di terminal. Hingga kami terhenti disalah satu warung dan memesan makanan untuk lima orang. Five Ranger yang kelaparan ini tak sabar untuk mengisi perut mereka yang mulai meronta-ronta untuk diberi kesejahteraan. Krisis harus segera diatasi.
“Kita pesan apa ini enaknya?” Ilham bertanya kepada kami semua setelah matanya melihat-lihat menu beserta harganya yang terpampang dibanner yang menempel di dinding.
“Terserah saja, semua sama saja biar enak.” Eru menjawab santai sambil meletakkan smartphone dan powerbank-nya diatas meja makan.
“Nasi pecel aja, murah.” Sahut Abi memberi saran. Sarannya cukup bagus.
Kami para ranger tidak mempermasalahkan soal nikmat atau tidaknya suatu makanan, yang terpenting sore itu perut kami puas dan tidak merontaronta lagi. Satu hal yang tak boleh dilupakan, murah meriah.
Setelah semua sepakat, Hilmi pun membuka suara dan mengacungkan tangannya ke arah Ibu warung untuk memesan makanan. Dengan daster bermotif bunga dan wajah sedikit lesu mengampiri meja kami. Lima porsi nasi pecel ditambah lima gelas teh hangat, ibu itu menghafal cepat dan beringsut menuju dapur warung.
“Eh kita pakai uang yang tadi saja ya, berhubung nggak jadi diberikan kepada bang Tedi.” sahut Ilham kepada kami.
Semua mengangguk. Meskipun begitu, kami harus mengeluarkan uang dari dompet kami masing-masing untuk menambali kekurangannya.
Jika ditotal harga keseluruhan nasi pecel dan es teh tadi tidak sesuai dengan uang yang tadi kami urungkan untuk diberikan ke bang Tedi.
Beberapa waktu kemudian pesanan kami datang. Tanpa banyak bicara kami semua melahap habis makanan tersebut. Nafsu makanku tiba-tiba sirna. Sepertinya efek kelelahan, lidahku sedikit pahit. Kuteruskan prosesi makan itu dengan sedikit paksaan, tak enak meninggalkan sesuap nasi tersisa di piring.
***
Senja mulai terlihat di ufuk barat, malam mulai menyapu senja. Matahari perlahan tenggelam dikaki langit. Kami semua duduk manis menanti bus jurusan Tulungagung datang.
“Er, lo masih punya rokok nggak?” Aku bertanya kepada Eru.
“Rokokku kutinggalkan dirumahnya bang Tedi tadi malem. Beli aja, kita patungan.” Jawabnya. Kuterima sarannya.
Sekali lagi pekerjaan paling membosankan didunia ini adalah menunggu. Dibalik menunggu itu tersimpan kecemasan, ketakutan akan apa yang ditunggu. Menunggu, satu detik berlalu seakan-akan satu menit terasa. Terasa begitu lama. Barangkali sambil merokok, menunggu tak terasa membosankan.
Aku membeli sebungkus rokok mild. Kubuka bungkusnya lalu kuambil satu batang rokok. Kemudian aku meminjam korek api milik Eru. Kunyalakan korek tersebut, kudekatkan secara hati-hati keujung rokokku. Setelah terbakar, rokok itu kuhisap pelan dan kunikmati setiap hembusan asap tersebut yang melayang-layang diudara.
Beberapa saat kemudian ada bus yang datang tepat didepan tempat duduk kami. Ada seorang bapak-bapak yang membantu sopir bus untuk mencari penumpang. Dia bertanya kepada kami, hendak kearah mana tujuan kami. Ketika kami menjawab bahwa kami mau ke Tulungagung, bapak itu secara antusias memberi tahu bahwa kami harus naik bus yang ada didepan kami.
Mungkin bagi orang yang kurang tahu akan dengan mudah terjebak dengan ucapan bapak tersebut. Aku pun demikian, hampir saja aku ngotot kepada Ilham untuk naik bus itu. Namun karena Ilham lebih pengalaman, ia diam saja dan menyuruhku untuk bersabar sedikit saja. Memang benar apa yang dilakukan Ilham, bus yang ada didepan kami memang sejalur, namun tempat pemberhentian terakhirnya adalah kota Blitar bukan di Tulungagung. Hal itu baru kuketahui beberapa bulan kemudian.
Hingga akhirnya bus yang benar-benar jurusan Tulungagung datang. Aku mematikan rokokku yang masih tersisa setengah batang, lantas naik kedalam bus tersebut. Aku mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman ditempati. Dibangku sisi kira dengan muatan tiga orang, aku duduk dikursi tengah. Persis disebelah kanan ada Pras, sedang disebelah kiri masih kosong.
Bus melaju meniggalkan terminal.
***
Rona jingga dilangit-langit telah sempurna menghilang, malam pun menjemput. Bus melaju cepat dijalanan malam menuju Tulungagung. Dibawah lampu-lampu temaram. Meninggalkan kota Malang. Langit sepertinya mulai tampak bersih tanpa mendung. Cahaya rembulan serta bintang-gemintang menemani perjalanan kami. Semua tampak kelelahan. Teman-temanku mulai terlelap namun mataku tak mau juga terlelap.
Aku ingin menikmati suasana di bus ini. Mungkin dalam bus ini tersimpan banyak filosofi kehidupan yang perlu kita pelajari. Meskipun ini hanya sekedar kendaraan umum, tapi banyak orang yang menggantungkan hidup disini.
Meski kadang miris melihat para pedagang asongan berlalu lalang didalam bus. Para pengamen yang hanya bermodalkan gitar dan suara paspasan. Entah, aku tak tahu, itulah potret negeri ini. Mungkin ini salah satu keteledoran pemerintah yang belum mampu memberikan kesejahteraan utuh kepada setiap lapisan masyarakat. Padahal suara rakyat kecil itu turut terlibat hingga menjadikan pemerintah berkuasa.
Mereka butuh pekerjaan yang lebih layak dan lebih menyejahterakan. Faktanya, bukan hanya satu dua yang luntang-luntung dijalanan, tapi ada puluhan, ratusan, ribuan, lebih tepatnya jutaan rakyat terpinggirkan.
Namun malam itu, hatiku tak terlalu tergiris dibandingkan hari berikutnya, dalam perjalananku ke Surabaya. Terkadang aku merenung bahwa penghasilan para pedagang asongan tersebut tak cukup untuk menafkahi keluarganya.
Aku harusnya lebih banyak beryukur atas kehidupan yang kumiliki sekarang. Malam itu kulewati dengan keheningan, hembusan angin malam
menambah dingin suasana dalam bus tersebut. Mendesau-desau, membawa serpihan kenangan yang terlintas sejenak. Semua telah terlelap, tanpa ksuadari aku pun ikut terlelap meski itu hanya sekejap.
Pukul 22.00 WIB, aku akhirnya sampai di Tulungagung. Aku turun bersama Eru diperempatan lampu merah Gragalan, Tulungagung. Sial, aku harus menunggu lagi. Menunggu pamanku untuk menjemputku. Eru telah dijemput oleh abangnya ketimbang aku. Atas dasar prinsip solidaritas dia menemaniku sebentar, menunggu aku dijemput.
Beberapa menit menunggu, aku melihat pamanku lewat dan berhenti disebelah barat lampu merah. Terlihat dia kebingungan mencariku, akupun lari menghampirinya. Setelah itu, aku memberi isyarat kepada Eru bahwa tidak apa-apa kalau dia pulang sekarang.
Dijalanan pulang menuju rumahku aku merasakan nuansa yang berbeda. Tiga hari terasa begitu singkat. Padahal baru kemarin aku pergi ke Malang, sekarang aku di Tulungagung lagi. Jalanan ini menjadi saksi biksu petualangan kecilku, hujan gerimis yang turun malam ini juga ikut menjadi saksi dan membekas dalam ingatanku.
Sungguh perjalanan yang melelahkan, sang ranger telah kembali pulang kerumah.
1