Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#33
Chapter 7.1 : Hati Yang Senantiasa Berdoa

31 Mei 2016

Hari ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, semua orang bangun pagi-pagi sekali. Semalam tidurku begitu lelap, ketika aku bangun rasa lelah sisa kemarin telah hilang. Aku kemudian beranjak dari tempat tidur untuk menunaikan sholat Subuh bersama teman-temanku yang lain. Temanku yang ikut ujian Saintek sudah bersiap-siap lebih awal. Setelah bangun, mereka langsung mandi dan mengemasi barang-barangnya secepat mungkin sekaligus memeriksa kelengkapan berkas. Tepat pukul tujuh pagi nanti ujian mereka dimulai.

Pagi ini kami sarapan dengan lauk yang kurang lebih sama seperti kemarin. Kali ini kami membeli nasi sendiri karena merasa tidak enak dengan bang Tedi. Kami berbagi tugas, Ilham dan yang lain memasak mie instan dibelakang, aku dan Pras bertugas mencari nasi.

“Ini bro, kalian cari nasi, nggak enak sama mas Edi kalau kayak kemarin. Beras disini juga mahal, gue yakin bang Tedi juga menghemat persediaan berasnya.” Ilham menginstruksi kami berdua lantas memberikan uang beberapa ribu untuk membeli nasi. Hasil patungan semua anak.

“Ayo Pras, kita keliling dulu.” Aku dan Pras berjalan keluar rumah, menyusuri jalanan pagi.

Berbicara tentang Pras, aku tak terlalu akrab dengan dia. Hanya dalam suatu waktu aku berbicara tentang dia, itupun hanya dalam hitungan menit. Kelas kami berbeda, maka dari itu kami jarang bergaul.

Kondisi jalanan masih sangat sejuk. Embun pagi masih bergelayut di dedaunan. Suara ayam berkokok sesekali Cumiik jelas ditelinga. Beberapa meter kami berjalan, akhirnya kami menemukan sebuah warung nasi pecel yang masih baru dibuka.
Kulihat pemilik warung masih menyiapkan dagangannya. Aku berdiri didepan warung itu seperti orang linglung.

“Eh bro, Beli nasi disini bisa apa enggak? Kok gue jadi ragu kayak gini ya.” Aku berbisik lirih kepada Pras.

“Nggak tahu Megg, coba kita tanya dulu.” Pras menjawab kurang menyakinkan.

Meskipun dia bilang seperti itu, tubuhnya masih mematung ditempatnya. Entah karena sungkan atau apa, kami berdua masih berdiam diri ditempat. Mungkin lagak kami berdua terlihat mencurigakan, sebelas dua belas sama maling kutang. Celingak-celinguk.
Tiba-tiba dari samping warung tersebut keluar ibu-ibu pemilik warung tahu lontong dimana kemarin aku makan disana.

“Kalian pagi-pagi mau cari apa dek?” Beliau bertanya kepada kami berdua. Bukannya menjawab, kami malah diam membisu.
Aku kurang bisa menangkap kata-katanya karena kecepatan bicaranya. Dalam hitungan detik sudah berpuluh kata beliau ucapkan. Ditambah suaranya serak lirih. Kami tambah linglung. Beliau kemudian mengulang pertanyaannya. Butuh hampir satu menit hingga akhirnya aku mengerti apa yang dimaksud ibu tersebut

“Oh iya buk, ini kami sedang mencari nasi, beli disini bisa apa enggak buk?” Aku bertanya sopan sambil menunjuk warung nasi pecel tadi. Mencoba bersikap seramah mungkin untuk menghilangkan kecanggungan tadi.

“Ya bisa, disitu beli nasi bisa dek.” Beliau menjawab singkat namun mantap.

Tak berapa lama, pemilik warung tadi keluar. Tanpa perlu berpikir dua kali, kami langsung menuju kearahnya kemudian memesan nasi saja. Guna menyesuaikan budget, kami hanya memesan dua bungkus nasi, itupun dibagi untuk sepuluh anak.

“Ayo Megg, kita segera kembali lagi ke rumahnya bang Tedi.” Seru Pras kepadaku.

“Bentar bro, kita jalan lagi kesana yuk. Kayaknya banyak orang belanja sayur-sayuran disana.” Aku berbicara pelan. Pras menatapku serius. Pikirnya, kekonyolan apa yang akan kubuat.

Beberapa langkah dari tempat kami semula, terlihat sebuah warung kecil tempat ibu-ibu belanja sayur dan berbagai macam bahan makanan. Aku menghampiri warung kecil itu lantas mengambil beberapa bungkus kerupuk yang tergantung didekat aneka sayuran. Kerupuk itu sebagai pelengkap nasi dan mie instan. Aku membayarnya, kemudian kembali ke kontrakannya bang Tedi.

Salah satu kebiasaan burukku yang sulit kuhilangkan adalah aku sering bangun kesiangan. Pagi itu aku baru mengerti bahwa banyak orang yang telah memulai aktifitasnya dipagi hari. Ketika aku bangun siang, aku tak peduli berapa banyak waktu yang terbuang yang harusnya bisa kumanfaatkan untuk aktifitas yang lebih bermanfaat. Seperti pepatah “Jangan bangun kesiangan, nanti rezekinya dipatok ayam,” selaras dengan pepatah tersebut banyak orang yang mencari rezekinya sejak pagi, bahkan sebelum subuh.

Beberapa menit kemudian kita akhirnya sampai dirumahnya bang Tedi. Kembalian dari uang tadi kukembalikan kepada Ilham. Mie instan yang mereka masak hampir matang. Aku menaruh nasi dan kerupuk tadi diruangan depan.

“Nah ini dia, mie instan ala chef Izam.” Dengan nada lugu Nizam berbicara seperti itu. Tingkahnya memang seringkali mirip anak kecil.

Dalam hati aku maklum saja dengan tingkah konyolnya tersebut, kurang lebih lima tahun aku mengenal dia. Berbeda dengan Ilham yang orangnya suka jutek jika ada orang manja nan kekanak-kanakan. Melihat tingkah konyol Izam, dia terlampau gatal jika tidak menyindirnya.

“Yaelah gitu aja zam, semua orang juga bisa.” Kata-kata sindiran penuh sarkasme itu mungkin terdengar begitu menusuk bagi Izam. Raut mukanya memerah mendengar kata-kata Ilham barusan, sedikit malu dan tak enak dengan Ilham.

Semua telah menunggu didepan. Dua bungkus nasi tersebut kami buka dan diintegrasikan menjadi satu. Mie instan yang telah matang tadi kami tuangkan diatas nasi tersebut. Dengan lahap kami semua memakannya, ada yang makan sedikit tapi ada juga yang lumayan banyak. Semua tergantung perut masing-masing. Meskipun tak seberapa, tapi itu cukup untuk mengisi tenaga sebelum bertempur melawan soal-soal level menengah ke atas.

Setelah sarapan, teman-temanku yang ikut ujian Saintek langsung berangkat. Mereka berpamitan kepada kami, dan mendoakan yang terbaik untuk kami semua. Kami pun berdoa semoga mereka diberikan yang terbaik juga.

Aku bertambah deg-degan, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Masih ada beberapa jam lagi sebelum ujian dilaksanakan. Tinggal kami bertujuh yang masih ada disini, kami kemudian mengantri untuk mandi. Selain kami, mas-mas yang tinggal disana juga ada jadwal kuliah. Mereka kami persilahkan mandi terlebih dahulu.

Entahlah, aku lupa urutan siapa saja yang mandi dari yang pertama hingga yang terakhir. Adalah hal yang tak penting mengurutkan hal itu. Yang jelas aku berada diurutan tengah-tengah. Setelah mandi, aku kemudian menuju kamar bang Tedi untuk ganti baju. Baju warna ungu muda bergaris merah adalah baju yang kupakai saat itu, dengan jam tangan hitam dan gelang coklat seperti tasbih menghiasi pergelangan tanganku.

Kuambil tasku lalu menuju ke ruang depan untuk berkumpul dengan teman-temanku yang sudah siap. Wajah-wajah tegang terlihat di raut muka mereka. Termasuk aku juga. Hatiku tak henti-hentinya berdoa. Semoga diberikan kelancaran dan hasil yang terbaik untuk kita semuanya. Aku yakin mereka semua berdoa demikian.

Berhubung lokasi tesnya Izam yang paling jauh dari kami semua, ia berangkat duluan diantar mas Anca, teman bang Tedi. Dari kemarin dia bingung sendiri bagaimana caranya agar dia pergi ke lokasi tes, ia takut karena tak ada teman sama sekali jika naik angkot. Akhirnya mas Ancha bersedia mengantar Izam ke tempat tesnya. Mungkin itulah barokah jadi anak yang sholeh, Tuhan akan mempermudahkan jalan mereka.

“Aku berangkat dulu ya teman-teman.” Seru dia kepada kami, tangannya melambai-lambai.

“Oke, hati-hati bro” Jawab kami serempak.

Ardan pun berangkat terlebih dahulu menyusul Izam. Lokasi ujiannya juga lumayan jauh. Dia berangkat dengan motornya, dan berpamitan dengan kami. Kurang lebih cara berpamitannya seperti yang tadi.

Sembari menunggu beberapa temanku bersiap-siap, aku mendengarkan musik dari smartphone-ku sebagai penenang. Aku tahu pekerjaan yang paling membosankan didunia ini adalah menunggu.

***

Pukul 07.30 WIB, teman-temanku semuanya sudah dalam kondisi bersih tanpa bau keringat satupun. Umpama tentara yang siap bertempur, dengan senjata masing-masing, kami semua siap menuju medan perang. SBMPTN we’re coming.

Sebelum meninggalkan rumah bang Tedi, kami semua ingin memberikan sesuatu kepada dia. Kemarin, semua sudah sepakat untuk iuran beberapa ribu sebagai balas budi atas diperbolehkannya kami menginap selama tiga hari dua malam dirumahnya.
Kami berlima berpamitan dengan bang Tedi.

“Bang, kami semua pamit mau berangkat ujian.” Ilham berbicara santun mewakili kami semua.

“Iya udah, hati-hati ya. Sukses buat ujiannya.” Jawab bang Tedi kepada kami semua.

Kami berlima menyalaminya satu persatu. Tiba gilirannya Ilham, ia menyerahkan gulungan kecil uang yang kami kumpulkan tadi kepada bang Tedi.

“Ini bang, buat sampeyan. Makasih banget udah dibolehin nginep disini.” Ucap Ilham, tangannya menggenggam erat tangan bang Tedi. Prosesi serah terima sedang berlangsung

“Kok pakai gini-gini segala. Udah nggak usah, ambil lagi lah buat apa gitu.” Bang Tedi menolak uang tersebut karena dia ikhlas memberikan bantuan. Kami semua bersikukuh memaksa bang Edi untuk menerima uang tersebut. Tetap saja, bang Edi menolaknya, dia tidak butuh imbalan apa-apa dari kami.

Dengan berbagai macam alasan yang kami berikan, ia tetap tidak mau menerima uang tersebut. Hingga akhirnya, sebagai solusi terakhir, uang tersebut dilempar kedalam rumah oleh Ilham. Melihat uang itu terlempar kedalam rumahnya, maka bang Tedi langsung beringsut mengambilnya.

“Ayo kita lari bro.” Seru Hilmi, tanpa pikir panjang kami mengikuti instruksinya. Berlari sekuat tenaga.

Sesegera mungkin bang Tedi berlari menyusul kami. Kami masih terus berlari. Terlihat Bang Tdi masih dibelakang kami. Berteriak-teriak memanggil kami.

“Woi, sini woi. Nggak usah pakai gini-ginian segala, ambil ini.” Suaranya terdengar jelas. Kaki-kakinya masih berlari kencang mengejar kami.

Kami yang sudah tak tahu harus berbuat apa lagi, mau tak mau kami berhenti dan menerima uang itu kembali. Nafas kami semua terengah-engah termasuk bang Tedi. Tak apalah, olahraga ringan sebelum mengerjakan soal.
Terakhir, kami pun mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada dia.

***

Pukul 08.45 WIB, aku akhirnya sampai digedung tempat tesku. Suasana saat itu begitu ramai, ribuan siswa berkumpul disitu. Ada yang duduk bersama orang tua mereka, ada yang bersama temannya, ada juga yang menyendiri.

Pertama-tama aku masuk ke gedung tersebut, memastikan ruangan tesku. Aku tahu, disini ada banyak orang dengan latar belakang yang berbeda, dari berbagai macam daerah. Aku seperti orang asing disini, namun aku tak memedulikan orang-orang disekitarku. Meski, ada sebagian yang menatap tajam. Aku fokus pada langkahku, menaiki tangga satu persatu, sampai aku menemukan ruang tesku.

Aku pun kemudian kembali keluar dari gedung tersebut, menanti didepan gedung tersebut. Disitu ada seorang laki-laki berkacamata sedang duduk sambil memainkan smartphone-nya. Aku kemudian lewat dan hendak duduk disampingnya. Dengan ramah dia menyapaku, akupun balik menyapanya.

“Darimana mas?” Aku membuka pertanyaan dengan ramah.

“Asli Malang mas, dari Batu.” Jawab dia, suaranya renyah. Orangnya bersahabat. Tanpa kutahu namanya, aku pun berbasa-basi dengan dia.

“Ngambil jurusan apa mas?” Aku bertanya kembali.

“Teknologi Pendidikan di UM, lha kamu sendiri gimana mas?” tanya dia kepadaku

“Aku mengambil jurusan bahasa Jerman di UM.” Dengan sedikit ragu aku menjawab.

Entah karena apa aku sedikit pesimis ketika ditanya terkait jurusan yang kuambil. Bukan karena jurusan itu buruk, tapi karena aku belum pernah sekalipun mengenal bahasa Jerman, sehingga aku tidak begitu percaya diri. Percakapan kami pun berlanjut, meski pun itu perkenalan yang cukup singkat tapi memiliki kesan tersendiri. Sebagai sesama pejuang SBMPTN, kami sama-sama berbagi semangat dan motivasi. Dengan doa dan segenap keyakinan agar kami bisa diterima di jurusan yang dipilih.
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.