- Beranda
- Stories from the Heart
Dialog Bersama Jin
...
TS
mufidfathul
Dialog Bersama Jin
INDEX
Quote:
NEW UPDATE/11-5-2017
ACT. 08: JERITAN DALAM KUBUR, part I
Part II
Part III.
NEW UPDATE/6-6-2017
Act.09:PEMUJA ILMU KELELAWAR part I
Part II
Part III
Part IV
Part V
NEW UPDATE/7-6-2017
Part VI
Part VII
Quote:
Lokasi: Malaysia
Penulis : Tamar Jalis
ACT 01 : BERBURU
Quote:
Suatu petang dalam tahun 1960. Kakek yang sudah menjangkau usia 57 tahun, membersihkan senapan kampung berlaras satu di anjung rumahnya. Dengan tenang dia berkata pada saya “Kamu tidak usah jadi pemburu.”
“Kenapa kek?” Dia tidak terus menjawab.
Kakek terus menimang‐nimang senapannya. Kemudian Kakek ambil golok perak, dia mengasah golok di batu dekat kepala tangga. Dan saya masih menanti jawaban dari Kakek.
“Aku tak mau cucu‐cucu aku jadi pemburu,” tiba‐tiba Kakek bersuara. Dia duduk di anjung rumah kembali. Mendengar ucapannya itu saya buat keputusan tidak akan mengajukan sembarangan pertannyaan lagi padanya. Kakek mudah naik darah, kalau selalu ditanya atau dipersoalkan. Dia juga tidak suka orang membangkang ucapannya, terutamanya dari anak‐anak cucunya sendiri.
Kakek memang handal berburu. Tidak banyak orang kampung Mandi Upeh seperti Kakek. Cukup asyik dengan kegemaran berburunya, hampir seluruh hutan Jajahan Dinding dijelajahnya. Orang‐orang kampung menganggap Kakek bukan pemburu sembarangan. Pemburu yang ada isi, kalau tidak masakan dia berani masuk ke dalam hutan yang tidak pernah didatangi oleh manusia. Kakek tidak menembak sembarangan pada binatang‐binatang buruannya. Dia akan memilih tepat dikening diantara kedua mata binatang itu.
Dan setiap kali Kakek masuk hutan dia akan memulai langkah kaki kiri dahulu. Kedua belah tumitnya tidak memijak bumi, kecuali sesudah lima tapak melangkah. Setelah itu Kakek berhenti, dia membaca sesuatu, lalu mematah ranting kayu yang berada di bawah ketiak kanannya lalu dilemparkanya sebelah kiri.
Kakek mendapat senapan bukan karena dia Penjaga Hutan atau AP. Dia minta sendiri pada kerajaan dengan alasan mau menjaga tanahnya yang seluas lima belas ekar (1 ekar = 0.4 H) yang ditanam dengan karet, durian dari serangan monyet dan babi hutan. Pemintaan Kakek dipenuhi oleh Inggeris, sesudah pegawai polisi, tuan DO serta penghulu dan ketua kampung memeriksa tanah Kakek.
Kakek beli senapan dari Taiping di tahun 1949. Sejak itulah Kakek giat berburu dengan senapan. Sebelum itu Kakek hanya berburu dengan membuat jerat dan sebagainya. Banyak peristiwa‐peristiwa aneh yang Kakek lalui sepanjang kariernya. Dan saya di antara cucu yang selalu mendengar cerita‐cerita Kakek itu, karena saya selalu menolongnya mencangkul di kebun, kadang‐kadang menjadi temannya ke surau.
Kakek terlalu menyayangiku, karena saya adalah cucu lelaki yang pertama dari anak sulungnya yaitu ibu saya. Saya tahu apa kelemahan Kakek dan kegemaranya. Dia pemurah dan suka mendengar orang mengaji Al‐Quran, kebetulan pula saya cucunya yang agak terkenal membaca al‐Al‐Quran di kampung itu. Kakek tidak kikir mengeluarkan uangnya untuk diberikan kepada orang mengaji tapi Kakek tidak memberikannya sendiri melainkan melalui saya.
Biasanya, kalau Kakek menyuruh memberi sepuluh ringgit, saya hanya memberikan separuh saja, yang separuh lagi masuk saku saya.
Quote:
Pernah Kakek bercerita pada saya: "Suatu ketika Kakek dan kawan‐kawannya masuk hutan dekat dengan Gunung Tunggal di Kawasan Segari berdekatan denga Pantai Remis. Kawasan itu tidak pernah dimasuki oleh manusia. Kakek dan kawan‐kawannya berhasil menembak beberapa ekor binatang. Karena terlalu asyik berburu, tanpa disadari Kakek telah terpisah dengan seekor rusa besar. Kakek mengikutnya dengan teliti. Kakek membidik rusa itu dari sebelah kiri dan mengambil tempat di balik batang pohon besar. Kakek mengarahkan moncong senapan pada kepala rusa. Dia yakin sasarannya akan tepat pada tempat yang dimaunya. Tetapi rusa itu bagaikan mengerti dan mempunyai pengalaman. Dia mempermainkan Kakek, seperti mempermainkan kucing. Rusa merendahkan badannya kemudian menyelinap di depan Kakek dan terus hilang.
Kakek terkejut dan bercampur heran, tapi Kakek bukanlah manusia yang mudah putus asa. Dia mencari bekas jejak rusa itu. Diperhatikannya ke arah mana tapak rusa itu lari. Dia mencium daun‐daun kering yang terdapat di situ. Akhirnya, Kakek merapatkan telinganya di atas tanah. Dia mengeluh, ternyata bekas tapak rusa itu sukar diperolehinya. Waktu Kakek berputar‐putar di situ, seekor rusa lain muncul di depan Kakek. Rusa itu jauh lebih besar dan tegap dari rusa yang pertama tadi. Matanya berkilau‐kilau bagaikan menentang mata Kakek yang terbeliak karena terkejut.
Kakek tidak melepaskan peluang dan terus melepaskan tembakan. Kakek gembira, tembakannya tepat mengenai kening rusa itu. Dia mencabut golok perak di tangan untuk menyembelih rusa. Golok ditayangkan di depan matanya. Kakek membaca sesuatu dan menghentakkan ulu golok ke tanah.
Bila Kakek memulai langkah. Rusa itu segera bangun. Di depan mata Kakek sekarang wujud dua ekor rusa. Serentak dengan itu dada Kakek berdebar. Dia mula terasa ada sesuatu yang kurang baik akan terjadi. Terdengar kokok ayam hutan. Kakek melepaskan tembakan. Kena pada salah seekor rusa itu di kening. Rusa itu rebah dan bangun kembali menjadi tiga ekor. Kakek yakin ada sesuatu kejadian yang lain di balik semuanya itu. Tapi, Kakek bukannya manusia lemah semangat, kalau tidak masakan dia berani meninggalkan kampung halamannya di Aceh, berperahu ke Pengkalan Bharu dan bermukim di kawasan Bruas. Kakek terus menembak bertalu‐talu. Rusa terus menjadi tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Kokok ayam hutan bertambah nyaring.
Daun‐daun hutan di keliling Kakek bergerak‐gerak bagaikan digoncang orang. Tanah yang dipijaknya jadi bersih tanpa sehelai daun. Kakek menumbuk tanah dengan tangan kiri. Terasa daging pangkal lehernya bergerak‐gerak. Kakek tersenyum. Dia tahu peristiwa ini mesti dihadapi dengan cara lain. Dia teringat pesan leluhur neneknya dari tanah seberang, kalau berburu binatang dan terasa daging pangkal leher bergerak, alamatnya yang diburu bukan binatang lagi, tapi boleh jadi penunggu hutan atau setan dan bangsa Jin.
Kakek letakkan senapan di atas tanah. Dia duduk bertafakur mengumpulkan tenaga batin sambil membaca mentera yang diamalkannya. Melalui pancaindera batin Kakek, Kakek dapat melihat dengan jelas, bahawa rusa itu adalah jin penunggu hutan itu.
Muka Kakek jadi merah padam, mengucur peluh, gigi dikatupkan rapat‐rapat. Mata Kakek tidak berkelip. Dia melihat di depannya,berdiri makhluk berbadan besar, matanya merah menyala, rambut panjang sampai ke tumit. Giginya besar, dua giginya di sebelah kiri dan kanan terjulur keluar, seperti gading gajah. Dia diapit oleh enam jin yang sama hebat dengannya.
“Kurang ajar, manusia laknat,” suara itu bergema, daun‐daun hutan bergerak seperti ditiup angin. Kakek diam bertafakur.
“Kau tahu kesalahan kau manusia ?” Tambah suara itu . Punggung Kakek terus dibasahi peluh. Kakek diam, dia sudah menutup lobang‐lobang kelemahan tubuhnya dengan ilmu batin yang dipusakainya dari leluhur neneknya, hingga jin itu tidak berpeluang menyatukan dirinya ke dalam tubuh Kakek.
“Tidak,” jawab Kakek dengan berani.
“Kau masuk ke dalam kawasan larangan ku.”
“Aku sudah meminta izin.”
“Aku tidak mengizinkan.” Jawab jin itu dengan keras. Dua batang giginya yang terjulur bergerak‐gerak.
“Kalau kau tidak mengizinkanya, kenapa kau tidak memberi isyarat, ketika aku masuk tadi.” Cukup tenang Kakek menjawab. Dia sudah bersiap menghadapi semuanya.
“Kau manusia biadap,” pekik jin itu, pokok hutan bergerak‐gerak.
Perdebatan Kakek dengan jin semakin panas, secara perlahan‐lahan pembicaraan itu bertukar kepada pertarungan kebatinan. Kemampuan dan kekuatan Kakek benar‐benar teruji. Mata Kakek bercahaya garang dengan urat‐urat timbul di dahi dan lengannya. Peluhnya jangan dikira terus menerus membasahi seluruh badan.
Kakek tahu kalau dia kalah. Dia akan rebah ke bumi. Seluruh badannya akan lebam. Jadi Kakek bertekad untuk melawan dengan cara apapun. Di waktu pertempuran itulah Kakek berasa cuping telinga sebelah kirinya lembik. Kakek senyum, satu tanda baik. Kemenangan akan berada di pihaknya. Kakek terus mengucapkan begini :
Jong keli jong, tali cemati tebang buluh bunting pagi melemang………
Belum pun tamat Kakek mengucapkan mentera itu. Dia berasa pangkal belikatnya keras seperti batu. Kakek tidak bisa bergerak ke kiri maupun ke kanan. Kakek terus berteriak dengan menyeru nama guru ilmu batinnya, serentak dengan itu Kakek mengambil senapan seraya berkata : "Kalau aku kalah, aku rebah, kalau aku menang, aku berdiri dan kau pulang ke tempat asalmu."
Kakek pun melepaskan satu tembakan kepada rusa. Tepat tembakan Kakek kena pada kening rusa. Rusa yang berjumlah tujuh ekor itu hilang entah ke mana. Kawasan itu jadi sepi.
Pemandangan Kakek kembali normal yang ujud di depannya sekarang ialah sebatang pokok pohon besar dengan akar‐akar bergayutan yang mencecah muka bumi.
Kakek menang dalam pertarungan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Kakek segera mencari ranting kayu yang bercabang tujuh yang mengarah ke matahari jatuh. Ranting kayu bercabang tujuh itu Kakek tikam ke bumi. Cabang yang tujuh ke bawah. Lepas itu Kakek memotong cabang tujuh lalu berkata : “Ini kawasan manusia, dan kau telah pulang ke tempat asalmu.”
Kakek pun mencari arah, dia mulai masuk tadi. Dia duduk di situ lebih kurang setengah jam. Kemudian baru kawan‐kawannya pulang. Semua binatang buruan di masukkan ke dalam mobil bak Ford Angldia kepunyaan Kakek.
Dalam perjalanan pulang Kakek dan kawan‐kawannya singgah di pekan Pengkalan Bharu. Mereka makan dan minum kopi disebuah warung dekat surau. Secara kebetulan pula pemilik warung itu adalah kenalan Kakek yang sama‐sama datang dari Aceh. Kakek pun menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Menurut pemilik warung itu, setiap pemburu yang berjumpa dengan rusa yang berjumlah tujuh, selalu sulit untuk keluar dari kawasan hutan, kalau keluar pun dia tidak akan sehat atau separuh gila.
“Biasanya bila meraka sampai di rumah, mereka terus sakit dan meninggal, sewaktu sakit itulah mereka tidak tentu arah, kalau salah pengobatan atau tidak berjumpa dengan 'Orang pintar' penyakit itu akan menjangkiti pada anaknya, biasanya yang sakit menimpa pada anak bungsu.” Terang pemilik warung itu pada Kakek. Kakek terdiam kemudian Kakek mengajak pemilik warung itu ke tepi sungai. Kakek minta pemilik warung itu memandikannya dengan air yang bercampur dengan daun tujuh jenis, untuk menghindarkankan badi rusa itu mengikuti Kakek balik ke rumah.
Walau bagaimanapun, Kakek terhindar dari serangan penyakit. Malah, kegemarannya untuk berburu bertambah giat dan hebat. Asal terdengar saja ada kawasan terdapat landak, kancil atau kijang, Kakek tidak akan melepaskan peluang untuk berburu. Kalau tidak bisa waktu siang, dia akan pergi waktu malam. Berburu adalah suatu kerja yang amat dicintai oleh Kakek.
Kalau sudah tiba waktunya Kakek untuk berburu. Siapapun jangan mencoba menghalangi. Dia tidak peduli. Kalau dilarang juga Kakek naik darah. Selalu yang menjadi korban kemarahan Kakek ialah nenek saya yang tidak bergitu senang dengan sikap Kakek itu. Selain dari berburu Kakek cukup rajin belajar ilmu‐ilmu kebatinan. Kakek pernah bertapa di Gua Ulu Licin tujuh hari tujuh malam tanpa makan sebiji nasi, tapi tubuh Kakek tidak susut.
Kalau ada Orang Pintar mengobati orang dengan cara kebatinan, Kakek tidak segan‐segan berkawan dan mencuri ilmu dari orang pintar itu. Anehnya, Kakek tidak berkeinginan untuk menjadi seorang Paranormal. “Semua yang dicari hanya sekadar untuk pelindung diri,” kata Kakek.
Kakek terkejut dan bercampur heran, tapi Kakek bukanlah manusia yang mudah putus asa. Dia mencari bekas jejak rusa itu. Diperhatikannya ke arah mana tapak rusa itu lari. Dia mencium daun‐daun kering yang terdapat di situ. Akhirnya, Kakek merapatkan telinganya di atas tanah. Dia mengeluh, ternyata bekas tapak rusa itu sukar diperolehinya. Waktu Kakek berputar‐putar di situ, seekor rusa lain muncul di depan Kakek. Rusa itu jauh lebih besar dan tegap dari rusa yang pertama tadi. Matanya berkilau‐kilau bagaikan menentang mata Kakek yang terbeliak karena terkejut.
Kakek tidak melepaskan peluang dan terus melepaskan tembakan. Kakek gembira, tembakannya tepat mengenai kening rusa itu. Dia mencabut golok perak di tangan untuk menyembelih rusa. Golok ditayangkan di depan matanya. Kakek membaca sesuatu dan menghentakkan ulu golok ke tanah.
Bila Kakek memulai langkah. Rusa itu segera bangun. Di depan mata Kakek sekarang wujud dua ekor rusa. Serentak dengan itu dada Kakek berdebar. Dia mula terasa ada sesuatu yang kurang baik akan terjadi. Terdengar kokok ayam hutan. Kakek melepaskan tembakan. Kena pada salah seekor rusa itu di kening. Rusa itu rebah dan bangun kembali menjadi tiga ekor. Kakek yakin ada sesuatu kejadian yang lain di balik semuanya itu. Tapi, Kakek bukannya manusia lemah semangat, kalau tidak masakan dia berani meninggalkan kampung halamannya di Aceh, berperahu ke Pengkalan Bharu dan bermukim di kawasan Bruas. Kakek terus menembak bertalu‐talu. Rusa terus menjadi tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Kokok ayam hutan bertambah nyaring.
Daun‐daun hutan di keliling Kakek bergerak‐gerak bagaikan digoncang orang. Tanah yang dipijaknya jadi bersih tanpa sehelai daun. Kakek menumbuk tanah dengan tangan kiri. Terasa daging pangkal lehernya bergerak‐gerak. Kakek tersenyum. Dia tahu peristiwa ini mesti dihadapi dengan cara lain. Dia teringat pesan leluhur neneknya dari tanah seberang, kalau berburu binatang dan terasa daging pangkal leher bergerak, alamatnya yang diburu bukan binatang lagi, tapi boleh jadi penunggu hutan atau setan dan bangsa Jin.
Kakek letakkan senapan di atas tanah. Dia duduk bertafakur mengumpulkan tenaga batin sambil membaca mentera yang diamalkannya. Melalui pancaindera batin Kakek, Kakek dapat melihat dengan jelas, bahawa rusa itu adalah jin penunggu hutan itu.
Muka Kakek jadi merah padam, mengucur peluh, gigi dikatupkan rapat‐rapat. Mata Kakek tidak berkelip. Dia melihat di depannya,berdiri makhluk berbadan besar, matanya merah menyala, rambut panjang sampai ke tumit. Giginya besar, dua giginya di sebelah kiri dan kanan terjulur keluar, seperti gading gajah. Dia diapit oleh enam jin yang sama hebat dengannya.
“Kurang ajar, manusia laknat,” suara itu bergema, daun‐daun hutan bergerak seperti ditiup angin. Kakek diam bertafakur.
“Kau tahu kesalahan kau manusia ?” Tambah suara itu . Punggung Kakek terus dibasahi peluh. Kakek diam, dia sudah menutup lobang‐lobang kelemahan tubuhnya dengan ilmu batin yang dipusakainya dari leluhur neneknya, hingga jin itu tidak berpeluang menyatukan dirinya ke dalam tubuh Kakek.
“Tidak,” jawab Kakek dengan berani.
“Kau masuk ke dalam kawasan larangan ku.”
“Aku sudah meminta izin.”
“Aku tidak mengizinkan.” Jawab jin itu dengan keras. Dua batang giginya yang terjulur bergerak‐gerak.
“Kalau kau tidak mengizinkanya, kenapa kau tidak memberi isyarat, ketika aku masuk tadi.” Cukup tenang Kakek menjawab. Dia sudah bersiap menghadapi semuanya.
“Kau manusia biadap,” pekik jin itu, pokok hutan bergerak‐gerak.
Perdebatan Kakek dengan jin semakin panas, secara perlahan‐lahan pembicaraan itu bertukar kepada pertarungan kebatinan. Kemampuan dan kekuatan Kakek benar‐benar teruji. Mata Kakek bercahaya garang dengan urat‐urat timbul di dahi dan lengannya. Peluhnya jangan dikira terus menerus membasahi seluruh badan.
Kakek tahu kalau dia kalah. Dia akan rebah ke bumi. Seluruh badannya akan lebam. Jadi Kakek bertekad untuk melawan dengan cara apapun. Di waktu pertempuran itulah Kakek berasa cuping telinga sebelah kirinya lembik. Kakek senyum, satu tanda baik. Kemenangan akan berada di pihaknya. Kakek terus mengucapkan begini :
Jong keli jong, tali cemati tebang buluh bunting pagi melemang………
Belum pun tamat Kakek mengucapkan mentera itu. Dia berasa pangkal belikatnya keras seperti batu. Kakek tidak bisa bergerak ke kiri maupun ke kanan. Kakek terus berteriak dengan menyeru nama guru ilmu batinnya, serentak dengan itu Kakek mengambil senapan seraya berkata : "Kalau aku kalah, aku rebah, kalau aku menang, aku berdiri dan kau pulang ke tempat asalmu."
Kakek pun melepaskan satu tembakan kepada rusa. Tepat tembakan Kakek kena pada kening rusa. Rusa yang berjumlah tujuh ekor itu hilang entah ke mana. Kawasan itu jadi sepi.
Pemandangan Kakek kembali normal yang ujud di depannya sekarang ialah sebatang pokok pohon besar dengan akar‐akar bergayutan yang mencecah muka bumi.
Kakek menang dalam pertarungan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Kakek segera mencari ranting kayu yang bercabang tujuh yang mengarah ke matahari jatuh. Ranting kayu bercabang tujuh itu Kakek tikam ke bumi. Cabang yang tujuh ke bawah. Lepas itu Kakek memotong cabang tujuh lalu berkata : “Ini kawasan manusia, dan kau telah pulang ke tempat asalmu.”
Kakek pun mencari arah, dia mulai masuk tadi. Dia duduk di situ lebih kurang setengah jam. Kemudian baru kawan‐kawannya pulang. Semua binatang buruan di masukkan ke dalam mobil bak Ford Angldia kepunyaan Kakek.
Dalam perjalanan pulang Kakek dan kawan‐kawannya singgah di pekan Pengkalan Bharu. Mereka makan dan minum kopi disebuah warung dekat surau. Secara kebetulan pula pemilik warung itu adalah kenalan Kakek yang sama‐sama datang dari Aceh. Kakek pun menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Menurut pemilik warung itu, setiap pemburu yang berjumpa dengan rusa yang berjumlah tujuh, selalu sulit untuk keluar dari kawasan hutan, kalau keluar pun dia tidak akan sehat atau separuh gila.
“Biasanya bila meraka sampai di rumah, mereka terus sakit dan meninggal, sewaktu sakit itulah mereka tidak tentu arah, kalau salah pengobatan atau tidak berjumpa dengan 'Orang pintar' penyakit itu akan menjangkiti pada anaknya, biasanya yang sakit menimpa pada anak bungsu.” Terang pemilik warung itu pada Kakek. Kakek terdiam kemudian Kakek mengajak pemilik warung itu ke tepi sungai. Kakek minta pemilik warung itu memandikannya dengan air yang bercampur dengan daun tujuh jenis, untuk menghindarkankan badi rusa itu mengikuti Kakek balik ke rumah.
Walau bagaimanapun, Kakek terhindar dari serangan penyakit. Malah, kegemarannya untuk berburu bertambah giat dan hebat. Asal terdengar saja ada kawasan terdapat landak, kancil atau kijang, Kakek tidak akan melepaskan peluang untuk berburu. Kalau tidak bisa waktu siang, dia akan pergi waktu malam. Berburu adalah suatu kerja yang amat dicintai oleh Kakek.
Kalau sudah tiba waktunya Kakek untuk berburu. Siapapun jangan mencoba menghalangi. Dia tidak peduli. Kalau dilarang juga Kakek naik darah. Selalu yang menjadi korban kemarahan Kakek ialah nenek saya yang tidak bergitu senang dengan sikap Kakek itu. Selain dari berburu Kakek cukup rajin belajar ilmu‐ilmu kebatinan. Kakek pernah bertapa di Gua Ulu Licin tujuh hari tujuh malam tanpa makan sebiji nasi, tapi tubuh Kakek tidak susut.
Kalau ada Orang Pintar mengobati orang dengan cara kebatinan, Kakek tidak segan‐segan berkawan dan mencuri ilmu dari orang pintar itu. Anehnya, Kakek tidak berkeinginan untuk menjadi seorang Paranormal. “Semua yang dicari hanya sekadar untuk pelindung diri,” kata Kakek.
Diubah oleh mufidfathul 07-06-2017 20:53
doelviev dan 7 lainnya memberi reputasi
8
79.9K
Kutip
263
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
mufidfathul
#177
PART VI
“Saya ini sangat baru dalam perkara ini. Ilmu dunia tidak mencukupi , ilmu akhirat juga kurang, saya masih belajar,” begitu lemah nada suara Kakek.
Ekor matanya melirik ke arah saya dalam cahaya lampu petromaks yang sebentar terang dan sebentar gelap. Mendengar kata‐kata Kakek itu, Pak Mardan termenung panjang. Dia kerutkan kedua belah keningnya, seperti memikirkan sesuatu.
“Saya tidak memiliki kekuatan untuk menahan hujan,” katanya lemah.
“Jadi apa yang kamu kerjakan?” sanggah Kakek.
“Kamu ini seperti tidak tahu pula, bukankah Allah berkuasa atas segala‐galanya. Saya mohon doa pada Allah minta hujan jangan turun di suatu kawasan"
“Lalu apa yang kamu kerjakan?”
“Mengamalkan beberapa petuah dari nenek moyang itu saja. Sampai kini permohonan saya diberkati, itu saja yang saya kerjakan”
Kakek menganggukkan kepala mendengar keterangan dari Pak Mardan. Tetapi Kakek merasakan Pak Mardan menyembunyikan sesuatu darinya. Karena itu Kakek agak keberatan bila Pak Mardan mengajak dia berbaring di atas lantai masjid. Kakek lalu menolak dan berbincang hingga Pak Mardan memberitahu Kakek bahwa dia memang menuntut ilmu menahan hujan dari seorang bomoh hujan yang berasal dari Selatan Siam, yaitu di negeri Patani.
“Tiga tahun aku tinggal di sana,” Pak Mardan memberi keterangannya pada Kakek.
Menurut Pak Mardan, ayahnya dulu salah seorang pendekar yang terkenal di Perak. Berhasil memancung leher musuh dalam perang Larut. Ayahnya telah diberikan hadiah 50 ekar tanah sawah oleh Sultan Perak pada masa itu, sebagai penghargaan atas jasanya. Tanah itu bebas cukai (pajak). Bila tanah itu dia warisi, Pak Mardan menjualkan tanah itu pada seorang jutawan Melayu dari Kuala Kangsar.
Hasil uang dari penjualan tanah itu, Pak Mardan membeli tanah lain di Kampung Kota.
Saya tidak tahu, bagaimana Kakek membujuk Pak Mardan hingga dia sanggup memberikan petunjuk pada Kakek beberapa petuah dan amalan yang mesti dilakukan untuk menahan hujan. Pak Mardan juga memberitahu Kakek bahwa dirinya menyimpan ilmu melompat yang dituntutnya dari almarhum ayahnya dulu.
“Ilmu itu dinamakan lompat sekayu kain. Pada waktu perang Larut dulu, ilmu itu telah digunakan oleh ayah saya untuk menewaskan musuhnya,” Pak Mardan tersenyum bangga menceritakan tentang keperwiraan ayahnya.
Kakek mengurut‐urut dada. Kemudian dia tersenyum sinis. Pak Mardan kurang senang dengan sikap Kakek itu, lalu dia menatap tajam biji mata Kakek lama sekali. Kakek juga berbuat demikian.
Dari gerakan dan kedipan mata Pak Mardan, Kakek dapat membaca pembawaan atau pribadi Pak Mardan. Kakek tahu Pak Mardan orangnya pantang diremehkan. Kesempatan itu Kakek gunakan untuk menguji sejauh mana kebenaran kata‐kata Pak Mardan.
“Aku tidak yakin kamu memiliki ilmu melompat sekayu kain,” amat lantang suara Kakek.
Tiba‐tiba saja Pak Mardan bangun. Dia melotot dan mendelikkan mata kearah Kakek.
“Kamu mau saya buktikan? ”
“Itulah yang seharusnya? ”
“Mari keluar”
Pak Mardan keluar dari masjid. Kakek pun begitu. Saya jadi serba salah. Dalam samar‐samar lampu petromaks saya lihat jam tua yang tersangkut di tiang seri. Jarum pendek dan panjang menunjukan ke angka dua belas. Rasa dingin cukup hebat menggigit kulit badan saya. Bibir saya gemetar.
Suara katak dan jangkrik kian bertambah hebat. Kakek menghampiri Pak Mardan dengan tenang.
“Begini saja, sekarang jam dua belas tepat. Pesan guru saya, tidak baik melakukan sesuatu tepat jam dua belas malam atau siang, banyak keburukannya daripada faedahnya,” beritahu Kakek pada Pak Mardan.
Nampaknya Pak Mardan tidak membantah pada Kakek. Sementara menanti jarum jam beranjak dari pukul 12.00 ke pukul 12.02 menit, Kakek duduk di kaki tangga masjid.
Pak Mardan berdiri di halaman masjid. Dia sudah memakai baju hitam dan celana serta berselempang kain kuning. Dia membelakangi Kakek.
“Kakek mau berkelahi?” tanya saya pada Kakek.
“Tidak. Sekedar mau menguji. Setahu aku seorang pendekar atau pahlawan tidak akan menunjukkan kepandaiannya di khalayak ramai. Pahlawan selalu bersikap seperti harimau menyimpan kuku,” kata Kakek.
Perkataan Kakek itu memang benar. Sudah setengah jam waktu berlalu Pak Mardan tidak juga menunjukkan kepandaian dan kemampuannya.
Kakek pun mulai bertindak.
Dia menyerang Pak Mardan dengan melemparkan sebilah sundang ke arah belakang Pak Mardan. Dalam gelap itu Pak Mardan berhasil menyambar sundang dengan tangan kanannya lalu melemparkan ke arah Kakek kembali dan Kakek bagaikan kilat menangkap hulu sundang lalu ditikamkan ke batang pisang. Sundang lalu melekat di situ.
Saya segera masuk ke masjid dan kembali sambil membawa lampu petromaks keluar. Saya letakkan di atas semen kulah (tempat menyimpan air yg dibuat dari batu; bak air) tempat orang mengambil air sembahyang. Cahaya dari petromaks itu menerangi sebagian dari halaman masjid. Kakek terus menyerang Pak Mardan. Tujuan Kakek berbuat demikian supaya Pak Mardan naik emosinya.
Tujuan Kakek memang berhasil. Pak Mardan lalu membuat serangan balasan yang cukup hebat, gerakan silat yang dilepaskan pada Kakek cukup tajam dan cepat.
Kakek lalu mengelak dan menepis hingga pukulan-pukulan silat yang ditujukan padanya tidak menjamah badannya. Kakek lalu mencabut sundang dari batang pisang, menerkam ke arah Pak Mardan. Cepat‐cepat Pak Mardan melompat setinggi kepala Kakek lalu menyepak pergelangan tangan Kakek dari udara.
Pak Mardan tidak berhasil, saya lihat dia bagaikan terapung di udara membuat gerakan silat baru, kemudian kakinya menjejak kaki bumi. Saya lihat Kakek melepaskan sesuatu seperti bola api ke arah kaki kiri Pak Mardan.
Dia menjerit lalu melompat melintasi bumbung masjid. Pak Mardan bagaikan terbang di udara.
Tubuhnya nampak bulat seperti sepotong kayu itu menuju kearah pohon pisang tempat sundang terletak tadi. Lebih kurang empat kaki mau sampai ke perdu pohon pisang, Pak Mardan mengulurkan kaki kanannya. Dari kaki kanannya itu saya lihat keluar cahaya bulat dan memanjang, seperti api obor.
Saya mendengar pekikan dari Pak Mardan cukup lantang, serentak dengan itu terdengar satu letupan kecil.
Saya lihat pohon pisang tumbang dan terbakar. Dalam beberapa saat saja saya lihat Pak Mardan dan Kakek berdekapan di halaman masjid.
“Jangan menguji saya sampai seperti itu. Nasib baik saya dapat mengarahkan pada perdu pohon pisang, kalau mengenai kamu sudah lain ceritanya,” ucap Pak Mardan sambiI menukar baju hitam kepada baju kemeja putih.
“Saya tahu. Saya cuma menguji bukan berkelahi,” balas Kakek,
”kamu bukan orang yang 'kosong'"
“Ah, tiap manusia ada kelebihan dan kekurangannya. Seperti kamu dengan aku ini ada kelebihan dan ada kekurangannya. Yang sempurna dan gagah hanya Allah yang Maha Besar,” begitu selesai perkataan itu, sekali lagi Pak Mardan memeluk tubuh Kakek.
Kami masuk ke masjid. Ketika saya mau merebahkan badan di sisi Kakek. Pak Mardan menghampiri saya, muka saya dilihatnya lama sekali.
“Belajarlah sesuatu dari Kakek kamu ”
“Kakek kikir dengan ilmunya”
“Betulkah bicara cucumu ini? tidak patut berbuat begini,” Pak Mardan mengajukan pertanyaan pada Kakek.
Saya lihat Kakek tersenyum.
“Tidak betul itu. Saya sudah curahkan ilmu penjaga diri dan beberapa petuah untuknya. Saya rasa itu sudah cukup yang lain tidak wajib. Saya sudah pesan gunakan ilmu itu bila ada musuh atau pada waktu terdesak, tidak boleh di gunakan sembarangan,” ternyata penjelasan Kakek itu memuaskan hati Pak Mardan.
“Zaman kami muda‐muda dulu, kalau tidak cukup syarat dengan ilmu di dada, kami tidak merantau. Tetapi, anak ‐anak muda sekarang ini lain pula. Adat budaya dan penuturan orang tua‐tua di lupakan, sudah mau merantau. Baru ada ilmu tidak sampai sekuku sudah tunjuk hidung sendiri merasa pandai,”Pak Mardan berkata sambil bersungut-sungut.
Kakek menganggukkan kepala menyetujui bicaranya. Saya menguap lagi, kelopak mata terasa cukup berat. Suara Kakek dan Pak Mardan yang sedang berbicara saya dengar kian lama, kian jauh dan akhirnya saya tidak mendengar apa‐apa lagi.
“Bangun, bangun,” saya dengar suara Kakek meninggi dan badan saya digoncang oleh Pak Mardan.
Saya membuka mata dalam gelap. Lampu petromaks itu sudah lama padam. Rasa marah mulai datang dalam hati, bagaimana saya tidak marah, kalau tengah asyik tidur terpaksa bangun.
“Kenapa kek?”
“Bangun, jangan banyak tanya!”
Niat saya untuk mengajukan pertanyaan lenyap sudah bila mendengar nada suara Kakek begitu keras. Kakek menyuruh saya dan Pak Mardan berpisah. Saya disuruh merangkak ke arah utara masjid, Pak Mardan ke selatan dan Kakek sendiri merangkak ke arah pintu masjid.
Suara katak dan jangkrik di luar masjid bertambah hebat. Saya mulai mendengar deru angin menampar ranting dan dahan kayu. Dengan tiba‐tiba bulu roma saya tegak. Dari jendela masjid yang terbuka ditiup oleh angin, saya lihat ada api bergerak dalam gelap mengelilingi masjid.
Tiba‐tiba pintu masjid terbuka dengan lebarnya kemudian tertutup dengan sendirinya, seperti ada tenaga manusia mendorongnya dari luar.
“Apa tujuanmu?” teriak Kakek sekuatnya.
Dan api yang bergerak mengelilingi masjid lalu padam.
“Apa tujuanmu?” ulang Kakek lagi.
Saya lihat cahaya api itu datang kembali berada betul‐betul di luar pintu masjid.
Teriakan Kakek tidak mendapat jawaban. Pak Mardan tanpa disuruh lalu menghidupkan lampu petromaks. Lampu itu dibawa ke pintu masjid. Bila melihat cahaya lampu petromaks itu hati saya mulai rasa tenteram. Karena Pak Mardan sudah berdiri di samping Kakek, saya segera menghampiri mereka.
“Kau nampak apa itu?” Pak Mardan menepuk bahu saya.
Dengan pertolongan cahaya lampu petromaks, saya dapat melihat dengan jelas sebatang kayu terpancang di halaman masjid, di ujung kayu bagian atas terdapat tengkorak manusia. Saya pandang wajah Kakek. Dia tampak serius, saya pandang wajah Pak Mardan, ada tanda‐tanda keresahan di mukanya.
“Datanglah, apa tujuan kamu?” pekik Kakek lagi dan lampu petromaks terus malap (suram).
Kayu di tengah halaman masjid mengeluarkan cahaya api. Bunyi tapak kaki manusia memijak dahan dan ranting‐ranting kering mulai kedengaran dari tiap penjuru masjid, saya merasa bagaikan ada beribu-ribu manusia yang bergerak di sekeliling masjid.
Kakek lalu bertafakur lebih kurang lima menit. Bila dia membuka mata, lampu petromaks yang malap (suram) bersinar terang kembali. Di halaman masjid terdapat seorang manusia berdiri di sisi kayu yang ada tengkorak.
“lnilah orang yang saya lihat dalam ember di rumah pengantin tadi,” bisik Pak Mardan pada Kakek.
Dengan tenang Kakek menganggukkan kepala lalu keluar dari masjid. Kakek berdiri berhadapan dengan orang itu. Suara katak dan jangkrik kian hebat. Angin juga mulai bertiup agak ganas. Bila angin berhenti bertiup, hujan pun turun menambahkan rasa dingin pada diri saya. Titik hujan yang halus itu lalu menjadi kasar.
Pak Mardan segera menarik tangan Kakek. Orang yang berdiri dengan kayu itu lalu memeluk tubuhnya. Titik‐titik hujan tidak mengenai tubuhnya.
“Masuk, orang ini mau membalas dendam,” beritahu Pak Mardan pada Kakek.
Saya lihat Kakek termenung sejenak. Dengan tenang Kakek memegang kain hitam di kepala. Kain hitam itu dibukanya. Kakek membuat simpulan kain hitam itu hingga menjadi gumpalan, seperti lipatan benang.
“Kalau niat kamu baik, engkau tidak apa‐apa. Tetapi kalau niat kamu buruk kamu akan binasa,” ujar Kakek pada lelaki di tengah halaman dari muka pintu masjid.
Kakek melemparkan kain itu ke arah lelaki tersebut. Bila kain itu jatuh di ujung kaki lelaki itu, kelihatan asap berkepul‐kepul naik ke udara. Tubuh lelaki itu hilang dalam kepulan asap.
Pak Mardan lalu duduk sambil membaca beberapa mantera hingga hujan yang mulai teduh berhenti sama sekali. Bila kepulan asap itu hilang, tengkorak yang berada di ujung kayu jatuh ke tanah.
Tubuh lelaki itu segera berganti menjadi hitam. Lidah lelaki itu terjulur keluar seperti lidah anjing yang kehausan, biji matanya mulai merah.
Kakek menepuk tangan kanannya tiga kali ke bendul masjid. Lelaki di tengah halaman mulai batuk dan muntah darah dua kali. Pak Mardan segera mengambil air dari dalam kolah satu gayung dan menyerahkan pada Kakek.
“Tawarkan dia,” Pak Mardan menyarankan dan Kakek lalu menunaikannya. Setelah Kakek membaca sesuatu pada air di dalam gayung, saya ditugaskan menyiramkan air ke badan lelaki itu. Bila air dalam gayung terkena badan lelaki itu, kulitnya yang hitam segera berganti seperti biasa, dia sudah tidak muntah lagi.
Pak Mardan menghampiri lelaki itu. Sebelum berdiri di hadapan lelaki tersebut, Pak Mardan terlebih dahulu membaca beberapa mantera. Dia mengunci semua pancaindera lelaki tersebut.
Saya merasa terkejut, bila dengan tiba‐tiba Pak Mardan mendatangi Kakek kembali.
“Kamu lihat apa saja perbuatan maksiatnya selama ini,” suara Pak Mardan lemah.
Kakek terdiam, dia lalu bertafakur lagi. Bila semuanya selesai Kakek lalu memberitahu Pak Mardan bahwa lelaki itu pernah meminang Halimah untuk dijadikan isteri mudanya.
Pinangan itu ditolak oleh ayah Halimah karena lelaki itu sudah beristeri sepuluh kali. Enam isterinya sudah diceraikan, empat masih dipelihara. Dia hanya mengharapkan hasil dari keringat isterinya untuk menafkahi dirinya.
Dia tidak pernah mau melakukan suatu pekerjaan. Dia lebih senang duduk di rumah atau berjalan ke sana ke mari dengan pakaian yang necis dan rapi.
Walaupun usia sudah hampir lima puluh tahun, tetapi dia kelihatan muda, seperti pemuda yang berusia dua puluhan. Gagah dan tampan.
Kakek juga memberitahu Pak Mardan lelaki itu tidak pernah mandi, kecuali kalau dia bertemu danau di tengah hutan yang ada teras kayu terendam di dalamnya. Kalau dia mandi, hanya cukup dengan sekali selam tanpa memakai kain basahan.
Bila air di badannya kering dengan sendirinya barulah dia memakai baju dan celana.
Setelah itu, dia akan mengurungkan diri dalam kamar selama satu minggu. Sewaktu dia mengurungkan diri dalam kamar itu dia akan melumurkan seluruh kulitnya dengan kotorannya sendiri. Bila Pak Mardan mendapatkan penjelasan itu dari Kakek, dia segera berdiri di depann lelaki itu.
“Kenapa kau berbuat begitu pada Halimah?” pertanyaan dari Pak Mardan itu, dijawab oleh lelaki itu dalam bahasa yang tidak dapat saya dan Kakek Paham.
Pak Mardan segera memberitahu Kakek bahwa lelaki itu berbicara dalam bahasa Siam. Karena Pak Mardan bisa berbicara Siam, lelaki itu lalu disahuti dengan berbicara dalam bahasa itu. Perbuatan itu tidak menyenangkan hati Kakek. Kakek membuka telapak tangan kirinya lalu membaca sesuatu.
“Orang ini menuntut ilmu bomoh Siam. Biar saya kembalikan hati dan perasaannya kepada bangsanya sendiri,” sungut Kakek lalu melangkah ke arah lelaki itu.
Begitu Kakek sampai di depan lelaki itu, dia lalu menampar perut lelaki itu dengan telapak tangan kanannya. Lelaki itu menjerit lalu membungkuk sambil memegang perutnya.
Seketika itu juga lelaki tersebut muntah, dari mulutnya keluar segumpal kain kuning yang penuh dengan ulat, sebesar ulat nangka, bau kain kuning itu seperti bau bangkai. Kakek menekan kain kuning itu dengan jari telunjuk kirinya hingga kain itu pecah.
Bila kain itu pecah bertebaran, kaca, batu dan potongan-potongan daging jatuh ke tanah. Ular hidup berserakan di atas area muntahan lelaki itu.
Pak Mardan mencari daun kayu lalu memukul tubuh lelaki itu dengan sekuatnya. Wajah lelaki yang tampan berubah menjadi kendur dan berkerut-kerut seperti orang lelaki yang berumur lima puluh tahun.
Lelaki itu rebah ke tanah. Kakek segera menghentakkan pangkal siku kirinya ke punggung lelaki itu dengan sekuatnya. Lelaki itu dengan tiba‐tiba bangun.
“Kau orang Islam?” tanya Kakek.
“Ya saya orang Islam”
“Rukun Islam ada berapa perkara?”
“Lima perkara ”
“Pertama apa dia?”
“Mengucap dua kalimah syahadah”
“Coba kau mengucap dua kalimah syahadah”
Ternyata orang itu tidak dapat menunaikan permintaan Kakek. Mata orang itu terbelalak. Toleh kiri, toleh kanan seperti orang ketakutan.
Pak Mardan menyeret lelaki itu ke tepi kulah.
“Kita mandikan dia sekarang,” kata Pak Mardan.
”Aku setuju,” balas Kakek.
Saya pun menyiramkan air ke tubuh lelaki dengan gayung. Lelaki itu menggeletar. Dalam kedinginan dini hari bibirnya kelihatan biru. Lututnya beradu. Kakek membuka celana yang dipakai oleh lelaki itu, digantikan dengan kain dan baju Melayu kepunyaan Pak Mardan.
Bila lelaki disuruh masuk ke masjid dia enggan. Perbuatan itu membuat Kakek naik darah.
“Kenapa?” tanya Kakek.
“Saya sudah bersumpah dengan guru saya. Tidak akan masuk masjid atau membaca Al‐Quran”
“Kamu membuat gaduh saja,” Kakek mendorong lelaki ke pintu masjid.
Bila lelaki itu melangkahi bendul dia jatuh dan dari tubuhnya keluar kepulan asap tipis. Serentak dengan itu terdengar deru angin yang amat kuat di luar masjid. Deru angin itu makin berkurang dan akhirnya hilang. Kakek lalu mengajarkan lelaki itu mengucapkan dua kalimah syahadah dan meminta dia bertaubat.
Cukup sukar untuk menyuruh lelaki itu bertaubat, dia begitu fanatik dangan ajaran gurunya. Sesudah berbagai pandangan dan nasehat diberikan padanya oleh Pak Mardan barulah dia mau bertaubat.
“Kamu tidak akan membalas dendam padaku?” tanyanya pada Pak Mardan.
"Tidak. Aku mau kamu bertaubat dan jangan sekali‐kali mengulangi perbuatan yang lalu"
Mendengar perkataan Pak Mardan lelaki itu terdiam. Walau bagaimanapun, Kakek memberikan kesempatan pada lelaki itu membuat keputusan sendiri. Kakek tidak mau memaksa dia. Kakek mau dia kembali ke pangkal jalan dengan penuh keinsafan dan kesadaran.
Quote:
“Saya ini sangat baru dalam perkara ini. Ilmu dunia tidak mencukupi , ilmu akhirat juga kurang, saya masih belajar,” begitu lemah nada suara Kakek.
Ekor matanya melirik ke arah saya dalam cahaya lampu petromaks yang sebentar terang dan sebentar gelap. Mendengar kata‐kata Kakek itu, Pak Mardan termenung panjang. Dia kerutkan kedua belah keningnya, seperti memikirkan sesuatu.
“Saya tidak memiliki kekuatan untuk menahan hujan,” katanya lemah.
“Jadi apa yang kamu kerjakan?” sanggah Kakek.
“Kamu ini seperti tidak tahu pula, bukankah Allah berkuasa atas segala‐galanya. Saya mohon doa pada Allah minta hujan jangan turun di suatu kawasan"
“Lalu apa yang kamu kerjakan?”
“Mengamalkan beberapa petuah dari nenek moyang itu saja. Sampai kini permohonan saya diberkati, itu saja yang saya kerjakan”
Kakek menganggukkan kepala mendengar keterangan dari Pak Mardan. Tetapi Kakek merasakan Pak Mardan menyembunyikan sesuatu darinya. Karena itu Kakek agak keberatan bila Pak Mardan mengajak dia berbaring di atas lantai masjid. Kakek lalu menolak dan berbincang hingga Pak Mardan memberitahu Kakek bahwa dia memang menuntut ilmu menahan hujan dari seorang bomoh hujan yang berasal dari Selatan Siam, yaitu di negeri Patani.
“Tiga tahun aku tinggal di sana,” Pak Mardan memberi keterangannya pada Kakek.
Menurut Pak Mardan, ayahnya dulu salah seorang pendekar yang terkenal di Perak. Berhasil memancung leher musuh dalam perang Larut. Ayahnya telah diberikan hadiah 50 ekar tanah sawah oleh Sultan Perak pada masa itu, sebagai penghargaan atas jasanya. Tanah itu bebas cukai (pajak). Bila tanah itu dia warisi, Pak Mardan menjualkan tanah itu pada seorang jutawan Melayu dari Kuala Kangsar.
Hasil uang dari penjualan tanah itu, Pak Mardan membeli tanah lain di Kampung Kota.
Saya tidak tahu, bagaimana Kakek membujuk Pak Mardan hingga dia sanggup memberikan petunjuk pada Kakek beberapa petuah dan amalan yang mesti dilakukan untuk menahan hujan. Pak Mardan juga memberitahu Kakek bahwa dirinya menyimpan ilmu melompat yang dituntutnya dari almarhum ayahnya dulu.
“Ilmu itu dinamakan lompat sekayu kain. Pada waktu perang Larut dulu, ilmu itu telah digunakan oleh ayah saya untuk menewaskan musuhnya,” Pak Mardan tersenyum bangga menceritakan tentang keperwiraan ayahnya.
Kakek mengurut‐urut dada. Kemudian dia tersenyum sinis. Pak Mardan kurang senang dengan sikap Kakek itu, lalu dia menatap tajam biji mata Kakek lama sekali. Kakek juga berbuat demikian.
Quote:
Dari gerakan dan kedipan mata Pak Mardan, Kakek dapat membaca pembawaan atau pribadi Pak Mardan. Kakek tahu Pak Mardan orangnya pantang diremehkan. Kesempatan itu Kakek gunakan untuk menguji sejauh mana kebenaran kata‐kata Pak Mardan.
“Aku tidak yakin kamu memiliki ilmu melompat sekayu kain,” amat lantang suara Kakek.
Tiba‐tiba saja Pak Mardan bangun. Dia melotot dan mendelikkan mata kearah Kakek.
“Kamu mau saya buktikan? ”
“Itulah yang seharusnya? ”
“Mari keluar”
Pak Mardan keluar dari masjid. Kakek pun begitu. Saya jadi serba salah. Dalam samar‐samar lampu petromaks saya lihat jam tua yang tersangkut di tiang seri. Jarum pendek dan panjang menunjukan ke angka dua belas. Rasa dingin cukup hebat menggigit kulit badan saya. Bibir saya gemetar.
Suara katak dan jangkrik kian bertambah hebat. Kakek menghampiri Pak Mardan dengan tenang.
“Begini saja, sekarang jam dua belas tepat. Pesan guru saya, tidak baik melakukan sesuatu tepat jam dua belas malam atau siang, banyak keburukannya daripada faedahnya,” beritahu Kakek pada Pak Mardan.
Nampaknya Pak Mardan tidak membantah pada Kakek. Sementara menanti jarum jam beranjak dari pukul 12.00 ke pukul 12.02 menit, Kakek duduk di kaki tangga masjid.
Pak Mardan berdiri di halaman masjid. Dia sudah memakai baju hitam dan celana serta berselempang kain kuning. Dia membelakangi Kakek.
“Kakek mau berkelahi?” tanya saya pada Kakek.
“Tidak. Sekedar mau menguji. Setahu aku seorang pendekar atau pahlawan tidak akan menunjukkan kepandaiannya di khalayak ramai. Pahlawan selalu bersikap seperti harimau menyimpan kuku,” kata Kakek.
Perkataan Kakek itu memang benar. Sudah setengah jam waktu berlalu Pak Mardan tidak juga menunjukkan kepandaian dan kemampuannya.
Kakek pun mulai bertindak.
Dia menyerang Pak Mardan dengan melemparkan sebilah sundang ke arah belakang Pak Mardan. Dalam gelap itu Pak Mardan berhasil menyambar sundang dengan tangan kanannya lalu melemparkan ke arah Kakek kembali dan Kakek bagaikan kilat menangkap hulu sundang lalu ditikamkan ke batang pisang. Sundang lalu melekat di situ.
Saya segera masuk ke masjid dan kembali sambil membawa lampu petromaks keluar. Saya letakkan di atas semen kulah (tempat menyimpan air yg dibuat dari batu; bak air) tempat orang mengambil air sembahyang. Cahaya dari petromaks itu menerangi sebagian dari halaman masjid. Kakek terus menyerang Pak Mardan. Tujuan Kakek berbuat demikian supaya Pak Mardan naik emosinya.
Quote:
Tujuan Kakek memang berhasil. Pak Mardan lalu membuat serangan balasan yang cukup hebat, gerakan silat yang dilepaskan pada Kakek cukup tajam dan cepat.
Kakek lalu mengelak dan menepis hingga pukulan-pukulan silat yang ditujukan padanya tidak menjamah badannya. Kakek lalu mencabut sundang dari batang pisang, menerkam ke arah Pak Mardan. Cepat‐cepat Pak Mardan melompat setinggi kepala Kakek lalu menyepak pergelangan tangan Kakek dari udara.
Pak Mardan tidak berhasil, saya lihat dia bagaikan terapung di udara membuat gerakan silat baru, kemudian kakinya menjejak kaki bumi. Saya lihat Kakek melepaskan sesuatu seperti bola api ke arah kaki kiri Pak Mardan.
Dia menjerit lalu melompat melintasi bumbung masjid. Pak Mardan bagaikan terbang di udara.
Tubuhnya nampak bulat seperti sepotong kayu itu menuju kearah pohon pisang tempat sundang terletak tadi. Lebih kurang empat kaki mau sampai ke perdu pohon pisang, Pak Mardan mengulurkan kaki kanannya. Dari kaki kanannya itu saya lihat keluar cahaya bulat dan memanjang, seperti api obor.
Saya mendengar pekikan dari Pak Mardan cukup lantang, serentak dengan itu terdengar satu letupan kecil.
Saya lihat pohon pisang tumbang dan terbakar. Dalam beberapa saat saja saya lihat Pak Mardan dan Kakek berdekapan di halaman masjid.
“Jangan menguji saya sampai seperti itu. Nasib baik saya dapat mengarahkan pada perdu pohon pisang, kalau mengenai kamu sudah lain ceritanya,” ucap Pak Mardan sambiI menukar baju hitam kepada baju kemeja putih.
“Saya tahu. Saya cuma menguji bukan berkelahi,” balas Kakek,
”kamu bukan orang yang 'kosong'"
“Ah, tiap manusia ada kelebihan dan kekurangannya. Seperti kamu dengan aku ini ada kelebihan dan ada kekurangannya. Yang sempurna dan gagah hanya Allah yang Maha Besar,” begitu selesai perkataan itu, sekali lagi Pak Mardan memeluk tubuh Kakek.
Kami masuk ke masjid. Ketika saya mau merebahkan badan di sisi Kakek. Pak Mardan menghampiri saya, muka saya dilihatnya lama sekali.
“Belajarlah sesuatu dari Kakek kamu ”
“Kakek kikir dengan ilmunya”
“Betulkah bicara cucumu ini? tidak patut berbuat begini,” Pak Mardan mengajukan pertanyaan pada Kakek.
Saya lihat Kakek tersenyum.
“Tidak betul itu. Saya sudah curahkan ilmu penjaga diri dan beberapa petuah untuknya. Saya rasa itu sudah cukup yang lain tidak wajib. Saya sudah pesan gunakan ilmu itu bila ada musuh atau pada waktu terdesak, tidak boleh di gunakan sembarangan,” ternyata penjelasan Kakek itu memuaskan hati Pak Mardan.
“Zaman kami muda‐muda dulu, kalau tidak cukup syarat dengan ilmu di dada, kami tidak merantau. Tetapi, anak ‐anak muda sekarang ini lain pula. Adat budaya dan penuturan orang tua‐tua di lupakan, sudah mau merantau. Baru ada ilmu tidak sampai sekuku sudah tunjuk hidung sendiri merasa pandai,”Pak Mardan berkata sambil bersungut-sungut.
Kakek menganggukkan kepala menyetujui bicaranya. Saya menguap lagi, kelopak mata terasa cukup berat. Suara Kakek dan Pak Mardan yang sedang berbicara saya dengar kian lama, kian jauh dan akhirnya saya tidak mendengar apa‐apa lagi.
Quote:
“Bangun, bangun,” saya dengar suara Kakek meninggi dan badan saya digoncang oleh Pak Mardan.
Saya membuka mata dalam gelap. Lampu petromaks itu sudah lama padam. Rasa marah mulai datang dalam hati, bagaimana saya tidak marah, kalau tengah asyik tidur terpaksa bangun.
“Kenapa kek?”
“Bangun, jangan banyak tanya!”
Niat saya untuk mengajukan pertanyaan lenyap sudah bila mendengar nada suara Kakek begitu keras. Kakek menyuruh saya dan Pak Mardan berpisah. Saya disuruh merangkak ke arah utara masjid, Pak Mardan ke selatan dan Kakek sendiri merangkak ke arah pintu masjid.
Suara katak dan jangkrik di luar masjid bertambah hebat. Saya mulai mendengar deru angin menampar ranting dan dahan kayu. Dengan tiba‐tiba bulu roma saya tegak. Dari jendela masjid yang terbuka ditiup oleh angin, saya lihat ada api bergerak dalam gelap mengelilingi masjid.
Tiba‐tiba pintu masjid terbuka dengan lebarnya kemudian tertutup dengan sendirinya, seperti ada tenaga manusia mendorongnya dari luar.
“Apa tujuanmu?” teriak Kakek sekuatnya.
Dan api yang bergerak mengelilingi masjid lalu padam.
“Apa tujuanmu?” ulang Kakek lagi.
Saya lihat cahaya api itu datang kembali berada betul‐betul di luar pintu masjid.
Teriakan Kakek tidak mendapat jawaban. Pak Mardan tanpa disuruh lalu menghidupkan lampu petromaks. Lampu itu dibawa ke pintu masjid. Bila melihat cahaya lampu petromaks itu hati saya mulai rasa tenteram. Karena Pak Mardan sudah berdiri di samping Kakek, saya segera menghampiri mereka.
“Kau nampak apa itu?” Pak Mardan menepuk bahu saya.
Dengan pertolongan cahaya lampu petromaks, saya dapat melihat dengan jelas sebatang kayu terpancang di halaman masjid, di ujung kayu bagian atas terdapat tengkorak manusia. Saya pandang wajah Kakek. Dia tampak serius, saya pandang wajah Pak Mardan, ada tanda‐tanda keresahan di mukanya.
Quote:
“Datanglah, apa tujuan kamu?” pekik Kakek lagi dan lampu petromaks terus malap (suram).
Kayu di tengah halaman masjid mengeluarkan cahaya api. Bunyi tapak kaki manusia memijak dahan dan ranting‐ranting kering mulai kedengaran dari tiap penjuru masjid, saya merasa bagaikan ada beribu-ribu manusia yang bergerak di sekeliling masjid.
Kakek lalu bertafakur lebih kurang lima menit. Bila dia membuka mata, lampu petromaks yang malap (suram) bersinar terang kembali. Di halaman masjid terdapat seorang manusia berdiri di sisi kayu yang ada tengkorak.
“lnilah orang yang saya lihat dalam ember di rumah pengantin tadi,” bisik Pak Mardan pada Kakek.
Dengan tenang Kakek menganggukkan kepala lalu keluar dari masjid. Kakek berdiri berhadapan dengan orang itu. Suara katak dan jangkrik kian hebat. Angin juga mulai bertiup agak ganas. Bila angin berhenti bertiup, hujan pun turun menambahkan rasa dingin pada diri saya. Titik hujan yang halus itu lalu menjadi kasar.
Pak Mardan segera menarik tangan Kakek. Orang yang berdiri dengan kayu itu lalu memeluk tubuhnya. Titik‐titik hujan tidak mengenai tubuhnya.
“Masuk, orang ini mau membalas dendam,” beritahu Pak Mardan pada Kakek.
Saya lihat Kakek termenung sejenak. Dengan tenang Kakek memegang kain hitam di kepala. Kain hitam itu dibukanya. Kakek membuat simpulan kain hitam itu hingga menjadi gumpalan, seperti lipatan benang.
“Kalau niat kamu baik, engkau tidak apa‐apa. Tetapi kalau niat kamu buruk kamu akan binasa,” ujar Kakek pada lelaki di tengah halaman dari muka pintu masjid.
Kakek melemparkan kain itu ke arah lelaki tersebut. Bila kain itu jatuh di ujung kaki lelaki itu, kelihatan asap berkepul‐kepul naik ke udara. Tubuh lelaki itu hilang dalam kepulan asap.
Pak Mardan lalu duduk sambil membaca beberapa mantera hingga hujan yang mulai teduh berhenti sama sekali. Bila kepulan asap itu hilang, tengkorak yang berada di ujung kayu jatuh ke tanah.
Tubuh lelaki itu segera berganti menjadi hitam. Lidah lelaki itu terjulur keluar seperti lidah anjing yang kehausan, biji matanya mulai merah.
Kakek menepuk tangan kanannya tiga kali ke bendul masjid. Lelaki di tengah halaman mulai batuk dan muntah darah dua kali. Pak Mardan segera mengambil air dari dalam kolah satu gayung dan menyerahkan pada Kakek.
“Tawarkan dia,” Pak Mardan menyarankan dan Kakek lalu menunaikannya. Setelah Kakek membaca sesuatu pada air di dalam gayung, saya ditugaskan menyiramkan air ke badan lelaki itu. Bila air dalam gayung terkena badan lelaki itu, kulitnya yang hitam segera berganti seperti biasa, dia sudah tidak muntah lagi.
Pak Mardan menghampiri lelaki itu. Sebelum berdiri di hadapan lelaki tersebut, Pak Mardan terlebih dahulu membaca beberapa mantera. Dia mengunci semua pancaindera lelaki tersebut.
Saya merasa terkejut, bila dengan tiba‐tiba Pak Mardan mendatangi Kakek kembali.
Quote:
“Kamu lihat apa saja perbuatan maksiatnya selama ini,” suara Pak Mardan lemah.
Kakek terdiam, dia lalu bertafakur lagi. Bila semuanya selesai Kakek lalu memberitahu Pak Mardan bahwa lelaki itu pernah meminang Halimah untuk dijadikan isteri mudanya.
Pinangan itu ditolak oleh ayah Halimah karena lelaki itu sudah beristeri sepuluh kali. Enam isterinya sudah diceraikan, empat masih dipelihara. Dia hanya mengharapkan hasil dari keringat isterinya untuk menafkahi dirinya.
Dia tidak pernah mau melakukan suatu pekerjaan. Dia lebih senang duduk di rumah atau berjalan ke sana ke mari dengan pakaian yang necis dan rapi.
Walaupun usia sudah hampir lima puluh tahun, tetapi dia kelihatan muda, seperti pemuda yang berusia dua puluhan. Gagah dan tampan.
Kakek juga memberitahu Pak Mardan lelaki itu tidak pernah mandi, kecuali kalau dia bertemu danau di tengah hutan yang ada teras kayu terendam di dalamnya. Kalau dia mandi, hanya cukup dengan sekali selam tanpa memakai kain basahan.
Bila air di badannya kering dengan sendirinya barulah dia memakai baju dan celana.
Setelah itu, dia akan mengurungkan diri dalam kamar selama satu minggu. Sewaktu dia mengurungkan diri dalam kamar itu dia akan melumurkan seluruh kulitnya dengan kotorannya sendiri. Bila Pak Mardan mendapatkan penjelasan itu dari Kakek, dia segera berdiri di depann lelaki itu.
“Kenapa kau berbuat begitu pada Halimah?” pertanyaan dari Pak Mardan itu, dijawab oleh lelaki itu dalam bahasa yang tidak dapat saya dan Kakek Paham.
Pak Mardan segera memberitahu Kakek bahwa lelaki itu berbicara dalam bahasa Siam. Karena Pak Mardan bisa berbicara Siam, lelaki itu lalu disahuti dengan berbicara dalam bahasa itu. Perbuatan itu tidak menyenangkan hati Kakek. Kakek membuka telapak tangan kirinya lalu membaca sesuatu.
“Orang ini menuntut ilmu bomoh Siam. Biar saya kembalikan hati dan perasaannya kepada bangsanya sendiri,” sungut Kakek lalu melangkah ke arah lelaki itu.
Begitu Kakek sampai di depan lelaki itu, dia lalu menampar perut lelaki itu dengan telapak tangan kanannya. Lelaki itu menjerit lalu membungkuk sambil memegang perutnya.
Seketika itu juga lelaki tersebut muntah, dari mulutnya keluar segumpal kain kuning yang penuh dengan ulat, sebesar ulat nangka, bau kain kuning itu seperti bau bangkai. Kakek menekan kain kuning itu dengan jari telunjuk kirinya hingga kain itu pecah.
Bila kain itu pecah bertebaran, kaca, batu dan potongan-potongan daging jatuh ke tanah. Ular hidup berserakan di atas area muntahan lelaki itu.
Pak Mardan mencari daun kayu lalu memukul tubuh lelaki itu dengan sekuatnya. Wajah lelaki yang tampan berubah menjadi kendur dan berkerut-kerut seperti orang lelaki yang berumur lima puluh tahun.
Lelaki itu rebah ke tanah. Kakek segera menghentakkan pangkal siku kirinya ke punggung lelaki itu dengan sekuatnya. Lelaki itu dengan tiba‐tiba bangun.
Quote:
“Kau orang Islam?” tanya Kakek.
“Ya saya orang Islam”
“Rukun Islam ada berapa perkara?”
“Lima perkara ”
“Pertama apa dia?”
“Mengucap dua kalimah syahadah”
“Coba kau mengucap dua kalimah syahadah”
Ternyata orang itu tidak dapat menunaikan permintaan Kakek. Mata orang itu terbelalak. Toleh kiri, toleh kanan seperti orang ketakutan.
Pak Mardan menyeret lelaki itu ke tepi kulah.
“Kita mandikan dia sekarang,” kata Pak Mardan.
”Aku setuju,” balas Kakek.
Saya pun menyiramkan air ke tubuh lelaki dengan gayung. Lelaki itu menggeletar. Dalam kedinginan dini hari bibirnya kelihatan biru. Lututnya beradu. Kakek membuka celana yang dipakai oleh lelaki itu, digantikan dengan kain dan baju Melayu kepunyaan Pak Mardan.
Bila lelaki disuruh masuk ke masjid dia enggan. Perbuatan itu membuat Kakek naik darah.
“Kenapa?” tanya Kakek.
“Saya sudah bersumpah dengan guru saya. Tidak akan masuk masjid atau membaca Al‐Quran”
“Kamu membuat gaduh saja,” Kakek mendorong lelaki ke pintu masjid.
Bila lelaki itu melangkahi bendul dia jatuh dan dari tubuhnya keluar kepulan asap tipis. Serentak dengan itu terdengar deru angin yang amat kuat di luar masjid. Deru angin itu makin berkurang dan akhirnya hilang. Kakek lalu mengajarkan lelaki itu mengucapkan dua kalimah syahadah dan meminta dia bertaubat.
Cukup sukar untuk menyuruh lelaki itu bertaubat, dia begitu fanatik dangan ajaran gurunya. Sesudah berbagai pandangan dan nasehat diberikan padanya oleh Pak Mardan barulah dia mau bertaubat.
“Kamu tidak akan membalas dendam padaku?” tanyanya pada Pak Mardan.
"Tidak. Aku mau kamu bertaubat dan jangan sekali‐kali mengulangi perbuatan yang lalu"
Mendengar perkataan Pak Mardan lelaki itu terdiam. Walau bagaimanapun, Kakek memberikan kesempatan pada lelaki itu membuat keputusan sendiri. Kakek tidak mau memaksa dia. Kakek mau dia kembali ke pangkal jalan dengan penuh keinsafan dan kesadaran.
Diubah oleh mufidfathul 07-06-2017 18:23
ciptoroso dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup